Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

SINDROMA NEFROTIK PADA ANAK

DISUSUN OLEH :
Lidia Debby Wiyono
030. 11. 167

PEMBIMBING :
dr.Fajar Danu, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUD DR.SOESILO SLAwi


PERIODE 20 JUNI 2016 - 3 SEPTEMBER 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
SLAWI 2016
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Nefrotik (SN) adalah kelainan keadaan klinik yang khas ditandai oleh

Proteinuria massive, hipoalbuminemia dan edema yang biasanya disertai dengan atau tanpa

hiperkolesterolemia.¹ Di Amerika Serikat di laporkan kejadian tahunan penyakit tersebut

adalah 2-5 per 100.000 anak usia < 10 tahun. Angka prevalensi kurang lebih 15,5 per

100.000 orang usia <16 tahun. Angka kejadian tersebut lebih tinggi pada anak-anak

Asia dan afrrika.² Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.³ perbandingan

anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1.³

Pada anak-anak, sindroma nefrotik kelainan minimal merupakan suatu penyakit

primer pra sekolah dengan puncak insidensi terjadi pada usia 3-4 tahun, walaupun dapat juga

terjadi pada semua umur.² Kejadian sindroma nefrotik anak adalah 15 kali lebih sering

dari pada orang dewasa. Sebagian besar kasus sindroma nefrotik pimer terjadi pada

anak dan disebabkan oleh jenis lesi minimal. Usia terjadinya penyakit tersebut

tergantung kepada macam sindroma nefrotiknya.4

Mengingat pengobatan sindrom nefrotik pada anak memerlukan kecermatan dan

ketelitian dalam pemberian obat, seperti dosis dan indikasi pemberian. Perlu pembahasan

lebih lanjut dengan runtut mengenai tata laksana pada sindrom nefrotik steroid – dependen

atau steroid – sensitif dan sindrom nefrotik steroid – resisten.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SINDROMA NEFROTIK

2.1.1 DEFINISI

Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,

merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,

hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta edema. Yang dimaksud proteinuria masif adalah

apabila didapatkan proteinuria sebesar >40 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam

darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl.1,2,3

2.1.2 EPIDEMIOLOGI

Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma nefrotik

primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila ini timbul sebagai bagian

daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma

nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap

100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap

100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang

dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar

negeri menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.5

Pasien syndrome nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok :

1. Kongenital
2. Responsive steroid, dan
3. Resisten steroid
Bentuk congenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasus-

kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif autosom.

Kelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindroma nefrotik

kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di Jakarta diantara 364 pasien SN yang dibiopsi

44,2% menunjukkan KM. kelompok tidak responsive steroid atau resisten steroid terdiri atas

anak-anak dengan kelainan glomerolus lain. Disebut sindroma nefrotik sekunder apabila

penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena obat-obatan, allergen, dan toksin, dll.

Sindroma nefrotik dapat timbul dan besrsifat sementara pada tiap penyakit glomerolus

dengan keluarnya protein dalam jumlah yang cukup banyak dan cukup lama.

2.1.3 ETIOLOGI

Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap penyakit autoimun. Jadi

merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. 6 Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:

I. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.

Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema semasa

neonates. Pencangkokan pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil.

Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan

pertama kehidupanya. 6

II. Sindroma nefrotik primer/ idiopatik

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsy ginjal dengan

pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskopik elektron, terbagi dalam empat

golongan yaitu: 1,3

1. Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan

dengan mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel berpadu.

Dengan cara imunofluorosensi ternyata tidak terdapat IgG atau

immunoglobulin beta-1C pada dinding glomerulus.

Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.

Prognosisnya juga lebih baik dibandingkan dengan golongan lain.

2. Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang

tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis

kurang baik.

3. Glomerulonefritis proliferative

a. Glomerulonefritis proliferative eksudatif difus

Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel

polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang

menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan

pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan streptococcus yang

berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang

baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah

pengobatan lama.

b. Dengan penebalan batang lobular

Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan

batang lobular.
c. Dengan bulan sabit

Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel

simpai ( kapsular ) dan visceral. Prognosis buruk.

d. Glomerulonefritis membranoproliferatif

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai

membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-

1A rendah

4. Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk. 6

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3


 Kelainan minimal (KM)
 Glomerulosklerosis (GS)
- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
- Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
 Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
 Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
 Glomerulonefritis kresentik (GNK)
 Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
- GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
- GNMP tipe II dengan deposit intramembran
- GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
 Glomerulopati membranosa (GM)
 Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik.Buku Ajar Nefrologi Anak.
III. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh: 1

 Malaria kuartana atau parasit lain

 Penyakit kolagen seperti lupus erimatosus diseminata, purpura

anafilaktoid.
 Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, thrombosis vena

renalis.

 Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,

sengatan lebah, racun oak, air raksa.

Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif

hipokomplementik

2.1.4 PATOFISIOLOGI

Ada empat gejala utama pada sindrom nefrotik. Yaitu: proteinuria, hipoalbuminemia,

edema, dan hiperlipidemia. 3,4,6,7

 Proteinuria

Penyebab proteinuria pada SN adalah kerusakan fungsi atau struktur membran

filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus terdiri dari endotel fenestra sebelah
dalam, membran basalis dan sel epitel khusus dibagian luar yang dikenal dengan

podosit.

Podosit memiliki tonjolan – tonjolan menyerupai kaki (foot processes), diantara tonjolan

– tonjolan tersebut, terdapat celah diafragma, yang berperan penting dalam pemeliharan

fungsi filtrasi glomerulus.

Terdapat dua mekanisme yang berperan pada patogenesis SN, yaitu pertama secara

imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa vascular permeability factor (VPF)

yang merupakan asam amino identik dengan vascular endothelial growth factor (VEGF). Hal

ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler gromelurus sehingga terjadi kebocoran

protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barier filtrasi glomerulus

yang mengakibatkan celah diafragma melebar. 3

Zat – zat terlarut yang dapat melewati sawar gromelurus ditentukan oleh besarnya

molekul. Molekul > 10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat melewati sawar tersebut (size

selectivity barrier ). Bila ada gangguan pada mekanisme ini menyebabkan proteinuria baik

protein dengan berat molekul besar (proteinuria nonselektif). Faktor lain yang dapat

mempengaruhi adalah adanya daya elektrostatik dari muatan negatif permukaan molekul

pada epitel foot processes yang dibentuk oleh sialoprotein kapiler, heparan sulfat membran

basalis gromelurus dan podokaliksin (charge-selectivity barrier). Gangguan pada daya

elektrostatik tersebut menyebabkan proteinuria selektif (protein dengan berat molekul < berat

molekul albumin dapat melewati membran filtrasi gromelurus). Kerusakan struktur dan sawar

elektrostatik ini menyebabkan banyaknya protein plasma yang melewati filtrasi gromelurus.

Pada penderita SNRS diduga selain charge – selectivity barrier juga berperan size –

selectivity barrier yang menyebabkan proteinuria yang keluar selain berat molekul rendah

(selektif) juga protein dengan berat molekul tinggi (non-selektif). 3

 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan

katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak

memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau

menurun.6

 Edema

Edema merupakan gejala kardinal pada SN. Mekanisme terjadinya edema

dapat dijelaskan melalui dua teori, yaitu Teori Underfill dan Overfill/overflow. Teori

Underfill adalah teori klasik mengenai pembentukan edema, yakni menurunnya

tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang

interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas glomerulus, albumin akan keluar dan

kemudian menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia

menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini

menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang

intravaskuler ke ruang interstisial yang menyebabkan edema. Sebagai akibat dari

pergeseran cairan ini, volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran

menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau

volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal.

Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha tubuh untuk menjaga volume dan

tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa

kompensasi sekunder. Retensi cairan yang secara terus menerus menjaga volume

plasma selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan demikian menurunkan

tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang

interstisial. Keadaan ini akan terus memperberat edema sampai terdapat

keseimbangan hingga edema stabil.1,3,6


Teori overflow/overfill menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan

tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron. Retensi natrium renal dan air

terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi

sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma

dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat dari perpindahan

cairan ke dalam ruang interstisial. Teori ini dapat menerangkan adanya volume

plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang menurun sekunder

terhadap hipervolemia.1,3,6

 Hiperlipidemia

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh

penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai

perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan

ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali

normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan

lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya

LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar

trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density

lipoprotein).

Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis

lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada

SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan

sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar

VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga

merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis


lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun.

Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT

( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan

HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk

katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang

terjadi pada SN.3,7

2.1.5 MANIFESTASI KLINIK

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak

pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat

sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal edema sering

bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi

jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi

menyeluruh dan masif (anasarka). 4,5

Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka pada

pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada

siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada

penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Edema

biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau

GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada

pasien SNKM. 5

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik.

Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus.

Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada
beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik

yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan

menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat

terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan

hernia umbilikalis dan prolaps ani.5

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka

pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat

diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. 3,5,6

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International

Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai

tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur. Hematuria mikroskopik kadang-

kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk

membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. 3,6

2.1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain: 2

1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.

2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau ratio protein/kreatinin pada urin

pertama pagi hari.

3. Pemeriksaan darah

 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit,

LED)

 Kadar albumin dan kolestrol plasma.


 Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin.

 Kadar complemen C3

2.1.7 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.4

1. Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut,

tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan

lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

2. Pemeriksaan fisik.

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak

mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang

ditemukan hipertensi.

3. Pemeriksaan penunjang

Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria.

Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),

hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL), dan laju endap darah yang meningkat, rasio

albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada

penurunan fungsi ginjal.

2.1.8 PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat

terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid

pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut: 2

Table 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak

dengan sindrom nefrotik 2,8

Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam

selama 3 hari berturut-turut

Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari

berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi

Kambuh Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode

tidak 12 bulan

sering

Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal,

atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan

Responsif- Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja

steroid

Dependen- Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi

steroid steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan

Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison

60 mg/m2/hari selama 4 minggu

Responder Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari

lambat tanpa tambahan terapi lain

Nonresponder Resisten-steroid sejak terapi awal

awal

Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-

lambat steroid
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit

dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum

pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:

1.Pengukuran berat badan dan tinggi badan

2. Pengukuran tekanan darah

3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus

eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein

4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi

perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai

5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6

bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat

antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema

anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok.

Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan

pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Diitetik

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan

menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)

dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi
energy protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan

diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2

g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.2

Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic

seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton

(antagonis aldosteron, diuretic hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik,

perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretic lebih dari 1-2 minggu
2
perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena

hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%

dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan

diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari

segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk

mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin

dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah

overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu intravena 1-2 mg/kgbb.

Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat pernapasan dapat dilakukan pungsi asites

berulang. Skema pemberian diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10

tetes/menit untuk diuretik untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1. Bila diperlukan,

suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan

dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu

pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. 2


Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau

total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN

dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin

virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6

minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela.

Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi

pneumokokus dan varisela.2,8

Pengobatan dengan kortikosteroid

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada

kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednisone atau prednisolon.

PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk

memulai dengan pemberian prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal

80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung sesuai

dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full

dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,

dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5

mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4

minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai

resisten steroid.2,8

A. Sindrom nefrotik serangan pertama

1. Perbaiki keadaan umum penderita :

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian

gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan

fungsi ginjal.

b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau

albumin konsentrat
c. Berantas infeksi.

d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.

e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.

Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada

hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.

2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah

diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita

mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan,

prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi

pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.

B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)2,8

1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse

ditegakkan.
2. Perbaiki keadaan umum penderita.

 Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

a. Prednison 2 mg/kgBB per hari, diberikan sampai proteinuria negatif atau hasil

proteinuria negatif selama tiga hari.


b. Kemudian dilanjutkan prednison dengan dosis 1,5 mg/kg BB per hari, diberikan

hingga 4 minggu. Penggunaan prednison 2 mg/kgBB per hari, pada keadaan

kambuhan dapat diberikan hingga nilai proteinuria normal selama 3 hari.

 Sindrom nefrotik kambuh sering atau dependen steroid

a. Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:


1. Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,

setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis

1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan

perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut

dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara

0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat

dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya

anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,

sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb

alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam

dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka

prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,

kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2

mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya

atau relaps yang terakhir.2

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-

ternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat,
dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb

selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).2

` Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:

1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau

2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:

a. Efek samping steroid yang berat


b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia,

trombosis, dan sepsis . Diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3

mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.2


2. Pemberian levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol

diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12

bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic

rash, dan neutropenia yang reversibel.2


3. Pengobatan dengan sitostatik

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN

anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari

dalam dosis tunggal ,maupun secara intravena atau puls . CPA puls diberikan

dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan

NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,

dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia,

sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan

keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu

kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah


leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat

dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,

hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total

kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan

mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.2

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8

minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek

toksik berupa kejang dan infeksi.2


4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil/ MMF (opsi

terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau

sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5

mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan

kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering

atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,

sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA

dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek

samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan

SN resisten steroid.2
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau

sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200

mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid

selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,

leukopenia.2

C. Sindrom nefrotik resisten steroid 2

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada

pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk

melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi

mempengaruhi prognosis. Sindrom nefrotik resisten – steroid meningkatkan resiko


mengalami komplikasi dan secara progresif dapat berkembang menjadi gagal ginjal

terminal. Tujuan terapi pada sindrom nefrotik resisten – steroid adalah pengendalian

proteinuria dan memelihara fungsi ginjal.

- Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan

remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA,

bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten

steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis

penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid

kembali, dapat diberikan siklosporin.

- Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total

sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.2,8

Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi

gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam

literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau

sangat selektif.
Indikasi pemulangan pasien dirawat: 2

 Edema anasarka menghilang

 Nafsu makan baik.

 Proteinuria negatif pada 3 kali pemeriksaan selama 1 minggu


Disamping terapi utama, juga diberikan terapi supportif untuk membantu memperbaiki

keadaan, antara lain :


1. Manajemen hipertensi8
- Kontrol tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Diet rendah garam, olahraga atau aktivitas dan kurangi BB pada anak dengan

obesitas.
- ACE Inhibitor atau ARB dapat digunakan untuk manajemen hipertensi, dan

merupakan lini pertama sebagai antihipertensi. Efeknya dapat menurunkan proteinuria

karena sifatnya sebagai nefroprotektan dan mengontrol tekanan darah.


- ACE Inhibitor atau ARB direkomendasikan pada sindrom nefrotik resisten-steroid.
2. Manajemen edema
- Diet rendah sodium 1500 – 2000 mg per hari.
- Penggunaan diuretik ; loop diuretik, tiazide diuretik
- Dan infus albumin 25%.

2.1.9 KOMPLIKASI 3,7

1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis.

Secara ringkas, kalaina hemostatik pada SN dapat timbul drai 2 mekanisme yang

berbeda:


Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan : meningkatnya

degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti antitrombin III,

plasminogen dan antiplasmin.


Aktivasi sitem emostatik didalam ginjal dirangsang oleh fator jaringan

monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang

selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit. 1

2. Hipertensi

Merupakan salah satu komplikasi dari SN yang dapat ditemukan baik pada

awitan penyakit ataupun dalam perjalanan penyakit akibat toksisitas steroid.


Pemberian steroid jangka panjang sendiri dapat menimbulkan efek samping yang

signifikan terhadap penderita. Dengan demikian edukasi terhadap penderita dan orang

tuanya menjadi sangat penting. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE-i

(Angiotensin Converting Enzyme inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor Blocker),

CCB (Calcium Channel Blockers), atau antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah

anak di bawah persentil 90. Pada semua pasien rawat jalan SN dengan pengobatan

steroid, maka harus dilakukan pemantauan tekanan darah setiap 6 bulan sekali.1,7

3. Pertumbuhan abnormal dan malnutrisi.

Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien SN yang tidak diberikan

kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kurang nafsu makan sekunder, hilangnya

protein dalam urin, dan malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Sekarang

penyebab utamanya adalah pengobatan kortikosteroid. Pengobatan kortikosteroid

dosis tinggi dan waktu lama dapat memperlambat maturasi tulang dan terhentinya

pertumbuhan linier. 1,7

4. Infeksi

Beberapa penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah: 1,7

o Kadar imunoglobulin yang rendah

o Defisiensi protein secara umum.

o Hipofungsi limfa

o Akibat pengobatan imunosupresif

5. Hipokalsemia1,2
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan 1. osteoporosis dan

osteopenia

- Kebocoran metabolit vitamin D2.

Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama

(lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan

vitamin D (125-250 IU).32 Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas

10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.

6. Hipovolemia2

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat

terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering

disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat

sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb

atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah

teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.

2.1.10 PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut : 4

 Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.

 Disertai oleh hipertensi.

 Disertai hematuria

 Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder


 Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal

 Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran

klinis

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons

yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan

relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

KESIMPULAN

Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,

merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta edema. Diagnosis sindroma nefrotik dapat

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Kebanyakan SN pada anak memberikan respon terhadap pengobatan kortikosteroid

(prednison / prednisolon), hanya 10 – 20% yang tidak memberikan respon terhadap

pengobatan kortikosteroid. Disebut SN sensitif steroid (SNSS) bila penderita memberikan

respon dan terjadi remisi dalam empat minggu pengobatan dengan kortikosteroid, sedangkan

bila tidak mengalami remisi disebut SN resisten steroid (SNRS). Walaupun presentase SNRS

dalam jumlah kecil, namun jika tidak tertangani dengan baik dalam kurun 3 tahun akan

mengalami komplikasi ekstrarenal dan berkembang menjadi gagal ginjal terminal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lane JC. Pediatric Nephrotic Syndrome. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview?
pa=AS4kvGBDrPHdqIIiuCh6SiZ9%2BuZXDsbbyxnR

%2FhcNpvNWEvviscd9PacTdJ%2FWW9y9bdXqlKVP0ter%2FjFzeArY

%2Fih1aXFNA8gS3HZ2cbppIpw%3D#a5 . Accessed on: 1 Agustus 2016.


2. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, dan Pardede SO. Konsensus Tatalaksana

Sindroma Nefrotik Idiopatik pada Anak. Cetakan kedua.2012. Jakarta :Badan

Penerbit IDAI. 2012.


3. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, and Rote NS. Pathophysiology The Biologic

Basic for Disease in Adults and Children.6th edition. Philadhelpia: Elsevier.2009.


4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, dkk. Pedoman Pelayanan

Medis.IDAI.2009.

5. Alatas, Husein, Prof., dkk.. Buku Ajar Nefrologi Anak . Edisi 2. Jakarta. IDAI. 2002,

hal 381-422

6. Silbernagl S dan Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC.2012

7. Behrman, Kliegemen, Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC.Jakarta:2000

8. Gipson DS, Massengill SF, Smoyer WE, dkk. Management of Childhood Onset

Nephrotic Syndrom.

http://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/124/2/747.full.pdf .

Pediatrics.2009.124;2:747-57.

Anda mungkin juga menyukai