Anda di halaman 1dari 7

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Salah satu permasalahan di transportasi dalam beberapa tahun terakhir adalah tingginya penggunaan
kendaraan pribadi yang menimbulkan kemacetan dan pada akhirnya berdampak pada peningkatan biaya
perjalanan dan biaya ekonomi lingkungan, yakni polusi yang juga memberikan efek negatif pada
kesehatan. Ortuzar & Willumsen (2011) menjelaskan bahwa secara klasik permasalahan kemacetan
disebabkan oleh volume kendaraan yang melebihi kapasitas jalan dan permasalahan tersebut dapat
diselesaikan dengan pelebaran jalan atau pembangunan jalan baru (pendekatan supply). Namun, solusi
penambahan kapasitas jalan pada akhirnya hanya meningkatkan jumlah kendaraan, karena pada
dasarnya pola pergerakan akan mengikuti prasarana yang ada. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
Hymel (2019) di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa apabila Pemerintah membangun jalan
baru, jumlah pengendara kendaraan pribadi akan meningkat menyesuaikan dengan jalan baru. Oleh
karena itu, selain pendekatan supply, pendekatan demand diperlukan untuk menangani permasalahan
kemacetan.

Adapun untuk dapat merumuskan kebijakan melalui pendekatan demand, harus diketahui terlebih
dahulu faktor yang mempengaruhi pola perjalanan dari demand transportasi, yakni faktor yang
mempengaruhi perilaku perjalanan dari masyarakat. Beberapa penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa built environment memiliki pengaruh terhadap perilaku perjalanan. Output dari
perilaku perjalanan biasanya berupa jarak perjalanan dan intensitas perjalanan dari moda tertentu yang
dipilih. Sedangkan built environment sendiri merupakan lingkungan terbangun yang mengacu pada
lingkungan buatan manusia yang memfasilitasi aktivitas manusia, baik untuk hidup, bekerja dan
aktivitas-aktivitas lainnya (Roof & Oleru, 2008). Built environment dapat dilihat dari karakteristik
beberapa variabel, antara lain density, diversity, design, destination accessibility, dan distance to transit
(Cervero, 2002).

Penelitian Ding, Wang, Liu, Zhang, & Yang (2017) menunjukkan bahwa built environment memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kepimilikan mobil. Selain itu, karakter built environment tempat
tinggal dan lifestyle dari individu juga berkaitan dengan perilaku perjalanan (Etminani-Ghasrodashti &
Ardeshiri, 2015)(Feng, Dijst, Wissink, & Prillwitz, 2017). Built environment di lingkungan tempat
tinggal dan lingkungan kerja juga berpengaruh pada kepemilikan mobil, di mana lingkungan yang lebih
padat cenderung meminimalisir perjalanan dengan mobil pribadi (Ding & Cao, 2019)(Feng et al., 2017).
Built environment juga memiliki pengaruh terhadap perjalanan kendaraan dari yang dilihat dari tipologi
kota (Choi, 2018), neighborhood preference dan perjalanan aktif (Haybatollahi, Czepkiewicz,
Laatikainen, & Kyttä, 2015), perilaku perjalanan lansia (Feng, 2017), perjalanan aktif anak-anak dan
urgensi perjalanan aktif untuk meningkatkan well-being (Curtis, Babb, & Olaru, 2015), dan

1
pengaruhnya di kawasan TOD di sekitar stasiun kereta api (Park, Ewing, Scheer, & Tian, 2018).
Pengaruh dari built environment terhadap perilaku perjalana juga sering diperdebatkan antara adanya
self-selection atau residential determination, di mana keduanya memiliki hubungan timbal balik yang
saling mempengaruhi (Lin, Wang, & Guan, 2017).

Apabila dilihat dari point of view yang lebih luas, perilaku perjalanan tidak hanya berpengaruh terhadap
bagaimana pemilihan moda dan jarak perjalanan dapat mengurangi kemacetan. Lebih jauh, perilaku
perjalanan dapat mempengaruhi kesehatan, khususnya pada perjalanan aktif, seperti berjalan kaki dan
bersepeda (Handy, Van Wee, & Kroesen, 2014). Wee & Ettema (2016) melakukan tinjauan terhadap
beberapa penelitian dan menemukan bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara perilaku
perjalanan dan kesehatan. Wee & Ettema (2016) memberikan model konseptual yang kompleks, yakni
di mana pemilihan lingkungan tempat tinggal memiliki pengaruh terhadap perilaku perjalanan dan
perilaku perjalanan berpengaruh terhadap aktivitas fisik, polusi udara yang dihirup, kecelakaan
perjalanan, dan well-being. Adapun empat aspek tersebut berpengaruh langsung terhadap kesehatan.
Definisi well-being adalah kombinasi dari penilaian seseorang terhadap kualitas hidup serta kepuasan
terhadap kehidupan dan hal tersebut berpengaruh terhadap kesehatan (Wee & Ettema, 2016).
Berdasarkan beberapa kajian temuan yang sudah disebutkan, dapat diketahui bahwa pengaruh
transportasi tidak semata-mata memberikan kemudahan dalam pergerakan, namun lebih jauh juga
memiliki pengaruh terhadap kesehatan, maupun sebaliknya kondisi kesehatan berpengaruh terhadap
perilaku perjalanan, yakni pada pemilihan moda.

Kemacetan menjadi salah satu permasalahan utama di berbagai kota di dunia. Kota Semarang adalah
salah satu kota di Indonesia yang juga memiliki permasalahan kemacetan. Menurut laporan dari Inrix,
Semarang berada di urutan ke-9 kota termacet di Indonesia. Rata-rata, lama waktu yang dibutuhkan
pengendara saat macet yaitu 17 persen. Pada jam sibuk persentase waktu berkendara meningkat menjadi
21 persen dan 19 persen di luar jam sibuk. Tingkat kemacetan di Semarang mencapai 37 jam dalam
setahun, di mana angka tersebut mendekati kemacetan Jakarta yang mencapai 55 jam dalam setahun
(Edy, 2018). Jumlah kendaraan di Kota Semarang juga cenderung bertambah dari tahun 2005-2014
yakni dari 93.073 ke 247.936 (BPS Kota Semarang, 2015). Tingginya penggunaan kendaraan pribadi
juga meningkatkan polusi udara. Hal tersebut ditunjukkan dengan angka polusi sudah mencapai di
ambang batas, yakni kandungan Co yang sudah mencapai angka 15.000 (Susanto, 2017). Peningkatan
penggunaan kendaraan pribadi akan menyebabkan kemacetan dan memberikan pengaruh buruk berupa
polusi dan kurangnya perjalanan aktif, yang keduanya diperkirakan akan berdampak pada kesehatan.

Penelitian terkait built environment dan perilaku perjalanan sudah banyak dilakukan sejak beberapa
dekade yang lalu dan terus berkembang hingga sekarang dengan berbagai khazanah baru. Adapun
penelitian terkait pengaruh perilaku perjalanan terhadap kondisi kesehatan juga sudah cukup banyak

2
dilakukan, terutama bagaimana perilaku perjalanan aktif dapat mempromosikan kesehatan dan well-
being. Secara tidak langsung, dapat diketahui bahwa built environment dari lingkungan hunian akan
memiliki pengaruh terhadap kesehatan, mengingat bahwa built environment memiliki pengaruh
terhadap perilaku perjalanan dan perilaku perjalanan memiliki pengaruh terhadap kesehatan. Namun,
kajian yang mengkaji urgensi sikap dan pembentukan sikap, khusunya sikap yang berhubungan dengan
kesehatan dan proses pemilihan diri terkait perilaku perjalanan dengan mempertimbangkan aspek
kesehatan belum banyak dilakukan. Selain itu, apabila dikaitkan dengan built environment lingkungan
hunian, belum banyak dikaji sejauh mana pertimbangan kesehatan memainkan peran ketika
memutuskan di mana harus tinggal dan apa dampaknya terhadap perilaku perjalanan dan kondisi atau
hasil kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian


Keterkaitan antara built environment dan perilaku perjalanan merupakan topik menarik dalam kajian
transportasi, terutama perilaku perjalanan yang digambarkan dari pemilihan moda (Choi, 2018).
Terdapat ratusan penelitian terkait built environment dan perilaku perjalanan yang telah dilakukan di
seluruh penjuru dunia. Perilaku perjalanan yang diukur juga beragam, yakni meliputi perjalanan
komuter, perjalanan non-komuter, perjalanan dengan tujuan bekerja, perjalanan yang hanya difokuskan
pada leisure, home-based trip, dan non-home based trip. Indikator pembeda dari built environment juga
beragam, meliputi dibedakan dari tipologi kota, dari lokasi sekolah, lokasi bekerja, atau hanya khusus
kawasan hunian. Objek dari pelaku perjalanan juga beragam, yaitu meliputi khusus lansia, lansia dan
anak muda, seluruh usia, atau hanya pada anak-anak. Output yang dihasilkan dari berbagai penelitian
tersebut dapat menjadi acuan perumusan kebijakan transportasi dan guna lahan. Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa penyelesaian masalah transportasi tidak selalu dengan penambahan dan
pembangunan infratsruktur baru, melainkan dengan mengatur dan menekan permintaan dari perjalanan.
Pengaturan perjalanan sebisa mungkin diarahkan pada peningkatan transit dan mempromosikan jalan
kaki dan bersepeda dengan harapan adanya pengaruh positif pada aspek kesehatan. Penelitian
sebelumnya sudah membahas bagaimana perilaku perjalanan dapat mempromosikan kesehatan,
terutama pemilihan moda perjalanan berupa perjalanan aktif (Handy et al., 2014). Lebih jauh, baik
kegiatan transportasi (pergerakan dari satu tempat ke tempat lain) dan kesehatan, keduanya merupakan
sebuah kebutuhan. Setiap orang membutuhkan pergerakan untuk mengakses kebutuhan atau
keinginannya, dan setiap orang juga membutuhkan kondisi yang sehat baik fisik maupun mental untuk
dapat melakukan suatu aktivitas, termasuk pergerakan.

Kota Semarang memiliki permasalahan kemacetan yang disebabkan oleh peningkatan penggunaan
kendaraan pribadi. Kemacetan tersebut juga menyebabkan polusi udara, di mana angka polusi sudah
mencapai batas ambang dan kondisi tersebut juga berpengaruh terhadap kesehatan. Upaya penyelesaian
masalah kemacetan kini difokuskan pada pendekatan demand, di mana untuk mengatur demand

3
perjalanan, harus diketahui terlebih dahulu faktor apa saja yang mempengaruhinya. Pertimbangan
dalam menentukan moda pilihan menjadi hal yang penting untuk diketahui dan sejauh ini penelitian
yang sudah dilakukan banyak mengkaji pertimbangan di aspek built environment, namun aspek
pertimbangan di aspek kesehatan belum banyak dikaji, khusunya sikap yang berhubungan dengan
kesehatan dan proses pemilihan diri terkait perilaku perjalanan dengan mempertimbangkan aspek
kesehatan belum banyak dilakukan. Selain itu, apabila dikaitkan dengan built environment lingkungan
hunian, belum banyak dikaji sejauh mana pertimbangan kesehatan memainkan peran ketika
memutuskan di mana harus tinggal dan apa dampaknya terhadap perilaku perjalanan dan kondisi atau
hasil kesehatan. Adapun dengan latar belakang permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitian yang
muncul adalah: Apakah perilaku perjalanan yang dilakukan sudah mempertimbangkan aspek
kesehatan dan apakah pertimbangan kesehatan memainkan peran ketika memutuskan di mana
harus tinggal (built environment) dan apa dampaknya terhadap perilaku perjalanan dan kondisi
kesehatan?

1.3 Tujuan dan Sasaran


Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui peranan aspek kesehatan dalam menentukan perilaku
perjalanan dan apakah pertimbangan kesehatan memainkan peran untuk menentukan lokasi
lingkungan hunian di Kota Semarang sehingga dapat diketahui sejauh mana pemahaman terkait
motivasi kesehatan dalam menentukan perilaku perjalanan dan diketahui apakah pertimbangan
kesehatan memainkan peranan dalam menentukan pemilihan tempat tinggal yang akan berdampak pada
perilaku perjalanan dan kondisi kesehatan di Kota Semarang. Adapun sasaran yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Identifikasi indeks built environment lingkungan hunian.
2. Identifikasi perilaku perjalanan.
3. Identifikasi kondisi kesehatan, meliputi kesehatan fisik dan kesehatan subjektif (well-being).
4. Identifikasi motivasi prioritas aspek kesehatan dalam melakukan perilaku perjalanan.
5. Identifikasi motivasi prioritas aspek kesehatan dalam menentukan lokasi hunian.

1.4 Manfaat Penelitian


Terdapat dua manfaat dari penelitian ini, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis
merupakan manfaat yang berwujud kontribusi tertentu terhadap perkembangan pengetahuan atau teori
tertentu (Sudaryono, 2017). Adapun manfaat penelitian yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:

4
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah literatur terkait built environment, perilaku
perjalanan dan kesehatan dalam konteks Indonesia, yang merupakan negara berkembang dengan
mempertimbangkan teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

1.4.2 Manfaat Praktis


Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Semarang
dalam menyusun kebijakan transportasi yang mempromosikan kesehatan yakni dengan mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi dan meningkatkan penggunaan transit serta perjalanan aktif.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian dibagi menjadi 3, yaitu ruang lingkup wilayah, ruang lingkup pembahasan,
dan ruang lingkup materi. Ruang lingkup wilayah menjelaskan batasan penelitian secara geografis.
Adapun ruang lingkup pembahasan menjelaskan limitasi penelitian secara kontekstual. Sedangkan
ruang lingkup materi membatasi materi yang akan diulas.
1.5.1 Ruang Lingkup Wilayah
1.5.2 Ruang Lingkup Pembahasan
1.5.3 Ruang Lingkup Materi

1.6 Sistematika Penulisan


1.7 Kerangka Pikir

5
BAB II Kajian Literatur

Kajian literatur ini membahas mengenai konsep dan teori yang melandasi penelitian. Konsep dan teori
tersebut meliputi hubungan antara built environment dan perilaku perjalanan, serta perilaku perjalanan
terhadap kesehatan dan ukuran dari kesehatan.

Referensi
BPS Kota Semarang. (2015). Jumlah Kendaraan di Kota Semarang tahun 2005-2014. Retrieved April
10, 2019, from Badan Pusat Statistik Kota Semarang website:
https://semarangkota.bps.go.id/dynamictable/2015/07/02/23/banyaknya-kendaraan-bermotor-
dirinci-menurut-jenis-kendaraan-2012---2014.html
Cervero, R. (2002). Built environments and mode choice: toward a normative framework.
Transportation Research Part D: Transport and Environment, 7(4), 265–284.
Choi, K. (2018). The influence of the built environment on household vehicle travel by the urban
typology in Calgary, Canada. Cities, 75(January), 101–110.
https://doi.org/10.1016/j.cities.2018.01.006
Curtis, C., Babb, C., & Olaru, D. (2015). Built environment and children’s travel to school. Transport
Policy, 42, 21–33.
de Dios Ortuzar, J., & Willumsen, L. G. (2011). Modelling transport. John Wiley & Sons.
Ding, C., & Cao, X. (2019). How does the built environment at residential and work locations affect
car ownership? An application of cross-classified multilevel model. Journal of Transport
Geography, 75, 37–45.
Ding, C., Wang, D., Liu, C., Zhang, Y., & Yang, J. (2017). Exploring the influence of built environment
on travel mode choice considering the mediating effects of car ownership and travel distance.
Transportation Research Part A: Policy and Practice, 100, 65–80.
Edy, C. W. (2018). Kota Semarang Ternyata Masuk 10 Kota Termacet di Indonesia. Tribun Jateng.
Retrieved from http://jateng.tribunnews.com/2018/02/26/kota-semarang-ternyata-masuk-10-
kota-termacet-di-indonesia-inilah-daftar-lengkapnya
Etminani-Ghasrodashti, R., & Ardeshiri, M. (2015). Modeling travel behavior by the structural
relationships between lifestyle, built environment and non-working trips. Transportation
Research Part A: Policy and Practice, 78, 506–518.
Feng, J. (2017). The influence of built environment on travel behavior of the elderly in urban China.
Transportation Research Part D: Transport and Environment, 52, 619–633.
https://doi.org/10.1016/j.trd.2016.11.003
Feng, J., Dijst, M., Wissink, B., & Prillwitz, J. (2017). Changing travel behaviour in urban China:
Evidence from Nanjing 2008--2011. Transport Policy, 53, 1–10.
Handy, S., Van Wee, B., & Kroesen, M. (2014). Promoting cycling for transport: research needs and
challenges. Transport Reviews, 34(1), 4–24.
Haybatollahi, M., Czepkiewicz, M., Laatikainen, T., & Kyttä, M. (2015). Neighbourhood preferences,
active travel behaviour, and built environment: An exploratory study. Transportation Research
Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 29, 57–69.
Hymel, K. (2019). If you build it, they will drive: Measuring induced demand for vehicle travel in urban
areas. Transport Policy, 76, 57–66.
Lin, T., Wang, D., & Guan, X. (2017). The built environment, travel attitude, and travel behavior:

6
Residential self-selection or residential determination? Journal of Transport Geography, 65(July
2016), 111–122. https://doi.org/10.1016/j.jtrangeo.2017.10.004
Park, K., Ewing, R., Scheer, B. C., & Tian, G. (2018). The impacts of built environment characteristics
of rail station areas on household travel behavior. Cities, 74(August), 277–283.
https://doi.org/10.1016/j.cities.2017.12.015
Roof, K., & Oleru, N. (2008). Public health: Seattle and King County’s push for the built environment.
Journal of Environmental Health, 71(1), 24–27.
Sudaryono. (2017). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Susanto, J. (2017). Kualitas Udara Semarang Diambang Batas. Radar Semarang. Retrieved from
https://radarsemarang.jawapos.com/2017/11/11/kualitas-udara-semarang-diambang-batas/
van Wee, B., & Ettema, D. (2016). Travel behaviour and health: A conceptual model and research
agenda. Journal of Transport & Health, 3(3), 240–248.

Anda mungkin juga menyukai