Anda di halaman 1dari 16

Diagnosis dan Tatalaksana Abses Peritonsil pada Laki –laki 21 Tahun

Feby Christifani Tonapa


102016054 / C6
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
feby.fk2016054@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling seing terjadi pada bagian
kepala dan leher, gejala yang biasanya sering terjadi berupa pembengkakan diruang
leher dalam yang terlibat.biasanya kuman penyebabnya adalah Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Biasanya
tatalaksana dari abses peritonsil ini dapat insisi dan drainase abses. Jika penyakit ini
berulang maka dapat dilakukan tonsiloktomi
Kata Kunci : Abses Perintonsil, Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob
Bacteroides
Abstract

Peritonsillary abscess is the most severe infectious disease that occurs in the head
and neck, which often occurs swelling in the neck area involved. Usually the germs
that cause it are Streptococcus, Staphylococcus, Bacteroides anaerobic bacteria or
Kumangunaan. Treatment of this peritonyl abscess can be treated with incision and
drainage of the abscess. If the disease recurs, tonsilloctomy can be done

Keywords: Peritonsillary abscess, Streptococcus, Staphylococcus, Anaerobic


Bacteroides germs

Pendahuluan
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar.
Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil
terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah

1
satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses,
dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor
faring. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang
leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan
Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran
Abses peritonsil memiliki angka kejadian yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan
komplikasi yang fatal, seperti dapat meluas ke daerah parafaring, daerah intrakranial
dan bila abses tersebut pecah spontan bisa terjadi perdarahan serta terjadinya
mediastinitis yang dapat menimbulkan kematian. Hal ini bisa terjadi bila penanganan
yang tidak tepat dan terlambat

Anatomi
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut
yaitu tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s
tonsil).Tonsil palatina adalah suatu masa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus)
dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5
cm, masing masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Permukaan sebelah dalam tonsil atau permukaan yang bebas, tertutup oleh
membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas
ke dalam kantung atau kripta yang membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh
fosa tonsil, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsil. Bagian
luar tonsil terikat
longgar pada m.konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali menelan.
Muskulus palatoglosus dan m.palatofaringeus juga menekan tonsil. Tonsil terletak
dilateral orofaring, dibatasi oleh:1
 Lateral : m.konstriktor faring superior
 Anterior : m.palatoglosus
 Posterior : m.palatofaringeus
 Superior : palatum mole

2
 Inferior : tonsil lingual
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi oleh
otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah muskulus palatoglosus atau disebut
pilar posterior, batas lateral atau dinding luarnya adalah muskulus konstriktor faring
superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari
palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal
yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah
bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-
hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di
bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di
pangkal lidah dan dinding lateral faring.1
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang
disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi
para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5
bagian tonsil. Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim.
Trabekula ini mengandung pembuluh darah, saraf-saraf dan pembuluh eferen.
Kriptus Tonsil
Kriptus tonsil berbentuk saluran yang tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam
jaringan tonsil. Umumnya terdiri dari 8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan
beberapa kriptus. Permukaan kriptus ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel
permukaan medial tonsil. Saluran kriptus ke arah luar, biasanya bertambah luas. Pada
fosa supratonsil, kriptus meluas kearah bawah dan luar, maka fosa ini dianggap pula
sebagai kriptus yang besar. Hal ini membuktikan adanya sisa perkembangan berasal
dari kantong brakial ke II. Secara klinik terlihat bahwa kriptus merupakan sumber
infeksi, baik lokal maupun sistemik karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang
terlepas dan kuman.
Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.

3
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya
pangkal lidah. Kadang-kadang plika triangularis membentuk
suatu kantong atau saluran buntu. Keadaan ini dapat merupakan sumber infeksi lokal
maupun umum karena kantong tersebut terisi sisa makanan atau kumpulan debris.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu:
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden.
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh
arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri
palatina desenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m.konstriktor
superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina
asenden, mengirimkan cabang-cabang melalui m.konstriktor superior melalui tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar
m.konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirimkan
cabangnya ke tonsil, pilar
anterior, dan pilar posterior. Arteri palatina desenden atau arteri palatina minor atau
arteri palatina posterior memperdarahi tonsil dan palatum mole dari atas dan
membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui
pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faring. Perdarahan
adenoid berasal dari cabang-cabang arteri maksila interna. Disamping memperdarahi
adenoid pembuluh darah ini juga memperdarahi sinus sphenoid.
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah m.sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar torak dan akhirnya menuju duktus torasikus. Infeksi dapat
menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Tonsil hanya
mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen
tidak ada.1

4
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V (nervus trigeminus)
melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf ke IX (nervus
glosofaringeus).
Ruang Peritonsil
Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun secara anatomi
terletak di antara fasia leher dalam. Ruang peritonsil merupakan salah satu dari ruang
leher dalam, membagi ruang leher dalam menjadi:
(1) Ruang yang mencakup seluruh panjang leher Ruang retrofiring, Ruang
bahaya, Ruang vaskular viseral
(2) Ruang yang terbatas pada sebelah atas os hyoid; Ruang faringomaksila, Ruang
submandibular, Ruang parotis, Ruang masticator, Ruang peritonsil, Ruang
temporal
(3) Ruang yang terbatas pada sebelah bawah os hioid
- Ruang viseral anterior
Dinding medial ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang terbentuk dari fasia
faringo-basilar dan menutupi bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang peritonsil
dibentuk oleh serabut horizontal otot konstriktor superior dan serabut vertikal otot
palatofaringeal. Pada sepertiga bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-serabut
otot palatofaringeal meninggalkan dinding lateral dan meluas secara horizontal
menyeberangi ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul tonsil. Hubungan ini
disebut ligamen triangular atau ikatan tonsilofaring. Batas-batas superior, inferior,
anterior dan posterior ruang peritonsil ini juga dibentuk oleh pilar-pilar anterior dan
posterior tonsil.
Anamnesis
Wawancara yang baik seringkali dapat mengarahkan masalah pasien ke
diagnosis penyakit tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien
disebut anamnesis. Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga,
anamnesis berdasarkan sistem organ dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan
sosialekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, dan lingkungan).5
Hasil anamnesis didapatkan pasien laki-laki berusia 25 tahun datang dengan
keluhan nyeri menelan sejak 1 minggua yang lalu, di lokasi nyeri pada tenggorokan

5
sisi kiri dan memberat sejak 2 hari yang lalu, sakit menjalar ke kanan dan disertai
demam. Didapatkan juga trisus dan timbul bengkak pada leher bagian kiri.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-
temuan dalam anamnesis. Dimulai dengan melihat kesadaran keadaan umum. Lalu
dilakukan teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda- tanda vital ( Suhu,
Tekanan Darah, frekuensi nadi dan pernapasan). Dilakukan pemeriksaan fisik pada
bagian hidung, telinga dan tenggorok.
Dari hasil pemeriksaan di dapatkan pasiem demam tenggorokan sulit di buka dan
trismus 2 jari, palatum mole membengkak kearah kiri dan menonjol ke depan. Tonsil
kiri terjadi pembesaran T2, tonsil kanan normal dan ada nyeri menjalar ke telinga kiri.
1

Pemeriksaan Penunjang2
Indeks kecurigaan yang tinggi penting ketika mendiagnosis infeksi ruang leher
dalam. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat (lihat Clinical) sangat penting
untuk pemeriksaan. Selain itu, tes, termasuk yang berikut, mungkin berguna dalam
pemeriksaan pasien yang diduga memiliki infeksi ruang leher dalam:
1. Jumlah sel darah lengkap (complete blood count)

2. Biakan abses dengan pewarnaan Gram (penting untuk terapi antimikroba langsung)

3. CT scan dengan kontras adalah gold standard dalam evaluasi infeksi leher dalam.
CT scan menunjukkan lokasi, batas, dan hubungan infeksi dengan struktur
neurovaskular di sekitarnya. Abses terlihat sebagai lesi berdensitas rendah dengan rim
enhancement, air fluid level, dan lokasi. CT scan cepat, relatif murah, dan cukup
banyak tersedia saat ini. Pemindaian CT pada thorax bermanfaat jika diduga ada
ekstensi ke mediastinum. CT scan dengan kontras adalah 95% sensitif dan 53%
spesifik untuk membedakan pengumpulan cairan yang dapat mengalir. Ketika temuan
CT dikombinasikan dengan temuan pemeriksaan klinis, sensitivitas tetap sekitar 95%,
tetapi spesifisitas meningkat menjadi sekitar 80%.

4. MRI: Karena meningkatnya waktu dan biaya untuk memperoleh hasil MRI, MRI
bukanlah modalitas awal pilihan. Namun, ketika diperoleh, pemindaian MRI dapat

6
memberikan resolusi jaringan lunak yang sangat baik untuk membantu melokalisasi
wilayah keterlibatan.

5. Ultrasonografi: Ultrasonografi tidak mengungkapkan rincian anatomi tetapi dapat


membantu membedakan antara dahak dan abses, memberikan informasi tentang
kondisi pembuluh darah di sekitarnya, dan membimbing upaya aspirasi jarum halus
(FNA).

Differential Diagnosis3

Tonsilitis Akut
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu: tonsil faringeal, tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba
eustachius. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman.
Tonsilitis viral menyerupai common cold yang disertai nyeri tenggorok. Penyebab
yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Sedangkan tonsilitis bakterial paling
sering disebabkan oleh kuman grup A Strptococcus beta hemolitikus.
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, lesu,
nyeri sendi, tidak nafsu makan dan otalgia. Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih
(referred pain) melalui n. Glossofaringeus (n IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup
oleh membran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Faringitis Akut
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh
virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dll. Virus dan bakteri
melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi bakteri
grup A Streptococcus beta hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan
demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut. Penularan infeksi
melalui sekret hidung dan ludah (droplet infection). Gejala dan tanda faringitis adalah
demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan
tonsil dan faring hiperemis. Pada faringitis bakteri tonsil membesar dan terdapat

7
eksudat di permukaannya serta dapat timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring.

Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal
ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa,
masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran
limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius, dan telingan
tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Keadaan yang
dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi saluran napas
atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang faring
oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea dan endoskopi. (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas.
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak
kekcil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan
atau minum. Juga terdapat demam, kaku leher, dan nyeri. Dapat timbul sesak napas
karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut
sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan abses juga mengganggu
resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring
tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas
bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto
rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang
retrofaring lebih dari 7 m pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari
14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat
terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
Abses Parafaring
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara (1) langsung, yaitu akibat
tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. (2) Proses
supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring. (3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil,
retrofaring atau submandibula. Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau

8
pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan
dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial.
Working Diagnosis
Abses peritonsiler kiri.
Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan
anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita.
Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan
tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Untuk mengetahui
jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok.
Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk
perencanaan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan
karena adanya trismus. Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba
fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong ke arah
tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra lateral. Gejala lain untuk
diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya. Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal
hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan
radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer. Saat ini
ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan
mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang
diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral
hypoechoic. Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam
seluruh abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer.
Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil
serta menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan
kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil
di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi komputer.
pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam mengevaluasi abses
peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi dapat
membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil

Epidemiologi
Abses peritonsil kira-kira 30% dari abses leher dalam,4 sekalipun sudah di era
antibiotika, abses peritonsil masih sering ditemukan dengan jumlah yang menurun
menjadi 18% di United Kingdom dalam sepuluh tahun terahir ini.1 Tonsilitis banyak

9
ditemukan pada anak-anak, sedangkan abses peritonsil sering mengenai orang dewasa
pada usia 20 sampai 40 tahun. Pada anak jarang terjadi, kecuali pada anak dengan
gangguan penyakit kekebalan tubuh.5 Abses peritonsil umumnya terjadi akibat
komplikasi tonsilitis akut , dikatakan bahwa abses peritonsil merupakan salah satu
komplikasi umum dari tonsilitis akut, pada penelitian di seluruh dunia dilaporkan
insidens abses peritonsil ditemukan 10 -37 per 100.000 orang. Di Amerika dilaporkan
30 kasus per 100 orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun. Data yang akurat
secara internasional belum dilaporkan. Biasanya unilateral, bilateral jarang
ditemukan. Yang Lin melaporkan sebuah kasus bilateral abses peritonsil. Usia
bervariasi paling tinggi pada usia 15-35 tahun, tidak ada perberdaan antara laki-laki
dan perempuan.4 Marom, et al melakukan studi pada 427 pasien dengan abses
peritonsil, dikatakan bahwa karakteristik abses peritonsil berubah, dikatakan penyakit
ini lebih lama dan lebih buruk, dan faktor merokok mungkin merupakan faktor
predisposisi.4
Etiologi
Abses peritonsil biasanya terjadi akibat komplikasi dari tonsillitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mucus Weber dikutub atas tonsil. 3 Dilaporkan bahwa
penyakit gigi juga dapat memegang peranan dalam etiologi abses peritonsil. Fried dan
Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses peritonsil mengalami
peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan tonsilitis rekuren.1 Abses
peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah
Streptococcus pyogene (Group A beta-hemolitic streptococcus) sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsil
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerob dan anaerob. Kuman
aerob: Grup A beta-hemolitik streptococci (GABHS) Group B, C, G streptococcus,
Hemophilus influenza (type b and nontypeable) Staphylococcus aureus, Haemophilus
parainfluenzae, Neisseria species. Mycobacteria sp. Kuman Anaerob: Fusobacterium
Peptostreptococcuse, Streptococcus sp. Bacteroides.4

Patofisiologi
Dua tonsil palatine berada di fossa tonsilaris, Masing-masing tonsil dikelilingi oleh
kapsul, yang menutupi bagian medial tonsil dan menyediakan jalur bagi pembuluh
darah dan saraf. Infeksi memasuki kapsul tonsil sehingga terjadi peritonsilitis dan

10
kemudian terjadi pembentukan nanah.8 Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris
merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial
peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak.7 Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun
jarang.7 Abses peritonsillar biasanya berkembang dari tonsilitis ke selulitis dan
akhirnya ke pembentukan abses. Kelenjar Weber yang terletak diatas tonsil dianggap
juga memainkan peran kunci dalam etiologi infeksi. Kelenjar ludah lendir ini terletak
lebih unggul dari tonsil di langit-langit lunak dan membersihkan daerah reruntuhan
tonsil. Jika kelenjar ini meradang, selulitis lokal berkembang. Ketika infeksi berlanjut,
peradangan memburuk dan mengakibatkan nekrosis jaringan dan pembentukan nanah,
paling sering tepat di atas kutub superior tonsil tempat kelenjar berada. Klug et al,
mengutip bukti abses peritonsillar sebagai komplikasi tonsilitis akut dan sebagai
konsekuensi dari infeksi kelenjar Weber, berhipotesis bahwa abses peritonsillar
berkembang ketika bakteri menginfeksi mukosa tonsil dan kemudian, menggunakan
sistem saluran saliva, menyebar ke ruang peritonsillar.7 Pada stadium permulaan
(stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis.
Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak
dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil
ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral. Bila
proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi
pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus.4,6

Manifestasi Klinis
Nyeri tenggorok yang sangat (Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol, nyeri
sangat terasa pada sisi yang terkena dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk
makan (disfagia) bahkan menelan ludah. Pasien sering mengalami dehidrasi sekunder
akibat asupan oral yang kurang. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga
terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar.1 Keluhan lainnya berupa
mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga
(otalgia). Trismus muncul sekunder akibat iritasi otot pterigoideus. Limfadenopati
servikal anterior ipsilateral sering muncul. Apabila Demam lebih dari 39,4 °C harus
dicurigai adanya perluasan ke parafaring dan sepsis.8 Pemeriksaan fisik kadang-
kadang sukar dilakukan, karena adanya trismus. Perubahan suara sering terjadi (suara
kentang panas/ hot potato voice) yang disebabkan oleh insufisiensi velopharyngeal

11
sementara dan resonansi mulut yang tertahan. Demam hanya ditemukan sebanyak
25% kasus yang dilakukan oleh Sowerby, dan kawan kawan. Palatum mole tampak
membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus
dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah.4 Palpasi digital untuk menentukan
lokasi yang fluktuatif kadang dapat dilakukan, dan mungkin cara terbaik untuk
membedakan abses dari selulitis/infiltrat.8

Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan yang
kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru atau
pyemia, penjalaran infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring, pada penjalaran selanjutnya ke daerah mediastinum, sehingga terjadi
mediastinis.4,6 Penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus
kavemosus, meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan
baik akan menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang
mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis
juga pernah ditemukan. Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi.
Keterlibatan ruang-ruang faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil
mungkin memerlukan drainase dari luar melalui segitiga submandibular.4,6

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat, untuk mencegah obstruksi
pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parafaring dan mediastinum dan
basis kranii. peritonsil, setelah dibuat diagnosis abses peritonsil, segera dilakukan
aspirasi kemudian insisi abses dan drainase.4 Terdapat perdebatan para ahli dalam
penatalaksanan abses peritonsil, mulai dari yang cukup hanya dilakukan aspirasi satu
kali, aspirasi beberapa kali, insisi dan tonsilektomi.8 Gold standard adalah insisi dan
drainase abses. Pus yang diambil dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi test. 4
Pasien yang diobati dengan aspirasi saja memiliki tingkat keberhasilan berkisar 85-
100%, kekambuhan paling jarang pada pasien yang dilakukan insisi dan drainase. 8
Penanganan juga meliputi, menghilangkan nyeri, dan antibiotik yang efektif
mengatasi bakteri penyebab. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi,
dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres

12
dingin pada leher.4,6 Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur
mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of chioce” pada
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan
metronidazole. Metronidazole merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi
anaerob.4
Tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk dengan menggunakan anestesi lokal.
Pertama faring disemprot dengan anestesi topikal. 1 Kemudian 2 cc Xilocain dengan
adrenalin 1/100,000 disuntikkan. Dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk
memeastikan ada pus, kemudian pisau tonsil no 12 atau no 11 dengan plester untuk
mencegah penetrasi yang dalam yang digunakan untuk membuat insisi melalui
mukosa dan submukosa dakat kutub atas fosa tonsilaris. Lokasi insisi biasanya dapat
diidentifikasi jika dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif dan paling menonjol
atau pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar
uvula dengan molar terakhir pada sisi yang sakit, atau dapat juga pada pertengahan
garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas. Hemostat tumpul
dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsil
sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan.4
Jika terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesia (lokal),
dengan menyuntikkan xylocain atau novocain 1% di ganglion sfenopalatinum.
Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dari konka media. Ganglion
sfenopalatinum mempunyai cabang n. palatina anterior, media dan posterior yang
mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas tonsil. Daerah
yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang palatine m. trigeminus
yang melewati ganglion sfenopalatinum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi
tonsilektomi Bila tonsilektomi dilakukan bersama-sama dengan tindakan drainase
abses maka disebut tonsilektomi “a chaud”, bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari
sesudah darinase abses disebut tonsilektomi “ a tiede” dan bila tonsilektomi dilakukan
4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “ a froid”. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase
abses.4
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis

13
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.4

Prognosis
Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan penanganan yang
kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi penyembuhan. Dalam jumlah
kecil, diperlukan tonsilektomi beberapa lama kemudian. Bila pasien tetap mengeluh
sakit tenggorok setelah insisi abses, maka tonsilektomi menjadi indikasi.
Kekambuhan abses peritonsil pada usia lebih muda dari 30 tahun lebih tinggi terjadi,
demikian juga bila sebelumnya menderita tonsilitis sebelumnya sampai 5 episode.4

Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Telinga hidung
tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. FKUI.

2. Murray AD. Deep neck infection. Medscape. 2018 April. Diunduh dari
emedicine.medscape.com/article/837048-overview#a11

3. Conrad DE, Parikh SR. Deep Neck Infections. Infect Disord Drug Targets.
2012 Feb 17.

4. Marbun EM. Diagnosis, tatalaksana dan komplikasi abses peritonsil.


J.KedoktMeditek. 2016;22(60):42-6.
5. Brook I. Pediatric peritonsillar abscess. Emedicine.medscape.com. 2016 [cited
24 Maret 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/970260-overview#a6
6. Fachruddin D. Telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher: abses leher
dalam. Ed 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
7. Flores J. Peritonsillar abscess in emergency medicine.
Emedicine.medscape.com. 2018 [cited 24 Maret 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/764188-overview#a6
8. Rahman S. Emergensi di bidang telinga hidung tenggorok: Diagnosis dan
penatalaksanan abses leher dalam. Padang: FK UNAND; 2013

14
15
16

Anda mungkin juga menyukai