PPKN Otonomi Daerah
PPKN Otonomi Daerah
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Kelompok untuk memenuhi mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam penulisan karya tulis ini penulis membahas tentang “ Permasalahan Dalam
Otonomi Daerah ” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah
Kewarganegaraan, Program Studi Teknik Elektronika D3, Jurusan Teknik
Elektronika, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya.
Dengan menyelesaikan karya tulis ini ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan.
Namun penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca
yang sifatnya membangun untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang
akan datang sehingga menjadi lebih baik lagi. Semoga karya tulis ini bisa
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
PENDAHULUAN
Memang harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau
harapan tentu akan berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan juga berjalan baik. Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya
mulai terlihat dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak
permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai.
Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 2 yaitu, tujuan umum dan khusus:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
• Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan
dengan penulisan karya tulis ini
PEMBAHASAN
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar
dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan
sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan
semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah
akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan
daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana
yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan.
Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang
statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di
samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik
dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola
tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan
pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan
sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi
pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis
modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena
ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu
tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah
daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya.
Pemerintah daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat.
Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan retribusi yang harus
dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta,
bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda
DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi
Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang
pungutan terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label
tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena
tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai
bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan
spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya
kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan
timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses
pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga
sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara
bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas
yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga
kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari
dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah
setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup
para pejabat publik itu?
Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
Modus :
Modus :
5. Bantuan fiktif
Modus :
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu
nihil.
Modus :
PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara
lain:
DAFTAR PUSTAKA
Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi, kerjasama LAN – Depdagri.