Anda di halaman 1dari 12

RENCANA PENYEDIAAN FASILITAS TERHADAP PEDAGANG

KAKI LIMA STASIUN PONDOK CINA

Oleh :
Dinda Jesika
22316096

TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBARAN PENGESAHAN
ABSTRAK …………………..…………………………………………………….…..….iii

KATA PENGANTAR …………..……………………………………………………... ..iv

DAFTAR ISI ………………..…………………………………….……………….….... ..v

BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang …….………………………………………………………….…..…. 1

1.2.Rumusan Masalah…..………….…………………………………………………..… 2

1.3.Tujuan Penulisan…..….………………….…………………….…...……….….……. 2

1.4.Lingkup Penelitian...…………………………………………………………………...2

1.5.Manfaat dan signifikasi………………………………………………………………. 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Teori Hukum….…...…………………………………..…………………………...… 6

2.2. Asas Hukum……………...………………….………………………….…..……...… 7

2.3. Landasan Hukum…………………...………..…………………..………………..….. 8

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1.
Teknik Pengambilan Data…….…………………………….……………………...….…. 12

DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tujuan untuk, mengetahui dan merencanakan sebuah fasilitas
untuk pedangang kaki lima di pintu keluar Stasiun Pondok Cina, Depok. Karena pedagang
kaki lima sering kali berjualan tanpa fasilitas yang layak dan hanya memanfaatkan badan
jalan untuk pejalan kaki atau yang biasa kenal dengan pedestrian, karena tidak adanya
fasilitas yang tepat membuat terjadinya pola sirkulasi yang buruk dan tidak teratur. Efek dari
ini ialah kemacetan, dan juga kelancaran aktifitas di area tersebut yang tergaanggu.

Penelitian ini dibuat dengan harapan untuk mencari solusi dalam menciptakan fasilitas
untuk pedagang kaki lima stasiun pondok cina dan mengurangi dampak negatif dari sirkulasi
tersebut, dan membantu pembaca mengetahui akan standar untuk fasilitas pedagang kaki
lima. Analisis ini adalah studi dengan menggunakan observasi berupa wawancara, dan juga
survey secara langsung.

Hasil dari penelitian ini ialah untuk merencanakan penyediaan fasilitas pedagang kaki
lima, dan sekaligus mengetahui standar umum fasilitas untuk pedagang kaki lima yang benar
di pintu keluar Stasiun Pondok Cina, Depok.

Kata Kunci: Fasilitas untuk Pedagang Kaki Lima, Pedestrian


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stasiun Kereta Rel Listrik (disingkat KRL) adalah tempat untuk menaikkan dan
menurunkan penumpang yang menggunakan jasa transportasi KRL. KRL merupakan kereta
rel yang bergerak dengan sistem propulsi motor listrik. Di Indonesia, kereta rel listrik
terutama ditemukan di kawasan Jabotabek, dan merupakan kereta yang melayani para
komuter (lihat KRL Jabotabek).
Sirkulasi pulang dan pergi pada stasiun baik itu dengan kendaraan ataupun pejalan
kaki harus diperhatikan dengan baik sehingga menciptakan sirkulasi yang lancar, terutama
pedestrian untuk pejalan kaki yang luas dan nyaman, namun terkadang dimana ada pedestrian
disitu terdapat Pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut
penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan
(DMJ/trotoar) yang (seharusnya) diperuntukkan untuk pejalan kaki (pedestrian). Sehingga
menimbulkan kemacetan antara pejalan kaki, pkl, dan juga pengendara motor.
Contoh nyata permasalahan PKL terjadi pada stasiun Pondok Cina, hal ini terjadi
karena sirkulasi pejalan kaki, pkl, dan pengendara motor berada pada satu jalan yang sama.
Sehingga pada jam sibuk berangkat kerja ataupun pulang kerja, kemacetan jalan tidak dapat
dihindari. PKL memberikan peran besar terhadap kemacetan karena memakan banyak badan
jalan, lalu membuat pejalan kaki berhenti untuk sekedar membeli.
Dari latar belakang ini lah penulis ingin mengkaji dan menganalisa pengaruh PKL
terhadap kemacetan yang ada di jalur pedestrian di stasiun pondok cina.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang berangkat dari latar belakang diatas adalah
1. Bagaimana kondisi exsisting pedestrian dan pkl di stasiun pondok cina?
2. Bagaimana tingkat pengaruh dari pkl terhadap kemacetan di stasiun pondok cina?
3. Bagaimana fasilitas untuk pkl yang baik

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mencari tahu kondisi exisisting pedestrian dan pkl di stasiun pondok cina.
2. Untuk mengetahui tingkat pengaruh dari pkl terhadap kemacetan di stasiun pondok
Cina.
1.4 Lingkup Penelitian
Wilayah stasiun menjadi area dengan pola sirkulasi yang buruk karena menyatunya
jalur pedestrian dan juga jalur kendaraan bermotor, begitu pula pada stasiun krl jabodetabek
pondok cina.

1.5 Manfaat dan Signifikasi Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfat seperti:
1. Pemerintah
a. Diharapkan pemerintah memperhatikan tentang pentingnya fasilitas untuk
pedagang kaki lima terutama pada sirkulasi-sirkulasi tempat umum.
b. Agar pemerintah menerapkan peraturan secara resmi dan tegas tentang fasilitas
untuk pedagang kaki lima, dan juga sanksi jika terdapat penggunaan badan jalan
untuk para pelanggar.

2. Pedagang kaki lima


a. Agar para pedagang kaki lima memiliki kesadaran terhadap peraturan dan standar
yang ada dan melakukan kewajibannya, sehingga tidak menimbulkan dampak
akibat hal tersebut.
b. Agar para pedagang kaki lima dapat menerima rencana fasilitas yang sudah
diberikan oleh pemerintah guna menertibkan Kawasan badan jalan.

3. Pembaca
a. Diharapkan pembaca mendapatkan pengetahuan baru tentang peraturan dan standar
untuk fasilitas pedagang kaki lima.
b. Diharapkan pembaca menjadi lebih sadar terhadap peraturan penggunaan bahu
jalan untuk kepentingan komersil.
c. Pembaca mengaplikasikan peraturan dalam dunia nyata, dan juga peka terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Banyaknya pelanggaran mengenai penggunaan bahu jalan dan pedestrian pada pintu
keluar Stasiun Pondok Cina, Depok kadang luput dari perhatian pemerintah, dan banyaknya
masyarakat yang tak menyadari peraturan tersebut karena kurang tegasnya sanksi yang
diberikan kepada pelanggar. Banyaknya lapak pedagang kaki lima pada jalan pintu keluar
yang sebenernya diperuntukan untuk jalur pejalan kaki (Pedestrian) dan jalur kendaraan
motor beroda dua.
Pengertian pedagang kaki lima menurut Aris Ananta (1985) adalah orang-orang
golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang–barang kebutuhan sehari-hari, makanan,
atau jasa yang modalnya relatif sangat kecil, modal sendiri atau modal orang lain, baik
berjualan di tempat terlarang maupun tidak. Pedagang Kaki Lima merupakan pedagang yang
terdiri dari orang–orang yang menjual barang–barang atau jasa dari tempat–tempat
masyarakat umum, terutama di jalan–jalan atau di trotoar.
Keberadaan Pedagang Kaki Lima memberikan nilai positif berupa memberikan
kesempatan kerja yang umumnya sulit didapat pada negara– negara yang sedang
berkembang, harga yang bersaing mengingat mereka tidak dibebani pajak, dan ada sebagian
masyarakat kita lebih senang berbelanja di PKL mengingat faktor kemudahan dan barang
yang relatif lebih murah. Selain adanya manfaat positif terhadap keberadaan PKL, beberapa
permasalahan juga ditimbulkan oleh PKL antara lain:
1. Penggunaan ruang publik bukan untuk fungsi semestinya dapat membahayakan orang
lain maupun PKL itu sendiri
2. Pencemaran yang dilakukan sering diabaikan oleh PKL 3. Sebagian besar PKL tidak
mendapat perlindungan 4. Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara
pengusaha yang membayar pajak resmi dengan yang tidak membayar pajak resmi 5.
Ketiadaan perlindungan hukum menyebabkan pekerja di ekonomi informal rentan
eksploitasi baik oleh preman atau oknum PNS 6. Mobilitas sebagian PKL di satu sisi
merupakan alat survival namun di sisi lain menyulitkan upaya pemberdayaan
masyarakat

Padahal secara jelas tertuang dalam UU No 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU LLAJ) dalam Pasal 275 ayat (1) jo pasal 28 ayat (2) menjelaskan
mengenai denda bagi siapapun yang membuat gangguan pada fungsi rambu lalu lintas, Alat
pemberi isyarat lalu lintas, Marka Jalan, dan juga fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman
pengguna jalan sebesar Rp 250.000, kemudian pada UU No 38 Tahun 2004 dan PP No 34
Tahun 2006 memberikan keterangan denda sebesar 1,5 miliar atau penjara selama 18 bulan
untuk siapapun yang sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi
jalan dan trotoar. Dengan begitu apakah masih ada pedagang yang tetap melanjutkan
usahanya setelah di beri keterangan mengenai denda ataupun pidana tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo ketertiban adalah sesuatu yang dinamis. Ketertiban dan
kekacauan sama-sama ada dalam asas proses sosial yang berkesinambungan. Keduanya tidak
berseberangan, tetapi sama-sama ada dalam sati asas kehidupan sosial. Ketertiban
bersambung dengan kekacauan dan kekacauan membangun ketertiban baru, demikian
seterusnya. Dalam ketertiban ada benih-benih kekacauan, sedangkan dalam kekacauan
tersimpan bibit-bibit ketertiban. Keduanya adalah sisi-sisi dari mata uang yang sama
Berdasarkan model implementasi yang dikemukakan oleh Edward dan Van Meter Van
Horn salah satu faktor keberhasilan implementasi kebijakan adalah adanya komunikasi yang
efektif dalam pelaksanaan kebijakan. Komunikasi yang dimaksud yaitu komunikasi yang
terjadi antar organisasi pelaksana maupun antara organisasi pelaksana dengan masyarakat
sebagai penerima kebijakan. Dalam penelitian ini penulis hanya menyoroti komunikasi antara
organisasi pelaksana kepada masyarakat sebagai obyek dan subyek dari implementasi
kebijakan yang dalam komunikasi itu dapat diartikan sebagai sosialisasi. Jadi sosialisasi
merupakan salah satu cara untuk menyampaikan informasi tentang suatu program atau
kebijakan yang akan dilaksanakan pada masyarakat. Jadi dari variabel komunikasi tersebut
penulis pilih untuk diturunkan menjadi variabel sosialisasi.
Menurut Sabitier dan Mazmanian dengan Anderson variabel yang mempengaruhi
proses implementasi yaitu dukungan atau kesadaran dari masyarakat penerima program.
Implementasi akan berhasil jika mendapat dukungan penuh dari masyarakat untuk
memperoleh dukungan tersebut perlu ditumbuhkan kesadaran dalam masyarakat mengenai
arti penting dan manfaat langsung yang diterima masyarakat dari implementasi kebijakan
tersebut supaya mereka memberikan dukungannya terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sosialisasi berkaitan dengan kegiatan penyampaian informasi khususnya yang dilakukan
Oleh karena itu masyarakat perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan program tersebut
supaya masyarakat dapat meresponya dengan baik. Begitu juga yang terjadi dalam program
relokasi pedagang, apakah karena kurang efektif dalam menyampaikan informasi tentang
program yang menyebabkan pelaksanaan program mengalami hambatan. Dalam penelitian
ini kegiatan sosialisasi yang dilakukan aparat dari pihak kecamatan kepada para PKL adalah
dengan melalui operasi yustisi dan memasang tanda larangan untuk tidak menggelar
dagangannya ditempat-tempat yang dilarang. Soekanto (1986:112 ) mendefinisikan
kesadaran masyarakat sebagai berikut ”Kesadaran masyarakat merupakan kesadaran manusia
dan tindak lain terhadapnya dan terhadap berbagai jenis perilaku hal ini mencakup pengakuan
terhadap fakta bahwa pihak lain bereaksi terhadap obyek dan situasi yang sama serta dengan
perbedaan atau persamaan antara reaksi mereka dan reaksinya”. Penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa tahap-tahap pengembangan kesadaran dapat dimengerti sebagai
perubahan tingkah laku yang berkembang dan selalu dinamis. Kesadaran yang tinggi sangat
diperlukan dalam keberhasilan implementasi program relokasi pedagang kaki lima ini
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pedagang sehingga dapat mengurangi angka
kemiskinan.

2.1. Teori Hukum


3. Teori Penegakan Hukum
Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law enforcement), diartikan sebagai
“the act of putting something such as a law into effect; the execution of a law; the carrying
out of a mandate or command”. Penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan
norma-norma dan kaidah-kaidah hukum dan juga nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat
penegak hukum seharusnya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari
peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam
proses pembuatan perundang-undangan (law making process).

4. Teori Efektifitas Hukum


Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau
tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri
(undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Menurut Mochtar Koesoemaatmadja bahwa tujuan pokok penerapan hokum apabila hendak
direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan
merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya mesyarakat yang teratur ; di samping itu
tujuan lainnya adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,menurut
masyarakat pada zamannya.

2.2. Asas Hukum


Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara hukum.
Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam menertibkan pedagang kaki lima yang
berjualan di sembarang tempat khususnya di Jalan Jendral Ahmad Yani (sekitar pengkolan)
harus berlandaskan dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian
hukum bagi upaya penegakan Peraturan Daerah mengenai K3 (Keindahan, Kebersihan, dan
Ketertiban Umum) yang sekaligus berhubungan dengan penataan ruang kota di Kabupaten
Garut.
Dasar Hukum itu dilandasi oleh asas penataan ruang sebagaimana disebutkan dalam UU No.
26 Tahun 2007 tentang penataan ruang :
1. Asas Keterpaduan
Asas Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan
berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku
kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
2. Asas Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan
Asas Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang,
keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingungannya, keseimbangan pertumbuhan dan
perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan.
3. Asas Keberlanjutan
Asas Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin
kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tamping lingkungan dengan
memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
4. Asas Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan
Asas Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan adalah bahwa penataan ruang
disellenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung
di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas..
5. Asas Keterbukaan
Asas Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses
yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan
penataan ruang.
6. Asas Kebersamaan dan Kemitraan
Asas Kebersamaan dan Kemitraan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
7. Asas Perlindungan Kepentingan Hukum
Asas Perlindungan Kepentingan Hukum adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
8. Asas Kepastian Hukum dan Keadilan
Asas Kepaastian Hukum dan Keadilan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang
dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan
kewajiban semua pihak secara adli dengan jaminan kepastian hukum.
9. Asas Akuntabilitas
Asas Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaanya.

2.3. Landasan Hukum


a. Pasal 33 UUD 1945 :
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.

b. Pasal 1 angka 1 UU No. 26 Tahun 2007


Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

c. Pasal 1 (30) UU No. 26 Tahun 2007


Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap
ekonomi, sosial, budaya,dan/atau lingkungan.

d. Pasal 11 (1) dan (2) UU No. 26 Tahun 2007


(1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi :
a) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;
b) pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c) pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d) kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota

(2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang


wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a) perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b) pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c) pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

e. Pasal 28 huruf c UU No. 26 Tahun 2007


Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota,
dengan ketentuan selain rincian dalam Pasal 26 ayat (1) ditambahkan :

Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan
umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk
menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat
pertumbuhan wilayah.

f. Pasal 3 (5) Peraturan Daerah No 2 Tahun 1988


Setiap pedagang keliling, kaki ima, penjual makanan yang menimbulkan sampah diwaibkan
menyediakan tempat sampah sendiri dan atau membuang sampah pada bak sampah yang
telah tersedia dan melarang membuang sampah ke kali atau selokan

g. Pasal 7 huruf a Peraturan Daerah No. 2 Tahun 1988


Pada jalan, jalur hijau, trotoar dan taman dilarang : Mengotori dan merusak jalan, jalur hijau,
trotoar dan taman dan tempat umumlainnya kecuali untuk kepentingan dinas.

h. Pasal 15 (8) dan (9) Peraturan Daerah no 2 Tahun 1988


(8) Setiap orang dilarang untuk berjualan selain pada lokasi yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah.
(9) Setiap orang dilarang berjualan di atas trotoar.

BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang dilaksanakan di lapangan (field
research). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-
lain. Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial
dengan lebih menitik-beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji.
Harapannya ialah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena dikaji. Penelitian
kualitatif ini dilaksanakan untuk menganalisis ketaatan hukum para pedagang kaki lima
terhadap peraturan daerah tentang pedagang kaki lima dan upaya penegakan hukum peraturan
daerah tersebut.
Dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan observasi lapangan langsung,
wawancara dan pemberian kuisioner pada pengguna aktif yang melewati jalur keluar Stasiun
Pondok Cina, Depok. Jumlah responden kuisioner ialah 250 orang, dengan rincian 100
pejalan kaki, 100 pengguna motor, dan 50 pedagang kaki lima yang disebarkan.
Jika data sudah terkumpul, tahap selanjutnya ialah analisis data untuk mengetahui
nilai presepsi dari para pengguna dengan metode nilai rata-rata.

DAFTAR PUSTAKA

Satjipto Rahardjo. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Gramedia. Hal. 85
Aris Ananta. 2000. Ekonomi Sumber Daya Manusia, Jakarta: LPFE UI. Hal. 37
7 Kartini Kartono et all, 1990, Pedagang Kaki Lima, Bandung: Universitas Pharayangan. Hal.
66

Anda mungkin juga menyukai