Kasus III
Disusun oleh :
Kelompok I
Jurusan Farmasi
Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2019
KONSELING FARMASIS KEPADA PASIEN PEDIATRI
I. JUDUL
Konseling Farmasis kepada Pasien Pediatri.
II. TUJUAN
1. Mampu berkomunikasi secara efektif dan etis dengan pasien untuk dapat membangun
hubungan kepercayaan pasien maupun keluarga pasien dengan apoteker.
2. Memberikan infomasi terkait penggunaan obat dan aturan pakai kepada pasien
pediatri.
3. Memberikan konseling farmasi kepada pasien pediatri tentang indikasi, aturan pakai,
kontraindikasi, interaksi, efek samping dan hal yang perlu dihindari.
III. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH
Menurut Permenkes No. 73 Tahun 2016, konseling adalah suatu proses komunikasi
dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan
memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Apoteker harus
memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan
lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan
terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau
perbekalan kesehatan lainnya (Depkes RI, 2016).
Konseling adalah suatu kegiatan bertemu dan berdiskusi antara orang
yangmembutuhkan (klien) dan orang yang memberikan (konselor) dukungan
dandorongan sedemikian rupa sehingga klien memperoleh keyakinan akan
kemampuannya dalam pemecahan masalah (Depkes RI, 2006). Dalam proses konseling,
empat langkah yang tidak boleh ditinggalkan dan diabaikan (harus dilakukan) oleh
seorang konselor adalah menjalin hubungan dengan konseling, penilaian terhadap
masalah yang terjadi pada konseling (assesmen), pengembangan instrument/ penggunaan
tehnik-tehnik konseling dan mengakhiri konseling (terminasi). Dikatakan bahwa,
"Membina hubungan dalam proses konseling sangatlah penting sebagai langkah awal".
Dikatakan juga bahwa, "Diantara tujuan assesmen adalah memungkinkan konselor
membuat diagnosis yang akurat". Dikatakan juga bahwa, "Sebagai bagian dari assesmen
perlu untuk ditetapkan apa yang akan menjadi sasaran konseling dan sesuai dengan
sasaran tersebut, bagaimana strategi dan terminasinya". Namun dalam kenyataannya,
proses konseling tidak semulus yang diharapkan sesuai dengan keinginan konselor dan
konseling. Dalam contoh kasus proses konseling yang kurang berhasil, perlu diadakan
rencana tindak lanjut untuk mencapai harapan tersebut (Depkes RI, 2006).
Konseling kepada pediatri berbeda dengan konseling obat pada orang dewasa karena
perbedaan karakteristik. Karena pasien pediatri mempunyai parameter farmakokinetik
yang berbeda dengan orang dewasa. Penurunan kemampuan mereka menanggulangi
penyakit atau efek samping obat disebabkan kondisi fisiologik yang berkaitan dengan
pertumbuhan anak dan perbedaan efek obat yang khas pada kelompok umur mereka
(Siregar, 2006).
Proses konseling bisa dilakukan mulai dari anak-anak, remaja, dewasa dini, sampai
dewasa lanjut. Anak biasanya menghindari emosi yang tidak menyenangkan,
dan cenderung untuk menekan perasaan itu. Agar hubungan dalam proses konseling
efektif, anak harus merasa diterima oleh konselor dengan cara yang sama dengan anak,
bagaimana ia juga menerima dirinya (Mintarsih, 2013). Memberikan konseling pada
anak tidak bisa disamakan seperti memberikan konseling pada orang dewasa. Orang
dewasa mudah untuk diajak duduk bersama membicarakan permasalahan yang
menimpanya. Sedangkan, anak akan cepat bosan jika disuruh berdiam diri beberapa
saat untuk menjawab pertanyaan konselor, bisa juga terjadi suasana menghindari
untuk mengemukakan penyebab masalah yang timbul pada dirinya. Pada saat
melakukan proses konseling pada anak, konselor harus mampu melibatkan diri
berkomunikasi verbal maupun non verbal dengan anak-anak. Selain itu, konselor juga
harus dapat memahami sifat, tujuan, penggunaan media dan ide kreatif dalam
memberikan konseling pada anak agar tujuan tercapai. Pencapaian tujuan tidak hanya
bergantung pada konselor tetapi juga membutuhkan peran keluarga dalam proses
konseling. Konselor harus memahami apa tujuan orangtua untuk memberikan konseling
pada anak, sehingga tujuan konseling bisa terfokuskan dalam proses terapi (Mintarsih,
2013).
Dibutuhkan teknik dan cara yang berbeda dalam menerapkan komunikasi terapeutik
terhadap pasien anak. Apoteker tidak hanya berinteraksi dengan pasien anak saja
melainkan juga dengan orang tua/ keluarga pasien. Orang tua dari pasien anak
merupakan pendamping, apoteker bisa mendapatkan banyak informasi tentang pasien
anak dari pendampingnya juga. Seperti yang sudah dijelaskan pasien anak merupakan
individu yang unik, dalam melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien anak
dibutuhkan teknik yang cukup berbeda. Cara yang perlu diterapkan saat melakukan
komunikasi terapeutik dengan pasien anak, antara lain :
1. Nada suara, diharapkan apoteker dapat berbicara dengan nada suara yang rendah
dan lambat, agar pasien anak jauh lebih mengerti apa yang ditanyakan oleh
apoteker.
2. Mengalihkan aktivitas, pasien anak yang terkadang hiperaktif lebih menyukai
aktivitas yang ia sukai, sehingga apoteker perlu mengalihkan perhatiannya dengan
mainan agar ia dapat menjawab pertanyaan apoteker.
3. Jarak interaksi, diharapkan apoteker dapat mempertahankan jarak yang aman saat
berinteraksi dengan pasien anak.
4. Kontak mata, diharapkan apoteker dapat mengurangi kontak mata saat mendapat
respon dari pasien anak yang kurang baik, dan kembali melakukan kontak mata
saat kira-kira pasien anak sudah dapat mengontrol perilakunya.
5. Sentuhan, jangan pernah menyentuh anak tanpa izin dari pasien anak.
(Mundakir, 2005).
Melalui orangtua ataupun keluarga apoteker dapat memperoleh informasi lebih
mengenai pasien anak. Selain itu juga apoteker dapat meminta bantuan peran orangtua
atau keluarga dalam menghadapi dan mengawasi anak untuk minum obat. Dalam
berkomunikasi dengan orangtua atau keluarga, apoteker dapat melakukannya dengan
menggunakan langkah-langkah seperti :
1. Mendorong orangtua untuk berbicara tentang mengenai informasi tentang faktor
kehidupan dari pasien anak, diharapakan apoteker dapat bisa mendorong orangtua
pasien anak untuk berbicara mengenai kondisi kesehatan anaknya sebenarnya.
2. Mengarahkan pada pokok permasalahan, apoteker berusaha untuk dapat
mengarahkan pembicaraan saat berkomunikasi dengan orangtua pasien kearah
pokok permasalahan.
3. Mendengarkan, seperti yang telah dijelaskan dalam teknik dasar komunikasi
terapeutik itu sendiri dimana mendengarkan merupakan unsur yang paling penting
dalam mencapai komunikasi yang efektif.
4. Bersikap empati, perlu dilakukan dimana apoteker ikut merasakan perasaan orang
tua pasien, bukan menunjukkan rasa kasihan atas apa yang dialami dan dirasakan
oleh orang tua pasien.
5. Meyakinkan, saat apoteker ingin berusaha untuk meyakinkan orangtua pasien,
hindarkan pembicaraan yang menyinggung harga diri sebagai orangtua.
6. Memecahkan masalah, pemahaman dan pengenalan masalah harus disepakati oleh
orangtua kemudian mulai merencanakan pemecahannya.
(Mundakir, 2005)
Perumusan Masalah
dr. J.H
SIP No. XXX/456/D/VII.89/1999
Jl. Privet Drive No. 17, Purwokerto, (0281) 555555
Jam Praktek : 17.00 – 20.00 WIB
R/ Amoxsan syr fl 1
S 3dd C 1
Pro : Mince
Umur : 2 tahun
Ibu raminten datang ke apotek untuk menebus resep bagi anaknya, Mince 2 th.
Ibu Raminten meminta untuk menebus separuh saja. Ibu Raminten bekerja sebagai
pemulung yang buta huruf. Mince sudah batuk pilek dan panas sejak 2 hari lalu.
Rumusan masalah :
1. Bagaimana memberikan edukasi yang tepat utuk pasien pediatri dan keluarga
pasien ?
2. Bagaimana cara berkomunikasi yang tepat agar pasien dan keluarga pasien mau
mendengarkan dan percaya terhadap informasi yang diberikan oleh apoteker ?
3. Bagaimana cara menyesuaikan obat dengan kemampuan ekonomi pasien?
4. Bagaimana jika pasien ingin menebus resep hanya separuh saja, berikan solusi
dan pejelasannya !
5. Bagaimana menjelaskan dan meminta persetujuan kepada pasien dan dokter jika
ada obat yang diganti, dihilangkan dan atau ditambahkan ?
6. Apakah terapi farmakologi dan non-farmakologi yang tepat untuk mengobati
batuk pilek pasien?
7. Bagaimana indikasi dan interaksi obat tersebut ?
8. Bagaimana kontra indikasi dan efek samping obat tersebut ?
9. Bagaimana aturan pakai dan cara pakai obat tersebut ?
10. Bagaimana menjelaskan hal yang perlu dihindari dan dipatuhi sehubungan
dengan pemakaian obat dan penyakit pasien ?
11. Bagaimana cara penyimpanan obat?
12. Apa saja KIE yang perlu diberikan kepada pasien dan teman terdekat/
keluarganya?
13. Bagaimana menjelaskan cara penggunaan obat kepada pasien?
14. Bagaimana mengatasi kendala komunikasi kepada seseorang yang tidak mampu
dan penyandang buta huruf?
15. Bagaimana cara mengetahui bahwa keluarga pasien tidak memahami edukasi
yang diberikan ?
Mintarsih, Widayat, 2013, Peran Terapi Keluarga Eksperiensial Dalam Konseling Anak
Untuk Mengelola Emosi, SAWWA – Volume 8, Nomor