Anda di halaman 1dari 6

Ulfa Hanifa Mujahidah

Universitas Jenderal Soedirman

Interprofesional Education (IPE) Sebagai Ekstrakurikulum: Solusi Dini


Menunggu Legalitas Kurikulum IPE
Interprofesional Education (IPE) Sebagai Ekstrakurikulum: Solusi Dini
Menunggu Legalitas Kurikulum IPE

Latar Belakang

Kesehatan menjadi salah satu komponen utama yang sangat penting dalam
sebuah kehidupan. Sementara kesehatan tersebut merupakan lingkup yang sangat
luas, yang mana di dalamnya terlibat berbagai macam profesi dengan masing-
masing tugasnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini Indonesia bahkan
dunia masih mengalami krisis tenaga kesehatan. Yakni salah satunya masih belum
meratanya tenaga kesehatan yang tersedia di pusat pelayanan kesehatan.
Contohnya, masih banyak terdapat di daerah-daerah pinggiran dan terpencil yang
di dalam puskemas hanya terdapat bidan saja. Padahal bidan mempunyai wewenang
terbatas sebagai tenaga kesehatan. Selain itu masih banyak pula pusat pelayanan
kesehatan yang sama sekali tidak memiliki apoteker di mana banyak tugas yang
berkaitan dengan pemberian obat dan sebagainya adalah menjadi wewenang dan
tugas dari apoteker.

Selain dari krisis tenaga kesehatan, pada realita yang ada masih terdapat
professional gab yang sangat tinggi antar tenaga kesehatan. Merasa bahwa
profesinya yang paling penting ataupun bekerja sendiri-sendiri tanpa
mempedulikan profesi lain. Ego profesi yang tinggi seperti ini seringkali
menimbulkan masalah yang akan berdampak pada pasien baik secara langsung
maupun tidak langsung. Misalnya, dampak dari ego profesi yang tinggi tadi akan
menimbulkan miscommunication karena tidak mau ataupun gengsi bertanya antar
tenaga kesehatan. Akibatnya bisa saja apa yang dimaksud oleh salah satu tenaga
kesehatan berbeda dengan apa yang dipahami oleh tenaga kesehatan yang lain dan
perlakuan terhadap pasien pun menjadi tidak sesuai dan dapat menjadi mal praktek.

Melihat itu semua dapat dipahami bahwa tenaga kesehatan tidak dapat
berdiri sendiri-sendiri. Pasti akan ada interaksi dan kolaborasi satu sama lain,
apalagi di bidang pelayanan kesehatan. Untuk itu dibutuhkan pencerdasan dan
pendidikan sejak dini untuk dapat mencapai kolaborasi interprofesi yang baik yakni
IPE (Interprofessional Education).

Tujuan dan Manfaat

Adanya IPE ini diharapkan kolaborasi yang baik antar tenaga kesehatan
nanti ketika praktek benar-benar ada dan berjalan, karena sudah terbiasa melakukan
kolaborasi sejak bangku kuliah. Selain itu untuk mempraktekan kolaborasi ini tidak
serta merta dapat dilakukan langsung di dunia profesional, perlu ada pencerdasan
sejak dini serta latihan agar terbiasa. Hasil yang diharapkan pun tenaga kesehatan
memiliki communicaton skills dan attitude yang baik sehingga antara lain dapat
mengurangi kejadian mal praktek, meningkatkan kepuasan pasien dan menghemat
biaya kesehatan.

Gagasan

Interprofessional Education (IPE) ini sendiri sebenarnya telah lama


dicetuskan dan digagas. Menurut The World Health Organization (WHO) (1988),
IPE adalah sebuah proses pembelajaran antara berbagai mahasiswa kesehatan atau
tenaga kesehatan dengan berbagai latar pendidikan dengan tujuan utama adalah
interaksi antar tenaga kesehatan dan berkolaborasi untuk menghasilkan usaha
kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta usaha kesehatan
lainnya. Dengan konsep kesehatan berbasis Patients-centered di mana pasein
adalah yang utama, tenaga kesehatan dituntut memberikan segala kemampuannya
untuk pasien. WHO merancang program ini dan telah membuat suatu kerangka
sistem pendidikan kesehatan dimana sekelompok grup kecil yang berisi mahasiswa
kesehatan dengan berbagai latar belakang belajar bersama untuk membangun
sebuah jalinan komunikasi dan bisa merencanakan perawatan pasien dengan
optimal dan menyeluruh, dengan pembatasan wewenang dan tanggung jawab dari
masing-masing bidang sehingga tidak ada diskriminasi antar profesi. Hasil
penerapan yang dapat dilihat antara lain di Amerika Serikat, Institute for Health
Improvement (IHI) meaporkan hasil pelaksanaan kolaborasi antar profesional
kesehatan di uni perawatan intensif neonatal dapat menurunkan kejadian infeksi
dari 22% menjadi 5% dalam 2 tahun. Selain itu praktek kolaborasi dapat
mengurangi kesalahan sebesar 50% dalam manajemen pengobatan.

Namun walaupun sudah dicetuskan sejak lama, tampaknya realisasi IPE


menjadi kurikulum dalam hal ini di Indonesia masih belum terlaksana. Masih
banyak yang perlu dikaji terkait dengan kesiapan dari dosen, mahasiswa maupun
lembaga-lembaga pendidikan yang terkait. Hal ini terkait pula dengan kerjasama
antar jurusan kesehatan, yang mana selama ini pendidikan berjalan sendiri-sendiri.
Selain itu, akan menjadi masalah pula bagi lembaga pendidikan yang hanya
memiliki jurusan/prodi kesehatan yang sedikit atau bahkan hanya satu saja sehingga
tidak memungkinkan adanya kolaborasi. Kurikulum yang terkait dengan
kompetensi yang harus ada dalam IPE ini masih belum dilegalkan, sehingga cukup
sulit bagi lembaga pendidikan untuk mengadakannya begitu saja.

Hingga sekarang ini hanya beberapa universitas saja yang benar-benar


melaksanakan program IPE itupun dalam porsi yang sedikit. Padahal IPE ini
menjadi hal yang cukup penting dan perlu disegerakan. Melihat realita seperti itu,
bilamana dari pihak kampus belum menyanggupi penerapan IPE, mahasiswa
sebagai agent of change tentu harus awas dan peduli. Salah satu yang dapat
dilakukan mahasiswa adalah menginisiasi program IPE ini dengan cara
menjadikannya sebagai ekstrakurikulum. Melalui organisasi misalnya, mahasiswa
dapat menginisiasi program ini dengan melibatkan organisasi-organisasi
mahasiswa dari berbagai jurusan kesehatan. Bentuk nyatanya adalah kegiatan
kemahasiswaan berupa diskusi rutin yang kemudian bisa dilanjutkan dengan
penerapannya pada visitasi kemasyarakat ataupun desa binaan kesehatan.

Sebagai awalan bagi kampus yang memang sama sekali belum


menerapkan program ini, bisa dilakukan pencerdasan dulu terhadap mahasiswanya
ditiap jurusan kesehatan. Misal dengan diadakannya seminar, ataupun diskusi
dengan mendatangkan narasumber yang memang memahami, mendukung dan
telah menjalankan program ini. Dari kegiatan tersebut bisa dilanjutkan dengan
membentuk kegiatan kemahasiswaan yang memang berfokus pada IPE. Organisasi
di tiap jurusan bisa menjadikannya program kerja seperti diskusi rutin, visitasi, dan
desa binaan kesehatan. Diskusi rutin bisa dilakukan dengan berlatih membahas
suatu kasus yang melibatka berbagai bidang kesehatan. Misalkan mahasiswa dari
berbagai bidang kesehatan dibentuk kelompok-kelopok kecil dna mendiskusikan
suatu kasus. Mahasiwa dapat mengemukakan pandangannya terhadap kasus
tersebut dari bidang yang dia pelajari dan saling bertukar pandangan dengan bdiang
lainnya. Kemudian bisa dilanjutkkan dengan praktek misal dengan visitasi ataupun
desa binaan kesehatan. Mahasiswa dapat terjun langsung ke sebuah desa kemudian
melakukan kolaborasi tersebut, tentu dengan didampingi dan dibimbing oleh yang
telah profesional.

Kesimpulan

Interprofessional education (IPE) telah lama menjadi isu kefarmasian.


Melihat sisi baik dan manfaat yang akan diperoleh dari adanya program tersebut
menjadikan IPE cukup penting untuk segera dilaksanakan. Namun belum adanya
legalitas mengenai kurikulum IPE ini membuat banyak lembaga pendidikan
kesulitan dan belum melaksanakan kegiatan ini. Maka dari itu mahasiswa dapat
menginisiasi adanya program ini dengan cara mengadakan seminar dan diskusi
sebagai pencerdasan dan kemudian dapat dilanjutkan dengan visitasi dan desa
binaan sebagai penerapan. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut setidaknya
dapat menunjukkan kesiapan mahasiswa terhadap IPE dan mendesak agar segera
diterapkannya IPE secara resmi dalam tiap-tiap lembaga pendidikan.
Daftar Pustaka

Denial, Aurora. 2014. Interprofessional Education (IPE). Optometric Education.


Vol 39: 2

Øvretveit J. 2009. Evaluation Of Quality Improvement Programmes [Serial


online] 11:270-275. Available from: URL :HTTP://www.
qshc.bmj.com/content/11/3/27 0.abstract
World Health Organization (2010). Framework for action on interprofessional
education and collaborative practice. Geneva: WHO Press

Zulfatul, dkk. 2012. Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa tahap Akademik Terhadap
Interprofessional Education di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
The Indonesian Journal of Health Science Vol 2: 2.

Anda mungkin juga menyukai