Disusun Oleh
Pemeriksaan TTV :
Tanggal
TTV
10/12 11/12 12/12
TD (mmHg) 180/90 170/80 170/90
Nadi (x/menit) 96 80 88
Data Laboratorium :
Leukosit 75 x 102/mm3
Trombosit 280 x 103
Hb 15
Ureum 24
Kreatinin 0,8
Natrium 137
GDP 170
B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi
a. SNH
Stroke iskemik (87% dari semua stroke) disebabkan oleh pembentukan
trombus lokal atau emboli yang menyumbat arteri serebral. Aterosklerosis
serebral adalah penyebab dalam banyak kasus, tetapi 30% dari penyebab
etiologi tidak diketahui. emboli timbul baik dari arteri intra atau ekstrakranial.
Dua puluh persen stroke iskemik muncul dari hati. Plak aterosklerotik karotis
dapat ruptur, menyebabkan paparan kolagen, agregasi trombosit, dan
pembentukan trombus. Gumpalan dapat menyebabkan oklusi lokal hingga
akhirnya menutup pembuluh darah otak. Pada embolisme kardiogenik, stasis
aliran darah di atrium atau ventrikel menyebabkan pembentukan gumpalan
lokal yang dapat terlepas dan berjalan melalui aorta ke sirkulasi otak. Adanya
trombus dan emboli menyebabkan oklusi arteri, menurunkan aliran darah
otak dan menyebabkan iskemia, dan akhirnya infark (Dipiro et al,2015).
Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara
lain hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta
mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau
penurunan kesadaran yang kesemuanya terjadi secara rnendadak
(PERDOSSI, 2011).
Vertigo sentral adalah vertigo akibat kelainan di sentral (batang otak,
serebelum, serebrum), secara klinis ditandai onset lambat, pola jarang
paroksismal, intensitas tidak berat, durasi lama, mual dan muntah tidak berat,
jarang ada tinitus, tidak ada pengaruh perubahan posisi kepala, dan sering ada
gangguan kesadaran Salah satu penyebab dari vertigo sentral adalah stroke
(Jusuf et al, 2014).
Sebagai gejala tersendiri, vertigo merupakan keluhan subyektif dalam
bentuk rasa berputar dari tubuh/kepala atau lingkungan di sekitarnya. Derajat
yang lebih ringan dari vertigo disebut dizziness, yang lebih ringan lagi
disebut giddiness dan undsteadiness. Keluhan vertigo dibagi dalam ketiga
kategori berbeda yaitu vertigo, disequilibrium, dan dizziness. Vertigo adalah
suatu sensasi pasien merasakan lingkungan sekitarnya bergerak. Sensasi
tersebut sering dirasakan berputar, bisa juga pasien merasakan mau jatuh.
Disequilibrium adalah perasaan mau jatuh dan ditandai oleh ketidakstabilan
atau ketidakseimbangan yang terjadi saat berdiri, dan terutama mengenai
badan dan anggota gerak bawah. Dizziness adalah sensasi yang samar-samar
seperti kepala terasa ringan dan meliputi gejala-gejala yang tidak dapat
diidentifikasi sebagai vertigo atau disequilibrium (Jusuf et al, 2014)
b. Hipertensi
Penyebab utama respons hipertensi adalah kerusakan atau kompresi
daerah tertentu di otak yang mengatur aktivitas sistem saraf otonom. Pre-
existing hipertensi, diabetes mellitus, konsentrasi tinggi kreatinin serum, dan
refleks Cushing (peningkatan tekanan darah reaktif sebagai respons terhadap
peningkatan tekanan intrakranial) semua dapat memperburuk peningkatan
tekanan darah. Sakit kepala, nyeri, kandung kemih penuh, mual, retensi urin,
respons fisiologis terhadap hipoksia, infeksi, dan stres yang terkait dengan
masuk ke rumah sakit dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem
saraf otonom, mengaktifkan jalur adrenomedulla yang simpatik, dan
meningkatkan konsentrasi katekolamin yang beredar dan sitokin inflamasi,
yang semuanya dapat berkontribusi pada respon hipertensi. Dalam sebuah
penelitian yang mengkorelasikan nilai tekanan darah akut dengan temuan lain
dalam pengaturan stroke akut, ditemukan bahwa di antara pasien dengan
sebagian besar subtipe stroke iskemik, peningkatan TD berkorelasi dengan
riwayat hipertensi atau keparahan gangguan neurologis. Tekanan darah
cenderung menurun secara spontan tanpa intervensi farmakologis dalam
beberapa hari pertama hingga minggu setelah onset stroke. Perubahan TD
setelah stroke akut juga terkait dengan keparahan defisit neurologis yang
disebabkan oleh stroke. Tekanan darah rendah ke normal setelah stroke akut
biasanya menunjukkan kerusakan otak yang luas atau penyakit jantung
koroner bersamaan. Dengan demikian, respons BP dapat dikategorikan
sebagai penurunan secara spontan tanpa obat; tidak ada penurunan yang jelas,
atau bahkan peningkatan, meskipun pemberian obat antihipertensi; penurunan
moderat dengan obat antihipertensi (10% hingga 15% dari nilai awal); dan
penurunan tajam dengan obat antihipertensi (20% dari nilai awal) (Owolabi,
2009).
c. Hiperglikemia
Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan hiperglikemia
pada pasien dengan stroke akut, dan pada kenyataannya beberapa mekanisme
mungkin terlibat. Penyakit serius, termasuk stroke, disertai dengan reaksi
stres menyeluruh yang melibatkan aktivasi sumbu hipotalamus-hipofisis-
adrenal (HPa). Aktivasi sirkuit neuron yang kompleks ini menyebabkan
peningkatan kadar glukokortikoid serum, termasuk kortisol, dan aktivasi
sistem saraf otonom simpatik, yang menghasilkan peningkatan pelepasan
katekolamin. Oleh karena itu, fase akut stroke iskemik dan minggu pertama
setelah stroke disertai oleh kadar kortisol humoral dan katekolamin yang
tinggi. Peningkatan kadar hormon stres seperti kortisol meningkatkan
glikogenolisis, glukogen neogenesis, proteolisis dan lipolisis, yang semuanya
menghasilkan produksi glukosa berlebihan. Selain itu, epinefrin menghambat
transportasi glukosa ke dalam sel dengan menghambat pengikatan insulin ke
reseptornya; dengan demikian, peningkatan kadar epinefrin yang bersirkulasi
dapat menyebabkan resistensi insulin dengan hiperinsulinemia.. Mekanisme
yang tepat yang menghasilkan aktivasi sumbu HPa dan sistem saraf simpatik
masih harus diklarifikasi, tetapi mungkin berasal dari tingkat kortikal supra
hipofisis. Hipotesis mengenai asal mula aktivasi aksis HPa ini didukung oleh
pengamatan bahwa stroke yang melibatkan korteks insular, area otak dengan
proyeksi eferen ke sistem saraf otonom, dikaitkan dengan kadar glukosa
serum darah yang lebih tinggi dan kadar katekolamin yang bersirkulasi lebih
tinggi daripada terlihat pada stroke noninsular (Kruyt et.al, 2010).
Stroke juga dikaitkan dengan peningkatan respons inflamasi dan
pelepasan seluruh host sitokin. Sitokin tertentu, seperti faktor nekrosis tumor,
telah terbukti mengaktifkan aksis HPa, dan aktivitas sitokin ini juga dikaitkan
dengan perkembangan resistensi insulin. Karena itu, tampaknya stroke
berpotensi memicu hiperglikemia secara tidak langsung melalui aktivasi
respons inflamasi (Kruyt et.al, 2010).
Guideline Terapi
a. SNH
(Dipiro,2015)
b. Hipertensi dalam stroke
(ACC, 2017)
c. Hiperglikemia
(PERDOSSI,2011)
(Baker et al,2011)
C. PENYELESAIAN KASUS DENGAN SOAP
1. Subjective
Klasifikasi Penyakit Data subjektif
SNH Kelemahan anggota gerak (kanan),
vertigo, lemas.
2. Objective
a. Pemeriksaan TTV:
Tanggal Nilai
TTV Keterangan Interpretasi
10/12 12/12 13/12 Normal
TD (mmHg) 180/90 170/80 170/90 140/90 Normal -
Nadi (x/menit) 96 80 88 98 – 140 Normal -
/ menit
Suhu (0C) 36,4 36,5 36,5 36 - Normal -
37,5
Nafas(x/menit) 20 22 22 22 - 37 Normal -
b. Pemeriksaan Laboratorium
3200- Normal -
Leukosit 75 x 102/mm3
10.000/𝑚𝑚3
170- Normal -
Trombosit 280 x 103
380.103 /mm
Kalium 3,7 mEq/L 3,6-4,8 mEq/L Normal -
Hb 15 12-16 g/dL Normal -
135-144 Normal -
Natrium 137
mEq/L
GDP 170 ≤126 mg/dL Naik -
1. Assessment
a. Terapi yang telah diterima pasien
Aturan Tanggal penggunaan
Terapi
pakai 10/12 11/12 12/12 13/12 14/12
Terapi Parenteral
Ranitidin / 12 jam
Injeksi
Piracetam / 12 jam
Injeksi
Mecobalamin / 12 jam
Injeksi
Terapi Oral
Paracetamol 3x650 mg
tab
Citas 2x100 mg
Amlodipine 1x5 mg
Alprazolam 1x0,5 mg
Depacote 2x250
Ranitidine 2x1
tab
Intravena Fluid Drip
Ringer
Laktat
b. Assessment DRP Pasien
Subjektif Objektif Problem Assesment Plan Penatalaksanaan
Medik DRP
- - - DRP : Terapi Tanpa Depacote dihentikan
Indikasi penggunaannyakarena
Analisis DRP : Depakote tidak sesuai dengan
mengandung indikasi yang ada pada
asamvalproatsebagai pasien.
antikejang
(Medscape,2019).Pemberi
an antikonvulsan
profilaksis pada penderita
stroke iskemik tanpa
kejang tidak dianjurkan
(PERDOSSI,2011)
2. Plan
a. Tujuan Terapi
1) NSH
- Meningkatkan kualitas hidup
- Mencegah komplikasi sekunder akibat imobilitas dan disfungsi
neurologis
- Mencegah kekambuhan stroke
- Menghilangkan atau mengurangi gejala
- Mencegah atau meminimalkan rawat inap
2) Hiperglikemia
Memperbaiki kontrol gula darah (Perdossi,2011)
3. Terapi Non-Farmakologis
a. NSH
1. Memberikan nasehat untuk menghindari lingkungan perokok
(perokok pasif).
2. Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang masih dapat
melakukan aktifitas fisik setidaknya 30 menit latuhan fisik
dengan intensitas sedang (berjalan cepat, menggunakan sepeda
statis) dapat dipertimbangkan menurunkan faktor risiko dan
kondisi komorbid yang memungkinkan stroke berulang.
Intensitas sedang didefinisikan sebagai aktifitas fisik yang cukup
berarti hingga berkeringat atau meningkatkan frekuensi denyut
jantung, 1-3 kali perminggu. (PERDOSSI,2011)
3. Pengaturan pola makan yaitu diet kolesterol, batasi konsumsi
lemak jenuh, dan batasi kuning telur (Spence,2011)
b. Vertigo
Tatalaksana non farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian terapi
dengan manuver reposisi partikel / Particle Repositioning Maneuver
(PRM) yang dapat secara efektif menghilangkan vertigo pada BPPV,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien.
Ada lima manuver yang dapat dilakukan, antara lain:
a) Manuver Epley, manuver Epley adalah yang paling sering
digunakan pada kanal vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan
kepala ke sisi yang sakit sebesar 45° lalu pasien berbaring dengan
kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala
ditolehkan 90° ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah
menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu
pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke
posisi duduk secara perlahan.
b) Manuver Semont, manuver ini diindikasikan untuk pengobatan
cupulolithiasis kanan posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien
diminta duduk tegak, lalu kepala dimiringkan 45° ke sisi yang sehat,
lalu secara cepat bergerak ke posisi berbaring dan dipertahankan
selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat diobservasi.
Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan
tanpa kembali ke posisi duduk lagi.
c) Manuver Lempert, manuver ini dapat digunakan pada pengobatan
BPPV tipe kanal lateral. Pasien berguling 360° yang dimulai dari
posisi supinasi lalu pasien menolehkan kepala 90° ke sisi yang
sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus.
Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi
ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90° dan tubuh
kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi.
Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk
migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap
gravitasi.
d) Forced Prolonged Position, manuver ini digunakan pada BPPV tipe
kanal lateral. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuatan
dari posisi lateral dekubitus pada sisi telinga yang sakit dan
dipertahankan selama 12 jam.
e) Brandt-Daroff exercise, manuver ini dikembangkan sebagai latihan
untuk di rumah dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai
terapi tambahan pada pasien yang tetap simptomatik setelah
manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat membantu
pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi
kebiasaan.
(Setiawati dan Susianti. 2016)
c. Terapi Cairan
Tata laksana terapi iskemik dengan penggunaan Aleplase yang
diominasikan dengan NaCl o.9%. Pedoman Organisasi Stroke Eropa
merekomendasikan salin normal (0,9%) untuk penggantian cairan selama
24 jam pertama setelah stroke. Rekomendasi ini didasarkan pada
penelitian yang tidak terkontrol yang menunjukkan bahwa osmolaritas
serum yang lebih tinggi pada pasien stroke iskemik akut dikaitkan
dengan hasil yang buruk. Pemberian 0,9% NaCl 100 ml / jam selama 72
jam pada pasien dengan stroke iskemik akut aman dan dapat dikaitkan
dengan penurunan risiko kerusakan neurologis (Suwanwela,2017)
d. Hiperglikemi
Pasien stroke akut dengan hiperglikemia direkomendasikan untuk
melakukan metode kontrol glikemik yang lain yakni perubahan gaya
hidup yang dapat diimplementasikan pada saat fase penyembuhan
Pasien stroke akut dengan hiperglikemia direkomendasikan untuk
melakukan metode kontrol glikemik yang lain yakni perubahan gaya
hidup yang dapat diimplementasikan pada saat fase penyembuhan antara
lain (Perkeni, 2015);
1) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).
2) Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
3) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
fullcream
Terapi Farmakologis
a. Alteplase
Pasien stroke akut iskemik yang berada di unit gawat darurat
(UGD), unit perawatan intensif (ICU) atau masih dalam 4,5 jam setelah
tejadi awitan perlu diberikan aktivator plasminogen jaringan. Aktivator
plasminogen jaringan yang diberikan yaitu alteplaseyang bertindak
untuk melarutkan bekuan darah yang menyebabkan stroke iskemik.
Pemberian alteplase bertujuan untuk melarutkan trombus segera setelah
timbulnya stroke iskemik sehingga mengembalikan aliran
darah(Department of Health,2011).
Dosis total alteplase yaitu 0.9mg/kg BB. Pemberian alteplase
membutuhkan dosis pembagian berdasarkan berat badan pasien, dosis
dibagi menjadi 2 bagian yaitu 10% dari dosis total diberikan secara IV
bolus dan kemudian dosis yang tersisa ditambahkan ke 50 mL natrium
klorida 0,9% minibag dan diberikan sebagai infus IV selama 60 menit.
Dosis total alteplase tidak boleh melebihi 90 mg (Department of
Health,2011). Berat badan pasien yaitu 55 kg sehingga dosis alteplase
yang diberikan yaitu 0,9 mg/kg x 55 = 49,5 ml dosis total. Pembagian
dosis awal alteplase yaitu 10% x 49,5 = 4,9 ml diberikan secara IV
bolus selama 1 menit, kemudian sisa dosis total yaitu 44,5 ml
ditambahkan dengan minibag NaCl 0,9% sampai 50 ml selama 59 menit
sampai habis.
b. Dimenhidrinat
Kelas utama suppressant vestibular termasuk antihistamin,
benzodiazepin, dan antikolinergik (Kerber, 2009). Dari ketiga
kelasutama suppressant vestibular, dipilih golongan antihistamin yaitu
dimenhidrinat. Menurut Amir (2014), Acuan standar pemberian obat
antivertigo ialah golongan antikolinergik, seperti antihistamin
(dimenhidrinat). Dimenhydrinate lebih efektif untuk mengurangi gejala
dan meningkatkan kemampuan ambulasi. Dimenhydrinate juga
memiliki efek samping mengantuk yang lebih kecil (Kerber, 2014).
Penggunaan antikolinergik jenis lain jarang digunakan di Indonesia
dan penggunaan golongan benzodiazepine kontraindikasi pada stroke
fase akut. Dimenhidrinat digunakan 3-4 kali sehari 50-100 mg (Amir,
2014).
c. Mecobalamin
Mecobalamin berpartisipasi dalam jalur belerang dan metabolisme
metilasi dan mengurangi kadar Hcy plasma, yang akan menunda
aterosklerosis arteri serebral. Pada saat yang sama, mecobalamin juga
dapat secara efektif meningkatkan metabolisme protease, lipid dan
jaringan syaraf dan sintesis myelin lipid lecithin, oleh karena itu
memperbaiki kerusakan pada sistem saraf pusat, meningkatkan
metabolisme dan transmisi jaringan saraf, dan pada akhirnya
mempromosikan pemulihan fungsional setelah stroke iskemik (Yuan et
al, 2018).
d. Nortriptyline
Serotonin biasanya berperan dalam memodulasi berbagai fungsi
kognitif, khususnya penghambatan respons dan konsolidasi memori, dan
memodulasi dampak sinyal terkait hukuman pada pembelajaran dan
emosi (Babul et al, 2017). Antidepresan heterosiklik bekerja dengan
menghambat pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin di dalam
otak, meningkatkan kadar dalam otak (Teasell et al,2016)
e. Insulin IV
Manajemen hiperglikemia pada stroke iskemik akut berkembang.
Tidak ada pedoman yang tegas tentang target, durasi terapi, dan, yang
paling penting, hasil yang diharapkan dengan peningkatan kontrol
glikemik selama stroke iskemik akut. Pasien dengan stroke iskemik yang
diobati dengan terapi trombolitik direkomendasikan protokol drip insulin
dengan target glukosa 140 hingga 180 mg / dL selama 48 jam pertama
setelah masuk, mengingat peningkatan risiko transformasi hemoragik
dengan hiperglikemia persisten. Target glukosa pra-makan (atau puasa)
pada pasien dengan stroke akut kurang dari 140 mg / dL, dengan
menghindari kadar glukosa kurang dari 80 mg / dL. Glukosa acak (2 jam
setelah makan atau sebelum tidur) tidak boleh melebihi 180 mg / dL.
Pemantauan glukosa yang konsisten diperlukan untuk membuat
penyesuaian yang sesuai dengan rejimen insulin dan untuk memantau
hipoglikemia, yang harus dihindari dengan hati-hati pada pasien dengan
kejadian vaskular akut(Baker et.al, 2011)
e. Ranitidin
Ranitidin merupakan obat golongan H2 receptor blocker yang bekerja
secara kompetitif menghambat pengikatan histamin pada G-protein
coupled receptor pada membran basolateral sel parietal lambung, yang
menghasilkan pengurangan produksi asam dan penurunan keseluruhan
sekresi lambung (Plummer et al, 2018).Ranitidin digunakan untuk
mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke dan sebagai
sitoprotektor (PERDOSSI, 2011).
KIE
KIE untuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya
Pemantau BP terutama pada hari pertama setelah stroke iskemik akut dan
mengidentifikasi fluktuasi tekanan darah ekstrem yang mungkin memerlukan intervensi
(AlSibai et al, 2016).
Penggunaan obat dimenhidrinate sebagai obat antivertigo hanya digunakan pada saat
keadaan akut. (Kerber, 209).
KIE untuk Pasien
Mengingatkan cara dan jadwal minum obat pada pasien
Mengedukasi pasien tentang pola makan yang baik
Melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan
KIE untuk keluarga pasien
Menganjurkan untuk membantu pasien dalam melakukan intervensi rehabilitasi setelah
keluar rumah sakit.
Mengedukasi agar dapat memotivasi pasien untuk selalu aktif melakukan aktivitas
sesuai kemampuan yang ada.
Memberikan edukasi terkait komplikasi tirah baring agar keluarga pasien tidak terlalu
memanjakan pasien
(Wirawan,2009)
Monitoring
Monitoring
Obat Target Keberhasilan
Keberhasilan ESO
4. KESIMPULAN
a. Pasien terdiagnosa stroke non hemoragik
b. Terdapat drug related problem yang ditemukan pada pasien yaitu terapi tanpa
indikasi pada penggunaan paracetamol dan depacote, indikasi tanpa terapi pada
penggunaan alteplase, dimenhidrinat (untuk gejala vertigo), insulin iv (untuk
hiperglikemi), terapi tidak efektif pada penggunaan infus ringer laktat, amlodipin,
alprazolam., overdosis (pada penggunaan mecobalamin),
c. Penatalaksanaan terapi yang diterima pasien yaitu alteplase untuk stroke non
hemoragik, mecobalamin, dimenhidrinat untuk antivertigo, nortriptilin sebagai
antidepresan, insulin iv unntuk mengatasi hiperglikemik dan ranitidin untuk stress
ulcer.
DAFTAR PUSTAKA
ACC. 2017. Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High
Blood Pressure in Adults. J Am Coll Cardiol.
AlSibai, Ahmad MD, and Qureshi, Adnan I. MD.. 2016. Management of Acute Hypertensive
Response in Patients With Ischemic Stroke. The Neurohospitalist, Vol. 6(3): 122-129
Amir, Dawin. 2014. Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo pada Sindrom Stroke. CDK-212.
41(1) : 7-13.
Baker, L., Juneja, R., & Bruno, A. (2011). Management of Hyperglycemia in Acute Ischemic
Stroke. Current Treatment Options in Neurology, 13(6), 616–628.
BNF. 2009. British National Formulary 57.England: British Medical Association Royal
Pharmacetical of Great Britain.
Department of Health state of western Australia. 2011. Protocol for Administering Alteplase
in acute ischemic stroke. Western Australia : Goverment of Western Australia
Department of Health.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee,G.C., Matzke, G., Wells, B.C., & Posey, L.M.. 2008.
Pharmacotherapy : APathophysiologic Approach, seventh Edition. NewYork: Appleton
and Lange.
Jusuf, M.I. dan Wahidji, V.H.. 2014. Bunga Rampai Kedokteran. Gorontalo: Ikatan Dokter
Indonesia
PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke Tahun 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia, Jakarta.
Singh, J.. 2008. Management of Neuropathy in Diabetes Mellitus. Medicine Update. Vol. 18:
Hal 810-815
Sjahrir., Margono I., Asriningrum., Machin., Abdullah., 2011, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Syaraf, Surabaya, Hal 91-99.
Spence, J.David, BA, MBA, MD, FRCPC, FAHA. 2017. Nursion in stroke prevention.
Seminars in Neurology (37) : 256-266
Suwanwela, N. C., Chutinet, A., Mayotarn, S., Thanapiyachaikul, R., Chaisinanunkul, N.,
Asawavichienjinda, T., ... & Tiamkao, S. (2017). A randomized controlled study of
intravenous fluid in acute ischemic stroke. Clinical neurology and neurosurgery, 161,
98-103
Wirawan, Rosiana P. 2009. Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer. Majalah
Kedokteran Indonesia Volume: 59, Nomor 2. Ikatan Dokter Indonesia.
Yuan, M., Wang, B., & Tan, S. 2018. Mecobalamin and early functional outcomes of
ischemic stroke patients with H-type hypertension. Revista Da Associação Médica
Brasileira, 64(5), 428–432