Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 2

DIABETES MELITUS, ISK, DEMAM TYPHOID, DYSPEPSIA, HIPONATREMIA

Disusun Oleh

1. Rani Rahmatul M. (I1C016013)

2. M. Abi Rafdi (I1C016029)

3. Ulfa Hanifa M. (I1C016045)

4. Endah Fajar K. (I1C016063)

5. Sheila Secarina S. (I1C016081)

6. Aidatul Mufidah (I1C016099)

Dosen Pembimbing Praktikum : Ika Mustikaningtias M.Sc., Apt.


Asisten Praktikum : Icmi Ahitarani
Tanggal Diskusi Kelompok : 2 Mei 2019
Tanggal Presentasi Diskusi Dosen : 9 Mei 2019

LABORATORIUM FARMASI KLINIK

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

2019
A. KASUS

Profil Pasien

Nama Pasien : Tn. S


Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir/ Umur : 03-02-1963/ 55 tahun
BB : 50 kg
Tanggal MRS : 02-02-2018
Riwayat MRS : Pasien baru terdiagnosa DM saat masuk rumah sakit,
demam tinggi, mual muntah, tidak mau makan, tidak
BAK dalam batas normal
Riwayat Penggunaan : -
Obat
Alergi Makanan : -
Alergi Obat : -
Merokok : -
Diagnosis : ISK, demam typhoid, dyspepsia, hiponatremia.

Pemeriksaan TTV dan Keluhan:

TTV Parameter Tanggal

02/02 03/02 04/02 05/02 06/02 07/02 08/02

TD (mmHg) 86/47 90/60 120/60 100/60 100/60 120/60 130/100

Nadi 138 65 100 101 101 101 98


(x/menit)

Suhu (0C) 40,8 39 37 36,3 37 36,3 36,3

Nafas 24 20 28 20 20 20 20
(x/menit)

Kelu Demam ++ + + + + + +
han Menggigil ++ + + + + + +

Mual ++ ++ + + + + +

Muntah + + - - - - -

Tidak Nafsu + + + - - - -
Makan

Nyeri Perut - + + + + + +
Kanan

Berdebar - + + - - - -

Cegukan - + + - - - -

Data Laboratorium

Parameter Tanggal

02/02 03/02 04/02 05/02 06/02 07/02 08/02

Trombosit (μL) 251.000

Leukosit (/mm3) 10.201

N a(mmol/L) 127

K (mmol/L) 4,6

Cl (mmol/L) 90

Hb (g/dl) 12,1

GDS (mg/dl) 576 298 345 316 294 169 196

Segmen (%) 89,6

B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi

a. Diabetes Mellitus

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan
sel beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam
menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2 (Perkeni,
2015)

Pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal,


umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2
bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim
disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Di samping resistensi insulin, pada penderita
DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa
hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi perusakan sel-sel β
Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan
demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat
relatif, tidak absolut (Depkes RI, 2005).

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase


pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa
yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase
kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2,
sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya
sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani
dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen (Depkes RI, 2005).

a. Gangguan Saluran Cerna

Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol


glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai
saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena
infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai
pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal
serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan
diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada
lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat
pemakaian obat- obatan yang diminum (Ndraha, 2014).

b. Infeksi

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam


menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah
terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-
paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang
tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita
terhadap adanya infeksi (Ndraha, 2014).

b. Demam Typhoid

Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal


dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah),
Fly (lalat), dan melalui Feses. Yang paling menojol yaitu lewat mulut manusia
yang baru terinfeksi selanjutnya menuju lambung, sebagian kuman akan
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi lolos masuk ke usus halus
bagian distal (usus bisa terjadi iritasi) dan mengeluarkan endotoksin sehingga
menyebabkan darah mengandung bakteri (bakterimia) primer, selanjutnya melalui
aliran darah dan jaringan limpoid plaque menuju limfa dan hati. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darahsehingga
menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa usus. Tukak dapat
menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Perdarahan menimbulkan panas dan
suhu tubuh dengan demikian akan meningkat.sehingga beresiko kekurangan
cairan tubuh.Jika kondisi tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk zat kekebalan
atau antibodi. Dalam keadaan seperti ini, kuman typhus akan mati dan penderita
berangsurangsur sembuh (Zulkoni.2011).
(Zulkoni.2011).
c. Infeksi Saluran Kemih

(Purnomo,2011)

Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan sebagai keberadaan


mikroorganisme dalam urin yang tidak dapat dihitung dengan kontaminasi.
Organisme memiliki potensi untuk menyerang jaringan saluran kemih dan
struktur yang berdekatan. Sebagian besar ISK disebabkan oleh satu organisme;
Namun, pada pasien dengan batu, kateter urin yang menetap, atau abses ginjal
kronis, beberapa organisme dapat diisolasi. Patogen urin pada infeksi yang rumit
atau nosokomial mungkin termasuk E. coli, yang menyumbang kurang dari 50%
dari infeksi ini, Proteus spp., K. pneumoniae, Enterobacter spp., P. aeruginosa,
staphylococci, dan enterococci. Enterococci merupakan organisme kedua yang
paling sering diisolasi pada pasien rawat inap. ISK yang rumit adalah hasil dari
lesi predisposisi saluran kemih, seperti kelainan bawaan atau distorsi saluran
kemih, batu, kateter yang menetap, hipertrofi prostat, obstruksi, atau defisit
neurologis yang mengganggu aliran normal urin dan pertahanan saluran kemih.
Kunci untuk diagnosis ISK adalah kemampuan untuk menunjukkan sejumlah
besar mikroorganisme yang ada dalam spesimen urin yang tepat untuk
membedakan kontaminasi dari infeksi. Metode yang paling dapat diandalkan
untuk mendiagnosis ISK adalah dengan kultur urin kuantitatif. Pasien dengan
infeksi biasanya memiliki lebih dari 105 bakteri / mL [108 / L] urin, meskipun
sebanyak sepertiga wanita dengan infeksi simtomatik memiliki kurang dari 105
bakteri / mL [108 / L] (Di Piro, 2015).

d. Dispepsia

Dispepsia merupakan suatu gejala kompleks berupa nyeri epigastrium atau


ketidaknyamanan yang diperkirakan berasal dari saluran pencernaan bagian atas,
dan mungkin termasuk salah satu dari gejala berikut: mulas, regurgitasi asam,
bersendawa / bersendawa yang berlebihan, peningkatan perut kembung, mual,
perasaan pencernaan abnormal atau lambat, atau rasa kenyang dini (Smirčić-
Duvnjak, 2011).

Diabetes dapat memengaruhi seluruh saluran pencernaan, dari rongga mulut


hingga bagian anorektal yang menyebabkan berbagai gejala yang tingkat
keparahan dan spesifisitasnya tidak hanya bergantung pada gabungan elemen
disfungsional tetapi juga pada diabetes itu sendiri. Sekitar 75% dari pasien yang
dirujuk ke klinik karena diabetes memiliki setidaknya satu gejala gastrointestinal.
Gejala yang paling umum terkait dengan dispepsia adalah: mulas, mual, rasa
kenyang dini, kembung, dan muntah (Smirčić-Duvnjak, 2011).

Untuk mempertahankan proses normal pencernaan makanan, penyerapan,


dan eliminasi, diperlukan interaksi antara ujung saraf yang menempel di dinding
otot, neurotransmiter, hormon, dan serat otot. Riwayat dispepsia dan
patogenesisnya pada pasien dengan diabetes masih kurang dipahami. Beberapa
mekanisme telah terlibat dalam perkembangannya termasuk neuropati otonom,
mikroangiopati, perubahan produksi insulin dan glukagon, peningkatan
kerentanan terhadap infeksi saluran pencernaan, dan kontrol glikemik yang
buruk. Diabetic autonomic neuropathy (DAN), yang melibatkan seluruh sistem
saraf otonom (ANS), memiliki dampak signifikan pada morbiditas dan mortalitas
pada pasien diabetes. Hiperglikemia dapat menyebabkan kerusakan saraf
langsung mengaktifkan jalur poliol dengan akumulasi sorbitol berikutnya.
Pembentukan produk akhir glikosilasi canggih, pengurangan faktor pertumbuhan
neurotropik, dan peningkatan stres oksidatif juga terlibat dalam proses. Faktor-
faktor ini mengurangi aliran darah saraf dan merusak endotelium dan neuron
vaskular. Keterlibatan antibodi saraf simpatis dan parasimpatis dalam patogenesis
kedua jenis pasien diabetes juga telah didokumentasikan. Manifestasi GI dari
DAN telah diklasifikasikan, menurut bagian yang terkena dari saluran GI,
menjadi enteropati esofagus, gastroparesis diabeticorum, diare, sembelit,
inkontinensia fekal, atonia kandung empedu, dan pembesaran. Enteropati
esofagus juga dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia. Hal tersebut termasuk
gangguan peristaltik dan fungsi sfingter esofagus bagian bawah yang abnormal,
hasil setidaknya sebagian dari neuropati vagal, dan timbul sebagai mulas dan
disfagia untuk makanan padat (Smirčić-Duvnjak, 2011).

DAN merusak saraf vagus, menyebabkan pengurangan jumlah neuron


penghambat intrinsik yang penting untuk koordinasi motorik dan dalam jumlah
sel interstitial Cajal. Perubahan neurohormonal pada diabetes seperti peningkatan
kadar glukagon menghambat pengosongan lambung dan mengurangi frekuensi
kontraksi antral. Pengosongan lambung yang tertunda selanjutnya dapat
memperburuk kontrol glikemik dengan mengganggu pengiriman makanan ke
usus dan hubungan antara penyerapan glukosa dan pemberian insulin eksogen. Ini
juga dapat mengubah farmakokinetik agen hipoglikemik yang diberikan secara
oral (Smirčić-Duvnjak, 2011).

Kontrol glikemik yang buruk dapat dengan sendirinya menyebabkan gejala


GI. Variasi dalam konsentrasi glukosa darah mempengaruhi fungsi
neuromuskuler di seluruh usus dan persepsi sensasi yang timbul dari usus.
Hiperglikemia akut dapat mempengaruhi fungsi motorik dan menyebabkan
distensi lambung proksimal, yang mengarah pada meningkatnya persepsi mual.
Pengosongan lambung yang lambat dan penurunan tekanan sfingter esofagus
bagian bawah telah digambarkan selama episode hiperglikemia akut pada pasien
diabetes. Banyak penelitian telah mengkonfirmasi hubungan kontrol glikemik
yang buruk dan gejala GI dengan membandingkan profil glikemik yang
dilaporkan sendiri dan adanya gejala GI (Smirčić-Duvnjak, 2011).

e. Hiponatremia

Hiponatremia, didefinisikan sebagai konsentrasi natrium serum <135 mmol


/ l, adalah gangguan paling umum dari cairan tubuh dan keseimbangan elektrolit
yang ditemukan dalam praktik klinis. Ini terjadi pada hingga 30% dari pasien
yang dirawat di rumah sakit dan dapat menyebabkan spektrum gejala klinis yang
luas, dari yang halus hingga yang parah atau bahkan mengancam kehidupan.

Hiponatremia terutama merupakan gangguan keseimbangan air, dengan


kelebihan relatif air tubuh dibandingkan dengan total natrium tubuh dan kadar
kalium. Biasanya dikaitkan dengan gangguan pada hormon yang mengatur
keseimbangan air, vasopresin (juga disebut hormon antidiuretik). Bahkan pada
gangguan yang berhubungan dengan kehilangan natrium (ginjal), aktivitas
vasopresin pada umumnya diperlukan untuk hiponatremia untuk berkembang.
Oleh karena itu, setelah menggambarkan tanda dan gejala umum, kami merinci
mekanisme yang terlibat dalam pelepasan vasopresin.

Perubahan osmolalitas serum terutama ditentukan oleh perubahan


konsentrasi serum natrium dan anion yang terkait. Penting untuk membedakan
konsep osmolalitas total dan osmolalitas efektif atau tonisitas. Osmolalitas total
didefinisikan sebagai konsentrasi semua zat terlarut dalam berat air tertentu
(mOsm / kg), terlepas dari apakah osmol dapat bergerak melintasi membran
biologis atau tidak. Osmolalitas atau tonisitas yang efektif mengacu pada jumlah
osmol yang berkontribusi pergerakan air antara kompartemen intraseluler dan
ekstraseluler. Ini adalah fungsi dari sifat permeabilitas terlarut relatif dari
membran yang memisahkan kompartemen cairan intraseluler dan ekstraseluler.
Hanya zat terlarut yang efektif yang menciptakan gradien tekanan osmotik
melintasi membran sel yang mengarah pada pergerakan osmotik air antara
kompartemen cairan intraseluler dan ekstraseluler.

Dalam kebanyakan kasus, hiponatremia mencerminkan osmolalitas efektif


rendah atau hipotonisitas, yang menyebabkan gejala edema seluler. Namun,
hiponatremia juga dapat (jarang) terjadi dengan serum isotonik atau hipertonik
jika serum tersebut mengandung banyak osmol tambahan, seperti glukosa atau
manitol. Oleh karena itu, kami membahas tidak hanya bagaimana hypo-osmolar
tetapi juga bagaimana keadaan isosmolar dan hyperosmolar berkembang
(Spasovski, 2014).
2. Guideline Terapi

a. Diabetes Melitus

(Perkeni, 2015)

b. Infeksi Saluran Kemih

(The Saskatchewan, 2013)


c. Demam Typhoid
(Kemenkes, 2006)

d. Dispepsia

(NICE, 2014).
e. Hiponatremia

(Spasovski, 2014).

C. PENYELESAIAN SOAP

1. Subjective

Klasifikasi Penyakit Data subjektif

ISK Tidak BAK dalam batas normal

Dispepsia Nyeri perut bagian kanan, mual, muntah

Demam Typhoid Demam, mual, muntah

Diabetes Mellitus -
2. Objective

a. Pemeriksaan TTV

Parameter Nilai Tanggal Keterangan Interpretasi


Normal
02/ 03/ 04/ 05/0 06/ 07/ 08/
02 02 02 2 02 02 02

TD 86/ 90/ 120 100/ 100 12 130 Menurun Hipotensi


(mmHg) 47 60 /60 60 /60 0/6 /10 (tanggal
0 0 02/02 -
06/02)

Nadi 98-140 13 65 100 101 101 10 98 Menurun Bradikardi


(x/menit) 8 1
(tanggal
03/02)

Suhu (0C) 36-37,5 40, 39 37 36,3 37 36, 36, Meningkat Demam


8 3 3 (tanggal
02/02 -
03/02)

Nafas 22-37 24 20 28 20 20 20 20 Menurun


(x/menit) (tanggal
03/02,
05/02-
08/02)

b. Data Laboratorium

Parameter Nilai Tanggal Ket Inte


Norm era rpre
al nga tasi
02/0 03/0 04/02 05/02 06/02 07/02 08/02
n
2 2

Trombosit 170- 251. Nor


380.0 000 mal
00
Leukosit (/mm) 3200- 10.2 Me Infe
10.00 01 nin ksi
0 gka
t

Na(mmol/L) 135- 127 Me Hip


144 nur ona
un tre
mia

K (mmol/L) 3,6- 4,6 Nor


4,8 mal

Cl (mmol/L) 97- 90 Me Hip


106 nur okl
un orin
emi
a

Hb (g/dl) 12-16 12,1 Nor


mal

GDS (mg/dl) ≤ 200 576 298 345 316 294 169 196 Me Hip
nin ergl
gka ike
t mia
(tan
gga
l
02/
02-
06/
02)

Segmen (%) 36-73 89,6 Me Infe


nin ksi
gka
t
3. Assesment

a. Terapi yang telah diterima pasien

Terapi (Nama obat, Tanggal


Kekuatan Obat)
Aturan
Pakai 02/0 03/ 04/ 05/ 06/ 07/ 08/
2 02 02 02 02 02 02

Terapi Inj. Ceftriaxon 1 gr 2x1 ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓


Parenter
al
Inj. Ranitidine 500 mg 2 x 1 amp ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Inj. Ondansetron 2 x 1 amp ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Dobutamin 3 cc/jam ✓ ✓ ✓

Insulin 10 iu iv ✓ ✓

Insulin Pump Sliding 24 iu sc/6 ✓ ✓


Scale jam

Novorapid 3 x 10 iu ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Levemir (0-0-10 iu) ✓ ✓ ✓ 0-0- 0-0-


15 15

Inj. Levofloxacin 500 mg/ 24 ✓ ✓ ✓ ✓


jam

Inj. MP 62,5/ 12 ✓ ✓
jam

Terapi Paracetamol 500 mg 4 x 500 mg ✓


Oral prn

Chlorpromazine 2 x ¼ tab ✓ ✓

Kapsul garam 2 x 500 mg ✓

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Inf. Paracetamol 1 gr 3 x 1, ✓ ✓
≥ 38,5 0C
b. Analisis DRP

Subjective Objective Problem Medik Assesment Plan


Penatalaksanaa
n DRP

mual, muntah, - Dispepsia DRP: Menurut


nyeri perut Adverse Drug Ceraya dan
kanan Reaction Martinez-
(Interaksi Obat) Bastera,
Plan (2013), apabila
Penatalaksanaa pasien
n DRP: diresepkan
Pasien obat yang
mendapatkan dapat
terapi memperpanjan
menggunakan g interval QT,
levofloxacin inj. maka
(tanggal 05/02 dianjurkan
s/d 08/02), untuk:
ondansetron inj.
(tanggal 02/02 - Evaluasi
s/d 08/02), dan kemungkinan
chlorpromazine. timbulnya
Chlorpromazine faktor risiko
, levofloxacin yang dapat
dan mempotensia
ondansentron si risiko
merupakan obat aritmia.
yang dapat
- Mempertimba
menyebabkan
ngkan risiko
perpanjangan
memperpanja
interval QT
ng interval
(Ceraya dan
QT, risiko
Martinez-
penghambata
Bastera, 2013).
n
Penggunaan
metabolisme
kombinasi obat
atau
tersebut
peningkatan
(Ondansetron +
risiko
Levofloxacin
pengembanga
dan
n TdP dalam
Ondansetron +
kasus-kasus
Chlorpromazine
ketika perlu
) dapat
untuk
menimbukan
memperkenal
interaksi obat
kan
yang serius
perawatan
sehingga
kombinasi baru.
antara obat
tersebut harus Direkomendasi
dihindari. Efek kan pula
samping yang dilakukan EKG
ditimbulkan untuk ECG
yaitu penggunaan
perpanjangan obat-obat yang
interval QT dapat
(Medscape, menyebabkan
2019). prolong QT
Perpanjangan interval
interval QT (Medscape,
dapat menjadi 2019)
penyebab dari
Pada tanggal
takikardia
08/02 masih
ventrikel
merasakan
polimorfik
mual, sehingga
berdenominasi
dibutuhkan
'Torsade de
terapi anti mual
Pointes' (TdP)
muntah. Terapi
yang dapat
anti mual
dirasakan
muntah pasien
sebagai sinkop,
disarankan
pusing, atau
dilakukan
jantung
penggantian
berdebar-debar. dengan obat
antimetik lain
yang tidak
memiliki
interaksi
dengan
ceftriaxon inj.
Menurut NICE
(2019), terapi
antiemetik
yang menjadi
pilihan
alternatif
adalah
metoklorpamid
.

Mual, muntah, Dispepsia DRP: Overdose Monitoring


nyeri perut Analisis DRP: kadar ALT dan
kanan Pasien serum
mendapatkan kreatinon
ranitidin injeksi karena dapat
500 mg 2 x terjadi
sehari, peningkatan
sedangkan ALT dan
ranitidin tidak sedikit
boleh digunakan peningkatan
melebihi 400 serum
mg/hari (Gahart kreatinin.
et al, 2016). Dilakukan
penyesuaian
dosis yaitu
menjadi 50 mg
(2ml) setiap 6
sampai 8 jam
per hari
(Gahart et al,
2016).

Demam suhu tubuh pada Demam DRP : Overdose Setelah pasien


tanggal 02/02 Typhoid mengalami
40,8 0C dan Analisis DRP : overdosis maka
pada 03/02 390C Pasien sudah dianjurkan
diberikan untuk
injeksi mengevaluasi
paracetamol 1 kemungkinan
gram 3x sehari terjadinya
pada tanggal 2 resiko
dan 3 sedangkan hepatotoxic
tanggal 3 pasien dengan melihat
juga kadar plasma
mendapatkan asetaminofen,
tablet AST dan ALT,
paracetamol 500 serta dapat
mg 4x sehari. melihat nilai
Dosis maksimal prothrombin
paracetamol time bilirubin,
adalah 4 fosfat, laktat
gram(NHS,2012 dan pH.
) sedangkan (McNeil
dosis Consumer
paracetamol Healthcare.
yang 2015)
dikonsumsi
pasien adalah 5 Pada tanggal
gram pada 8/2 masih
merasakan
tanggal 3/2. demam
sehingga
dibutuhkan
terapi untuk
menghilangkan
gejala demam
dapat
menggunakan
antipiretik
yaitu tablet
paracetamol
dan ibuprofen
(Department of
Public Health
& Family
Welfare, 2014)
ibu profen
(NSAID)
memiliki
kontra indikasi
dengan
penyakit tukak
peptik
(BNF,2009).
sehingga
dipilih obat
paracetamol.

- - - DRP : Terapi Sebaiknya


tanpa Indikasi injeksi metil
prednisolone
Analisis DRP : tidak
digunakan lagi.
Injeksi metil
Prednisolon
(glukokortikoid)
direkomendasik
an pada kasus
demam tifoid
berat
(halusinasi,
perubahan
kesadaran atau
pendarahan
usus). Hasil
penelitian
menunjukan
penurunan yang
signifikan dalam
mortalitas pada
pasien demam
tifoid berat (
Rahmasari,
2018). Tetapi
pasien tidak
menunjukkan
penyakit demam
tifoid berat

- - - DRP : Adverse Sebaiknya


Drug Reaction injeksi metil
(kontraindikasi) prednisolone
tidak
Analisis DRP : digunakan lagi.
obat metil Dan perlu
prednisolone dilakukan
termasuk monitoring
golongan terhadap nilai
glukokortikoid. gula darah.
Glukokortikoid
dapat memicu
diabetes dengan
mengurangi
sensitivitas
insulin sehingga
obat ini
antagonis
dengan tujuan
terapi pasien
diabetes
mellitus(
PERKENI,2015
).

- - Diabetes DRP : Terapi Selama masa


Melitus tidak efektif . penggunaan
insulin sliding
Analisis DRP scale,
:Pasien dilakukan
menerima pemeriksaan
insulin sliding glukosa darah
scale pada tiap 6 jam atau
tanggal 02/02 mendekati
dan 03/02. waktu makan
Insulin sliding (Perkeni, 2015)
scale sangat
tidak
dianjurkan.
Penerapan
insulin sliding
scale tunggal
ataupun
kombinasi
dengan obat
antidiabetes lain
tidak
memberikan
efek apapun
dalam kontrol
glukosa darah,
namun
menyebabkan
peningkatan
insidensi
kejadian
hiperglikemik
(Lee et.al, 2015)

Mual tanpa Nilai Na: 127 Hiponatremia DRP: Plan:


muntah mmol/L Underdose Dilakukan
monitoring
Analisis DRP: kadar Na pada
Pasien memiliki pasien pada
nilai Na yang tanggal 09/02.
rendah, yaitu Apabila nilai
127 mmol/L tapi Na <135
hanya diberikan mmol/L maka
terapi kapsul diberikan
garam 500 mg 2 Kapsul Garam
kali sehari. 3 x 1 g untuk 6
Terapi kapsul hari dan pada
garam pada hari ke-7 dosis
pasien diturunkan
hiponatremia menjadi 3 x
seharusnya 500 mg sampai
diberikan 3 kali 3 hari
sehari (DRUNPP,
2014)
(DRUNPP,
2014)

4. Plan

a. Tujuan Terapi

1) Diabetes Melitus

Tujuan terapi

a. Tujuan umum : meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes.

b. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas


hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

c. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit


mikroangiopati dan makroangiopati.

d. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.


(Perkeni, 2015)

2) Infeksi Saluran Kemih

Tujuan pengobatan untuk ISK :

- Menghilangkan bakteri penyebab

- Mencegah atau mengobati konsekuensi infeksi sistemik


- Mencegah terulangnya infeksi.

(DiPiro, 2015)

3) Demam Typhoid

- Merawat dan mengobati penderita dengan pemberian antimikroba

- Memperbaiki keadaan umum penderita (demam, mual, muntah)

- Mencegah dan meminimalisasi komplikasi

(Kemenkes, 2006)

4) Dispepsia

Mengatasi simptom dispepsia seperti nyeri abdominal, heartburn,


refluks asam, mual, dan muntah (NICE, 2014).

5) Hiponatremia

Meningkatkan nilai Na dan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit


terjaga dengan kadar Na 135-144 mmol/L (Kemenkes, 2011)

5. Terapi Non Farmakologi

a. Diabetes Melitus

- Menjaga pola makan dengan diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan
tinggi serat larut. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari

- Melakukan pemantauan berat badan

- Melakukan aktivitas fisik/latihan jasmani. Disarankan sedikitnya selama 150


menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut
jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat
(mencapai denyut jantung >70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi
3-4 kali aktivitas/minggu.

-
b. Infeksi Saluran Kemih

- Pelatihan otot

Latihan otot dasar panggul didefinisikan sebagai kontraksi kontinyu selektif


berulang dan relaksasi otot dasar panggul tertentu. Pasien diinstruksikan untuk
mengganggu tekanan detrusor dengan menegangkan otot dasar panggul di
hadapan detrusor yang terlalu aktif. Di hadapan lantai panggul non-santai,
pasien pertama-tama diperintahkan untuk mengencangkan otot dasar panggul
dan kemudian bersantai.

- Biofeedback

Biofeedback adalah teknik di mana informasi tentang proses fisiologis yang


biasanya tidak disadari disajikan kepada pasien, atau terapis, atau keduanya,
sebagai sinyal visual, pendengaran atau taktil. Transduksi potensi otot menjadi
sinyal pendengaran atau visual dengan menggunakan elektroda akan
mengajarkan pasien untuk mengenali dan meningkatkan atau mengurangi
aktivitas otot sukarela mereka. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akurasi,
efektivitas, atau durasi kontraksi otot dasar panggul.

- Memperbaiki perilaku

Modifikasi perilaku didefinisikan sebagai analisis dan perubahan hubungan


antara gejala pasien dan lingkungannya untuk pengobatan pola voiding
maladaptif. Masalah urologi, termasuk nyeri panggul, gejala berkemih iritasi,
infeksi saluran kemih berulang dan inkontinensia dapat dengan mudah
dipengaruhi oleh perubahan perilaku dan biofeedback, yang dapat dianggap
sebagai intervensi yang aman dan efektif untuk menghilangkan disfungsi.

(Hajerahimi, et al, 2016)

c. Demam Typhoid

- Tirah Baring

Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. bila klinis berat, penderita
harus istirahat total. bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien
harus diubah-ubah pada saktu tertentu untuk mencegah kompikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus. penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi
secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. buang air besar
dan kecil sebaiknya dibantu perawat. hindar pemasangan kateter urine tetap,
bila tidak indikasi betul (Kemenkes, 2006).

- Diet Nutrisi

Diet harus mengandung kalori protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
tifoid, biasanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim
(diet padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai
dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai
padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita (Kemenkes, 2006).

Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa
lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tanda komplikasi
perdarahan atau perforasi (Kemenkes, 2006).

d. Dispepsia

- Konsumsi makanan dalam jumlah kecil dan sering sambil menghindari


makanan tinggi serat dan berlemak.

- Olahraga ringan postprandial dapat meningkatkan pengosongan lambung.

(Smirčić-Duvnjak, 2011).

- Hindari makanan yang mengiritasi lambung seperti makanan pedas, jus jeruk,
jus tomat, dan kopi, hindari makan 3 jam sebelum tidur (Dipiro, 2015)

e. Hiponatremia

Terapi Cairan

Banyak pasien rawat inap dewasa membutuhkan terapi cairan intravena (IV)
untuk mencegah atau memperbaiki status cairan dan/ elektrolit. Tatalaksana
terapi Hiponatremia dengan penggunaan NaCl 0,9%. NaCl 0,9% digunakan
untuk penggantian cairan yang hilang, karena kadar natrium pada pasien
adalah 127 mmol/L dimana nilai normalnya adalah 135-144 mmol/L dan kadar
Klorida pada pasien 90 mmol/L dimana nilai normalnya adalah 97-106
mmol/L (Kemenkes, 2011).

6. Terapi Farmakologi

a. Ranitidin

Ranitidin berperan dalam mengurangi faktor agresif dengan cara menghambat


histamin pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel parietal tidak terangsang
mengeluarkan asam lambung (Wardaniati et al, 2016).

b. Metoklopramid

Metoklorpamid merupakan obat prokinetik merangsang peristaltik dan


meningkatkan fungsi pompa lambung yang berguna dalam pengobatan pasien
diabetes dengan dyspepsia. Metoklopropamid adalah antagonis dopaminergik dengan
sifat antiemetik yang meningkatkan pengosongan lambung (Duvnjak, 2011).
Metoklorpamid dipilih karena merupakan terapi alternatif yang dapat dipilih untuk
mengatasi muntah (NICE, 2019). Selain itu, penggunaan metoklorpamid tidak
menimbulkan interaksi dengan obat lain yang digunakan) (Medscape, 2019).
Metoklorpamid digunakan sebanyak 10 mg 3 kasli sehari. Penggunaan metoklorpamid
hanya untuk penggunaan jangka waktu singkat (hanya sampai 5 hari) dengan dosis
maksimum 30 mg pada 24 jam (NICE, 2019).

c. Levofloxacin

Levofloxacin memberikan aksi antibakteri dengan menghambat bakteri


topoisomerase IV dan DNA gyrase, enzim yang diperlukan untuk replikasi DNA,
perbaikan transkripsi dan rekombinasi. Ini memiliki aktivitas in vitro terhadap
berbagai mikroorganisme gm-ve dan gm + ve (MIMS,2019). Levoloxacin termasuk
dalam golongan fluoroqiolon. Menurut The Saskatchewan (2013) untuk terapi cUTI
pada pasin dewasa diberikan Levofloxacin 500 mg 1 kali sehari selama 10 hari.
Sehingga penggunaan Levofloxacin dilanjutkan setelah tanggal 08/02 hingga
tanggal 14/02.
Terapi empiris harus diganti dengan terapi yang disesuaikan dengan organisme
infektif spesifik yang diidentifikasi dalam kultur urin. Oleh karena itu, perlu dlakukan
kultur urin untuk mengetahui bakteri penyebab, dan pemilihan agen antimikroba
harus dievaluasi kembali setelah hasil kultur tersedia (EAU,2015).

d. Insulin subkutan (basal-prandial=Levemir-Novorapid)

Terapi diabetes mengikuti PERKENI (2015), di mana pasien di rumah sakit


dengan kadar gula darah tidak terkontrol membutuhkan terapi insulin iv/sub kutan.
Maka perlu menghitung insulin harian total yang dibutuhkan. Terapi insulin dapat
diberikan secara infus intravena kontinyu atau subkutan, secara terprogram atau
terjadwal. Kebutuhan insulin harian total (IHT) dapat didasarkan pada dosis insulin
sebelum perawatan atau dihitung sebagai 0,5-1 unit/kg BB/hari. Pasien memiliki berat
badan 50 kg maka IHT nya yakni 25-50 unit/hari. Terapi insulin iv diberikan selama
dua hari dengan dosis 10 unit/hari dan kemudian diganti menjadi insulin subkutan
kombinasi basal dan prandial. Insulin basal yang diberikan yakni 40% dari IHT untuk
mengendalikan glukosa darah puasa, dan prandial 60 % dari IHT untuk
mengendalikan glukosa darah setelah makan. Maka insulin basal (Levemir) yang
diberikan sebesar 10-15 U/hari, satu kali sehari dan insulin prandial (Novorapid) yang
diberikan sebesar 15-25 U/hari, digunakan tiap 8 jam.

Novorapid memiliki onset yang cepat sehingga harus diberikan segera sebelum
makan (MIMS, 2018). Novorapid adalah insulin dengan kerja cepat yang memiliki
onset 15-30 menit. Sedangkan levemir adalah insulin basal long acting dengan onset 2
jam. Dalam regimen pengobatan basal-bolus, 50-70% dari persyaratan dapat
diberikan. Penggunaan keduanya dapat menyebabkan resiko yang lebih rendah dalam
menyebabkan hipoglikemi (MIMS, 2018).

Perlu diperhatikan terkait peralihan penggunan insulin intravena pada insulin


subkutan. Insulin sub kutan harus diberikan 2 jam sebelum insulin intravena
dihentikan untuk menghindari hiperglikemia (Perkeni, 2015).

e. Paracetamol
Obat antipiretik digunakan untuk menghilangkan gejala demam yaitu tablet
paracetamol atau ibuprofen (Department of Public Health & Family Welfare, 2014).
Paracetamol bermanfaat sebagai Penurunan suhu karena parasetamol memiliki efek
antipiretik. Mekanisme kerja obat ini melalui penghambatan siklo-oksigenase di otak
sehingga parasetamol efektif dalam menurunkan demam (Jansen,2015). Sedangkan
ibu profen (NSAID) memiliki kontra indikasi dengan penyakit tukak peptik
(BNF,2009). sehingga dipilih obat paracetamol

7. Saran Terapi yang diterima pasien

Nama Obat Dosis Jadwal Manfaat Hal yang perlu


Penggunaan diperhatikan

Metoklorpamid 10 mg (NICE, 3 x 1 hari Antiemetik Penggunaan


2019) (NICE, 2019). (NICE, 2019)
inj. metoklorpamid
Mulai
digunakan dari hanya untuk
tanggal 09/02.
penggunaan
jangka waktu
singkat (hanya
sampai 5 hari)
dengan dosis
maksimum 30
mg pada 24 jam
(NICE, 2019).

Levofloxacin 500 mg 1 x sehari Antibiotik Penggunaan


inj. 08/02 hingga
Levofloxacin
tanggal 14/02.
hannya selama
10 hari (The
Saskatchewan
2013).

Ranitidin inj. 50 mg (2 ml) 6 sampai 8 jam Menghambat Tingkatkan


(Gahart et al, per hari (Gahart sekresi asam frekuensi
2016) et al, 2016) lambung penggunaan,
(Wardaniati et bukan jumlah
al, 2016) obat yang
digunakan
apabila
diperlukan
untuk
meredakan
nyeri (Gahart et
al, 2016)

Paracetamol 500 mg 3-4 x sehari Paracetamol Resiko


(MIMS,2019) selama 3 hari ( mampu hepatotoxic
MIMS,2019) mengatasi yang mungkin
gejala demam terjadi.
mulai
(Department of (Department of
digunakan
Public Health Public Health
tanggal 9/2
& Family & Family
Welfare, 2014) Welfare, 2014)

Kapsul Garam 1 gram 3x1 gram sehari Kapsul garam Resiko


untuk 6 hari dan mampu Hipernatremia
(DRUNPP, pada hari ke-7 meningkatkan yang mungkin
2014) dosis diturunkan kadar natrium . terjadi
menjadi 3 x 500 (MIMS,2019)
mg sampai 3
hari (DRUNPP,
2014)

Insulin 10 unit 3 kali sehari -Cara


Novorapid sebelum makan penggunaan pen
atau saat makan injeksi insulin
(Perkeni, 2015) dan tempat
penyuntikan.

Menurunkan - transisi dari

kadar gula darah penggunaan


Insulin Levemir 10 unit 1x sehari sebelum insulin intravena
tidur (Perkeni, pada insulin
2015) subkutan. Insulin
subkutan harus
diberikan 2 jam
sebelum infus
intravena
dihentikan untuk
mencegah
hiperglikemia
(Perkeni, 2015)

8. KIE

a. KIE untuk keluarga pasien

- Perawatan demam tifoid harus diselesaikan sampai pasien tidak mengalami


demam selama setidaknya 7 hari karena pengobatan yang tidak lengkap
meningkatkan risiko kekambuhan dan timbulnya resistensi. Caregiver pasien
harus diberi tahu tentang komplikasi yang dapat terjadi (Department of
Public Health & Family Welfare, 2014).

- Memberikan jadwal minum obat dan injeksi insulin

- Menjaga pola hidup sehat dan pola makan

- Menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi

- Memberitahukan cara mengguanakan insulin yaitu sebagai berikut

· Setelah dikeluarkan dari kulkas, insulin perlu dihangatkan dulu dengan


menggosok – gosokannya dengan telapak tangan sampai suhunya kira –
kira sama dengan suhu tubuh.

· Lokasi penyuntikan dapat berpindah-pindah pada daerah yang terdapat


lemak seperti perut, paha, lengan bagian dalam sehingga tidak merusak
kulit (AADE, 2017).
- Memberitahukan cara penyimpanan insulin, yaitu sebelum dibuka simpan
insulin pada suhu dingin (2 - 80C) / kulkas. Setelah dibuka insulin dapat
disimpan pada suhu kamar (15 – 300C).

- Memberitahukan jadwal makan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri


dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium
kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (Ndraha, 2014).

- Memberikan informasi tentang mungkinnya gejala hipoglikemi (lelah,


pusing, pucat, berkeringat, jantung berdebar-debar, mudah lapar) yang
mungkin terjadi dan cara penanganannya:

a) Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa sederhana

b) Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah
terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar

c) Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah


15 menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15
menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan
dapat diulang kembali.

d) Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,


pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia. (PERKENI, 2015)

b. KIE untuk dokter

- Uji laboratorium dilakukan untuk mengetahui bakteri H. pylori pada pasien


dispepsia

- Untuk pasien tifoid diperlukan kontrol dan monitor pertanda vital (tensi,
nadi, suhu, kesadaran) secara reguler sesuai aturan dan dicatat secara baik
direkam medik. Kurva suhu, tensi, nadi adalah sangat penting untuk terapi
tifoid dan juga perlu kontrol dan monitor terhadap kemungkinan komplikasi
(perdarahan, perforasi, sepsis, enselopati, dan infeksi pada organ lain),
terutama pada masa minggu ke-2 dan ke-3 demam (Kemenkes, 2006)

c. KIE Keluarga Pasien


- Memberikan jadwal minum obat seperti yang diberikan pada pasien

- Mengingatkan pasien untuk melakukan pola hidup sehat

- Memberitahukan cara penggunaan insulin

- Memberitahukan cara penyimpanan insulin

9. Monitoring

Obat Monitoring Target


Keberhasilan
Keberhasilan ESO

Metoklorpamid inj Gejala mual muntah risiko efek Setelah penggunaan


pasien dapat teratasi neurologis seperti jangka waktu singkat
gangguan (maksimal 5 hari)
ekstrapiramidal gejala mual muntah
jangka pendek dan dapat teratasi.
tardive dyskinesia
(NICE, 2019).

Levofloxacin inj Pasien tidak lagi Diare, mual, ruam, Leukosit menjadi
menunjukkan tanda flatulens, nyerri norrmal (3.200-
dan gejala ISK abdomen (Pionas, 10.000/mm3)
seperti BAK kembali 2019).
normal dan
penurunan nilai
leukosit

Ranitidin inj. Pasien tidak lagi Efek samping yang Pasien tidak lagi
menunjukkan gejala paling umum menunjukkan gejala
dispepsia seperti termasuk sakit dispepsia seperti
nyeri abdomen, kepala, mengantuk, nyeri abdomen,
heartburn, refluks kelelahan, pusing, heartburn, refluks
asam, mual, dan dan sembelit atau asam, mual, dan
muntah (NICE, diare (Dipiro, 2015). muntah (NICE,
2014). 2014).

Ceftriaxone inj. Evaluasi waktu sakit kepala, reaksi Suhu turun pada
bebas demam (time alergi, pruritus, hasil pemantauan
of fever urtikaria, arthralgia, suhu pada hari ke-4
defervescence) dan pengendapan sampai hari ke-5
lama rawat di rumah kalsium ceftriaxone setelah pemberian
sakit (Rampengan, dalam urin, antibiotik dan klinis
2013) pancreatitis (BNF, pasien membaik
berarti terapi berhasil
2009) (Rampengan, 2013)

Paracetamol Gejala demam Reaksi Suhu tubuh 36,8 ±


hilang hipersensitivitas, 0,4ºC (Department
ruam kulit, kelainan of Public Health &
darah (termasuk Family Welfare,
trombositopenia, 2014)
leukopenia,
neutropenia)
(PIONAS, 2014)

Kapsul Garam Kadar Na 135-144 Hypernatraemia; Keseimbangan


(NaCl oral) mmol/Hg dan kadar haus, berkurangnya cairan dan elektrolit
Cl 97-106 mmol/L air liur dan terjaga dengan kadar
(Kemenkes, 2011) lachrymation, Na 135-144 mmol/L
demam, takikardia, , nilai Cl 97-106
hipertensi, sakit mmol/L (Kemenkes,
kepala, pusing, 2011)
gelisah, mudah
marah, dan lemah
(MIMS, 2019)

Chlorpromazine Gejala cegukan hipotensi, retensi Tidak terjadi


hilang urin, glaukoma, dan cegukan
delirium (
Cornellius, 2011)

Insulin iv Glukosa darah Efek samping utama Kadar GDS< 200


terkontrol terapi insulin adalah mg/dl
terjadinya
HbA1c < 7% (tiap 3
hipoglikemia. Efek
Insulin Novorapid bulan)
samping yang lain

Insulin Levemir berupa reaksi alergi GDP 80-130 mg/dl


terhadap insulin
GD2PP < 180 mg/dl
(Perkeni, 2015)
(ADA, 2018)
Cara Penggunaan Insulin Pen

Cara mengoperasikan Insulin pump monitoring, pasien harus menggunakan set infus
steril yang secara otomatis memasukkan kanula (suatu tabung yang sangat tipis) di bawah
kulit proses ini mudah dan hampir tanpa rasa sakit. Selanjutnya mengatur tingkat insulin
basal (tingkat nya target glukosa darah rata-rata) pada pompa insulin lalu isi pompa insulin
dengan insulin (petunjuk yang tepat untuk hal ini adalah termasuk dalam kemasan pompa).
Pasang reservoir pompa insulin untuk cannula tersebut dan cari lokasi yang aman pada tubuh
untuk menyimpan tempat pompa. Insulin pump monitoring menggunakan insulin kerja cepat
sehingga mereka dapat secra efektif.

D. KESIMPULAN

1. Problem medik pasien sesuai dengan diagnosa adalah Diabetes mellitus, ISK,
Demam typoid, dyspepsia, hiponatremia. Terdapat beberapa DRP pada pengobatan
pasien yaitu overdosis penggunaan levemir untuk terapi DM, terapi tidak efektif
penggunan insulin sliding scale, underdose capsul garam untuk terapi hiponatremia,
adverse drug reaction pada penggunaan ondansentron dengan levofloxacin, dan
ondansentron dengan chlorpromazine, terapi tanpa indikasi obat injeksi metil
prednisolon, adverse drug reaction injeksi metil prednisolon pada penatalaksanaan
terapi DM. Overdose obat paracetamol untuk terapi demam, overdose ranitidin
injeksi untuk terapi dispepsia.

2. Penatalaksanaan diabetes miletus dengan terapi dengan insulin intensif yang terdiri
dari insulin basal dan insulin prandial. Penatalaksaan ISK dengan melanjutkan terapi
antibiotik ISK, Penatalaksanaan demam typhoid dengan injeksi ceftriaxone, dan
terapi simptomatis menggunakan paracetamol. Sementara tatalaksana hiponatremia
menggunakan capsule garam. Penatalaksanaan Dispepsia dengan Ranitidin injeksi.
DAFTAR PUSTAKA

AADE. 2017. Insulin Injection Know-How. American Association Of Diabetes Educator,


USA.
American Diabetes Association (ADA), 2018. Standards of Medical Care on Diabetes.
Diabetes Care. 38:51-599
BNF. 2009. British National Formulary Edisi 57. England : British Medical Association
Royal Pharmacetical of Great Britain
BPOM. 2014. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta : Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia. Available at: [Online].
http://pionas.pom.go.id/monografi/levofloksasin. Diakses pada 6 Mei 2019
BPOM. 2014. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta : Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia. Available at: [Online].
http://pionas.pom.go.id/monografi/parasetamol-asetaminofen. diakses pada 6 mei 2019

Ceraya, Conchi and Martinez-Basterra, Javier. 2013. Drugs and QT interval prolongation.
Drug Therapeutic Bulletin of Navarre. 21(1): 1-7
Cornelius J. Woelk. 2011. Managing hiccups. Canadian Family Physician ; vol 57
Department of Public Health & Family Welfare. 2014. State Standard Treatment Guidelines.
Bhopal. India: Department of Public Health & Family Welfare.
DepKes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Meliitus. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.
Dipiro et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th edition. New York: McGraw Hill
DRUNPP Association of Sarajevo, Bosnia & Herzegovinia. 2014 International Journal of
Pharmacy Teaching & Practices, Vol5, issue3, Supplement I, 1020-1552.
Gahart, B.L., Nazareno, A.R., dan Ortega, M.Q. 2016. Intravenous Medications: A Handbook
for Nurses and Health Professionals. Missouri: Elsevier.
Grabe, M., Bjerklund-Johansen, T. E., Botto, H., Çek, M., Naber, K. G., Tenke, P., &
Wagenlehner, F. 2015. Guidelines on Urological Infections. European Association of
Urology, 182.
Hajebrahimi S, Sadeghi-Bazargani H, Taleschian Tabrizi N, Farhadi F, Sadeghi Ghyassi F.
2015. Non-drug Treatment for Lower Urinary Tract Symptoms in Women with
Voiding Dysfunction (Protocol). Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 1.
Art. No.: CD0114.
Jansen Ivana, Jane Wuisan, Henoch Awaloei. 2015. Uji efek antipiretik ekstrak meniran
(phyllantus niruri l.) Pada tikus wistar (rattus norvegicus) jantan yang diinduksi vaksin
dpt-hb. Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 3 (1)
Kemenkes. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pengendalian Demam Tifoid.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Lee, Y.-Y., Lin, Y.-M., Leu, W.-J., Wu, M.-Y., Tseng, J.-H., Hsu, M.-T., … Tam, K.-W.
(2015). Sliding-scale insulin used for blood glucose control: a meta-analysis of
randomized controlled trials. Metabolism, 64(9), 1183–1192.
McNeil Consumer Healthcare. 2015. Guidelines for the Management of Acetaminophen
Overdose. Fort Washington : McNeil Consumer Healthcare Division of McNEIL-PPC,
Inc
Medecins sans frontiers. 2017. Clinical guidelines.
https://medicalguidelines.msf.org/viewport/CG/english/fever-16689066.html# diakses
pada tanggal 08 mei 2019
Medscape. 2019. Drug interaction checker. https://reference.medscape.com/drug-
interactionchecker. Diakses pada 2 Mei 2019
MIMS. 2019. https://www.mims.com/indonesia. Diakses tanggal 8 Mei 2019.
MIMS. 2019. Dobutamine.
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/dobutamine?mtype=generic Diakses pada
7 Mei 2019
MIMS. 2019. Paracetamol.
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/paracetamol/?type=brief&mtype=generic
Diakses pada 7 mei 2019.
MIMS. 2019. Sodium Chloride.
https://www.mims.com/philippines/drug/info/sodium%20chloride?mtype=generic
Diakses pada 8 mei 2019.
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). 2014. Dyspepsia and gastro-
oesophageal reflux disease: investigation and management of dyspepsia, symptomps
suggestive of gastro-oesophageal reflux disease, or both. Clinical guideline. London:
National Institute for Health and Clinical Excellence.
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE).. 2019. Identifying and
Managing Complications in Adults with Type 2 Diabetes. London: National Institute
for Health and Clinical Excellence.
Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe II dan Tatalaksana Terkini. Medicinus.
Vol.27 No.2., Jakarta
NHS. 2012. Guideline for paracetamol use. Australia : The royal bournemouth and
Chrischurch Hospitals
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta PB: Perkeni
Purnomo, B.P. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya
Rampengan, N. H. 2013. Penggunaan Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi.
Sari Pediatri. 14(5): 272-276.
Sandika, J. dan Suwandi, F.J. 2017. Sensitivitas Salmonella typhi Penyebab Demam Tifoid
terhadap Beberapa Antibiotik. Majority Jurnal Kedokteran, 6(1).
Saskatchewan, Infection Prevention and Control Program. (2013). Guidelines for the
Prevention and Treatment of Urinary Tract Infections (UTIs) in Continuing Care
Settings. Canada
Sharma, V. and Gandhi, G. 2015. TheEfficacy of Dexamethasone Treatment in Massive
Enteric Bleeding in Typhoid Fever. Journal Clinical Gastroenterology and Hepatology.
Smirčić-Duvnjak, Lea. 2011. Diabetes Mellitus and Dyspepsia. In: Duvnjak, Marcko. 2011.
Dyspepsia in Clinical Practice. New York: Springer.
Spavoski,Goce. 2014. Clinical practice guideline on diagnosis and treatment of
hyponatraemia. Europan Journal of Endocrinology. Pages G1-G47.
Volume/Issue: 170/3
Tandi, Joni. 2017 Kajian Kerasionalan Penggunaan Obat pada Kasus Demam Tifoid di
Instalasi Rawat Inap Anutapura Palu. Jurnal Ilmiah Pharmacon, 6(4). ISSN 2302 -
2493
The Society of Hospital Pharmacists of Australia. 2011. The Australian Injectable Drugs
Handbook 5th Edition. Australia: SHPA Publications.
Wardaniati, I., Almahdy, A., dan Dahlan, A. 2016. Gambaran Terapi Kombinasi Ranitidin
dengan Sukralfat dan Ranitidin dengan Antasida dalam Pengobatan Gastritis di SMF
Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ahmad Mochtar Bukittinggi.
Jurnal Farmasi Higea, Vol. 8, No. 1
Zulkoni, Akhsin. 2011. Parasitologi. Yogyakarta : Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai