Anda di halaman 1dari 7

OBAT IMUNOSUPRESIF PADA TRANSPLANTASI GINJAL

Nunuk Mardiana
Sub Departemen Ginjal & Hipertensi, Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK. UNAIR – RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN

Transplantasi ginjal merupakan pilihan terapi terbaik bagi pasien Penyakit Ginjal Kronis
(PGK) tahap akhir. Hal utama yang banyak dibicarakan terkait transplantasi organ adalah
bagaimana menekan terjadinya rejeksi. Sebagian besar keberhasilan transplantasi ginjal
diperankan oleh obat obat imunosupresif yang digunakan sebagai terapi induksi, terapi
pemeliharaan serta terapi untuk rejeksi akut. Dengan demikian perkembangan imunosupresant
merupakan kunci keberhasilan mempertahankan fungsi ginjal cangkok.

Berdasarkan konsensus Transplantasi Ginjal Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)


tahun 2013, obat imunosupresan pada transplantasi ginjal terdiri dari imunosupresan untuk terapi
induksi dan terapi pemeliharaan. Pembahasan selanjutnya membicarakan obat obat
imunosupresif yang lazim digunakan sesuai konsensus Pernefri.

RESPON ALLOIMMUNE

Respon imunologi yang terjadi setelah transplantasi ginjal dimulai pada saat ginjal
diambil dari donor dan selanjutnya ditransplantasikan pada resipien, yang dikenal sebagai
ischemia reperfusion injury (IRI). Patogenesis IRI melibatkan faktor faktor biokimiawi, seluler,
endotel vaskuler dan faktor spesifik jaringan dengan gambaran umum terjadinya inflamasi.
Iskhemia akut akan menyebabkan kerusakan jaringan dan aktivasi sel endotel yang akan meng
inisiasi respon imun bawaan maupun antigen spesifik.

Pada ginjal cangkok dan jaringan disekitarnya, sel sel dendrit yang berasal dari resipien
maupun donor akan mengalami aktivasi dan kemudian berpindah ke sel T di daerah organ
limfoid sekunder.Antigen Presenting Cells (APCs) akan mempresentasikan antigen donor pada
sel T naifdan sel T memori sentral yang beredar diantara kompartemen limfoid. Terjadinya
rejeksi membutuhkan aktivasi sel T.

Interaksi antara T-Cell Receptor (TCR)- Major Histocompatibility Complex (MHC) akan
mengawali suatu proses terbentuknya sinyal dari kompleks CD3 yang dikenal sebagai sinyal 1.
Sel sel dendrit juga berperan pada tersedianya ko-stimulasi atau sinyal 2. Sinyal 2 ini terjadi
ketika CD80 dan CD 86 yang ada di permukaan sel Dendrit berinteraksi dengan CD 28 yang ada
pada sel T. Sinyal 1 dan sinyal 2 ini akan mengaktifkan 3 jaras yaitu : jaras calsium-calcineurin,
jaras RAS-mitogen-activated protein (MAP) kinase, dan jaras nuclear factor- κβ. Jaras-jaras
tersebut akan mengaktivasi faktor-faktor transkripsi yang akan menghasilkan banyak molekul
baru, termasuk interleukin (IL) 2. Bersama sama dengan sitokin lainnya, IL-2 akan menghasilkan
sinyal 3 melalui jaras molecular-target-of-rapamycin (mTOR) yang akan menginisiasi proliferasi
sel.

Proliferasi dan diferensiasi sel akan menghasilkan sel T efektor dalam jumlah besar, yang
akan menginfiltrasi ginjal cangkok dan menyebabkan respon inflamasi.Sel B mengalami aktivasi
ketika antigen berikatan dengan reseptor antigennya, biasanya di folikel limfoid atau di luar
folikel seperti red pulp limpa atau mungkin di transplant menghasilkan alloantibodi yang
ditujukan pada antigen HLA donor.

Sumber: nengl j med 351;26 www.nejm.org december 23, 2004


Gambar 1. Aktivasi sel T melalui 3 sinyal

OBAT IMUNOSUPRESAN

Transplantasi ginjal merupakan salah satu terapi pilihan pada pasien PGK stadium 5 atau
stadium gagal ginjal, selain dialisis. Obat obat imunosupresif merupakan bagian dari
keberhasilan modalitas terapi ini, yang diberikan sebagai terapi induksi, terapi pemeliharaan dan
terapi pada saat terjadi episode rejeksi akut. Dewasa iniangka kejadian rejeksi akut lebih rendah
dan outcomes jangka pendek lebih baik, akan tetapi outcomes jangka panjang belum
menunjukkan perbaikan yang berarti sehingga perlu pengkajian lebih dalam termasuk
penggunaan obat imunosupresif sebagai terapi pemeliharaan.
Sumber: nengl j med 351;26 www.nejm.org december 23, 2004
Gambar 2. Kerja obat imunosupresif

BIOLOGIC AGENTS

Bahan biologi ada dalam bentuk antibodi poliklonal dan monoklonal yang digunakan
pada transplantasi ginjal sebagai terapi induksi. Berdasarkan panduan konsensus Transplantasi
Ginjal Pernefri tahun 2013, untuk terapi induksi dianjurkan menggunakan antibodi monoklonal
Basiliximab. Pada sel T yang teraktivasi, IL-2R (CD25) akan mengalami upregulation sehingga
menyebabkan ekpresi IL-2R yang berhubungan dengan IL-2 memicu sel T yang teraktivasi
mengalami proliferasi. Basiliximab mempunyai spesifisitas pada CD25. Antibodi ini
menginduksi imunosupresi yang relatif ringan dan digunakan sebagai bahan induksi untuk
mencegah rejeksi tetapi tidak dapat mengobati rejeksi yang sudah terjadi. Basiliximab diberikan
2 jam sebelum operasi dan hari ke 4 pasca operasi dengan dosis 20 mg (untuk berat badan >
35kg) secara IV.

SMALL MOLECULE DRUGS

Kortikosteroid

Merupakan landasan utama imunosupresan selama 50 tahun terakhir, sebagai terapi


pemeliharaan dan sebagai terapi rejeksi akut. Kortikosteroid menekan produksi sejumlah sitokin
dan substansi vasoaktif, menyebabkan neutrofilia tetapi menghambat kemotaksis dan adhesi
neutrofil. Kortikosteroid bekerja sebagai agonis reseptor glukokortikoid tetapi pada dosis tinggi
mempunyai efek yang independen dari reseptor. Regulasi respon imun oleh kortikosteroid
meliputi pengaturan transcription factors activator protein 1(AP-1), NF- κβ. Pada keadaan
normal NF- κβ berada dalam bentuk kompleks tidak aktif dengan inhibitor nuclear factor κβ(I
κβ), tetapi bisa dilepaskan oleh Iκβ kinase. Kortikosteroid merangsang Iκβ yang selanjutnya akan
menyebabkan degradasi kompleks oleh Iκβ kinase. Secara keseluruhan efek kortikosteroid ini
komplek, ditujukan pada sitokin, molekul adhesi, apoptosis dan aktivasi sel sel inflamasi.

Berdasarkan konsensus Pernefri, kortikosteroid mulai diberikan pada saat intraoperasi,


kemudian 24 jam dan 48 jam berikutnya dengan menggunakan Metilprednisolon 500 mg IV.
Pada hari ke 4 pasca transplantasi diturunkan menjadi 16 mg per oral dan secara bertahap sampai
dosis 4 mg/hari.

Calcineurin Inhibitor (CNIs)

CNIs terdiri dari cyclosporine dan tacrolimus, termasuk molekul kecil berasal dari
fungus. Kedua CNIs bisa berikatan dengan protein sitoplasma yang disebut immunophillins.
Cyclosporine berikatan dengan cyclophilin, sedangkan tacrolimus berikatan dengan FK-binding
protein 12 (FKBP12). Ikatan tersebut akan meningkatkan afinitas dan selanjutnya efek
penghambatan immunophillins terhadap calcineurin yang akan menyebabkan nuclear factor of
activated T cells (NF-AT) menjadi tidak aktif. NF-AT yang aktif akan dikaitkan dengan faktor
transkripsi lain , yang akan menginisiasi peristiwa peristiwa yang menyebabkan aktivasi sel T.
Kompleks aktif Tacrolimus:FKBP12 menghambat calcineurin dengan kekuatan yang lebih besar
dari pada kompleks cyclosporin yang sesuai. Cyclosporin dan Tacrolimus juga dapat
mengganggu aktivasi calcineurin pada substrat selain NF-AT. CNIs juga menyebabkan
upregulation dari sitokin transforming growth factor β (TGF β) yang selain mempunyai
kemampuan imunosupresif juga dapat meningkatkan deposisi protein matriks dan fibrosis
jaringan. CNIs juga dapat menekan respon imun melalui jaras yang tidak tergantung calcineurin,
umumnya melalui penghambatan terhadap jaras sinyaling intraseluler spesifik untuk sel T.

Konsensus Pernefri merekomendasikan CNIs sebagai bagian dari kombinasi


imunosupresan yang diberikan pada terapi pemeliharaan awal. Dianjurkan sebagai lini pertama
adalah Tacrolimus diberikan mulai dosis 0,15-0,3 mg/kgBB/hari, selanjutnya dosis disesuaikan
dengan kadar tacrolimus darah dengan target awal kadar tacrolimus darah 6-8 ng/ml. Apabila
menggunakan Cyclosporin, digunakan dosis 4-10 mg/kgBB/hari, selanjutnya dosis pemeliharaan
disesuaikan dengan kadar Cyclosporin darah. Pemberian CNIs sudah dimulai sebelum atau saat
transplantasi dilakukan.

Mycophenolate

Mycophenolate mofetil (MMF) merupakan prodrug, bentuk metabolit aktifnya adalah


mycophenolic acid (MPA). Bentuk enteric coated MPA adalah enteric coated mycophenolate
sodium (EC-MPS). Keduanya adalah bahan anti proliferatif dan merupakan komponen rejimen
imunosupresif yang penting dalam menunjang keberhasilan transplantasi. MPA adalah inhibitor
non kompetitif inosin monophosphate dehydrogenase (IMPDH), yaitu rate limiting
enzymesintesis guanosine monophosphate (GMP). Penghambatan terhadap IMPDH akan
menyebabkan terjadinya defisiensi GMP dan kelebihan relatif adenosine monophosphate (AMP).
Kadar GMP dan AMP ini mengontrol biosintesis purin, MPA melalui penghambatan terhadap
IMPDH juga akan menghambat sintesis purin yang secara seletif mempengaruhi respon
proliferatif sel T dan sel B.

Konsensus Pernefri merekomendasikan obat antiproliferatif sebagai salah satu obat


imunosupresan yang diberikan secara kombinasi pada terapi pemeliharaan awal. Mycophenolate
dianjurkan sebagai antiproliferatif lini pertama dengan dosis MMF 1000 mg 2 kali/hari atau
dosis enteric coated MPA 720 mg 2x/hari.

Azathioprine

Sejak diperkenalkannya MMF, penggunaan azathioprine menurun secara dramatis. Obat


ini dimetabolisme di hati dan selanjutnya dirubah menjadi bentuk metabolit aktifnya yaitu thio-
inosinic acid. Metabolisme azathioprine akan melepaskan 6 mercapto-purine, 6-thiouric acid, 6-
methylmercaptopurine dan 6-thioguanine yang akan menghambat jaras sintesis purin dan
menghambat replikasi DNA. Azathioprine menghambat proliferasi sel T dan sel B yang
teraktivasidan menurunkan jumlah monosit yang beredar dengan menghambat siklus sel
promielosit di sumsum tulang.

mTor Inhibitor

mTOR adalah pengontrol utama pertumbuhan dan proliferasi sel. Inhibitor mTOR adalah
obat yang menghambat sinyal proliferasi dengan aktivitas imunosupresif yang kuat, yaitu
Sirolimus atau juga dikenal sebagai Rapamycin. Everolimus merupakan analog Rapamycin yang
mempunya mekanisme kerja, perangkat imunosupresif dan profil efek samping yang serupa.

Sirolimus mempunyai struktur yang menyerupai Tacrolimus dan berikatan dengan


immunophillin FKBP12.Afinitas sirolimus terhadap FKBP12 lebih besar dari pada
Everolimus.Inhibitor mTOR menghambat transduksi sinyal dan proliferasi sel yang diperantarai
reseptor sitokin, dan menghambat respon limfosit terhadap sitokin dan growth factor.

Tabel 1.1 Terapi pemeliharaan obat imunosupresan pada resipien transplan ginjal stabil
Samaniego et all, 2006

RINGKASAN

Obat obat imunosupresif mempunyai peranan yang penting dalam keberhasilan


transplantasi ginjal. Tujuan utama pemberian imunosupresan sebagai terapi pemeliharaan pada
transplantasi ginjal adalah mencegah kegagalan allograft, memelihara fungsi ginjal,
meminimalkan efek samping obat dan menjaga homeostasis imun misalnya pertahanan terhadap
mikroba dan sel sel ganas bisa tetap dipertahankan. Konsensus Transplantasi Ginjal Pernefri
tahun 2013 merekomendasikan terapi pemeliharaan imunosupresan menggunakan kombinasi
CNIs dan obat antiproliferatif, dengan atau tanpa kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Samaniego M, Becker BN, Djamali A. Drug Insight: maintenance immunosuppression in


kidney transplant recipients. Nature Clinical Practice Nephrology 2006;2: 688-699.
2. Bodel MA, Womer KL, Rabb H. Immunosuppresive medications in kidney
transplantation. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege J, eds. Comprehensive clinical
nephrology. 5thed. Philadelphia: ELSEVIER Saunders;2015.P.1144-1152
3. Konsensus Transplantasi Ginjal. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) 2013.
4. Danovitch GM. Immunosuppressive medications and protocols for kidney
transplantation. In: Danovitch GM,editor. Handbook of kidney transplantation. 5th
ed.Philadelphia: Walters Kluwer/ Lippincott Williams & Wilkins;2010. P.77-126
5. Halloran PF. Immunosuppressive drugs for kidney transplantation. NEngl JMed
2004;351:2715-2729
6. Marc’en R. Immunosuppressive drugs in kidney transplantation.Impact on patient
survival, and incidence of cardiovascular disease, malignancy and infection. Drugs
2009;69 (16): 2227-2243

Anda mungkin juga menyukai