Anda di halaman 1dari 26

Talassemia

Willy Kurniawan / 102009074

Email: wil_kurz@yahoo.com / CN: 087882418667

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat

Anemia merupakan penyakit yang angka kejadiannya masih cukup tinggi di Indonesia,
terutama pada yang berjensi kelamin perempuan. Masyarakat awam tentu saja pada umumnya
mengetahui apa itu anemia atau penyakit kurang darah yang secara umum ditandai dengan gejala
ringan seperti pusing, lemas, mata dan bibir tampak pucat (anemis). Masyarakat awam tentu
tidak tahu bahwa anemia dapat di sebabkan oleh beberapa penyebab tidak hanya karena
kekurangan zat besi, tentu saja kepercayaan yang timbul di masyarakat bahwa anemia terjadi
karena kekurangan zat besi sehingga masyarakat awam sering sekali tidak berusaha untuk
mencari pertolongan tenaga medis lebih lanjut, penggunaan pil besi menjadi solusi cepat dan
murah bagi masyarakat. Tapi anemia tentu saja tidak terjadi hanya karena kekurangan zat besi,
banyak hal yang dapat mengakibatkan anemia dan tidak semua dapat di obati dengan pil besi,
ada beberapa keadaan anemia yang justru akan semakin berbahaya bila di beri pil besi.

Secara umum anemia di definisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan
penurunan kadar hemoglobin atau nila hematokrit atau jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah.
Keadaa ini kemudian mengakibatkan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen dan
menyuplai darah ke seluruh tubuh berkurang sehingga akan timbul gejala akibat terjadinya
hipoksia yang bisa sangat ringan sampai sangat berat.1

Anemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan seperti defisiensi besi, gangguan sintesis
porfirin, gangguan sintesis globin (Hb varian dan Thalasemia), anemia pernisiosa, anemia
defisiensi vit. B 12, anemia defisiensi folat, anemia hemolitik, anemia aplastik, anemia pada

1
keganasan.2 Dari pemaparan sebelumnya dapat diketahui bahwa penyebab anemia tidak hanya
terjadi karena kekurangan besi tetapi dapat disebabkan oleh banyak faktor.

Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai anemia serta akan lebih
dispesifikan sebagai anemia yang terjadi karena talasemia.

Thalassemia

Thalasemia merupakan suatau kelainan yang ditandai dengan penurunan kecepatan atau
kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin α dan β, ataupun rantai globin lainnya, dapat
menimbulkan penurunan produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai globin
tersebut. Keadaan ini kemudian menimbulkan thalassemia yang jenisnya sesuai dengan rantai
globin yang terganggu produksinya. 1,3,4,5

1. Epidemiologi
Thalasemia dapat dapat ditemukan dari Eropa Selatan, Mediterania, Timur Tengah, dan
Afrika sampai dengan Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia.4

Tabel 1. Sebaran Jenis Thalasemia


Jenis Thalasemia Peta Sebaran
Thalasemia-β Sering: Mediterania, Timur-Tengah, India,
Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan,
Cina
Jarang: Afrika (kecuali Liberia, dan di
beberapa bagian Afrika Utara)
Sporadik di: semua ras
Thalasemia-α Terentang dari Afrika ke Mediterania,
Timur Tengah, Asia Timur, Asia Tenggara
Hb Bart’s hydrops syndrome, dan HbH
disease sebagian besar terbatas di populasi
Asia Tenggara, dan Mediterania

2. Etiologi

2
Thalasemia terjadi karena mutasi dari gen pembentuk protein globin yang penting dalam
pembentukan hemoglobin. Mutasi ini terjadi karena interaksi gen-gen kedua orang tua
yang kemudian diturunkan kepada anaknya. Keadaan thalasemia mengakibatkan
produksi sel darah merah menurun serta terjadi peningkatan destruksi sel darah merah
yang kemudian akan mengakibatkan terjadinya anemia.3,4,5

3. Genotipe dan fenotipe thalassemia

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai thalassemia yang merupakan penyakit yang
diturunkan dan dibawa oleh kedua gen orang tua, maka perlu dibahas mengenai genotip
dan fenotip dari thalassemia.4

3.1. Genotip dan fenotipe thalassemia tipe β


Individu normal memiliki dua alel gen globin- β, sehingga genotype thalassemia tipe β
dapat muncul dalam bentuk heterozigot atau homozigot. Kedua bentuk genotype ini dapat
melahrikan berbagai bentuk fenotipe thalassemia-β. Heterozigositas thalassemia-β
disebut sebagai thalassemia-β trait. Homozigositas atau heterozigositas ganda siebut
thalassemia β mayor.
Tabel 2. Genotipe dan Fenotipe Thalassemia-β
Bentuk thalassemia-β Genotip Fenotip
Thalassemia-β0 Thalassemia homozigot Bervariasi (ringan-berat)
(β0 β0)
Thalassemia-β+ Mutasi gen bervariasi Bervariasi (ringan-berat)
heterozigot
Thalassemia-β0 dan Heterozigot ganda:
thalassemia- β+  2 β0 berbeda atau 2
β+ berbeda
 Atau β0 dan β+

3.1.1. Thalassemia-β0, thalassemia-β+, thalassemia homozigot dan heterozigot thalassemia-


β0 (β zero thalassemia)

3
Thalassemia seperti ini dapat terjadi karena gen normal tidak dieskpresikan atau
bentuk lebih jarang terjadi karena delesi gen. pada thalassemia homozigot (β0 β0)
rantai-β0 tidak diproduksi sama sekali dan hemoglobin A tidak dapat
diproduksi(hemoglobin A adalah hemoglobin yang terbentuk dari sepasang rantai
globin α dan sepasang rantai globin β)2.
Pada thalassemia- β+ (β plus – thalassemia) ekspresi gen β menurun namun tidak
menghilang sama sekali, dengan demikian HbA tetap diproduksi walaupun akan
menurun. Hingga saat ini banyak ditemukan mutasi dari β+ - thalassemia dengan berat
gangguan dalam sintesis rantai- β yang bervariasi, hal ini juga mengakibatkan gejala
yang ditimbulkan juga bervariasi berat ringannya.4
Thalassemia-β dengan genotip yang homozigot juga menunjukkan fenotip yang
bervariasi, dari yang ringan sampai yang sangat berat. Thalassemia-β heterozigot
ganda dapat memiliki dua gen thalassemia- β+ atau thalassemia-β0 yang berbeda atau
dapat pula kombinasi dari gen β0 atau gen β+.4
3.1.2. Thalassemia-β trait
Thalassemia- β trait mempunyai genotip berupa heterozigot thalassemia-β, sering
disebut juga sebagai thalassemia β minor. Fenotip kelainan ini sering kali
asimptomatik.4
3.1.3. Thalassemia β mayor
Thalassemia β mayor, dengan genotip homozigot atau heterozigot ganda
thalassemia-β, menunjukkan fenotip klinis berupa kelainan yang sangat berat dan
penderita bergantung sepenuhnya pada transufi darah untuk memperpanjang usia.
3.1.4. Thalassemia β intermedia
Thalassemia-β intermedia menunjukkan fenotip klinis di antara thalassemia-β
mayor dan thalassemia-β minor. Penderita thalassemia- β intermedia secara klinis
dapat asimptomatik namun disaat tertentu memerlukan transufi darah. Transufi darah
pada thalassemia β intermedia tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup.
Thalassemia β intermedia merupakan kelompok kelainan yang heterogen dan
mencakup:
 Homozigot dan heterozigot ganda thalassemia- β minor, atau

4
 Heterozigot thalassemia- β yang diperberat dengan faktor pemberat
genetik berupa triplikasi alfa baik dalam bentuk heterozigot maupun
homozigot.
3.1.5. Thalassemia- β dominan
Thalassemia- β dominan dikaitkan dengan fenotip klinis yang abnormal dari
bentuk heterozigot.4

3.2.Genotip dan Fenotip Thalassemia-α


Thalassemia-α u dikelompokkan kedalam empat bentuk genotip dengan fenotip
yang berbeda yang akan dijabarkan dibawah ini:
3.2.1. Thalassemia-2-α trait (-α / αα)
Ditemukan delesi satu rantai α (-α), yang didapatkan dari salah satu orang tuanya.
Sedangkan rantai –α lainnya yang lengkap (αα), diwarisi dari pasangan orang tuanya
dengan rantai-α normal. Penderita kelainan ini merupakan pembawa fenotip yang
asimptomatik atau silent carrier state. Kelainan ini ditemukan pada 15-20% populasi
keturunan Afrika.4
3.2.2. Thalassemia-1-α trait (-α/-α atau αα/--)
Pada keadaan ini ditemukan delesi dua lokus. Delesi ini daoat berbentuk thalassemia-
2a-α homozigot (-α/-α) atau thalassemia-1a-α heterozigot (αα/ --). Fenotip
thalassemia-1-α trait menyerupai fenotip thalassemia-α minor.
3.2.3. Hemoglobin H disease (--/-α)
Pada penderita ditemukan delesi tiga lokus, berbentuk heterozigot ganda untuk
thalassemia-2-α dan thalassemia 1-α (--/-α). Fetus yang menderita keadaan ini dapat
kita temukan akumulasi beberapa rantai –β yang tidak berpasangan (unpaired –β
chains). Sedangkan pada orang dewasa yang menderita hemoglobin H akumulasi
unpaired –β chains lebih mudah larut dan akan membentuk tetramer β4, yang disebut
HbH. HbH membentuk sejumlah inklusi kecil di eritroblast, tetapi tidak ditemukan
pada eritrosit yang sudah matang dan beredar di darah tepi. Delesi tiga loki ini
memberikan fenotip yang lebih berat. Fenotipe HbH diseasemirip dengan anemia
hemolitik sedang-berat, namun disertai dengan inefektivitas eritropoeisis yang lebih
ringan.4

5
3.2.4. Hydrops Fetalis dengan Hb Bart’s (--/--)
Pada keadaan ini ditemukan delesi dari 4 loki. Pada keadaan embrional sama
sekali tidak diproduksi rantai globin α. Keadaan ini kemudian akan mengakibatkan
dibentuknya rantai globin ã yang berlebihan dan membentuk tetramer globin ã4, yang
disebut Hb Bart’s. Tetramer ini mempunyai afinitas terhadap oksigen yang sangat
tinggi, hal ini mengakibatkan oksigen tidak dapat mencapai jaringan fetus, sehingga
terjadi asfiksia jaringan, edema (hydrops fetalis), gagal jantung kongsetif dan
meninggal dalam uterus. 4

Secara ringkas genotip dan fenotip dari berbagai mutasi gen pada thalassemia-α
akan dipersingkat dalam bentuk tabel di bawah ini;

Tabel 3. Genotip dan fenotip thalassemia-α


Bentuk thalassemia- α Genotip Fenotip
Thalassemia-2-α trait (-α/ αα) Asimptomatik
Thalassemia-1-α trait:
 Thalassemia-2a-α (-α/ -α) Menyerupai thalassemia-β
homozigot minor
 Thalassemia-1a-α (αα / - -)
heterozigot
Hemoglobin H disease ( - - / - α) Thalassemia intermedia
Hydrops fetalis dengan Hb (- - / - -) Hydrops fetalis 
Barts meninggal in utero

4. Pathogenesis Thalassemia
Seperti yang sudah diuraikan diatas thalassemia merupakan sindrom kelainan
yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat
gen globin. Perubahan ini diakibatkan adanya mutasi gen globin pada cluster gen α atau β
globin berupa delesi atau non delesi. Mutasi gen globin ini kemudian dapat
mengakibatkan perubahan pada rantai α globin atau β globin. Perubahan ini dapat berupa
penurunan sintesis globin (rate of synthesis) atau hilangnya kemampuan untuk

6
mensintesis rantai globin tertentu. Walaupun saat ini telah lebih dari dua ratus mutasi gen
thalassemia yang diidentifikasikan, tetapi tidak jarang analisis DNA thalassemia belum
dapat ditentukan jenis mutasinya, keadaan ini membuat terapi gen pada kelainan
thalassemia sukar untuk dilakukan.4

4.1. Dasar molekular thalassemia-β


Saat ini sudah ditemukan banyak mutasi yang mengakibatkan kelainan
thalassemia-β. Hampir dari dua ratus bentuk mutasi gen yang terjadi pada thalassemia-β.
Setiap kelompok mutasi memiliki satu set mutasi thalassemia β yang berbeda. Secara
garis besar mutasi gen pada thalassemia – β dibagi menjadi dua kelompok bentuk mutasi
gen yakni bentuk delesi dan nondelesi.
a. Delesi gen globin – β: paling sedikit 17 delesi yang beberbeda hanya dijumpai pada
thalassemia- β namun keadaan ini jarag dan terisolasi, kecuali delesi 619-bp pada
ujung akhir 3’ gen – β lebih sering ditemukan di populasi Sind dan Gujarat di
Pakistan dan India. Delesi ini mencakup lebih kurang 50% allel thalassemia – β.
Bentuk homozigot delesi ini menghasilkan thalassemia – βo. heterozigot delesi ini
menghasilkan peningkatan HbA2 dan HbF.
b. Mutasi non delesi globin- β: mutasi non delesi terjadi karena gangguan pada proses
transkripsi, prosessing, dan translasi, atau berupa mutasi titik (point mutations):
 Region promotor (promotor regions)
 Mutasi trankripsional pada lokasi CAP (CAP sites, 5’- untranslated region)
 Mutasi prosesing RNA, intron-exon boundaries, polyadenilation signal (Poly
A signal), splice site consensus sequences, cryptic site in exons, crytic sites in
introns
 Mutasi yang menyebabkan tranlasi abnormal RNA messenger, inisiasi,
nonsense dan mutasi frameshift.
c. Bentuk mutasi lain: dapat dijumpai juga bentuk mutasi lain yang khas pada
thalassemia β yang diwariskan secara dominan (dominantly inherited β thalassemias),
varian globin β yang tidak stabil (unstable β-globin variants), thalassemia β
tersembunyi yang tidak terkait kluster gen globin β (variant forms of β-thalassemia).

7
4.2. Dasar molekula thalassemia α
Halpotip gen globin – α dapat ditulis sebagai αα, yang menunjukkan gen- α2 dan gen α1.
Individu normal memiliki genotip αα/αα. Pada thalassemia-ã dapat terjadi mutasi gen
yang berbentuk delesi dan non delesi gen- α.
a. Delesi gen – α: delesi pada thalassemia – α yang mencakup satu (-α) atau kedua (--)
gen. Untuk mengetahui tentang mutasi delesi ini akan dijelaskan sedikit mengenai
cara penulisan gen thalassemia – α. Gen- α diklasifikasikan berdasarkan ukurannya,
ditulis di atas (superscript). Dalam keadaan delesi belum dapat ditentukan, maka
ditulis sebagai (- - MED) yang artinya delesi kedua gen- α yang diidentifikasikan pada
individu yang berasal dari Mediterania. Pada thalassemia- α0, terdapat 14 delesi yang
mengenai kedua gen- α, sehingga produksi rantai- α hilang sama sekali dari
kromosom yang abnormal.
Bentuk thalassemia- α+ yang paling umum ( - α3,7 dan α4,2) mencakup delesi satu atau
duplikasi lainnya pada gen globin- α.
b. Non delesi gen- α
Pada lesi non-delesi kedua halpotip gen – α masih utuh (α α), sehingga diberikan
nomenklatur (αTα) dimana superscript T menunjukkan bahwa gen tersebut
tehalassemik, namun bila defek molecular diketahui seperti pada hemoglobin
constant spring, nemonklatur (αTα) dapat diubah menjadi (αCSα). Ekresi gen- α2 lebih
kuat 2-3x dibandingkan dengan ekspresi gen- α1, sehingga sebagian besar mutasi non-
delesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen- α2. 4

5. Patofisiologi Thalassemia

Pada thalassemia dapat terjadi pengurangan atau tidak ada produksi rantai globin
satu atau lebih. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis rantai
globin baik itu rantai – α atau rantai – β menyebabkan sintesis rantai globin yang tidak
seimbang. Bila pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai
α dan α (α2β2), maka pada thalassemia- β0 dimana tidak disintesis sama sekali rantai β,
maka rantai globin α akan diproduksi secara berlebihan (α4). Sedangkan pada thalassemia

8
– α0 tidak disintesis sama sekali rantai α, maka rantai globin yang diproduksi berupa
rantai β yang berlebihan berupa (β4).
Secara lebih terinci akan dijelaskan dibawah mengenai bagaimana terjadi
gangguan dalam proses thalassemia β maupun thalassemia α di bawah ini.4-6

5.1. Patofisiologi Thalassemia – β


Pada thalassemia – β terdapat penurunan produksi rantai β, dan terjadi produksi
berlebihan rantai α. Meskipun pada pasca kelahiran juga di produksi rantai globin ã, yang
kemudian dapat mengikat rantai globin α membentuk ã2α2 (HbF), tetapi tidak cukup
untuk mengkompensasi kekurangan α2β2 (HbA). Hal ini menunjukkan bahwa produksi
rantai globin β dan rantai globin ã tidak pernah mencukupi untuk mengikat rantai globin
α yang berlebihan. Rantai α yang berlebihan ini merupakan penyebab utama patogenesa
dalam proses thalassemia - β.4-6
Rantai α yang berlebihan akan berpresipitasi pada prekusor sel darah merah dalam
sumsum tulang dan dalam sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan
menimbulkan gangguan pematangan precursor eritroid dan eritropoeisis yang tidak
efektif (inefektif), sehingga umur eritrosit menjadi lebih pendek. Hal ini yang
mengakibatkan terjadinya anemia. Anemia lebih lanjut lagi akan menjadi pendorong
(drive) proliferasi sel eritroid yang terus menerus dalam sumsum tulang yang sudah
inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini kemudian akan menyebabkan
deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan dan metabolisme. Anemia
kemudian akan ditimbulkan lagi dengan adanya hemodilusi akibat adanya hubungan
langsung (shunting) darah akibat sumsum tulang yang berekspansi dan juga oleh adanya
splenomegaly yang terjadi karena banyaknya sel darah merah yang mengalami
hemolysis. Pada limpa yang membesar terdapat sel darah merah abnormal yang terjebak,
yang kemudian akan dihancurkan oleh sistem fagosit di limpa. Hiperplasi sumsum tulang
akan meningkatkan absorpsi dan muatan ion besi. Hal ini akan menyebabkan
penimbunan besi yang progresif di jaringan berbagai organ yang akan diikuti dengan
keruskan organ yang diakhri dengan kematian, bila besi ini tidak segera di keluarkan.4-6

9
Tabel 3. Patofisiologi Thalassemia – β

Hal yang Terjadi Akibatnya

Mutasi primer terhadap produksi globin Sintesis globin yang tidak seimbang

Rantai globin yang berlebihan terhadapat Anemia


metabolism dan ketahanan hidup sel darah
merah

Eritrosit abnormal terhadap fungsi organ Anemia, splenomegaly, hepatomegaly, dan


kondisi hiperkoagulabilitas

Anemia terhadap fungsi organ Produksi eritropoetin dan ekspansi sumsum


tulang, deformitas skeletal, gangguan
metabolism, dan perubahan adaptif
kardiovaskuler

Metabolism besi yang abnormal Muatan besi berlebih  kerusakan jaringan


hati, endokrin, miokardium, dan kulit

Rentan terhadapt infeksi spesifik

Sel seleksi Perningkatan kadar HbF, heterogenitas


populasi sel darah merah

Modifiers genetik sekunder Variasi fenotip; khususnya melalui respon HbF

Variasi metabolism bilirubin, besi dan tulang

Pengobatan Muatan besi berlebih, kelainan tulang, infeksi


yang ditularkan lewat darah dan toksisitas obat

5.2. Patofisiologi Thalassemia – α

10
Patofisiologi thalassemia – α umumnya sama dengan yang dijumpai pada
thalassemia-β kecuali beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) muatan (T) rantai
globin – α. Hilangnya gen globin – α tunggal (-α / αα atau αTα / αα) tidak berdampat pada
fenotip. Sedangkan thalassemia-2a-α homozigot (-α/ -α) atau thalasemia-1a-α heterozigot
(αα / - - ) memberi fenotip seperti thalassemia β carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin –
α memberikan fenotip tingkat penyakit berat menengah, yang dikatakan sebagai HbH
disease. Sedangkan thalassemia α0 homozigot (--/--) tidak dapat bertahan hidup disebut
sebagai Hb Bart’s hydrops syndrome.
Kelainan dasar thalassemia-α sama dengan thalassemia-β yakni ketidak
seimbangan sintesis rantai globin. Namun ada perbedaan besar sewaktu masa fetus.
Beberapa perbedaan itu adalah:
 Pertama, kedua rantai- α hemoglobin dimiliki bersama oleh hemoglobin fetus atau
dewasa (tidak seperti pada thalasemia-β), maka thalassemia – α bermanifestasi pada
masa fetus.
 Kedua, sifat-sifat yang ditimbulkan akibat produksi secara berlebihan rantai globin –
ã dan – β yang disebabkan oleh defek produksi rantai globin – α berbeda dengan
akibat produksi berlebihan rantai – α pada thalassemia – β. Bila kelebihan rantai – α
tersebut menyebabkan presipitasi pada precursor eritrosit, maka thalassemia- α
menimbulkan tetramer yang larut (soluble) yakni ã4, Hb Bart’s dan β4.

6. Manifestasi Klinis Thalassemia-β


Thalassemia-β dibagi 3 (tiga) sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru
ditemukan yakni:
6.1. Thalassemia – β minor (trait)
Gambaran klinis normal. Hanya ditemukan hepatomegaly dan splenomegali pada
beberapa penderita.
Dari hasil pemeriksaan laboraturim dapat ditemukan anemia hemolitk ringan yang
tidak bergejala (asimptomatik). Kadar hemoglobin terentang antara 10 – 13 g% dengan
jumlah eritrosit normal atau sedikit tinggi. Darah tepi menunjukkan gambaran mikrositik
hipokrom, poikilositosis, sel target dan eliptosit, termasuk kemungkinan ditemukan
peningkatan eritrosit stippled. Sumsum tulang menunjukkan hyperplasia eritroid ringan

11
sampai sedang dengan eritropoeisis yang sedikit tidak efektif. Umumnya kadar HbA2
tinggi (antara 3,5-8%). Kadar HbF biasanya terentang antara 1-5%. Pada bentuk varian
lainnya yang jarang, ditemukan HbF berkisar antara 5- 20%.7
6.2. Thalassemia- β mayor
Thalassemia β mayor, biasanya ditemukan pada anak berusia 6 bulan sampai
dengan 2 tahun dengan klinis anemia berat. Bila anak tersebut tidak iobati dengan
hipertransfusi (tranfusi darah yang bertujuan mencapai kadar Hb tinggi) akan terjadi
peningkatan hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata karena rongga
sumsum tulang mengalami perluasan akibat hyperplasia eritroid yang ekstrim.
Dari pemeriksaan radiologis gambaran khas “hair on end”. Tulang panjang
menjadi tipis akibat ekspanis sumsum tulang yang dapat berakibat fraktur patologis.
Wajah menjadi khas berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan dagu atas. Pertumbuhan
fisik dan perkembangannya terhambat.7
Dari hasil pemeriksaan laboratorium kadar Hb rendah mencapai 3 – 4%. Eritrosit
hipokrom, sangat poikilositosis, termasuk sel target, sel teardrop, dan eliptosit. Fragmen
eritrosit dan mikrosferosit terjadi akibat ketidakseimbangan sintesis rantai globin. Pada
darah tepi ditemukan eritroist stippled dan banyak sel eritrosit bernukleus. MCV
terentang antara 50-60 fL. Sel darah merah khas berukuran besar dan sangat tipis,
biasanya wrinkled dan folded mengandung hemoglobin clump. Hitung retikulosit
berkisar antara 1 – 8%, dimana nilai ini kurang berkaitan dengan hyperplasia eritroid
dan hemolysis yang terjadi. Rantai globin – α yang berlebihan dan merusak membran sel
merupakan penyebab kematian prekursor sel darah merah intramedula, sehingga
menimbulkan eritropoeisis inefektif. Elektroforesis Hb menunjukkan terutama HbF,
dengan sedikit peningkatan HbA2. HbA dapat tidak ada sama sekali atau menurun.
Sumsum tulang menunjukkan hyperplasia eritroid dengan rasio eritroid dan myeloid
kurang lebih 20:1. Besi serum sangat meningkat, tetapi total iron binding capacity
(TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi transferrin 80% atau lebih. Ferittin
serum biasanya meningkat. 7

12
6.3. Thalassemia β intermedia
Gambaran klinis bervariasi dari bentuk ringan- berat yang tidak dapat
mentoleransi aktivitas berat dan dapat ditemukan fraktur patologis. Dari hasil
pemeriksaan laboraturium dapat ditemukan muatan besi berlebih, walaupun tidak
mendapat transfusi darah. Eritropoesis nyata meningkat, namun tidak efektif, sehingga
menyebabkan peningkatan turnover besi dalam plasma, kemudian merangsang
penyerapan bisa via saluran cerna. Komplikasi jantung dan endokrin muncul 10 – 20
tahun kemudian pada penderita thalassemia intermedia.7
6.4. Thalassemia – β hemoglobin – E
Thalassemia – β / Hemoglobin E (HbE) sering dijumpai di Asia Tenggara.
Gambaran klinisnya bervariasi diantara thalassemia intermedia sampai dengan
thalassemia yang bergantung tranfusi darah dan tidak dapat dibedakan dengan
thalassemia β homozigot.

7. Manifestasi Klinis thalassemia- α


Thalassemia – α dapat bermanifestasi dalam empat bentuk sindrom klinik
bergantung kepada nomor gen, pasangan cis dan trans dan julah rantai – α yang
diproduksi. Empat sindrom tersebut adalah silent carrier, thalassemia – α trait, HbH
disease dan thalassemia – α homozigot (hydops fetalis).7
7.1. Thalasseia – α trait (minor)
Thalassemia – α trait memiliki genotip yang dapat berupa bentuk homozigot – α+
(-α / -α) atau heterozigot – α ( - - / α α). Gejala klinis yang timbul dapat normal, anemia
ringan dengan peningkatan jumlah eritrosit yang mikrositik hipokrom. Pada saat
postnatal dapat ditemukan HbH Bart’s 2 – 10 %. Pada waktu dewasa tidak ditemukan
adanya HbH (β4).7
7.2. HbH disease
HbH disease disebabkan oleh keadaan yang mengakibatkan hanya ada satu gen
yang memproduksi rantai globin – α ( - - / - α) atau dapat juga disebabkan oleh
kkombinasi gen α0 dengan Hb Constant Spring ( - - / αCSα).
Penderita HbH disease pada umumnya mengalami anemia hemolitik kronik yang
ringan sampai sedang. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembesaran limpa

13
dan terdapat kelainan skeletal. Pemeriksaan laboraturium dapat ditemukan kadar Hb
antara 7 – 10 g%, dan dapat ditemukan retikulosit 5 – 10%. Eritrosit menunjukkan
mikrositik hipokromik dengan poikilositosis yang nyata, termasuk sel target dan
gambaran beraneka ragam. HbH mudah teroksidasi dan in vivo secara perlahan ke bentuk
Heinz-lika bodies dari hemoglobin yang terdenaturasi. Inclusion bodies mengubah bentuk
dan sifat viskoelastika dari eritrosit, menyebabkan umur eritrosit menjadi lebih pendek.
Dalam keadaan ini splenektomi sering memberikan perbaikan.7,8
Retradasi mental juga dapat terjadi bila lokus dekat cluster gen – α pada
kromosom 16 bermutasi atau ko-delesi dengan cluster gen – α.7,8
Suatu keadaan serius berupa krisis hemolitik dapat terjadi pada penderita yang
mengalami infeksi, hamil atau terpapar obat-obat oksidatif. Krisis hemolitik dapat
menjadi penyebab terdeteksinya kelainan HbH disease karna pada umumnya HbH
disease sering bersifat asimptomatik.
7.3. Hydrops Fetalis
Thalassemia – α homozigot ( - -/ - -) tidak dapat bertahan hidup karena sintesis
rantai globin – α tidak terjadi. Bayi lahir dengan hydrops fetalis, yakni bayi mengalami
edema disebabkan penumpukan cairan serosa dalam jaringan fetus akibat anemia berat.
Hemoglobin didominasi oleh Hb Bart’s (γ4), bersama dengan Hb Portland 5 – 2-
%, dan sedikit HbH. Hb Bart’s mempunyai afinitas oksigen yang tinggi, sehingga tidak
dapat membawa oksigen ke jaringan. Fetus dapat bertahan hidup karena adanya Hb
Portland, tetapi Hb henis ini tidak dapat mendukung tahap berikutnya pertumbuhan fetus,
dan akhirnya fetus meninggal karena anoksia berat.
Bayi dilahirkan prematur, bayi dapat hidup lalu meninggal beberapa saat
kemudian. Fetus menunjukkan anemia, edema, asites, hepatosplenomegali berat dan
kardiomegali. Rongga sumsum tulang bayi melebar dengan hyperplasia sel-sel eritoid.
Hal ini menunjukkan eritropoeisis ekstrameduler.
Kehamilan dengan hydrops fetalis berbahaya bagi si ibu, karena dapat
menyebabkan toksemia dan pendarahan berat pasca partus. Adanya hydrops fetalis ini
dapat diketahui pada pertengahan umur kehamilan dengan ultrasonografi. Terminasi awal
perlu dilakukan untuk menghindarkan kejadian berbahaya ini pada si ibu.

14
8. Pendekatan Diagnosis Thalassemia
8.1. Anamnesis
Penderita thalassemia sering sekali bergejala sebagai anemia, beberapa
pertanyaan yang penting kita tanyakan dalam keadaan pasien anemia adalah usia pasien,
pada kasus anak terutama penting untuk mengetahui bagaimana riwayat kehamilan, riwayat
proses partus dan postpartus apakah ada komplikasi atau ada masalah dalam proses tersebut.
Nutrisi baik sesudah dilahirkan juga penting untuk ditanyakan apakah mendapatkan nutria
yang cukup. 7
Riwayat penderita dan keluraga sangat penting untuk ditanyakan juga dalam
kasus anemia, hal ini lebih penting lagi dalam kasus thalassemia, karena pada populasi
dengan ras dan etnik tertentu terdapat frekuensi yang tinggi untuk jenis abnormalitas gen
thalassemia yang spesifik.7
Riwayat pendarahan abnormal juga penting untuk ditanyakan seperti melenan,
hematemesis, hemoptysis, dan hematuria.
Riwayat transfusi darah, splenektomi, kolelithiasis, kolesittektomi dan tindakan
operasi yang pernah dilakukan juga penting untuk ditanyakan. Untuk orang dewasa atau anak
yang lebih besar juga penting untuk ditanyakan apakah menggunakan obat-obatan tertentu.

8.2. Pemeriksaan Fisik


Karena gejala klinis utama dari thalassemia dan pasien sering kali datang degan
keluhan anemia makan pemeriksaan fisik yang akan ditekankan adalah pemeriksaan fisik
pada keadaan anemia secara umum.
Dari pemeriksaan fisik jantung dapat kita temukan adanya takikardi, sistolik
murmur. Dalam keadaan anemia berat kita dapat menemukan gejala berupa gagal jantung
kongestif, takipneu. Ikterus dan riwayat warna urin yang gelap menunjukkan bahwa terjadi
hemolysis intravaskuler.
Pembesaran dari limpa, dan kadang-kadang hati merupakan petanda terjadinya
hematopoiesis ekstramedular yang dapat ditemukan pada anemia hemolitik kronik, infiltrasi
sumsum tulang, atau infeksi.

8.3. Pemeriksaan penunjang

15
Pemeriksaan penunjang yang perlu di periksa dalam kasus anemia yaitu:
 Pemeriksaan Hematologi: pemeriksaan kadar Hb, hitung leukosit, hitung trombosit,
hitung eritrosit, LED, hitung retikulosit, sediaan hapus darah tepi untuk menilai
morfologi sel darah, nilai eritrosit rata-rata (MCV, MCH, MCHC), dan pemeriksaan
sumsum tulang.
 Pemeriksaan urin: meliputi pemeriksaan marksokopik, mikroskopik dan kimia
 Pemeriksaan tinja: meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan darah
samar
 Pemeriksaan kimia: meliputi pemeriksaan kadar bilirubin indirek serum, cadangan
besi tubuh dengan serum iron / SI, daya ikat besi total (DIBT) / total iron binding
capacity (TIBC), saturasi tranferin, dan kadar ferritin serum
 Pemeriksaan lain: pemeriksaan faal ginjalm faal hati dan kelenjar tiroid

Dari hasil pemeriksaan tersebut kita dapa mengarahkan diagnosis ke arah thalassemia bila
ditemukan beberapa keadaan:2,7
 Hb rendah (3-10 mg/dL)
Klasifikasi anemia menurut WHO sendiri adalah:
Normal : > 11 g/dL
Anemia ringan: 8 – 11 g/dL
Anemia berat: < 8 g/dL
 Anemia mikrositik hipokrom,
 Hitung retikulosit meningkat
 Aniso-polikilositosis
 Banyak sel eritroid muda pada darah tepi

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam kasus thalassemia adalah:

 Elektroforesa Hb
Pemeriksaan elektroforesis Hb dengan buffer alkalis namun pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan setelah usia diatas 2 tahun, atau setidaknya setelah 6 bulan karena tingginya
kadar HbF dapat mengganggu hasil elektroforesa.2

16
 Pemeriksaan besi serum
Pemeriksaan besi serum dapat meningkat pada thalassemia hal ini terjadi karena sel darah
merah pada thalassemia akan lebih mudah untuk mengalami hemolysis dan
mengakibatkan besi serum menjadi meningkat. 2
 Rontgen tulang
Pada keadaan thalassemia tertentu dapat ditemukan kelainan skeletal dengan rontgen
tulang dapat kita temukan adanya peluasan sumsum tulang diikuti dengan penipisan
korteks tulang.

Penderita thalassemia pada umumnya menunjukkan anemia mikrositik hipokrom.


Kadar hemoglobin dan hematokrit menurun, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya secara
disproporsi relative tinggi terhadap derajat anemia, yang mengakibatkan ditemui adanya
MCV yang sangat rendah. MCHC biasanya sedikit menurun. Pada keadaan thalassemia
mayor yang tidak diobati, relative distribution width (RDW) meningkat karena
anisositosis yang nyata. Namun, pada thalassemia minor RDW biasanya normal. Pada
pemeriksaan morfologi eritrosit ditemukan mikrositik dan hipokrom, kecuali pada fenotip
pembawa sifat tersembunyi. Pada thalassemia – β heterozigot dan HbH disease, eritroist
mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai dengan menengah. Pada thalassemia – α0
heterozigot terdapat mikrositik dan hipokrom ringan, tetapi kurang poikilositosis.7

Pada penderita thalassemia – β homozigot dan heterozigot berganda, dapat


ditemukan poikilositosis yang hebat, dalam keadaan ini kita dapat menemukan sel targert,
eliptosit dan juga polikromasia, basophilic stippling, dan nRBC (nucleated Red Blood
Cell). Hitung retikulosit meningkat menunjukkan sumsum tulang merespon proses
hemolitik. Pada HbH disease, hitung retikulosit dapat mencapai 10%. Pada thalassemia- β
homozigot hitung retikulosit kurang lebih 5%.7

Sumsum tulang penderita thalassemia – β yang tidak diobati memperlihatkan


hiperselularitas yang nyata dengan hyperplasia eritroid yang ekstrim. Hemopoiesis
ekstramedular terlihat menonjol. Namun HbH disease kurang menunjukkan hyperplasia
eritroid. Sementara itu, thalassemia heterozigot hanya menunjukkan hiperplasia eritroid
ringan. Sementara itu, thalassemia heterozigot hanya menunjukkan hyperplasia eritroid
ringan.

17
Eritrosit thalassemia yang mikrositik hipokrom memiliki fragilitas osmotic yang
menurun. hal ini digunakan sebagai dasar variasi one-tube tes fragilitas osmotic sebagai
uji tapis pembawa sifat thalassemia pada populasi di mana thalassemia sering dijumpai.
Namun, tes ini tidak dapat membedakan dengan anemia defisiensi besi, karena pada
anemia defisiensi besi ditemukan fragilitas osmotic yang juga menurunn.

Pada thalassemia – α minor (trait), HbH disease dan thalassemia – α pembawa


sifat tersembunyi (silent) tes pewarnaan brilliant cresyl blue untuk HbH inclusions dapat
digunakan untuk merangsang presipitasi HbH yang secara intrisik tidak stabil. HbH
inclusions (rantai globin – β yang terdenaturasi) mempunyai ciri khas berupa materi yang
kecil, multiple, berbentuk ireguler, bewarna biru kehijauan, yang mirip golf atau buah
raspberry. Materi ini tersebar merata dalam eritrosit. Pada HbH disease hampir seluruh
eritrosit mengandung inclusions, sedangkan pada thalassemia – α minor hanya sedikit
eritrosit yang mengandung inclusions, sementara itu pada thalassemia – α pembawa sifat
tersembunyi inclusions ini jarang ditemukan. Inclusions ini berbeda dengan Heinz
bodies, dimana materi ini menunjukkan ukuran yang lebih besar, jumlahnya sedikit, dan
sering letaknya ekstrensik di sepanjang membran eritrosit. Bila tidak ditemukan HbH
inclusions tidak berarti menghilangkan kemungkinan diagnosis thalassemia – α minor
atau pembawa sifat tersembunyi. 7

Elektroforesi dengan selulosa asetat pada pH basa penting untuk menapis


diagnosis hemoglobin H Bart’s Constant Springs, Lepore, dan variasi lainnya. HbH dan
Bart’s cepat bergerak pada selulosa asetat pada pH basanya tetapi pada pH asama hanya
merupakan hemoglobin yang bermigrasi anodally. Peningkatan HbA2 peningkatan
dengan elektroforesis hemoglobin dapat dilakukan pada uji tapis mikrohematografi. Nilai
HbA2. Peningkatan HbF yang ditemukan pada thalassemia-δβ. HPFH dan varian
thalassemia-β lainnya dapat dideteksi juga dengan elektroforesis.

18
Prosedur khusus lainhya seperti tes rantai globin dan analisis DNA dikerjakan
untuk mengidentifikasikan genotip spesifik. Uji ini dapat dilakukan untuk tujuan
penelitian αβ carrier, untuk mengidentifikasikan gen pembawa sifat gen yang banyak.
Harus ditemukan apakah keuntungan uji lengkap ini melebihi biayanya.

Anemia

DPL, Rt

Index Rt ≤ 2,5 Index Rt ≥ 2,5

Hipoproliferatif: Mikrositik Makrositik Perdarahan / hemolitik:


hipokrom
- Hipoplastik - Perdarahan
- Displastik - Hemaglobinopat
- Infiltrative hy
- Tumor ganas
- AIHA
- ACD
- GGK - metabolic defek
- membrane
abnormal

19
A. mikrositik
hipokrom

Normal /
Menurun SI meningkat

Ferritin
TIBC menurun / Normal
ferritin TIBC meningkat
meningkat / / ferritin n /
normal menurun

Elektroforesis Ring
sideroblastik
Hb
A. def besi SST
ACD

HbA2
meningkat /
HbF menurun
besi SST ( - ) / besi SST (+) a. sideroblastik
turun

Thalassemiia β

20
Anemia
Makrositik

SST Megaloblastik SST


nonmegaloblastik

B12 serum Asam folat Sebab lain


turun serum turun
Anemia pada hipotrofi

MDS
B12 serum A. Defisiensi
folat

A. Defisiensi
B12

21
9. Diagnosis Banding
 Thalassemia – α tipe HbH
Penderita thalassemia – α tipe HbH disease mengalami anemia hemolitik kronik
ringan sampai dengan sedang, dengan kadar Hb terentang antara 7 – 10% darn
retikulosit antara 5 – 10%. Limpa biasanya membesar, sumsum tulang menunjukkan
hyperplasia. Eritrosit juga menunjukkan mikrositik hipokromik dengan
poikiliositosis yang nyata, termasuk sel target dan gambaran beraneka ragam.
Thalassemia – α tipe HbH dimasukkan sebagai diagnosis banding karena
memberikan gambaran anemia mikrositik hipokrom yang sering kali gejalanya tidak
seberat dalam skenario dimana Hb mencapai 5 g%, dan penderita anemia
Thalassemia – α HbH disease baru memberikan gejala karena adanya suatu faktor
pencetus seperti infeksi, penggunanaan obat-obat yang bersifat oksidatif.
 Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi dan thalassemia memiliki gambaran morfologis berupa
anemia mikrositik hipokrom. Dalam skenario hasil MCV, MCH dan MCHC
menggambarkan bahwa anemia yang terjadi adalah anemia mikrositik hipokrom.
Hanya dari riwayat pasien diketahui bahwa dalam masa kehamilan tidak terjadi
komplikasi yang menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi sangat tidak mungkin
terjadi.
 Hb S
Hb S sama seperti thalassemia merupakan kelainan dalam pembentukan hemoglobin
/ hemaglobinopathy yang merupakan suatu keadaan gangguan dalam sintesis globin
yang mengakibatkan terjadi gangguan dalam bentuk eritrosit, berbeda dengan
thalassemia yang terjadi adalah penurunan atau hilangnya sintesis globin. Hb variant
dapat berupa HbS (anemia sickle cell) yang umumnya tidak mengalami penurunan
Hb yang berat.

10. Diagnosis kerja

Diagnosis kerja yang diambil dalam skenario 2 PBL blok 23 Hematologi dan Onkologi
adalah thalassemia – β mayor. Thalassemia – β mayor seperti yang sudah dijelaskan di

22
atas memiliki gejala klinis berupa anemia yang sangat berat dengan kadar Hb yang sangat
rendag 3-4 gr%. Ditemukan juga eritrosit hipokrom yang sangat poikilositosis, termasuk
sel target, sel tear drop dan eliptosit.
Untuk menegakkan diagnosis pasti dari thalassemia – β mayor perlu dilakukan
elektroforesa Hb yang akan menunjukkan terutama HbF, dengn sedikit peningkatan
HbA2, HbA dapat tidak ada atau menurun drastic.
Diagnosis kerja thalassemia – β mayor diambil karenadalam skenario ditemukan bahwa
anak yang berusia 7 hari memiliki gejala yang sangat berat, dengan hasil pemeriksaan Hb
yang turun drastis dan nilan MCV, MCH, dan MCHC menunjukkan adanya anemia
mikrositik hipokromik, dan ditemukan adanya hepatosplenomegali yang menunjukkan
adanya suatu hematopoiesis ekstrameduler yang terjadi karena adanya kerusakan
precursor eritroid di sumsum tulang akibat proses pengendapan dari rantai globin – α.

11. Penanganan
Penanganan dari thalassemia sampai saat ini beluma ada yang dapat menyembuhkan
karena thalassemia terjadi karena adanya kelainan genetic, oleh sebab itu diperlukan
terapi gen untuk mengobati thalassemia yang sampai saat ini belum dapat dilakukan
karena tingginya variasi mutasi gen dalam thalassemia.9
11.1. Penanganan Thalassemia – α
Penderita thalassemia – α tidak membutuhkan penanganan. Kecuali pada keadaan
hemoglobin H disease memerlukan penambahan asam folat dan harus menghindariobat-
obat yang bersifat oksidatif karena penggunaan obat yang bersifat oksidatif akan
mengakibatkan munculnya anemia. Hiperslepenisme dapat diatasi dengan spelenktomi.
Genetic konseling perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hydrops fetalis.9

11.2. Penanganan Thalassemia – β


Untuk pasien dengan thalassemia – β mayor, ada dua bentuk terapi yang tersedia
yaitu transfusi darah dan menggunakan kelator besi yaitu deferoksamin, atau tranplantasi
stem sel. Tindakan tranfusi darah bertujuan untuk meningkatkan Hb 9 – 10 g/dL. \
Kelator besi deferoksamin saat ini hanya bisa diberikan melalui suntikan
subkutan, dan masih diteliti lebih lanjut untuk kemungkinan untuk penggunaan oral.

23
Tindakan splenektomi juga kadang-kadang diperlukan untuk mengurangni jumlah
transfuse, dan mencegah terjadi tumpukan besi / hemosiderin di limpa. Untuk penderita
yang sudah mengalami splenektomi perlu diberi vaksinasi untuk pneumokokus dan
profilaksis menggunakan penisilin.7,9
Transplantasi darah dari sumsum tulang dan dari umbilical cord merupakan terapi
yang penting untuk anak-anak yang menderita thalassemia – β mayor, sebelum
transplantasi harus melihat kecocokkan HLA. Transplantasi sumsum tulang memberikan
hasil yang baik dalam thalassemia – β.7,9

12. Pencegahan Thalassemia


Program pencegahan berdasarkan penapisan pembawa sifat thalassemia dan
diagnosis prenatal telah dilakukan dan sampai saat ini sudah dapat menurunkan kejadian
thalassemia – β pada anak – anak di Yunani, Siprus, Italia dan Sardania. Penapisan
pembawa sifat thalassemia – β lebih berdaya guna bila dikerjakan dengan penilaian
indeks sel darah merah. Individu dengan MCV dan MCH yang rendah dinilai konsentrasi
HbA2 – nya.
Di Indonesia program pencegahan thalassemia – β mayor telah dikaji oleh
Departemen Kesehatan melalui program “health technology assessment” (HTA).7

13. Komplikasi

Komplikasi dari thalassemia pada umumnya dapat berupa:


 Kardiomiopati
 Ekstramedullary hematopoiesis
 Kolelithiasis
 Splenomegaly
 Hemokromatosis
 Kejadian thrombosis (hiperkoagulasi, risiko aterogenesis, lesi iskemik cerebral
asimtomatis)
 Ulkus maleolar
 Deformitas dan kelainan tulang

24
14. Prognosis
Individu dengan thalassemia – β mayor memiliki prognosis tidak terlalu baik
karena pasien harus menjalani transfuse seumur hidup dan penggunaan obat kelator besi
seumur hidup yang tentu saja akan memberatkan baik di segi sosial atau segi ekonomi.
Angka kesakitan dan angka kematian pada thalassemia – β mayor terjadi karena adanya
iron over loading dan anemia yang berat yang dapat mengakibatkan hipoksia jaringan
yang berat bila pasien tidak mengalami transfusi darah dang penggunaan obat kelator
besi. Penumpukan besi dijaringan hemokromatosis dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan fungsi endocrine, gangguan fungsi hati, ginjal dan gangguan fungsi jantung.9

Daftar Pustaka

1. Rudolph,Abraham M. Rudolph’s pediatrics vol. 2 20th edition (edisi bahasa


indonesia, ahli bahasa : a. samik wahab, sugiarto). EGC: Jakarta; 2007. h. 1290
2. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, dkk. Penuntun patologi klinik Hematologi. Biro
Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida: Jakarta;103-20
3. Nelson, Waldo E., Behman,Richard E., Kliegman,Robert., Arvin,Ann M. Nelson
textbook of pediactrics vol. 2 15th : syndromes of herediter persistence of fetak
hemoglobin (edisi bahasa indonesia, ahli bahasa : a. samik wahab). EGC: Jakarta;
2000. h. 1708-12
4. Atmakusuma,Djumhana., Setyaningsih,Iswari. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II
edisi V : dasar-dasar talasemia. Internapublishing: Jakarta; 2009. h. 1379-86
5. Williams,William J., Lichtman,Marshall A., Beutler,Ernest., Kipps,Thomas J.
Williams manual of hematology 6th edition : the thalassemias. Mcgrawhill: USA;
2003. p. 91-8
6. Mansjoer,Arif., Suprohaita., Wardhani,Wahyu Ika., Setiowulan,Wiwiek. Kapita
selekta kedokteran jilid II edisi ke-3: hematologi anak. Media aesculapius: Jakarta;
2000. h. 497-8
7. Schrier,Stanley L. Pathophysiology of thalassemia. Current Opinion in Hematology
2002; 9(february). p. 123-6

25
8. Atmakusuma,Djumhana. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi V : manifestasi
klinis, pendekatan diagnosis dan thalassemia intermedia. Internapublishing: Jakarta;
2009. h. 1387-93
9. Laosombat,Vichai., Viprakasit,Vip., Chotsampancharoen,Thirachit,etc. Clinical
features and molecular analysis in Thai patients with HbH disease. Ann Hematol
2009; 88(may). p. 1185–92

26

Anda mungkin juga menyukai