Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SOSIOLOGI POLITIK

“STUDI TENTANG KETERLIBATAN TUAN GURU DALAM PILPRES DAN


PILEQ DALAM PEMILUKADA 2019 DI INDONESIA”

OLEH :

NAMA : IMMAS MULYANI

NIM : 170603003

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MATARAM

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama ALLAH SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, segala puji hanya bagiNya. Semoga sholawat beserta salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan
para sahabatnya, dan jugakepada para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Puji syukur Alhamdulilah
kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
segala rahmat dan karunia Nya. Sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik dan lancar.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan.Maka penulis menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk meyempurnakanmakalah ini.
Dengan makalah ini, kami mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaatdan
berguna bagi penulis serta pembaca pada umumnya.

Mataram, Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 3
C. Tujuan ...................................................................................................... 3
D. Manfaat .................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4
A. Relasi Ulama dan Politik .......................................................................... 4
B. Kedekatan Masayarakat dan Ulama ......................................................... 6
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 10
A. Kesimpulan .............................................................................................. 10
B. Saran ......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ulama adalah pewaris
yang ahli dalam pengetahuan agama Islam. Terdapat pengertian ulama dari
berbagai sumber diantaranya adalah ulama merupakan hamba Allah yang
memiliki ciri-ciri tertentu, menjadi pewaris para nabi, pemimpin dan panutan,
pengemban amanah Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan
kelestarian hidup manusia. Sedangkan ulama dalam pengertian Badruddin Subky,
yakni sekelompok orang yang menguasai kajian ilmu agama Islam, yang mampu
membimbing umat berdasarkan Al-Quran dan hadits, juga mampu menghidupkan
sunnah, mengembangkan ajaran agama Islam secara totalitas, serta mampu
memberikan suri tauladan yang luhur bagi masyarakat.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa peran ulama dapat
mengontrol kebijakan penguasa dan menciptakan hubungan yang baik antara
pihak penguasa dan pihak oposisi. Ulama pada dasarnya ditekankan pada dua
peran yang dianggap penting. Pertama, berdasarkan oleh bobot keilmuannya,
maka para ulama sudah sepantasnya sebagai pencerah alam pikiran umat. Artinya
ikut serta dalam mencerdaskan umat. Kedua, posisi sebagai panutan umat, dalam
artian khusus keteladanan moral yang diajarkan dan dicontohkan ulama kepada
umat.
Di dalam diri seorang ulama harus terdapat unsur cendekiawan, pemuka
agama, pahlawan, serta jaringan ke pusat kekuasaan. Dalam buku karya Rosehan
Anwar dan Andi Baharudin Malik terdapat setidaknya tiga peran ulama. Peran
ulama yang pertama yaitu ulama sebagai kelompok cendekiawan dimana sebagian
besar mereka dilahirkan dalam lingkungan pendidikan, maupun pondok
pesantren. Para ulama tersebut ikut berperan dalam memajukan pendidikan dan
ilmu pengetahuan. Peran ulama yang kedua adalah sebagai pembaharu dalam
agama Islam. Pembaharu yang dimaksud adalah dalam konteks kemasyarakatan,

1
pendidikan, dan pemikiran seperti organisasi. Peran ulama yang ketiga adalah
sebagai penggerak masyarakat seperti motivator, inspirator, katalisator, dan
dinamisator.
Kajian tentang hubungan antara ulama dan politik adalah kajian yang
sangat unik dan telah menjadi objek di kalangan intelektual. Bahkan saat ini telah
berkembang dalam berbagai studi ilmu pengetahuan baik agama, fiqih,ilmu
pemerintahan, sosiologi, dan ilmu politik. Hal ini dikarenakan keterlibatan ulama
dalam kancah perpolitikan di berbagai negara yang mayoritas penduduknya
memeluk agama Islam, dan selalu saja mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Hubungan antara ulama dan politik adalah sesuatu yang wajar, karena
Islam sendiri tidak mengenal adanya pembatasan antara agama dan politik.
Dengan kata lain tidak ada institusi khusus dalam Islam yang hanya membahas
masalah politik. Hal ini sangat berbeda dengan agama Kristen yang menempatkan
Gereja sebagai institusi politik di sebuah negara.
Ulama yang tadinya hanyalah mengkhususkan diri pada ranah keagamaan
saja, saat ini sudah mulai merambah ke ranah sosial politik di masyarakat. Hal ini
dikarenakan ulama mempunyai karisma yang baik di masyarakat, maka tidak
heran ulama menjadi salah satu sumber bertanya bila ada sebuah pertanyaan dan
diminta pandangan. Ditambah keberadaan ulama menjadi pemimpin ditengah-
tengah kehidupan masyarakat. Secara dinamik berkembang lebih luas dalam
kehidupan di saat-saat tertentu misalkan menghadapi Pemilu dan Pemilukada.
Melalui berbagai peran yang diembannya baik dalam bidang keagamaan
dan bidang sosio-kultural, ulama kemudian tampil sebagai patron yang memiliki
kekuasaan hirarkis atas masyarakat. Ditinjau dari segi ilmu politik, ulama
merupakan aktor politik yang mempunyai sumber daya politik berbasis karismatik
dan tradisional yang memungkinkan ulama membentuk sikap atau preferensi
politis tertentu dalam struktur sosial masyarakat di sekitarnya. Dengan alasan
bahwa ulama mempunyai karismatik inilah yang membuat partai politik berusaha
merangkul ulama, dengan begitu, partai politik tersebut mendapatkan

2
kemenangan yang diakibatkan oleh karismatik sang ulama ditengah-tengah
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana peran politik yang dilakukan para ulama dalam pemilu kada 2019 di
Indonesia?
C. Tujuan
Menjelaskan peran politik yang dilakukan para ulama dalam Pemilu Kada 2019 di
Indonesia.
D. Manfaat
1. Memberikan wawasan dan pengetahuan terkait keterlibatan ulama dalam
Pemilukada Tahun 2019.
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam menganalisis peristiwa politik
dengan menggunakan landasan teori otoritas karismatik dan konsep peran.
3. Sebagai bahan kajian kepustakaan (Library Research) di lingkungan
Universitas Islam Negeri (UIN) mataram, khususnya Program Studi Sosiologi
Politik.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Relasi Ulama dan Politik


Ulama dan politik merupakan hal yang sulit dipisahkan. Sejak zaman
kemerdekaan ulama memang sudah berkaitan erat dengan politik dengan ikut
merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Pasca kemerdekaan peran ulama
semakin menguat dengan menjadi bagian penting dalam perpolitikan di Indonesia
contohnya dengan membentuk partai politik bernuansa Islam seperti NU dan
Masyumi. Sejak saat itu agama digunakan sebagai instrument dalam berpolitik.
Pasca reformasi mulai muncul tokoh-tokoh sentral ulama yang berpolitik
seperti K.H Abdurrahman Wahid yang berhasil menduduki posisi RI 1 dan
Hamzah Haz yang berhasil menduduki posisi RI 2. Hal ini memperkuat fakta
bahwa ada relasi yang cukup kuat antara ulama dan politik.1 Relasi antara ulama
dan politik tidak hanya terjadi ditingkat nasional, tapi juga dilingkup lokal. Peran
ulama dalam politik mempunyai peran yang berbeda-beda mulai dari sebagai
pemain inti (sebagai politisi), supporter (hanya sebagai tim sukses), atau hanya
sebagai invisible hand (sebagai guru spiritual yang memberikan do‟a restu).
Dalam perpolitikan di Indonesia ulama tidak hanya menjadi seorang ahli
agama tapi juga sebagai sosok yang memiliki banyak pengikut yang kerap kali
semua tindakannya ditiru oleh umatnya. Ulama dalam pandangan masyarakat
Indonesia bukan hanya figur biasa ditengah-tengah masyarakat, tetapi lebih dari
itu ulama dipandang sebagai wakil Tuhan yang semua prilakunya serba benar dan
harus diikuti. inilah yang menjadi daya tarik ulama sehingga mereka dibidik dan
dijadikan komoditas politik.
Secara figur dan personaliti, ulama dianggap sebagai kelompok agamis
yang mengerti isu keagamaan secara mendalam dan spesifik serta sebagai penjaga
moral dan akhlak. Para ulama umumnya memiliki basis massa seperti pesantren,
sekolah-sekolah Islam, dan pengikut setia yang tersebar di berbagai wilayah. Dua
hal inilah yang menjadi faktor pendukung mengapa ulama selalu memiliki daya

4
tarik politik baik hanya direkrut sebagai anggota partai maupun terjun sebagai tim
sukses dalam Pemilukada dan Pemilu.
Ada beberapa alasan dan argumentasi mengapa ulama terjun kedalam
politik praktis. Pertama, hal ini dianggap sebagai panggilan dakwah bagi mereka.
Sebagian ulama berpandangan bahwa menjadi sholeh sendiri belumlah cukup,
karena itulah mereka harus terjun dalam lingkup yang lebih luas, salah satunya
politik. Para ulama menjadikan ranah politik sebagai medan dakwah yang lebih
luas untuk menyampaikan kebaikan. Para ulama berharap kebaikan dan nilai yang
mereka dapatkan dapat tertular tentunya dalam konteks politik.
Ulama dinilai menjadi faktor yang cukup efektif sebagai pendukung utama
dalam Pemilukada dan Pemilu. Pasca reformasi partai Islam seperti PKB dapat
bertahan, kerena mereka punya basis yang kuat yakni ulama. Di daerah Jawa
Timur misalnya, para ulama yang bergabung dalam PKB memiliki banyak
pesantren yang tersebar di banyak tempat. Hal ini menandakan bahwa ulama
cukup signifikan untuk mendongkrak partai politik tertentu.3 Selain PKB, PPP
juga memiliki banyak tokoh ulama seperti KH. Maimon Zubair, KH. Ahmad
Subadar, Hamzah Haz dan Suryadharma Ali. Dari PAN juga ada tokoh ulama
yakni Amien Rais yang merupakan seorang tokoh ulama dari Muhammadiyah
dan juga seorang cendekiawan muslim.
Dalam pandangan idealis ulama-ulama yang tergabung dalam PKB, PPP,
PAN, dan PKS, politik merupakan ranah yang „gaduh‟ dan harus diwarnai
dengan sentuhan kebaikan, politik selama ini hanya kerap kali diwarnai oleh
individu- individu yang tidak pernah memikirkan moral dan kemaslahatan umat.
Para ulama mencoba meniru praktik politik yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW dimana beliau bukan hanya pemimpin agama dan spiritual
tetapi juga kepala negara dan pemimpin politik pada masa itu. Oleh karena itu
ulama tidak bisa hanya berdiam diri tetapi juga harus mampu menjadi pemimpin
publik.

5
B. Kedekatan Masayarakat dan Ulama
Pada saat yang sama suasana kebatinan dan kebangsaannya masih seperti
di kampung dimana tokoh tradisional masih dianggap tokoh kunci dalam
menyampaikan kebaikan. Ini membuktikan walaupun Indonesia sudah menjelma
menjadi Negara Berkembang, namun daya tarik ulama masih sangat besar bagi
masyarakatnya. Boleh saja modern tapi nilai kegamaan rupanya tak bisa
dilepaskan dari kehidupan sosial maupun politik. Hal ini diperjelas oleh Adi
Prayitno sebagai berikut:
Saya kira respon ulama cukup kuat, tapi pada saat yang bersamaan
suasana kebatinan dan kebangsaannya itu masih agak kampung karena
masyarakatnya masih urban dimana misalnya tokoh tradisional seperti ulama itu
masih dianggap sebagai tokoh kunci untuk menyampaikan kebaikan. Itu terbukti
misalnya, Nur Mahmudi bukan hanya Walikota biasa tapi dia dianggap sebagai
ustad dan ulama, itu menunjukan bahwa daya tarik ulama seperti dikota Depok
masih menjadi suatu hal yang sangat luar biasa dalam masyarakat Depok. Itu
artinya meski Depok ini maju, ada kampus UI dan infrastrukturnya juga modern
tapi di Depok ini karena dia menjadi bagian dari Jawa Barat, masyarakatnya
cukup religius. Boleh modern tapi nilai-nilai keagamaan tidak bisa dilepaskan
dalam kehidupan sosial politik mereka dan kita bisa lihat secara umum bahwa
Jawa Barat itu nuansa keislamannya cukup kuat karena Jawa Barat ini dianggap
sebagai tempat terakhir dimana ajaran islam itu disebarkan. Makanya kemudian
sentimen keagamaan dan religius sentimen dibanyak tempat di Jawa Barat cukup
kuat termasuk di Depok. Bukti nyata adalah kenapa misalnya, terpilihnya Nur
Mahmudi secara berturut- turut jadi kepala daerah. Itu turut menjelaskan bahwa
Nur Mahmudi ini adalah seorang ustad dan kemudian dilanjutkan oleh Idris itu
sebagai selah satu bukti karena dia dianggap sebagai ustad, dianggap sebagai
orang yang ngerti agama ketimbang calon yang lain yang sekuler. Makanya dia
kemudian yang relatif dipilih oleh warga Depok. Itu menunjukan bahwa sekalipun
Depok ini beririsan dengan Jakarta tapi masyarakatnya cukup religius bahwa
modernitas tidak serta merta menghilangkan nilai-nilai keagamaan yang dimiliki

6
oleh masyarakat Depok. Biasanya kalau orang sudah modern nilai agama
cenderung ditinggalkan dan akan cenderung lebih memilih pemimpin yang
sekuler, pemimpin yang tidak beririsan dengan agama. Tapi di Depok karena dia
tinggal di Jawa Barat nuansa religiusitasnya tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Boleh modern tapi nilai agama masih menjadi suatu hal yang harus diperhatikan
oleh mereka, sebab itulah figur- figur yang ada di Depok selama kontestasi yang
pernah ada kalo saya cek, ustad- ustad itu ataupun terindikasi memiliki paham
keagamaan ulama tertentu itu biasanya memiliki daya tarik bagi masyarakat
Depok. Beda dengan Tangsel, di Tangsel biasanya ulama tidak terlalu menjadi
daya tarik ataupun tidak terlalu laku, karena masyarakatnya sudah sekuler. Agama
sudah mulai dicoba untuk dipisahkan, atribut-atribut agama mencoba untuk
dijauhkan dari hal-hal politik.
Jika berbicara soal Muhammadiyah sangat erat kaitanyya dengan PAN,
layaknya NU dengan PKB seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi dalam
fenomena ini para ulama Muhammadiyah lebih memilih pasangan Idris-Pradi
ketimbang Dimas-Babai karena dua alasan. Pertama, Idris nampaknya memang
memiliki otoritas kharismatik di kalangan ulama Muhammadiyah, karena alasan
Muhammadiyah memilih Idris adalah karena sosok Idris yang merupakan ulama
yang diharapkan mampu membumi dan memimpin kota Depok. Alasan kedua
adalah, wakil Idris yaitu Pradi merupakan kader Muhammadiyah yang bahkan
sekarang menjadi Penasehat Pimpinan Daerah Muhammadiyah kota Depok
periode 2019-2024. Inilah alasan mengapa mayoritas ulama Muhammadiyah
memilih pasangan Idris-Pradi dan bukan Dimas-Babai.
Disamping itu, adanya pertemuan intensif dikalangan para ulama Depok
baik yang aktif secara formal dan struktural dilembaga keulamaan (MUI) tingkat
kota Depok maupun mereka yang hanya terlibat secara kultural. Pertemuan
tersebut dinamakan Forum Silaturrahmi Ulama Depok, pertemuan itu dilakukan
secara berkala sesuai dengan kebutuhan dan eskalasi politik menjelang
Pemilukada.

7
Keterlibatan ulama dalam perkembangan politik menjelang Pemilihan
Presiden 2019 menempati posisi yang menentukan bagi kedua pasangan, baik
pasangan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga
Uno. Hal tersebut yang membuat Perhimpunan Pendidikan Pancasila dan
Demokrasi (P3D) menyelenggarakan Seminar Nasional dengan mengusung
tema Posisi dan Peran Ulama di Pilpres 2019: Antara Kepentingan Umat dan
Kekuasaan. "Ini menarik, sebelum-sebelumnya kan ulama itu tidak dilihat dalam
percaturan politik kita," kata Direktur Eksekutif P3D Syaiful Arif di D'Hotel Jalan
Sultan Agung Setiabudi,
Apalagi, sambung Arif, sejak berkembangnya teori politik modern
(sekularisasi), peran ulama yang menjadi bagian dari agama dipisahkan dari
politik praktis. Menurutnya, sejak lengsernya KH Abdurrahman Wahid atau Gus
Dur dari kursi presiden, menjadi preseden yang melemahkan peran ulama di
dalam politik."(Teori politik modern) menempatkan agama dan ulama yang tidak
menentukan atau dibersihkan dari politik modern," ujarnya.
Pria yang menamatkan magister di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini
berharap, seminar dapat menghasilkan rekomendasi tentang peran ulama agar
lebih bisa mendamaikan situasi politik.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA kali ini melakukan survei politik
cukup unik yang bertajuk ulama dan efek elektoralnya. Hasinya, terdapat 5 ulama
paling berpengaruh di kehidupan masyarakat Indonesia yaitu Abdul Somad, Arifin
Ilham, Yusuf Mansur, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), dan Rizieq Shihab.
Perangkingan ulama tersebut menempatkan 82,5 persen responden suka dengan
Somad dari 59,3 persen responden yang pernah mendengar sosoknya. Sementara itu
sebesar 30,2 persen responden menyatakan mendengar imbauan Somad.
Urutan kedua menempatkan Ustaz Arifin Ilham dengan popularitas sebesar
41,2 persen. Dari 41,2 persen tersebut, sebesar 84,4 persen menyatakan suka dengan
Arifin Ilham dan mereka yang menyatakan mendengar imbauan Arifin Ilham sebesar
25,9 persen.

8
Di Urutan ketiga popularitas Ustaz Yusuf Mansur mencapai 57,2 persen
pemilih dan sebesar 84,9 persen menyatakan menyukai Yusuf Mansur. Sementara itu,
24,9 persen menyatakan mendengar imbauannya.
Urutan keempat ditempati Aa Gym. Dia dikenal oleh 69,3 persen pemilih.
Dari mereka yang mengenal, sebesar 79,7 persen menyatakan suka dengan sosok Aa
Gym. Dan mereka yang menyatakan mendengar imbauan Aa Gym sebesar 23,5
persen.
Di urutan kelima terdapat nama Habib Rizieq Shihab. Sebanyak 53,4 persen
pemilih mengenal sosoknya. Sebanyak 52,9 persen pemilih menyatakan suka dengan
sosok Habib Rizieq dan 17,0 persen menyatakan mendengar imbauan Rizieq.

9
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah membaca beberapa penjelasan diatas mulai dari Rumusan Masalah,
kerangka teori, dan membaca literatur yang ada, serta mengamati pernyataan
narasumber mulai dari pengamat politik, ulama maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Ada pengaruh ulama terhadap pilihan politik dan pola pikir masyarakat hal ini
bisa diuji melalui teori otoritasnya Max Weber yang menjelaskan bahwa
seseorang bisa mempunyai otoritas yang legitimate ditengah-tengah
masyarakat karena faktor karisma yang mereka miliki, dan karisma ini bisa
diperoleh diantaranya karena punya kelebihan tertentu, mulai dari ilmu
pengetahuannya, spritualitasnya, idealismenya, dan pemikiran-pemikirannya,
itu semua ada ada dalam diri ulama.
2. Konsep peran dan teori otoritas karismatik terbukti cocok untuk menganalisis
fenomena ini. Dalam konsep peran, ulama mampu memjalankan perannya
dengan baik dalam masyarakat serta dapat membuat pengikutnya untuk
mendukung salah satu calon. Ulama juga terbukti memiliki otoritas karismatik
diantara para pengikutnya, otoritas ini dimanfaatkan oleh ulama di Indonesia
untuk memobilisasi pengikutnya agar ikut memilih salah satu calon adapun
pasangan tersebut dapat memenangkan Pemilu 2019.
B. Saran
1. Hendaknya semua elemen bangsa diberikan kesempatan yang sama dan
berimbang untuk ikut serta berpartisipasi dalam praktek demokratisasi di
Indonesia termasuk Pemilukada. Sehingga akan lahir pemimpin yang teruji
dan merakyat setelah melalui peta kompetisi yang sangat ketat dan bervariasi.
2. Dalam setiap momen pemilu, masyarakat diberikan ruang yang luas untuk
menentukan pilihannya dengan cerdas dan penuh kesadaran. Walaupun tim
sukses pasangan calon berlomba-lomba meraih simpati calon pemilih.

10
3. Kepada penyelenggara Pemilukada diberbagai tingkatan hendaklah
melaksanakan amanah dan tanggung jawabnya secara jujur dan adil. Sehingga
semua pihak dapat merasakan perlakuan yang sama dan tidak ada yang
dirugikan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abrori, Ahmad. Teori Sosiologi Klasik. Jakarta: FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2015.

Agustino, Leo. Prihal Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Alfian. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Anwar, Rosehan, dkk. Ulama dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah


Keagamaan. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur
Pendidikan Agama, 2003.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,


2008.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam
di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2009.

Eksan, Moch. Kiai Kelana: Biografi KH. Muchith Muzadi. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Fadli, Ahmad HS. Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama
Betawi dan

Kontribusinya terhadap Perkambangan Islam Abad Ke-19 dan 20. Jakarta:


Manhalun Nasyi-in Press, 2011.

Fajri, Ahmad. Ulama dan Politik. Tanggerang: Kenangan Pustaka Indonesia, 2015.

Hansen, George P. Max Weber, Charisma, and The Disenchanment of The World
(Chapter 8). PA: Xlibris, 2001.

Hasyim, Wahid. Mengapa Memilih NU?. Jakarta: PT Inti Sarana Aksara, 1985.
Horikosi, Horiko. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3M, 1987.

Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama Wacana ketegangan


Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

12

Anda mungkin juga menyukai