Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Resusitasi jantung paru adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup pada henti jantung.
Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung penyelamat, korban dan
keadaan sekitar, tantangan mendasark tetap ada, yaitu bagaimana melakukan RJP yang lebih dini,
lebih cepat dan lebih efektif. Untuk menjawabnya, pengenalan akan adanya henti jantung dan
tindakan segera yang harus dilakukan menjadi prioritas dari referat ini. 1,2
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik di luar
rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per
tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang
diperkirakan meninggal akibar henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk
melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi. 1,2
Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh oeang awam dan juga orang yang terlatih dalam
bilang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para
medis dan juga orang awam. 1,2
Menurut American Heart Association, rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan
tindakan resusitasi jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan
yang amat besar untuk dapat hidup kembali. 1

1
ISI

2.1 Definisi
Resusitasi jantung paru atau RJP adalah prosedur penyelamatan darurat yang
dilakukan saat jantung berhenti berdetak. RJP segera dapat menggandakan atau tiga kali
lipat peluang bertahan hidup setelah serangan jantung.3

2.2 Indikasi
A. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapar disebabkan banyak hal, misalnya
serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan
napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersmabar petir, serangan infark jantung,
radang epihlotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.4
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2
ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti npas
mendpat pertolong segera maka pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya
kalau terlambat akan berakibat henti jantung. 4

B. Henti Jantung

Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung untuk
memberikan kebutuhkan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat balik normal, kalua dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan
kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibar usia lanjut atau penyakit
kronis tentu tidak termasuk henti jantung. Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh
fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh
ventrikel asistol (±10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (±55). Dua jenis
henti jatung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena koordinasi aktivitas jantung
menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tidak teraba (karotis,
femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti
atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tk bereaksi terhadap rangsang cahaya dan

2
pasien tidak sadar.4

Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb),


saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebihi 3-4 meniar pada suhu
normal akan menyebabkan korteks serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat
membuat jantung berdenyut kembali. 4

2.3 Fase RJP


1. Fase 1
Bantuan Hidup Dasar ( Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat mengatasi
obstruksi jalan napas, henti napas dan henti jantung. Terdiri dari : C (circulation) – A
(airway) – B ( breathing).
2. Fase 2
Bantuan hidup lanjut ( Advanced Life Support) yaitu bantuan hidup dasar yang ditambah
dengan : D (drugs) – E (EKG)– F ( fibrillation treatment)
3. Fase 3

Bantuan hidup perpanjangan (Prolonged Life Support) yaitu G (Gauge) – H (Head) – H


(hipotermi) – H (Humanization) – I (Intensive care) 4

2.4 RJP Berdasarkan AHA Guidelines Update 2015


Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup
(chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi rantai
kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan henti jantung
(cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di
5
dalam lingkungan rumah sakit (HCA) atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA).
Gambar 1 menunjukkan “chain of survival” pada kondisi HCA maupun OHCA

3
Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA

Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American Heart Association)


merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini digunakan secara global. Gambar 2
menunjukkan skema algoritma dalam tindakan resusitasi jantung-paru pada pasien
dewasa.

4
Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa

Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat

Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsif maka petugas

5
kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban.
Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban
tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah korban merespon dengan
jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus memanggil bantuan terdekat
setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila penolong juga
memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon
pasien agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP..
2. Resusitasi Jantung Paru dini

Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting


untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
 Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit dan
maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali / menit,
kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya interval
kompresi dada.

 Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan


kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi maksimal
diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang
berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior
dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada
pasien anak dalam masa pubertas (remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti
pada pasien dewasa.
 Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban
jika korban berada di tempat tidur. Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang
perlu diperhatikan selama melakukan kompresi dada dan pemberian ventilasi:

6
Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa

 Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan
siklus kompresi dada, penolong harus membolehkan rekoil dada penuh dinding
dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak
boleh bertumpu di atas dada pasien setelah setiap kompresi.
 Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya meminimalkan
frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk mengoptimalkan jumlah
kompresi yang dilakukan per menit.
 Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang
belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
 Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi
dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk
memastikan volume tidal yang masuk adekuat.
 Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal, Combitube,
atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1 napas buatan
setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien dewasa, anak-anak,
dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan
 Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2 menit.

Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan,


ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan

7
memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi
dan ventilasi adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau
petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak
memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau
pemasangan advance airway.

3. Alat defibrilasi otomatis

AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum tiba,
lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock diberikan
bila ada indikasi / instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan program/panduan
yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi shock atau tidak, jika iya
lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme
kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan
periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced
Cardiac Life Support) datang, atau korban mulai bergerak.5

4. Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak, dan Bayi

Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama seperti pada
pasien dewasa dengan beberapa perbedaan. Beberapa perbedaan ini seperti yang
tercantum pada tabel 2.5

8
Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi

Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang penolong
atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu orang penolong,
rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu 30 : 2; tetapi bila ada dua
orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi

9
mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan
dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut
nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi
adalah 30 : 2 untuk satu orang penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.5

Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang Penolong

10
Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang Penolong

11
KESIMPULAN

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah prosedur
penyelamatan darurat yang dilakukan saat jantung berhenti berdetak. RJP segera dapat
menggandakan atau tiga kali lipat peluang bertahan hidup setelah serangan jantung.
Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami henti jantung
tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik di luar
rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per
tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanda. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang
diperkirakan meninggal akibar henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk
melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang
yang terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari
dokter, perawat, para medis dan juga orang awam.
Oleh karena ini sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta mampu
melaksakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan RJP yang dipakai adalah pedoman
yang dikeluarkan oleh American Heart Association. American Heart Association merevisi
pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada tahun 2015. AHA merevisi dari A-B-
C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk
masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma khusus untuk
petugas kesehatan.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. John M. Field, Part 1 : Executive Summary : 2015 American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuccitation and Emergency Cardiovascular Care.

2. Sayre MR, et al. Highlight of the 2010 American Heart Association Guideline for CPR and
ECC. 7272 Greenville Avenue. Dallas, Texas 75231-4596. 90-1043.

3. Anonim. What is cpr. 2018. Diakses tanggal 21 Maret 2019. Diakses dari :
https://cpr.heart.org/AHAECC/CPRAndECC/AboutCPRECC/WhatIsCPR/UCM_499896
_What-is-CPR.jsp.

4. Latief SA. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta : Penerbit FKUI. 2007.
h.151-60

5. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 Untuk CPR dan
ECC. American Heart Association; 2015.

13

Anda mungkin juga menyukai