Anda di halaman 1dari 5

Metodologi yang Digunakan dalam Penelitian Pendidikan matematika

Metodologi Behavioristik dan Neo-Behavioristik

Perkembangan behavioristik sangat dekat hubungannya dengan usaha akademik para psikolog

untuk membangun psikologi sebagai ilmu yang diterima. Sangat bisa dipahami bahwa usaha-usaha

ini diambil sebagai model ilmu alam, bahkan pada masa awal lahirnya psikologi membuktikan

kemampuannya dalam memungkinkan kita untuk membentuk lingkungan fisik, sehingga

telah menunjukkan pertumbuhan tingkat eksponensial.

Karakteristik metode dalam semua ilmu fisik adalah:

a. Eksperimen yang dapat diubah, dimana orang lain bisa menguji hasil peneliti

individu, sebagai sebuah peringatan awal terhadap kesalahan eksperimen dan

sebagai materi prasyarat untuk penerimaan secara umum terhadap hasil tersebut.

b. Pengukuran dalam satuan standar, tanpa syarat dan hasil eksperimen (untuk poin

1) tidak bisa digambarkan secara akurat.

c. Isolasi dan manipulasi variabel bebas, sehingga pengaruh yang terpisah pada

variabel bebas bisa diukur.

d. Hasil disajikan dalam pernyataan kualitatif dan kuantitatif untuk menggunakan

metode ini dalam penelitian psikologi, penyesuaian sangat diperlukan.

Untuk menolak model behavioristik karena sangat mekanis sangat bisa dipahami,

tetapi dalam pandangan saya, bukan alasan yang baik. Walaupun metode pengajaran

berdasarkan (secara sadar atau tidak) pada model behavioristik telah memperoleh

keberhasilan dalam membawa berbagai jenis kebiasaan belajar seperti tekanan oleh

tikus dan menendang bola ping-pong oleh penguin, merupakan sebuah kenyataan pahit

bahwa metode pengajaran berdasarkan model behavioristik gagal dalam membentuk


bentuk belajar yang lebih tinggi tingkatannya, karena manusia sangat berbeda dari tikus

dan penguin laboratorium, dan matematika merupakan contoh yang jelas. Selain itu,

kelemahan model behavioristik yaitu model tersebut tidak berfungsi karena adanya

kritik yang dibuat dengan alasan mereka (behavioristik) mempunyai kesalahan

kategori.

1. First Category apakah lingkungan fisik tidak berbeda dengan aktivitas kita dalam

membentuk lingkungan tersebut. Setiap upaya yang dilakukan oleh A untuk

membentuk perlaku B menyatakan beberapa tingkat kehilangan kebebasan untuk

B, apakah ini disadari atau tidak. Hal ini menyebabkan terjadinya kemungkinan

bahwa secara sadar atau tidak, B akan berusaha mempertahankan kebebasannya

dengan menolak pembentuk perilakunya. Apakah B bertahan atau tidak, dan

berapa banyak, akan mungkin bervariasi antar individu dan akan bergantung

sebagian pada bagaimana masing-masing menafsirkan keadaan. Ketika faktor ini

ada, atau terdapat kemungkinan yang kuat akan keberadaannya, disarankan untuk

mengabaikannya.

2. Second Category ketika simbol disamakan dengan konsep: ketika sebuah tanda di

atas kertas disamakan dengan maknanya. Untuk behavioristik, pernyataan

𝑎(𝑥 + 𝑦) = 𝑎𝑥 + 𝑎𝑦

dan

perkalian bersifat distributif terhadap penjumlahan

adalah dua hal yang berbeda. Tetapi bagi seorang matematikawan, hal tersebut

merupakan dua cara di antara banyak cara berbeda menyatakan makna yang sama;

dan bagi seorang pendidik matematika, yang penting adalah siswa memahami hal
ini, memahami artinya dan bisa menunjukkan bahwa siswa mengaplikasikan skema

terhadap contoh yang bervariasi. Jadi untuk para peneliti dalam pendidikan

matematika, perbedaan antara simbol dan konsep hanya satu bahwa perbedaan

tersebut sangat penting untuk diperhatikan.

3. Third Category Yang paling penting karena menjadi ciri-ciri model behavioristik

yaitu gagal untuk membedakan antara teori tipe 1 dan tipe 2.

Interview Diagnostik dan Eksperimen Pengajaran

Berikut ini akan dijelaskan perbedaan paradigma dalam dunia pendidikan sesuai

dengan apa yang dipahami oleh Piaget

1. Paradigma Behavioristik.

Apa yang kita minati adalah tingkah laku subjek yang dapat diamati secara

umum, dan hal ini dibentuk oleh kondisi eksternal terhadap subjek. Kondisi ini bisa

didefinisikan secara operasional, dan dikontrol dengan sebuah tingkatan ketepatan

oleh seorang peneliti atau guru. Faktor-faktor internal pada subjek, dan khususnya

faktor-faktor spesifik pada individu, munculnya secara acak dan bisa dihilangkan

dengan teknik statistik yang sesuai/tepat.

2. Paradigma Piaget.

Apa yang kita minati adalah proses mental yang muncul pada tingkah laku

subjek yang bisa diamati, dan hal ini merupakan hasil proses internal terhadap

subjek. Proses mental bervariasi antara individu yang berbeda, dan di antara

individu yang sama pada umur yang berbeda dan perbedaan sama pentingnya

dengan kemiripan. Untuk menyelidiki proses mental, kita butuh kerja sama
individu dalam hubungan searah dengan peneliti, membuat hipotesis tentang

proses mental dasar yang diuji terhadap berbagai tingkah laku yang dapat diamati.

Pengajaran Eksperimen

Teori klasik Piaget tidak terlalu berfokus pada fungsi pengajaran. Dalam

konteks pendidikan, hubungan antara pengajaran dan belajar, bersama dengan sifat

dasar dan kualitas belajar, merupakan salah satu fokus kajian. Jadi, sudah biasa jika

peneliti mendasarkan penyelidikan pada metodologi eksperimen pengajaran.

Diantaranya adalah penganut konstruktivis.

Berikut ini adalah enam prinsip konstruktivisme diberikan oleh Steffe,

Richards, dan Von Glasserfeldt (1979). Diantara ciri utama adalah sebagai berikut:

“Pengetahuan dipandang sebagai pesinggungan terhadap invarians dalam


pengalaman organisme hidup daripada kesatuan, struktur dan kejadian dalam sebuah
keberadaan dunia yang independen. Operasi mental merupakan bagian dari sebuah
struktur total, dan struktur dipandang sebagai pengaturan operasi. Perilaku yang
berbeda dari seorang anak bisa ditafsirkan sebagai bawaan dari struktur kognitif yang
sama. Susunan lingkungan belajar harus dipertimbangkan dalam dua kerangka
referensi. Pada satu sisi, terdapat sistem operasi yang mengatur pengalaman anak dan,
pada sisi lain terdapat isi yang bisa dipelajari. Konsep, struktur, keterampilan, atau
apapun yang dipandang sebagai “pengetahuan” tidak dapat disampaikan dengan instan
dari guru ke siswa atau dari pengirim ke penerima. Pengetahuan harus dibangun, bagian
demi bagian, selain elemen yang harus ada pada subjek.”

Metodologi ini bisa dianggap sebagai perluasan wawancara diagnostik, dimana


tujuannya adalah untuk membuat dan mengetes hipotesis tidak hanya tentang ciri
dasar pemikiran anak pada waktu tertentu, tetapi tentang bagaimana pemikiran
tersebut dibangun dari satu tahap ke tahap lain. Hal ini dirangkum oleh Steffe (1977)
sebagai berikut:
1. Peneliti mengajar kelompok kecil anak sehari-hari.
2. Pengamatan intensif terhadap setiap anak sebagaimana meraka ikut serta
dalam perilaku matematika.
3. Memperlama keterlibatan dengan anak yang sama selama enam minggu
menuju tahun akademik baru.
4. Wawancara diagnostik dengan anak.
5. Catatan rinci observasi dengan tape recorder dan hasil kerja tertulis anak.

Pengalaman pribadi dalam bidang ini menyarankan bahwa dari sebuah


pendekatan yang persis sama seperti yang dijelaskan Steffe, tetapi kurang
intensif, banyaknya nilai masih bisa dipelajari. Situasi pengajaran termasuk
dalam tiga kategori utama: diskusi yang dipimpin oleh peneliti, aktivitas siswa
dalam kelompok kecil atau berpasangan, dan permainan matematika untuk 2-6
anak. Diskusi informasi anak dengan yang lain tentang apa yang dikerjakan,
dan juga penjelasan yang mereka berikan kepada yang lain, keduanya sebagai
bantuan dan pembenaran sangat dihargai. Yang penting juga adalah
penggunaan materi yang berstruktur matematika. Dari banyak hal yang
dipelajari berasal dari jenis pengamatan tersebut, dan termasuk bagian diskusi
dengan guru.

Anda mungkin juga menyukai