Anda di halaman 1dari 21

Laporan Praktikum Hari/tanggal : Rabu/ 26 Maret 2019

Teknologi Bioindustri Dosen : Dr. Drs. Purwoko, MSi


Golongan/ Kel : P1/7
Asisten :
1. Wiwit Indriyani F34150030
2. Christopher Pranata F34150084

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA
(KULTIVASI CAIR DAN PADAT)

Oleh :
Shinta Dewi F34160020
Fanuel Febrianto Bethel F34160027
Chrisman Siagian F34160028

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada masa sekarang, para petani tidak begitu gelisah dengan hama
serangga yang menyerang tanaman pertanian mereka. Hal itu disebabkan telah
banyak produk hasil teknologi yang banyak beredar untuk membasmi hama
serangga yang sering disebut pestisida. Pestisida biologi saat ini banayak dipakai
adalah jenis insektisisda biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis
fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur).
Insektisida biologi dapat dibuat dari beberapa macam tumbuhan, hewan,
bahkan mikroorganisme. Insektisida yang dibuat dari mikroorganisme umumnya
termasuk dalam insektisida hayati karena mikroorganisme tersebut tdak diubah
dalam tubuh mikroorganisme tersebut terdapat substansi atau bahan aktif yang
dapat membunuh hama atau serangga sejenisnya apabila bahan aktif tersebut
masuk ke dalam tubuh hama atau serangga.
Insektisida mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertanian dan
perindustrian, khususnya untuk melindungi hasil pertanian. Meskipun demikian,
penggunaan insektisida yang tidak terbatas selama beberapa dekade telah
mengakibatkan dampak yang negatif terhadap lingkungan dan spesies non-target.
Selain itu, insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan
serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia yang
menyebabkan serangga target tetap hidup dan merusak hasil-hasil pertanian.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka bioinsektisida merupakan salah
satu alternatifnya.
Mikroorganisme yang dapat berfungsi sebagai bionsektisida yaitu bakteri
dan virus. Virus merupakan mikroorganisme yang memberi harapan sebagai
pemberantas hama atau pengendali hama. Virus hanya bekerja terhadap satu atau
beberapa spesies dan tidak merusak organism lain dalam lingkungannya. Namun
kendala dari pengembangan virus adalah harus dikembangkan pada inang yang
hidup, yang berarti harus memelihara spesies tersebut.
Dari kendala pengembangan virus tersebut menimbulkan banyak
insktisida kimia yang diproduksi dan telah beredar di masyarakat. Namun
penggunaan insektisida kimia secara terus menerus untuk membasmi hama
serangga dapat menyebabkan hama serangga tersebut menjadi kebal (resisten),
Tetapi dengan insektisida bakteri yang dibuat secara bioteknologi maka problem
resisten ini dapat diatasi. Selain itu, insektisida bakteri ini tidak berbahaya
terhadapa lingkungan. Salah satu jenis bakteri yang digunakan untuk membuat
insektisida adalah Bacillus thuringiensis aizawai.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan mempelajari proses produski bioinsektisida


dengan teknik kultivasi cair dan padat.
METODOLOGI

Alat dan Bahan

Pada praktikum kali ini alat yang digunakan adalah autoklaf, inkubator
goyang, loop, labu erlenmeyer, pH meter, aluminium foil, spektrofotometer, petri
dish, oven. Sementara bahan yang digunakan adalah Nutrien broth, Bacillus
thuringiensis aizawai, glukosa, urea, MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, ZnsO4.7H2O,
MnSO4.7H2O, CaCO3, onggok, limbah cair tahu, dan kapur bubuk.
Metode
a. Produksi bioinsektisida kultivasi cair
1. Tahap Propagasi

Nutrient Broth

Nutrient Broth steril

diinokulasi dengan satu lup Bacillus


thuringiensis aizawai

diinkubasi padainkubator goyang 150


rpm selama 12 jam

Bacillus thuringiensis
aizawain dalam nutrient
broth
2. Tahap Fermentasi
media
fermentasi

diatur pH hingga 7,00 +


0,1

disterilisasi pada suhu


121 oC selama 15 menit

media
fermentasi steril

penambahan glukosa

media
fermentasi +
glukosa

diinokulasi dengan hasil


tahap propagasi

diinkubasi pada suhu


kamar

bioinsektisida

3. Pengambilan Sampel pH
sampel

diukur dengan pH meter

nilai pH
4. OD 660 nm
sampel

diukur dengan spektrofotometer

nilai OD

5. Biomassa Kering

sampel

disentrifugasi 13.000 rpm


selama 15 menit

endapan

diambil dan dikeringkan pada


oven suhu 50 oC selama 24 jam

biomassa kering
6. Viable Spore Count (VSC)

sampel

dilakukan renjatan panas


pada suhu 70 oC selama
15 menit

dilakukan pengenceran
berseri

diinokulasi 0,1 ml ke
dalam Nutrient Agar

diinkubasi selama 24 - 48
jam

dihitung jumlah koloni


yang tumbuh

nilai vsc
b. Produksi Bioetanol dengan Teknik Kultivasi Substrat Padat
onggok + limbah
cair

ditambah kapur hingga


pH 6 - 8

diratakan dalam
erlenmeyer dan ditutup
dengan alumunium foil

diotoklaf pada suhu 120


oC selama 15 menit

media steril

diinokulasi dengan 10%


media propagasi

diinkubasi pada suhu


ruang

dipanen pada jam 0, 24,


48, 72, 96

dikeringkan dalam oven


suhu 50 oC

dihaluskan dengan alat


penumbuk

produk kering
bioinsektisida
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

[Terlampir]

Pembahasan

Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang


dapat digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga dan vektor
pembawa penyakit, karena insectisida microbial atau bioinsektisida sebagai racun
biologis yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga
(entomopatogen), sebagai entomopatogen, bioinsektisida dapat dikembangkan
dari bakteri, virus, fungi, dan protozoa (Wahid 2010). Bioinsektisida juga
merupakan insektisida generasi baru dan sangat dianjurkan untuk digunakan
dalam PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu ovisida dan larvisida. Ovisida khusus digunakan untuk mengendalikan telur
serangga, sedangkan larvisida khusus digunakan untuk mengendalikan larva
serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan, jamur, nematoda
untuk membunuh hama serangga (Djojosumarto 2008). Bioinsektisida
mengandung senyawa toksik yang berfungsi untuk membunuh atau menghambat
perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan maupun yang
menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur (Djojosumarto
2008).
Mikroba yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida adalah Bacillus
thuringiensis (B.t ) yaitu bakteri bersel vegetatif berbentuk batang, gram positif,
bersifat aerob tapi umumnya anaerob fakultatif, mempunyai flagela dan
membentuk spora. Koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian
berkerut, memiliki diameter 5 – 10 milimeter, berwarna putih, elevasi timbul
dan permukaan koloni kasar. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan
protein yang beracun bagi serangga. Bacillus thuringiensis membentuk kristal
protein (δ-endotoksin) bersamaan dengan terbentuknya spora. Bakteri ini
mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama sporulasi
menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya (Djojosumarto 2008).
Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang patogen terhadap serangga
karena mengandung kristal protein yang bersifat toksin sehingga dapat
memberantas hama-hama pada suatu tanaman. Seluruh kristal protein bakteri
hanya bersifat toksin apabila termakan oleh larva serangga. Protein kristal
Bacillus thuringiensis berpotensi besar sebagai agen pengendali serangga. Bakteri
ini akan membentuk spora dorman (spora yang mengandung satu atau lebih jenis
kristal protein) apabila suplai makanan mengalami penurunan. Sampai saat ini
telah diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo
serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan
dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target
yang spesifik sehingga hanya menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak
menyerang serangga lainnya serta mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan
mencemari lingkungan (Asmaliyah 2001).
Bacillus thuringiensis adalah racun perut bagi serangga hama dan Bacillus
thuringiensis merupakan bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat
membunuh serangga (insektisida) sewaktu mengalami proses sporulasinya (Hofte
dan Whiteley 1989). Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering disebut
dengan δ-endotoksin. Kristal protein yang ada pada Bacillus thuringiensis ini
sebenarnya merupakan pro-toksin yang jika larut dalam usus serangga akan
berubah menjadi poli-peptida yang lebih pendek serta mempunyai sifat
insektisidal. Kristal protein yang dimakan oleh serangga akan dipecah oleh enzim
protease di bagian tengah dalam saluran pencernaan menjadi molekul toksik.
Toksin tersebut akan mempengaruhi permeabilitas membran sel, mikrovili pada
sel-sel epitalium yang dapat menyebabkan paralisis saluran makanan dan
berubahnya keseimbangan pH hemophilia, yang kemudian dapat menyebabkan
kematian.
Bacillus thuringiensis dapat menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang
yang sangat kecil) di sel membran saluran pencernaan dan dapat mengganggu
keseimbangan osmotic dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotic
terganggu, maka serangga atau hama akan mati. Kematian serangga biasanya
terjadi dalam waktu 3-5 hari, akan tetapi ada larva yang dapat bertahan hidup
lebih lama. Tanda-tanda awal serangan bakteri Bacillus thuringiensis pada
serangga yaitu aktivitas makan serangga menurun bahkan berhenti. Serangga
menjadi lemah dan kurang tanggap terhadap sentuhan. Setelah mati, serangga
kelihatan berwarna cokelat tua atau hitam.
Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu bakteri yang telah
banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis
aizawai sangat efektif mengendalikan larva ordo Lepidoptera dan Diptera,
terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya (Lereclus et al 1993).
Salah satu hama ordo Lepidoptera yang banyak menyebabkan kerusakan pada
pertanian adalah Croccidolomia pavonana, yang merupakan hama utama pada
tanaman kubis yang juga menyerang tanaman Brassicaceae lainnya. Serangan C.
pavonana dapat menyebabkan kehilangan hasil kubis sebesar 65%. Hama ini
sangat merusak karena larva memakan daun baru di bagian tengah tanaman kubis.
Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun
ke daun yang lebih tua. Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur
seluruhnya jika ulat krop kubis tidak dikendalikan (Kementrian Pertanian RI
2010). Bacillus thuringiensis aizawai menghasilkan protein yang bersifat
insektisida yaitu δ-endotoksin atau kristal protein yang akan berikatan dengan
reseptor spesifik dalam sel larva Crocidolomia pavonana, sehingga terjadi lisis sel
yang dapat menyebabkan kematian pada serangga target.
Proses produksi bioinsektisida memerlukan suatu media sebagai tempat
hidup bagi bakteri yang akan digunakan untuk memproduksi bioinsektisida.
Media untuk memproduksi bioinsektisida terdiri dari dua bentuk yaitu media
padat dan media cair. Pertama akan dijelaskan mengenai media padat yang
merupakan media berbentuk padat yang mengandung agar 1 – 1.5%, misalnya
nutrien agar. Jika ke dalam media ditambahkan agar, jumlah agar yang
ditambahkan tergantung kepada jenis atau kelompok mikroba yang ditumbuhkan.
Ada yang memerlukan kadar air tinggi sehingga penambahan agar harus sedikit
tetapi ada pula yang memerlukan kandungan air rendah sehingga penambahan
agar harus lebih banyak. Media padat umumnya dipergunakan untuk
menumbuhkan bakteri, jamur, dan kadang-kadang mikroalga terutama dalam
peremajaan dan pemeliharaan kultur murni dalam bentuk agar miring (Pablo
2012). Kemudian, terdapat media cair yang merupakan media berbentuk cair yang
tidak mengandung agar, misalnya nutrien broth. Umumnya media cair digunakan
untuk menambah biomassa sel . Kalau ke dalam media tidak ditambahkan zat
pemadat. Media cair dipergunakan untuk penumbuhan bakteri, ragi dan mikroalga
(Pablo 2012).
Pada proses produksi bioinsektisida ini digunakan media padat berupa
onggok yang berguna sebagai sumber karbon karena pada onggok masih
mengandung pati yang berkisar 60 – 70% berat kering onggok. Onggok sendiri
merupakan limbah padat yang berasal dari proses pengolahan ubi kayu menjadi
tapioka. Onggok merupakan limbah utama hasil proses pengepresan (Winarno
1985). Onggok memiliki daya tahan yang relatif lama pada saat keadaan kering
dibandingkan pada saat keadaan basah. Hal ini dikarenakan pada saat keadaan
basah onggok mudah sekali ditumbuhi oleh kapang dan terjadi pembusukan.
Pemanfaatan onggok masih terbatas dan umumnya digunakan sebagai makanan
ternak (Damarjati 1985). Onggok juga dapat digunakan sebagai substrat untuk
produksi selulase, amilase, amiloglukosidase dan angkak (Jenie dan Fachda
1991). Komposisi kimia onggok dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Komponen (%) Tjiptadi (1982) Anonim (1984)


Air 16,86 13,39
Abu 8,50 4,90
Serat Kasar 8,14 11,02
Lemak 0,25 0,15
Protein 6,42 0,58
Pati 62,97 68,79
Karbohidarat 71,11 79,81
Tabel 1. Komposisi Onggok

Berdasarkan fakta ini maka timbul gagasan untuk memanfaatkan onggok


tapioka sebagai salah satu alternatif substrat untuk memproduksi bioinsektisida
dengan teknologi sederhana namun memiliki sifat toksisitas yang baik terhadap
hama. Onggok tapioka digunakan sebagai sumber karbon. Sedangkan media cair
yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida ini adalah limbah tahu. Limbah
cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. Tanpa
proses penanganan dengan baik, limbah tahu dapat menyebabkan dampak negatif
seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan
nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar.
Limbah cair tahu mengandung protein, glukosa dan komponen lainnya
dengan kadar yang relatif tinggi. Kandungan nutrisi tersebut menyebabkan limbah
cair tahu mempunyai potensi sebagai media untuk memproduksi spora Bacillus
thuringiensis. Mengingat bahwa limbah cair tahu umumnya dibuang ke sungai,
maka pemanfaatan ini sekaligus akan memberikan manfaat dalam mengurangi
pencemaran lingkungan.
Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif untuk
memacu pertumbuhan toksin Bacillus thuringiensis dengan harga yang lebih
murah. Penggunaan media limbah cair tahu ini akan membuat biaya pembuatan
toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan media sintesis lagi.
Limbah cair tahu digunakan sebagai sumber nitrogen (Silvina et al. 2012).
Biokontrol dari Bacillus thuringiensis merupakan biokontrol yang efektif untuk
membunuh jentik nyamuk tetapi memiliki harga yang cukup mahal untuk negara-
negara berkembang seperti Indonesia. Substansi aktif dari Bacillus thuringiensis
adalah spora yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis dibuat dengan
menggunkan media yang relatif mahal oleh karena itu dalam praktikum ini
digunakan media yang relatif murah, salah satunya dengan menggunakan media
limbah cair tahu. Adapun keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu
yakni :
1. Bahan Media yang Murah

Saat ini biokontrol Bacillus thuringiensis dibuat dengan menumbuhkan strain


Bacillus thuringiensis pada media sintetis yang biayanya relatif mahal, sehingga
untuk 10 tablet dijual seharga 20 dollar. Sedangkan jika produksi Bacillus
thuringiensis dengan menggunakan media Nutrient Broth (NB), yang dalam satu
liternya mengandung 3 gr beef extract dan 5 gr tryptone maka perincian biaya
yang dihabiskan sebesar Rp. 25.000 per liter. Sedangkan untuk membuat media
NB sebanyak 100 liter maka biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 2.500.000.
Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif untuk memacu
pertumbuhan toksin Bacillus thuringiensis yang lebih murah. Dengan
menggunakan media limbah cair tahu ini biaya pembuatan toksin menjadi jauh
lebih murah sebab tidak memerlukan media sintetis lagi. Sehingga dapat
terjangkau oleh masyarakat.

2. Mengurangi Pencemaran Lingkungan Perairan

Pemerintah akhir-akhir ini sangat menekankan era "sadar lingkungan" dan


mengharuskan semua industri membuat analisis masalah dampak lingkungan
(AMDAL) sesuai dengan SK Menteri KLH No.52 Tahun 1986 dan SK Menteri
KLH No.29 Tahun 1986 serta SK Menteri KLH No.03 Tahun 1991 Tentang
Peraturan Pembuangan Limbah. Bagi industri baik yang sudah beroperasi maupun
yang akan dibangun serta yang air limbahnya dibuang ke perairan harus
memenuhi standar baku mutu limbah yang telah ditentukan. Berdasarkan data dari
statistik yang ada industri pengolahan tahu di Indonesia sebanyak 4.000 unit yang
tersebar di Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya. Jika ditinjau dari komposisi
kimianya, ternyata air limbah cair tahu mengandung nutrien-nutrien (protein,
karbohidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke
sungai justru dapat menimbulkan pencemaran perairan. Selama ini limbah industri
tahu dibuang begitu saja tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Limbah cair tahu
ternyata bisa digunakan sebagai media pertumbuhan Bacillus thuringiensis yang
bermanfaat sebagai bioinsektisida larva nyamuk. Dengan ditemukannya manfaat
limbah cair tahu tersebut maka diharapkan nantinya limbah tersebut dapat
digunakan dan tidak lagi mencemari lingkungan sekitar.

3. Mudah untuk Mendapatkannya


Pertumbuhan industri tahu sebagai industri rumah tangga cukup banyak.
Banyaknya industri pengolahan tahu tersebut menjadi cukup mudah untuk
mendapatkan limbah buanganya. Sehingga dalam proses produksinya tidak terlalu
mengalami kesulitan dalam mencari bahan sebagai media pertumbuhan Bacillus
thuringiensis.
Proses produksi bioinsektisida dikenal dengan nama fermentasi.
Fermentasi adalah suatu proses biokimia yang menghasilkan energi dimana
komponen organiknya bertindak sebagai penerima elektron (Fardiaz 1998).
Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi yang substratnya tidak larut
dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan
hidup mikroba. Sebaliknya fermentasi cair adalah proses fermentasi yang
substratnya larut atau tersuspensi dalam fase cair (Chalal 1985).
Teknik kultivasi secara terendam dapat dilakukan dengan sistem tertutup
pada fermentor. Umumnya, jenis fermentor yang digunakan adalah fermentor
tangki berpengaduk karena merupakan jenis fermentor yang paling sederhana.
Fermentor ini digunakan untuk substrat yang mempunyai viskositas tinggi dan
berbentuk koloid tanpa mengakibatkan penyumbatan, serta enzim terimobilisasi
dengan aktivitas rendah (Machfud et al 1989). Proses fermentasi terendam dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch process),
fermentasi kontinyu, dan fermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat
pada selang waktu tertentu atau semi kontinyu (fed batch process). Bernhard dan
Utz (1993), menyatakan bahwa produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis
pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup karena hasil akhir
yang diharapkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses
sporulasi. Menurut Dulmage (1981), faktor-faktor yang mempengaruhi proses
fermentasi Bacillus thuringiensis adalah komposisi media dan kondisi untuk
pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur.
Selanjutnya adalah fermentasi dengan substrat padat. Fermentasi substrat
padat berkaitan dengan pertumbuhan mikroorganisme pada bahan padat dalam
ketiadaan atau hampir ketiadaan air bebas. Tingkat lebih atas dari fermentasi
substrat padat (yaitu sebelum air bebas tampak) merupakan fungsi penyerapan
(absorbancy), dan dengan demikian kadar airnya pada gilirannya tergantung pada
jenis substrat yang digunakan. Aktivitas biologis menurun bila kandungan air
substrat sekitar 12%, dan semakin mendekati nilai ini, aktivitas mikrobiologis
semakin tertahan. Fermentasi substrat padat tidak memperhatikan fermentasi
slurry (yaitu cairan dengan kandungan zat padat tak larut yang tinggi) ataupun
fermentasi substrat padat dalam media cair. Substrat yang paling banyak
digunakan dalam fermentasi substrat padat adalah biji-bijian serealia, kacang-
kacangan, sekam gandum, bahan yang mengandung linoselulosa (seperti kayu dan
jerami), dan berbagai bahan lain yang berasal dari tanaman dan hewan.
Senyawaan tersebut selalu berupa molekul primer, tak larut atau sedikit larut
dalam air, tetapi murah, mudah diperoleh dan merupakan sumber hara yang tinggi
(Murtini et al 2016).
Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi cair lebih disukai
karena menjaga kesterilan kultur serta proses pemanenan dan pengaturan
parameter proses produksi atau fermentasi yang lebih sederhana dan dapat
menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Selain itu, produk hasil fermentasi cair
dapat langsung digunakan dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulit
disuspensikan karena ada kecenderungan menggumpal. Akan tetapi penggunaan
media cair ini relatif lebih mahal. Sedangkan untuk media padat memiliki
kelebihan harga lebih murah dan bahan lebih mudah didapatkan. Namun
penggunaan media padat menghasilkan rendemen produk yang lebih rendah, dan
lebih sulit dalam memisahkan hasilnya.
Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), keberhasilan produksi
bioinsektisida terutama dipengaruhi oleh galur bakterinya dan medium kultivasi
yang digunakan, metode pemanenan produk, serta factor lingkungan yang
mempengaruhi proses kultivasi. Glukosa umum digunakan di industri. Media
komersial nutrient broth, glukosa, sirup jagung dan lain-lain memiliki harga yang
mahal, sehingga perlu dicari alternative bahan lain yang relative lebih murah agar
dapat menekan biaya produksi. Komposisi media berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan toksisitas Bacillus thuringiensis. Bakteri ini adalah bakteri gram
positif, berbentuk batang, dan memiliki kemampuan menghasilkan kristal protein
selama masa sporulasinya. Sebagai pengendali hayati, spora dan kristal protein ini
dapat bersifat racun pada system pencernaan serangga (Valicente dan Maurao
2008).
Teknologi proses produksi bioinsektisida perlu dikembangkan yang
mudah, sederhana dan murah. Pemanfaatan limbah agroindustri sangat disarankan
karena cukup melimpah dan belum seluruhnya termanfaatkan yang menjadi
penyebab pencemaran lingkungan. Kekurangan bioinsektisida yaitu, pada
pengembangan skala industri memiliki kendala modal yang cukup besar dan
teknologi yang canggih, sehingga investor di Indonesia cenderung tidak tertarik
untuk membangun industri ini (Purnawati et al 2015). Indonesia masih
mengimpor produk bioinsektisida. Ketergantungan akan barang impor dapat
diminimalisir dengan produksi sendiri di dalam negeri. Kendala dalam produksi
bioinsektisida di Indonesia adalah bahan baku fermentasi yang masih impor. Pada
umumnya, fermentasi B.t.i menggunakan dekstrosa sebagai sumber karbon.
Sumber karbon ini dapat disubstitusi dengan menggunakan tapioka, karena dalam
tapioka terkandung 86.9% pati. Media komersial nutrient broth, glukosa, sirup
jagung dan lain-lain memiliki harga yang mahal, sehingga perlu dicari alternative
bahan lain yang relative lebih murah agar dapat menekan biaya produksi.
Kelebihan menggunakan bioinsektisida microbial adalah aman, ramah
lingkungan, spesifik terhadap hama tertentu, tidak berbahaya bagi organism lain,
serta tidak menyebabkan adanya residu pada hasil pertanian dan tanah (Ellis
2004). Penggunaan bioinsektisida microbial dipengaruhi oleh spesies
mikroorganisme, sifat serangga, dan potensi untuk dapat diproduksi dalam skala
besar dan ekonomis.
Pada praktikum kali ini, kami melakukan uji pH menggunakan pH meter
pada media kultivasi cair. Hasil pembacaan pH yang didapatkan pada kelompok
1,2,4,5,6 untuk media kultivasi cair berturut-turut adalah 8.1, 7.8, 7, 6.8, 6.9.
Sedangkan pada kelompok 3 hasil pembacaan pH pada media kultivasi cair adalah
8.4. Nilai pH pada produk bioinsektisida harus dipantau untuk mengetahui kondisi
dari bakteri tersebut. Menurut Morris et al (1996), pH merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan produk bioinsektisida. Hal ini dikarenakan
Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada kisaran pH 5.5 – 8.5 dan tumbuh
optimum pada pH 6.5 – 7.5. Jika dijelaskan berdasarkan data yang sudah
terlampir pada setiap kelompok masih menunjukan hasil nilai pH yang sesuai
dengan rentang pH yang terdapat pada literatur. Berdasarkan literatur tersebut,
maka medium yang kami sediakan dapat digunakan dengan baik karena memiliki
pH dalam kisaran tersebut.
Pengukuran OD dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan sel. Panjang
gelombang yang digunakan pada prtaktikum kali ini yaitu 660 nm. Semakin tinggi
nilai OD, maka semakin keruh larutan. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan sel
yang membuat kandungan sel di dalam larutan menjadi meningkat. Menurut
Benhard dan Utz (1993), pertumbuhan sel Bacillus thuringiensis aizawai akan
memasuki fase stasioner dimana pertumbuhan sel mulai melambat atau terkesan
statis pada jam ke 36 (hari ke-3) dan umumnya pertumbuhan optimum sekitar jam
ke 30 fermentasi. Hasil pengukuran OD pada praktikum menunjukkan hasil yang
fluktuatif, tidak menunjukkan kecendrungan peningkatan atau penurunan. OD dari
hari ke-0 sampai ke-5 secara berurutan adalah 0,000; 0,161; - ; 0,109; 0,456; dan
0,131. OD tertinggi yaitu pada hari ke-4 (96 jam) yaitu 0,456. Hasil praktikum
tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pertumbuhan optimum
bakteri Bacillus thuringiensis aizawai adalah 30 jam. Perbedaan tersebut dapat
disebabkan karena pengamatan yang tidak teratur serta kemungkinan sampel
terkontaminasi zat lain. Pada praktikum ini pengamatan hanya dilakukan dengan
interval 24 jam.
Pada pengujian biomassa kultivasi cair diperoleh data biomassa hari ke-0
sampai hari ke-5 berturut-turut adalah -, 0.02, 0.09, 0.1, 0.01, dan 0.05. Data yang
didapatkan tidak sama dengan literatur karena cenderung naik turun. Menurut
Gumbira (1987), semakin lama produk terfermentasi maka akan terbentuk hasil
biomassa yang semakin banyak pula hingga mulai memasuki tahap stasioner,
dimana pertumbuhan sel mulai statis. Kesalahan data yang didapatkan dapat
dikarenakan kesalah praktikan dalam melakukan uji seperti lupa menimbang leher
angsa ataupun peralatan gelas lainnya sehingga berat dari leher angsa termasuk
dalam nilai akhir biomassa.
Prinsip uji viable spore count (VSC) yaitu perhitungan jumlah koloni
spora dengan pengenceran sample hasil fermentasi kemudian ditumbuhkan pada
medium agar dan diinkubasi (Rachmawati 2011). Penentuan jumlah spora (VSC)
dalam cairan hasil kultivasi bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas
kultivasi dengan spora hidup yang terbentuk (Sarfat 2010). Berdasarkan hasil
pengamatan jumlah sel spora hidup (VSC) diperoleh jumlah spora hidup
menunjukkan hasil yang kurang lebih seragam yaitu TBUD pada hari ke 0, 1, 3, 4
dan 5. Hasil pada hari kedua menunjukkan bahwa total VSC yaitu TSUD. Hal ini
sudah menunjukkan kesesuaian dengan penelitian dilakukan oleh Dubois dalam
Goldberd et al. (1980) yang menyatakan bahwa pelaksanaan kultivasi dengan
sistem batch dengan skala laboratorium dalam memproduksi Bacillus
thuringensisi akan menghasilkan spora sebesar 2 x 108 spora/ml.
Berdasarkan hasil pengamatan produk bioinsektisida kultivasi padat
diperoleh data berupa kadar air. Kadar air yang diperoleh untuk kultivasi hari ke-0
ialah 44,6% , hari ke-1 43,1% , hari ke-3 38,3% , hari ke-4 38,5% dan hari ke-5
37,8%. Kadar air pada produk kultivasi padat berpengaruh terhadap ketahanan
produk terhadap daya tahan produk dalam penyimpanan.
PENUTUP

Simpulan

Bioinsektisida adalah jenis pestisida yang bahan aktifnya merupakan


mikroorganisme seperti bakteri, cendawan, dan virus. Sebagian besar produksi
bioinsektisida menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis. Produksi
bioinsektisida dapat dilakukan menggunakan kultivasi padat ataupun kultivasi
cair. Penggunaan media cair relatif lebih mahal dari pada media padat. Namun
penggunaan media padat menghasilkan rendemen lebih rendah dan lebih sulit
dalam memisahkan hasilnya. Untuk menentukan kualitas produk bioinsektisida
dilakukan beberapa uji antara lain uji pH, OD 660nm, biomassa kering, dan viable
spore count (VSC). pH bioinsektisida yang diperoleh berada pada kisaran 6,8
hingga 8,4. Nilai OD 660nm tertinggi yaitu pada jam ke-96 dengan nilai sebesar
0,456. Biomassa kering tertinggi diperoleh pada jam ke-72 dengan nilai sebesar
0,1 g. Jumlah spora hidup yang diperoleh rata-rata dengan nilai TBUD. Kadar air
tertinggi bioinsektisida kultivasi padat yaitu pada hari ke-0 sebesar 44,6 % dan
terendah pada hari ke-5 sebesar 37,8 %.

Saran

Proses praktikum sudah berjalan dengan baik, akan tetapi sebaiknya


praktikan lebih memperhatikan ketelitian dalam penggunaan alat serta melakukan
pengamatan secara teratur sesuai waktu yang ditentukan agar hasil pengamatan
yang didapat sesuai dengan literatur yang ada dan tidak terjadi kesalahan sehingga
data bisa dikatakan valid dan dapat dihitung.
DAFTAR PUSTAKA

Asmaliyah. 2001. Prospek Pemanfaatan Insektisida Mikroba Bacillus


thuringiensis Sebagai Alternatif Dalam Pengendalian Hama. Palembang
(ID) : Buletin Teknologi Reboisasi.
Benhard K, Utz R. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insectisides for
Experimental and comercial uses. di dalam Enwistle PF, Cory JS, Bailey
MJ, Higggs S. (editor). Bacillus thuringiensis, An Enviromental
Biopesticide: Theory and Practice. Chichester (UK): John Wiley and Son.
Chalal DS. 1985. Solid State fermentation with Trichoderma ressei. Application
Environment. Microbiology 49(1):205-210.
Damardjati D S. 1985. Strategi Penelitian Limbah Ubi Kayu di Indonesia. Di
dalam F. G. Winarno (ed). Monografi Limbah Pertanian. Kantor Mentri
Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta.
Departemen Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis Kementerian
Pertanian 2010-2014. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian Republik
Indonesia.
Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta(ID): Agromedia
Pustaka.
Dulmage T, Rhodes. 1971. Production of Pathogen in Artificial Media. Di dalam:
Burgess HD dan Hussey NW. Microbial Control of Pest and Plant
Diseases 1970-1980. New York (US): Academic Pr.
Dulmage HT. 1981. Insecticidal activity of isolates of Bacillus thuringiensis and
their potential for pest control In H.D Burges (ed). Microbial Control of
Pest and Plant Diseases. New York(ID) : Acad press.
Ellis J A. 2004. Commonly Asked Questions About B. thuringiensisk (Bacillus
thuringiensis var. kurstaki). Indiana (US): Exotic Insect Education
Coordinator Departement of Entomology, Purdue University.
Fardiaz S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Bogor(ID) : PAU IPB.
Goldberd I, Sneh B, Battat E, Klein D. 1980. Optimization of a medium for a high
yield production of spore-crystal preparation of Bacillus thuringiensis
effective against the egyptian cotton leaf worm Spodoptera littoralis Boisd.
Hebrew (IL): The Cultivation Unit, The Hebrew University.
Gumbira SE. 1987. Bioindustri. Jakarta (ID): Mediatama Sarana Perkasa.
Hofte H, Whiteley HR. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus
thuringiensis. Microbiol. Rev. 53(2): 242.
Jenie, B.S. L. dan Fachda. 1991. Pemanfatan Onggok dan Dedak Padi Untuk
Produksi Pigmen Angkak Oleh Monescus purpureus. Pertemuan Ilmiah
Tahunan. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Bogor
Lereclus D, Delecluse A, Lecaded MM. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis
toxins and genes. Bacillus thuringiensis, an environmental biopesticides:
theory and practices. Chichester(UK): John Willey and Sons.
Machfud et al. 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses Pangan. Bogor(ID): PAU
Pangan dan Gizi, Institut pertanian Bogor.
Morris ON, Kanagaratnam P, Davies JS. 1996. Effect of culture condition spore
crystal yield and toxicity of Bacillus thuringiensis aizawai (HD 133).
Pathol. 67: 129-136
Murtini ES, Prawira MI, Sutrisno A. 2016. Pengaruh metode fermentasi substrat
padat dan substrat terendam pada biji sorgum terhadap kualitas tepung.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 27(1): 59-67.
Pablo, Julian. 2012. Kultivasi Mikroba. [Terhubung berkala]
http://matakuliahbiologi.com/2012/04/kultivasi-mikroba.html (29 April
2019).
Purnawati R, Sunarti TC, Syamsu K, Rahayuningsih M. 2015. Produksi
bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis menggunakankultivasi media
padat. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 25 (3):205-214.
Sarfat MF. 2010. Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp.
aizawai menggunakan limbah tahu industri sebagai substrat [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Silvina, D et al.2012.Pemanfaatan Limbah Cair Industri Pengolahan Tahu Untuk
Memproduksi Spora Bacillus Thuringiensis Serovar Israelensis Dan
Aplikasinya Sebagai Biokontrol Larva Nyamuk (karya tulis PKM).
Universitas Udayana, Denpasar.
Wahid Abdul. 2010. Efikasi Bioinsektisida dan Kombinasinya terhadap serangan
hama ulat kantong Pagodiella spp. pada bibit mangrove Rhizophora spp.
di persemaian. The Efficacy of Some Bio-insecticides to Pagodiella spp.
Bagworm Attacks on Rhizophora spp. Seedling in Nursery. Jurnal
Agroland.17 (2) : 162-168. ISSN : 0854 –641X. Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako. Sulawesi Tengah.
Winarno F H.1985. Monografi Limbah Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan
Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta.
LAMPIRAN

Tabel 1 Hasil pengamatan bioinsektisida kultivasi cair


Biomassa VSC
Kelompok Hari ke- pH OD
(g) (Spora/ml)
6 0 6,9 - 0,000 TBUD
5 1 6,8 0,02 0,161 TBUD
4 2 7 0,09 - TSUD
3 3 8,4 0,1 0,109 TBUD
2 4 7,8 0,01 0,456 TBUD
1 5 8,1 0,05 0,131 TBUD

Tabel 2 Hasil pengamatan bioinsektisida kultivasi padat


Kelompok Hari ke - Kadar air (%)
6 0 44,6
5 1 43,1
4 2 -
3 3 38,3
2 4 38,5
1 5 37,8

Anda mungkin juga menyukai