Anda di halaman 1dari 14

Laporan Praktikum Hari/tanggal : Kamis, 28 Maret 2019

Teknologi Bioindustri Golongan : P2


Dosen : Dr. Drs. Purwoko, M.Si
Asisten :
1. Febriyanti Irawan (F34150044)
2. Mohammad Nasrullah (F34150114)

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA
(KULTIVASI CAIR DAN PADAT)

Disusun oleh :

Ni Nyoman Indah Adi P (F34160052)


Rico Septian Andriyanto (F34160055)
Rahma Maulida (F34160060)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang


digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat
membunuh serangga hama dan vektor pembawa penyakit. Penggunaan
bioinsektisida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak
digunakan selama ini. Penggunaan insektisida kimia jelas tidak menguntungkan,
karena harganya mahal dan dapat membahayakan kesehatan manusia. Selain itu,
penggunaan insektisida kimia yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resistensi
serangga vektor pembawa penyakit, dalam hal ini adalah serangga dan hama yang
menyerang tanaman. Sementara itu, keuntungan penggunaan bioinsektisida adalah
tidak menimbulkan kekebalan terhadap serangga, cukup aman karena tidak
meninggalkan residu pada lingkungan dan cukup aman bagi manusia, binatang,
tanaman serta serangga-serangga lainnya yang bukan merupakan serangga target.
Mikroorganisme yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida
adalah bakteri Bacillus thuringiensis. Bakteri ini adalah bakteri Gram positif,
berbentuk batang, dan memiliki kemampuan menghasilkan kristal protein selama
masa sporulasinya bersifat racun pada sistem pencernaan serangga. Pembuatan
bioinsektisida umumnya dilakukan dengan fermentasi yaitu dengan fermentasi
kultivasi padat dan fermentasi kultivasi cair. Penyiapan media fermentasi yang baik
dapat semakin banyak menghasilkan bioinsektisida. Media fermentasi sangat
mempengaruhi proses fermentasi karena media fermentasi mengandung nutrisi-
nutrisi tertentu yang berfungsi sebagai bahan makanan mikroba dalam proses
fermentasi untuk menghasilkan bioinsektisida. Pemilihan media fermentasi baik
berupa padatan maupun cairan dapat mempengaruhi pembuatan bioinsektisida
karena kandungan yang berbeda yang terdapat pada kedua media ini. Media yang
sering digunakan yaitu produk pertanian, limbah agroindustri, limbah industri
maupun limbah rumah tangga. Bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
media karena merupakan bahan organik juga mengandung trace element yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan memproduksi protein kristal (Purnawati et al.
2015). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian tentang pengaruh media terhadap
pertumbuhan dan yield yang akan didapatkan dalam memproduksi bakteri bacillus
thuringiensis pada pembuatan bioinsektisida.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan mempelajari proses produski bioinsektisida dengan


teknik kultivasi cair dan padat.
METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah inkubator, neraca massa, otoklaf, Erlenmeyer,


pH meter, dan kulkas. Bahan yang digunakan adalah Bacillus thuringensis aizawai,
nutrient broth, onggok, limbah cair tahu, kapur, glukosa 4%, urea 1%,
MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O, MnSO4.7H2O, dan CaCO3.

Metode

1. Kultivasi cair
a. Tahap propagasi

Bacillus thuringensis
aizawai, nutrien broth

50 ml nutrien broth di otoklaf, suhu 121oC, 15 menit

didinginkan

di inokulasi dengan Bacillus thuringensis aizawai

di inkubasi dengan inkubator goyang

Media
propagasi
b. Tahap Fermentasi

glukosa 4%, urea 1%,


MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O,
ZnSO4.7H2O, MnSO4.7H2O,
dan CaCO3

dimasukkan ke dalam erlenmeyer


(glukosa dengan mineral dipisah)

diatur pH menjadi 7.00

di sterilkan dengan otoklaf

glukosa dan mineral dicampur

diinokulasi dengan media propagasi 5%

diinkubasi pada suhu kamar dengan agitasi 150 rpm

Bioinsektisida cair
2. Kultivasi padat

onggok, limbah
cair tahu, kapur

dimasukkan ke dalam erlenmeyer


(ditutup dengan alumunium foil)

disterilisasi dengan otoklaf

diinokulasi dengan 10% media propagasi

diinkubasi pada suhu kamar

dipanen dan diamati Viabile Spore Count

dikeringkan dalam oven

Bioinsektisida
kering
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

[Terlampir]

Pembahasan

Bioinsektisida adalah jenis pestisida yang bahan aktifnya merupakan


mikroorganisme seperti bakteri Bacillus thuringiensis, cendawan Beaveria sp,
Metarrhizium sp, dan virus Spodotera lituranuclea. Bioinsektisida merupakan
bahan yang mengandung senyawa toksik yang berfungsi untuk membunuh atau
menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan
maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Sifat
insektisida yang dihasilkan aman terhadap organisme non-target, manusia dan
lingkungan. Sampai saat ini telah banyak penelitian untuk memperoleh
bioinsektisida yang ampuh dan ramah lingkungan, salah satunya bioinsektisida
mikrobial yang diperoleh dari Bacillus thuringiensis yang bersifat aman karena
memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi atau
kekebalan pada serangga hama.
Berbagai isolat Bacillus thuringiensis dengan berbagai jenis kristal protein
yang dikandungnya telah teridentifikasi setelah diketahui besarnya potensi dari
protein kristal Bacillus thuringiensis sebagai agen pengendali serangga. Sampai
saat ini telah diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap larva dari berbagai
ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangandan hortikultura.
Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan karena
mempunyai target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga bukan sasaran
dan mudah terurai sehinggatidak menumpuk dan mencemari lingkungan.
Bacillus thuringiensis aizawai termasuk salah satu bakteri yang telah banyak
digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis aizawai
menghasilkan protein yang bersifat insektisida yaitu δ-endotoksin atau kristal
protein yang akan berikatan dengan reseptor spesifik dalam sel larva sehingga
terjadi lisis sel yang dapatmenyebabkan kematian pada serangga target (Yuningsih
2016).
Produksi bioinsektisida diawali dengan penyegaran isolat, dilanjutkan
dengan persiapan inokulum medium kultivasi. Satu lup biakan Bacillus
thuringiensis diinokulasi dalam 50 mL media yang telah disterilisasi menggunakan
autoclave, kemudian diinkubasi pada rotary shaking incubator dengan kecepatan
agitasi 150 rpm selama 12 jam. Selanjutnya kultur tersebut digunakan sebagai
starter media kultivasi dengan penambahan 5% (v/v) dari berat media yang
digunakan. Parameter kinetika kultivasi yang diukur untuk menentukan efisiensi
dan produktivitas proses produksi adalah pH, optical density, biomassa kering, dan
jumlah spora hidup. Analisis jumlah spora hidup dilakukan dengan cara
mengencerkan sampel secara serial dan kemudian ditumbuhkan pada cawan petri
dengan media nutrient agar uang diinkubasi selama 24-48 jam sampai koloni
terbentuk sempurna. Perhitungan jumlah koloni dihitung pada rentang 29-300
koloni setiap cawan. Hasilnya kemudian dinyatakan dalam coloni forming units per
mL (Purnawati et al. 2015).
Produksi bioinsektisida dapat dilakukan menggunakan kultivasi padat
ataupun kultivasi cair. Fermentasi cair lebih disukai karena dapat menjaga
kesterilan kultur, proses pemanenan dan pengaturan parameter proses produksi atau
fermentasi lebih sederhana, serta produk dapat langsung digunakan dibandingkan
hasil fermentasi semi padat yang tidak mudah untuk disuspensikan karena
cenderung menggumpal. Teknik kultivasi cair dapat dilakukan dengan sistem
tertutup pada fermentor. Jenis fermentor yang umum digunakan adalah fermentor
tangki berpengaduk. Fermentor ini dapat digunakan untuk substrat yang sangat
viskous serta koloid tanpa menyebabkan terjadinya penyumbatan, serta enzim
terimobilisasi dengan aktivitas yang rendah. Proses fermentasi cair dapat dilakukan
dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup, fermentasi kontinyu, dan
fermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu
atau semi kontinyu. Menurut Bernhard dan Utz (1993), produksi bioinsektisida
Bacillus thuringiensis umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup
karena hasil akhir yang diharapkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk
selama proses sporulasi. Penggunaan media cair relatif lebih mahal daripada media
padat. Kelebihan penggunaan media padat adalah harga lebih murah dan bahan
lebih mudah didapatkan. Namun penggunaan media padat menghasilkan rendemen
lebih rendah dan lebih sulit dalam memisahkan hasilnya.
Fermentasi substrat padat dilakukan dengan menumbuhkan
mikroorganisme pada bahan padat dengan sedikit atau tanpa air bebas. Aktivitas
biologis menurun jika kandungan air pada substrat sekitar 12%. Fermentasi substrat
padat tidak memperhatikan fermentasi slurry ataupun fermentasi substrat padat
dalam media cair. Substrat yang paling banyak digunakan dalam fermentasi substrat
padat adalah biji-bijian serealia, kacang-kacangan, sekam gandum, bahan yang
mengandung linoselulosa, serta berbagai bahan lain yang berasal dari tanaman dan
hewan. Beberapa kelebihan fermentasi substrat padat menurut Susmiati (2018),
adalah produktivitasnya yang tinggi, kebutuhan airnya rendah sehingga dapat
mengurangi biaya pengolahan limbah cair, dapat menggunakan substrat berupa
limbah pertanian, serta tidak memerlukan adanya aerasi dan pengadukan.
Pestisida kimia yang berbahaya karena residu pestisida dalam sayur dan
buah dapat menyebabkan berbagai penyakit, berdampak pada organisme lain, dan
mencemari tanah. Kelebihan menggunakan bioinsektisida mikrobial adalah aman,
ramah lingkungan, spesifik terhadap hama tertentu, tidak berbahaya bagi organisme
lain, serta tidak menyebabkan adanya residu pada hasil pertanian dan tanah (Ellis
2004). Penggunaan bioinsektisida mikrobial dipengaruhi oleh spesies
mikroorganisme, sifat serangga, dan potensi untuk dapat diproduksi dalam skala
besar dan ekonomis (Dulmage et al.1990). Selain itu,produksi bioinsektisida
dipengaruhi oleh komposisi media. Komposisi media berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan toksisitas Bacillus thuringiensis. Bakteri ini adalah bakteri Gram
positif, berbentuk batang, dan memiliki kemampuan menghasilkan kristal protein
selama masa sporulasinya. Sebagai pengendali hayati, spora dan kristal protein ini
dapat bersifat racun pada sistem pencernaan serangga (Valicente dan Maurao
2008). Indonesia masih mengimpor produk bioinsektisida. Ketregantungan akan
barang impor dapat diminimalisir dengan produksi sendiri di dalam negeri.
Potensi pengembangan bioinsektoisida di Indonesia cukup tinggi. Indonesia
sebagai negara agraris memiliki pasar bioinsektisida. Hasil samping produk
pertanian dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan mikroba karena
merupakan bahan organik dan mengandung nutrisi untuk pertumbuhan sel. Banyak
penelitian dilakukan untuk mendapatkan native strain B. thuringiensis dari
lingkungan yang berbeda-beda seperti dari tanah, biji-bijian, debu, feses hewan, 2
jerami dan batang pohon, serta lokasi yang berbeda, dengan tujuan untuk
memperoleh strain B. thuringiensis baru dengan potensi daya toksisitas tinggi dan
serangga sasaran yang lebih luas (Apaydin 2004).
Teknologi proses produksi bioinsektisida perlu dikembangkan yang mudah,
sederhana dan murah. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), keberhasilan produksi
bioinsektisida terutama dipengaruhi oleh galur bakterinya dan medium kultivasi
yang digunakan, metode pemanenan produk, serta faktor lingkungan yang
mempengaruhi proses kultivasi. Glukosa umum digunakan di industri. Media
komersial nutrient broth, glukosa, sirup jagung dan lain-lain memiliki harga yang
mahal, sehingga perlu dicari alternatif bahan lain yang relatif lebih murah agar
dapat menekan biaya produksi. Pemanfaatan limbah agroindustri sangat disarankan
karena cukup melimpah dan belum seluruhnya termanfaatkan dan menyebabkan
pencemaran lingkungan. Pengembangkan skala industri memiliki kendala modal
yang cukup besar dan teknologi yang canggih, sehingga investor di Indonesia
cenderung tidak tertarik untuk membangun industri ini (Purnawati et al. 2015).
Uji yang dilakukan pada pengamatan kali ini yaitu pH, OD 660nm,
biomassa kering, dan viable spore count (VSC). Prinsip dari derajat keasaman (pH)
adalah untuk mengetahui tingkatan pH yang dihasilkan selama inkubasi
menggunakan pH meter. Menurut Bernard dan Utz (1993) kondisi optimum untuk
pertumbuhan Bacillus thuringiensis adalah pada pH 5,5-8,5. Prinsip uji nilai OD
660nm yaitu menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm
sehingga diperoleh nilai absorbasi untuk menghitung jumlah bakteri yang tumbuh
(Wulandari dan Herdyastuti 2013). Prinsip uji biomassa kering yaitu dengan
menimbang kertas saring hasil penyaringan sampel yang telah dioven. Sebelum
dilakukan penyaringan diketahi terlebih dahulu berat (Ridwan 2010). Prinsip uji
viable spore count (VSC) yaitu perhitungan jumlah koloni spora dengan
pengenceran sample hasil fermentasi kemudian ditumbuhkan pada medium agar
dan diinkubasi (Rachmawati 2011). Penentuan jumlah spora (VSC) dalam cairan
hasil kultivasi bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas kultivasi
dengan spora hidup yang terbentuk (Sarfat 2010).
Bacillus thuringiensis tumbuh pada medium yang memiliki pH 5.5 - 8.5 dan
tumbuh optimum pada pH 6.5 - 7.5 (Benhard dan Utz 1993). pH dapat berubah
selama fermentasi dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat yang
dapat menurunkan pH dan protein yang dapat menaikkan pH. Nilai pH dapat
dikendalikan dengan memelihara keseimbangan senyawa gula dan nitrogen.
Pengujian pH dilakukan untuk mengetahui kondisi pH optimum dari bakteri yang
digunakan sehingga pH dapat dikontrol agar selalu pada kondisi optimum atau
minimal pada rentang hidup dari bakteri (Quinlan dan Lisansky 1985).
Berdasarkan data hasil praktikum diperoleh nilai pH yang sama pada
produksi bioinsektisida dengan fermentasi cair kecuali pada hari ke 5. Pada hari ke
0,1, 2, 3, dan 4 diperoleh nilai pH sebesar 7,7, sedangkan pada hari ke 5 diperoleh
nilai pH sebesar 8,6. Hasil tersebut sesuai dengan Benhard dan Utz (1993) yang
menyatakan Bacillus thuringiensis aizawai adalah bersifat mesofilik, kisaran suhu
pertumbuhannya 15-45oC dengan suhu optimum 26-30oC dan pH pertumbuhannya
5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5. . Nilai pH awal media fermentasi sering kali
diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali
atau asam steril. Nilai pH awal untuk media fermentasi Bacillus thuringiensis
aizawai ditentukan pada kisaran 6.8-7.2. ePeningkatan pH disebabkan Enzim
urease akan mengubah urea menjadi amonium bikarbonat dengan reaksi kimia:
(NH2)2CO + 3H2O urease (NH4)2HCO3 + OH –
Reaksi kimia tersebut menyebabkan urea terlarut dalam air sehingga terjadi
peningkatan pH hingga 8,5 (James 1983).
Pengukuran OD dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan sel. Panjang
gelombang yang digunakan pada prtaktikum kali ini yaitu 660 nm. Semakin tinggi
nilai OD, maka semakin keruh larutan. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan sel
yang membuat kandungan sel di dalam larutan menjadi meningkat. Menurut dan
Utz (1993), pertumbuhan sel Bacillus thuringiensis aizawai akan memasuki fase
stasioner dimana pertumbuhan sel mulai melambat atau terkesan statis pada jam ke
36 (hari ke-3) dan umumnya pertumbuhan optimum sekitar jam ke 30 fermentasi.
Hasil pengukuran OD pada praktikum menunjukkan hasil yang fluktuatif, tidak
menunjukkan kecendrungan peningkatan atau penurunan. OD dari hari ke-0 sampai
ke-5 secara berurutan adalah 0,042; 0,195; 0,076; 0,091; 0,083; dan 0,080. OD
tertinggi yaitu pada hari ke-2 (24 jam) yaitu 0,195. Hasil praktikum mendekati
literatur yang menyatakan bahwa pertumbuhan optimum bakteri Bacillus
thuringiensis aizawai adalah 30 jam. Perbedaan tersebut disebabkan karena pada
praktikum ini pengamatan hanya dilakukan dengan interval 24 jam, sehingga pada
jam ke-30 tidak dilakukan pengamatan.
Pertumbuhan Bacillus thuringiensis dapat dicirikan dengan waktu yang
digunakan untuk menggandakan jumlah atau massa sel dan konversi substrat
menjadi biomassa. Selama kultivasi berlangsung sel akan mengkonversi sumber
karbon menjadi biomassa, produk, CO2 dan H2O. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya penurunan kadar karbohidrat dan penyusutan bobot kering substrat serta
terjadinya peningkatan biomassa seiring dengan berjalannya waktu. Hasil
pengamatan pada praktikum menunjukkan bahwa biomassa kering yang diproduksi
mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak menentu. Perbedaan tersebut
kemungkinan dapat disebabkan oleh ketebalan media yang digunakan. Ketebalan
media akan mempengaruhi penurunan bobot kering substrat. Semakin tebal media,
maka jumlah sel yang terbentuk semakin rendah sehingga jumlah enzim yang
terbentuk semakin sedikit menyebabkan total substrat yang dikonsumsi maupun
yang dikonversi menjadi biomassa ataupun senyawa lain seperti asam organik, CO2
dan H2O juga menjadi semakin rendah (Purnawati et al. 2015).
Berdasarkan hasil pengatan jumlah sel spora hidup (VSC) diperoleh jumlah
spora hidup yang fluktuatif dengan jumlah spora hidup tertinggi yaitu pada waktu
inkubasi hari ke-1 dengan nilai TBUD. Jumlah spora hidup dari hari ke-2 sampai
hari ke-4 mengalami peningkatan yaitu dari 58 x 103 spora/ml hingga 111 x 103
spora/ml, sedangkan pada hari ke-5 mengalami penurunan menjadi 48 x 103
spora/ml. Hal ini terjadi karena pada hari ke-5 jumlah substrat mulai menurun
sehingga spora berebut untuk mengonsumsi substrat dan menyebabkan jumlah
spora hidup menurun. Jumlah spora hidup yang diperoleh dari hasil pengamatan ini
masih berada di bawah jumlah spora hidup yang dilakukan oleh Dubois dalam
Goldberd et al. (1980) yang menyatakan bahwa pelaksanaan kultivasi dengan
sistem batch dengan skala laboratorium dalam memproduksi Bacillus thuringensisi
akan menghasilkan spora sebesar 2 x 108 spora/ml.
PENUTUP

Simpulan

Bioinsektisida adalah jenis pestisida yang bahan aktifnya merupakan


mikroorganisme seperti bakteri, cendawan, dan virus. Sebagian besar produksi
bioinsektisida menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis. Produksi bioinsektisida
dapat dilakukan menggunakan kultivasi padat ataupun kultivasi cair. Penggunaan
media cair relatif lebih mahal daripada media padat. Namun penggunaan media
padat menghasilkan rendemen lebih rendah dan lebih sulit dalam memisahkan
hasilnya. Untuk menentukan kualitas produk bioinsektisida dilakukan beberapa uji
antara lain uji pH, OD 660nm, biomassa kering, dan viable spore count (VSC). pH
bioinsektisida yang diperoleh yaitu sebesar 7,7. Nilai OD 660nm tertinggi yaitu
pada jam ke-24 dengan nilai sebesar 0,195. Biomassa kering tertinggi diperoleh
pada jam ke-48 dengan nilai sebesar 0,29 g. Jumlah spora hidup tertinggi diperoleh
pada jam ke-24 dengan nilai TBUD.

Saran

Proses praktikum sudah berjalan dengan baik, akan tetapi sebaiknya


praktikan lebih memperhatikan ketelitian dalam penggunaan alat serta melakukan
pengamatan secara teratur sesuai waktu yang ditentukan agar hasil pengamatan
yang didapat sesuai dengan literatur yang ada dan tidak terjadi kesalahan sehingga
data bisa dikatakan valid dan dapat dihitung.
DAFTAR PUSTAKA

Apaydin. 2004. Isolation and Characterization of Bacillus thuringiensis Strains


from Different Grain Habitats [disertasi]. Izmir (TK): Izmir Institute of
Technology.
Benhard K, Utz R. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insectisides for
Experimental and comercial uses. di dalam Enwistle PF, Cory JS, Bailey
MJ, Higggs S. (editor). Bacillus thuringiensis, An Enviromental
Biopesticide: Theory and Practice. Chichester (UK): John Wiley and Son.
Dubois MK, Gilles A, Hamilton JK, Rebers DA, Smith F. 1956. Colorimetric
methods for determination of sugar and related substances. Analitical
Chemist. 28:350-356.
Dulmage T, Rhodes. 1971. Production of Pathogen in Artificial Media. Di dalam:
Burgess HD dan Hussey NW. Microbial Control of Pest and Plant Diseases
1970-1980. New York (US): Academic Pr.
Ellis J A. 2004. Commonly Asked Questions About B. thuringiensis k (Bacillus
thuringiensis var. kurstaki). Indiana (US): Exotic Insect Education
Coordinator Departement of Entomology, Purdue University.
Goldberd I, Sneh B, Battat E, Klein D. 1980. Optimization of a medium for a high
yield production of spore-crystal preparation of Bacillus thuringiensis
effective against the egyptian cotton leaf worm Spodoptera littoralis Boisd.
Hebrew (IL): The Cultivation Unit, The Hebrew University.
James D W. 1993. Urea: A Low Cost Nitrogen Fertilizer with Special Magement
Requirement. Utah (UK): Utah State University.
Purnawati R, Sunarti TC, Syamsu K, Rahayuningsih M. 2015. Produksi
bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis menggunakan kultivasi media
padat. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 25 (3): 205-214.
Quinlan R J, Lisansky S G. 1985. Mikrobial Insecticides. Weinheim (GR): Verlag
Chemist.
Rachmawati RN. 2011. Kajian rasio C/N terhadap produksi bioinsektisida dari
Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan substrat limbah cair
tahu dan air kelapa [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ridwan MF. 2010. Produksi dan karakterisasi enzim transglutaminase dari
Streptoverticillium ladakanum dengan media yang disubstitusi limbah cair
surimi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sarfat MF. 2010. Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai
menggunakan limbah tahu industri sebagai substrat [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Susmiati Y. 2018. Prospek produksi bioetanol dari limbah pertanian dan sampah
organik. Jurnal Teknologi dan Manajemen Industri. 7(2): 67-80.
Valicente FH, Mourao AHC. 2008. Use of By-Products Rich in Carbon and
Nitrogen as a Nutrient Source to Produce Bacillus thuringiensis
(Berliner)- Based Biopesticide. J Neotropical Entomol. 37(6): 702-
708.
Wulandari HA, Herdyastuti N. 2013. Optimasi pertumbuhan isolate kitnolitik LA
21 yang diisolasi dari tambak udang di Lamongan. Jurnal Kimia UNESA.
2(2): 42-46.
Yuningsih. 2016. Bioinsektisida sebagai upaya re-harmonism ekosistem. Prosiding
Symbion. 1 (1): 521-532.
LAMPIRAN

Tabel 1 Hasil Pengamatan Bioinsektisida Kultivasi Cair


Kelompok Hari ke- pH Biomassa (g) OD VSC (spora/mL)
6 0 7,7 0,02 0,042 1 x 103
5 1 7,7 0,04 0,195 TBUD
4 2 7,7 0,29 0,076 58 x 103
3 3 7,7 0,01 0,091 76 x 103
2 4 7,7 0,2 0,083 111 x 103
1 5 8,6 0,19 0,080 42 x 103

Tabel 2 Hasil Pengamatan Bioinsektisida Kultivasi Padat


Kelompok Hari ke- Kadar air (%)
6 0 81,03
5 1 78,34
4 2 74,97
3 3 79,67
2 4 81,79
1 5 79,75

Anda mungkin juga menyukai