PENGENDALIAN HAYATI
ACARA II
Disusun Oleh :
LABORATORIUM AGRONOMI
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Di alam kita mengenal kata predator dan parasitoid dalam dunia fauna. Predator merupakan
binatang atau serangga yang memakan mangsanya secara langsung dan biasanya memiliki
ukuran tubuh lebih besar. Predator dapat memangsa beberapa mangsa secara langsung dalam
waktu cepat. Dalam dunia serangga, prilaku sebagai serangga predator banyak dijumpai pada
anggota ordo Coleoptera, Odonata dan Diptera. Sementara Parasitoid adalah musuh alami
yang menargetkan serangga hama sebagai inangnya. Tubuh parasitoid cenderung lebih kecil
dari inangnya, parasitoid yang menginfeksi inang adalah parasitoid betina. Parasitoid akan
meletakkan telurnya baik secara internal ataupun eksternal pada tubuh serangga hama
sasaran. Parasitoid cenderung membunuh satu serangga sasaran secara perlahan berbeda
dengan predator. Dalam dunia serangga, prilaku sebagai parasitoid banyak dijumpai pada
separuh dari famili dalam ordo Hymenoptera. Dalam praktikum acara 2 akan dipelajari ciri
khas dari serangga predator dan parasitoid beserta sasaran atau inang yang berinteraksi
dengannya.
Daftar Pustaka
Pengendalian hayati merupakan salah satu cara pengendalian hama dan penyakit yang
menyerang tanaman dengan menggunakan metode yang ramah lingkungan dan berbasis
biologi tanpa menggunakan bahan kimia. Pengendalian hayati dalam penerapannya atau
prakteknya banyak menggunakan agen hayati atau byological agent. Penggunaan agen
pengendali hayati dalam pemberantasan hama dan penyakit tanaman pada masa sekarang
mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut ditandai dengan adanya respon atau pengaruh
positif terhadap penggunaan agen pengendali hayati seperti peningkatan kesehatan terhadap
petani dan konsumen karena penggunaan agen hayati tidak menimbulkan efek negatif, tidak
membunuh spesies tertentu yang dapat membantu hal-hal yang mungkin dapat terjadi dalam
proses budidaya tanaman, dan penggunaan agen hayati dalam jangka panjang dapat
meningkatkan kesuburan dan kesehatan alam serta mengembalikan keadaan ekosistem yang
saat ini telah rusak akibat pemakaian bahan kimia (Sanda and Mustapha, 2014).
Sistem budidaya tanaman yang menerapkan pengendalian hama dan penyakit dengan
menggunakan agen hayati atau byological agents dianggap sebagai metode yang lebih efektif
dalam penerapan menuju pertanian yang berkelanjutan. Penggunaan agen hayati dalam
jangka waktu yang panjang atau lama dapat mengurangi ketergantungan terhadap
penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit
tanaman, meminimalkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan kesehatan para petani.
Agen pengendali hayati dapat digunakan untuk menekan populasi hama dan penyakit. Agen
pengendali hayati yang terdiri dari predator, parasitoid dan patogen antagonis merupakan
organisme yang dapat menekan serangan hama dan penyakit tanaman (Tracy, 2014).
Predator merupakan serangga yang dapat memburu atau memakan serangga lain yang
lebih kecil ukurannya sehingga mengakibatkan kematian. Predator merupakan musuh alami
yang memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari mangsanya. Predator dapat dibedakan
menjadi 2 macam, yaitu predator fisik (pemangsaan secara langsung) dan predator fisiologi
(pemangsaan dari dalam tubuh organisme hama) (Gunawan, 2011). Salah satu contoh
predator adalah tungau A. swirskii dan P. Phytoseiulus, apabila kedua predator tersebut di
aplikasikan secara bersamaan maka dapat meningkatkan kemampuan dalam mengendalikan
hama T. urticae. Hama T. urticae sendiri merupakan hama penting dalam tanaman yang
dibudidayakan di green house (rumah kaca). Kedua predator tersebut apabila digunakan
secara terpisah, maka sangat kurang efektif pengendaliannya dalam mengendalikan hama T.
urticae (Fiedler, 2012).
Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang antropoda
lainnya. Parasitoid bersifat parasit pada fase pradewasa, sedangkan dewasanya hidup bebas
dan tidak terikat pada inangnya. Parasitoid hidup menumpang di luar atau didalam tubuh
inangnya dengan cara menghisap cairan tubuh inangnya guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Umumnya parasitoid menyebabkan kematian pada inangnya secara perlahan-lahan
dan parasitoid dapat menyerang setiap fase hidup serangga, meskipun serangga dewasa
jarang terparasit. Kondisi agroekosistem dapat mempengaruhi keanekaragaman serta
keefektifan komunitas parasitoid sebagai musuh alami serangga hama (Nugraha dkk.,2014).
Menurut Nelly dkk.,(2015) tingkat keanekaragaman, kekayaan dan kelimpahan individu
serangga predator dan parasitoid lebih tinggi pada lahan tanpa insektisida dibandingkan lahan
yang diaplikasikan insektisida. Lahan yang sering diberi perlakuan dengan pestisida akan
menyebabkan populasi serangga parasitoid akan berkurang karena mati. Teknik pengelolaan
hama dengan sengaja dengan memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk
kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan perbanyakan musuh
alami yang dilakukan dilaboratorium. Banyak serangga yang diperbanyak untuk membantu
petani dalam pengendalian hama adalah serangga parasitoid salah satunya yaitu parasitoid
telur. Parasitoid telur sebagai agen pengendalian hayati saat ini mendapat perhatian yang
serius terutama dalam kaitannya dengan pengembangan teknologi alternatif pengendalian
hama (Hidrayani dkk.,2013).
Bab II
Tujuan
Tujuan Praktikum :
Bahan :
1. Lalat buas Asilidae 7. Parasitoid Trichoderma
2. Kumbang buas Cocinellidae 8. Parasitoid Braconidae
3. Capung Odonata 9. Parasitoid Ichneumonidae
4. Kepik buas Pentatomidae 10. Parasitoid Scelionidae
5. Kepik buas Reduviidae 11. Parasitoid Chalcididae
6. Belalang sembah (Mantodea) 12. Lalat Tachinidae
Alat :
1 buah mikroskop stereo
1 buah loup
4 buah gelas objek
2 buah petridis
4.2 Pembahasan
Dalam kegiatan praktikum hal yang paling mencolok dari kedua jenis serangga adalah
ukuran fisiknya. Serangga predator sering kali memiliki ukuran fisik yang jauh lebih besar
dari parasitoid. Ukuran tubuh serangga predator bisa mencapai 2 cm sampai 5 cm, sementara
ukuran tubuh parasitoid berkisar 0,5 mm sampai 10 mm sehingga dalam pengamatannya
memerlukan bantuan mikroskop stereo. Selain itu berdasarkan literatur yang ada sudah
disinggung bahwa predator memiliki pola serangan secara cepat dan dapat memangsa banyak
korban. Sementara parasitoid bekerja secara sistematis dan membunuh secara perlahan
dikarenaka parasitoid akan tumbuh dari fase larva hingga fase nimfa dewasa, selama
perkembangan fase itu parasitoid akan mengambil nutrisi dari inang secara bertahap.
Gunawan. 2011. Untung Besar dari Usaha Pembibitan Kayu. Jakarta Selatan: Agromedia
Pustaka.
Hamid, H. 2012. Struktur komunitas serangga herbivora dan parasitoidpada polong tanaman
kacang-kacangan(Fabaceae) di Padang. Entomologi Indonesia, 9(2) : 88-94.
Hidrayani, R.Rusli, dan Y.S.Lubis. 2013. Keanekaragaman Spesies Parasitoid Telur Hama
Lepidoptera dan Parasitisasinya pada Beberapa Tanaman di Kabupaten Solok,
Sumatera Barat. Nature Indinesia, 15(1): 9-14.
Junaedi, E., M. Yunus, dan Hasriyanty. 2016. Jenis Dan Tingkat Parasitasi Parasitoid Telur
Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga Innotata Walker) Pada Pertanaman Padi
(Oryza Sativa L.) Di Dua Ketinggian Tempat Berbeda Di Kabupaten Sigi. Agrotekbis,
4(3): 280-287.
Maulina, F., N. Nelly, Hidrayani, dan H. Hamid. 2012. Keanekaragaman spesies dan
parasitisasiparasitoid telur walang sangit (Leptocorisa oratoriusFabricus) di Kabupaten
Tanah Datar, Sumatera Barat. Biodiversitas Indonesia, 2(1) : 109-112.
Nelly.N, Reflinaldon, dan K.Amelia. 2015. Keragaman Predator dan Parasitoid pada
Pertanaman Bawag Merah: Studi Kasus di Daerah Alahan Panjang, Sumatera Barat.
Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, 1(5): 1005-1010.
Nugraha.N.M, D.Buchori, A.Nurmansyah, dan A.Rizali. 2014. Interaksi Tropik Antara Hama
dan Parasitoid pada Pertanaman Sayuran: Faktor Pembentuk dan Implikasinya
Terhadap Keefektifan Parasitoid. Entomologi Indnesia, 11(2): 103-112.
Sanda, N.B., dan Mustapha, S. 2014. Fundamentals of Biological Control of Pests. IJCBS,
1(6): 1-11.
Tracy, E.F. 2014. The Promise of Biological Control for Sustainable Agriculture: a
Stakeholder-Based Analysis. Science Police and Governance, 5(1):1-13.