Kelas : 02 (Kamis/10.00-11.40)
Asisten : 1. Risya Putri Annura
2. Siti Nurminah Nasution
Disusun Oleh:
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari dilaksanakannya praktikum ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mempelajari perubahan metabolisme beberapa benih tanaman pangan dengan
menggunakan larutan tetrazolium berdasarkan pola pewarnaan topografis sehingga
dapat diduga tingkat viabilitasnya.
2. Untuk membandingkan metode uji tetrazolium dengan metode pengujian yang lain.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Biji adalah ovule yang dewasa. Terbentuk satu atau lebih di dalam satu ovari pada
legume, tapi tidak pernah lebih dari satu biji terbentuk dalam ovari pada monokotil. Setiap
biji matang selalu terdiri paling kurang dua bagian, yaitu embrio dan kulit biji. Embrio
terbentuk atau berasal dari telur yang dibuahi dengan mengalami pembelahan sel di dalam
embrio sac. Kulit biji terbentuk dari integumen (satu atau lebih) dari ovule. Pada legume
umumnya terdapat dua lapis kulit biji. Lapisan sebelah dalam tipis dan lunak, sedangkan
lapisan sebelah luar tebal dan keras. Fungsinya sebagai lapisan proteksi terhadap suhu,
penyakit dan sentuhan mekanis. Setiap biji yang sangat muda dan sedang tumbuh, selalu
terdiri atas tiga bagian yaitu embrio, kulit buji, endosperm. Endosperm yaitu suatu jaringan
penyimpanan makanan cadangan yang diserap oleh embrio sebelum atau selama
perkecambahan biji dan selalu terdapat di dalam biji yang sangat muda (Kolasinska, 2006).
Uji tetrazolium disebut juga uji biochemist dan uji cepat viability. Prinsip metode
tetrazolium adalah bahwa setiap sel hidup akan berwarna merah oleh reduksi suatu
pewarnaan garam tetrazolium dan membentuk endapan formazon merah, sedangkan sel-sel
yang mati akan berwarna putih. Adanya warna merah di bagian-bagian penting pada
embrio benih mengindikasikan benih mampu menumbuhkan embrio menjadi kecambah
yang normal. Enzim yang mendorong terjadinya proses ini adalah dehidrogenase yang
berkaitan dengan respirasi. Uji tetrazolium mempunyai beberapa kelebihan meliputi waktu
pengujian yang singkat, sangat tepat diaplikasikan pada benih yang mengalami dormansi
serta benih yang mengalami pemasakan lanjutan (after ripening), dan memiliki tingkat
ketelitian tinggi. Sedangkan kelemahannya yaitu memerlukan keahlian dan pelatihan yang
intensif, bersifat laboratoris, tidak dapat mendeteksi kerusakan akibat fungi atau mikrobia
lainnya dan bersifat merusak (Sutopo, 2004).
Pengujian tetrazolium memiliki batasan. Perkecambahan tidak dapat dideteksi
dengan pengujian tetrazolium. Pengujian tetrazolium tidak dapat mengukur kapasitas untuk
fotosintesis normal dan noda albino secara normal. Keberadaan patogen dapat
mengganggu perbandingan antara tetrazolium dan hasil dari perkecambahan. Pengujian
tetrazolium tidak dapat dideteksi sebagai pathogene dalam biji yang dilapisi yang
mempengaruhi perkecambahan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pengujian
perkecambahan masih dibutuhkan sebagai informasi viabilitas yang utama (McDonald,
2005).
Hasil dari pengujian tetrazolium adalah jaringan hidup menunjukkan adanya
kontaminasi warna merah pada biji dan jaringan yang mati ditunjukkan dengan tidak
adanya kontaminasi warna merah. Pengujian tetrazolium menunjukkan persentase
kemampuan biji untuk dapat hidup berdasarkan keadaan internal dari biji, pengujian
germinasi yang dikombinasikan dengan peforma dari kualitas biji, ditunjukkan dengan
kemampuan fisiologikal untuk tumbuh dalam perkecambahan yang normal (Black, 2006).
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam uji tetrazolium (TZ) adalah
evaluasi pola topografi pewarnaan untuk menentukan benih viable dan non-viable. Benih
viable menunjukkan pewarnaan pada seluruh jaringan benih yang diperlukan untuk
perkembangan kecambah normal. Benih non-viable menunjukkan defisiensi dan
keabnormalan dari sifat alami yang dapat menghambat perkembangannya menjadi
kecambah normal (ISTA, 2014).
Beberapa pola pewarnaan benih dikategorikan viable bila terwarnai seluruhnya,
kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada kotiledon, tetapi bukan pada bagian penghubung
antara kotiledon dan radikula dan bukan pada daerah satu sisi dengan hilum. Bagian dalam
kotiledon berwarna merah atau bergradasi secara teratur dan merah di bagian tepi dan
memudar di bagian tengah (suatu kondisi yang wajar akibat berkurangnya penetrasi larutan
tetrazolium di bagian dalam). Benih dikategorikan non-viable bila tidak terwarnai
seluruhnya, sebagian besar kotiledon tidak terwarnai, sebagian besar radikula tidak
terwarnai, kerusakan lain (spot busuk), bagian luar berwarna merah, tetapi bagian dalam
kotiledon terlihat adanya batas yang nyata daerah yang tidak terwarnai (spot putih)
(Pramana, 2019).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
DB : Daya Berkecambah
PTM : Potensi Tumbuh Maksimum
FCT : First Count Test
IVT : Index Value Test
4.2. Pembahasan
Pada praktikum ini digunakan benih jagung dan diuji menggunakan uji viabilitas
secara tidak langsung atau uji tetrazolium. Pengujian dilakukan dengan merendam benih
jagung selama 2 jam ke dalam larutan tetrazolium. Benih jagung yang telah direndam
kemudian ditumbuhkan menggunakan media kertas merang selama satu minggu dan
dihitung daya berkecambah, PTM, PCT, dan IVT. Pada pengujian viabilitasnya terdapat
banyak berwarna merah yang menandakan benih tersebut viable.
Pada pengujian daya berkecambah, benih yang tumbuh pada hitungan pertama
adalah sebanyak 36 (hari ke 4) dan pada hitungan kedua sebanyak 47 benih yang
berkecambah (hari ke 7). Dilakukan perhitungan sebagai berikut :
Jumlah benih yang berkecambahnormal I + II
DB = × 100 %
Jumlah benih yang dikecambahkan
36+11
DB = × 100 %
50
DB = 0,94 × 100 %
DB = 94 %
Pada pengujian First Count Test (FCT), yaitu perhitungan benih yang berkecambah
dengan normal dibandingkan dengan jumlah jumlah benih yang yang dikecambahkan,
dapat dihitung sebagai berikut :
Jumlah benih yang berkecambahnormal
FCT = × 100 %
Jumlah benih yang dikecambahkan
39
FCT = × 100 %
50
FCT = 0,76 × 100 %
FCT = 78 %
Pada pengujian Index Value Test (IVT), yaitu perhitungan jumlah benih yang
berkecambah persatuan harinya, dapat dihitung menggunakan rumus :
Jumlah benih yang berkecambah
IVT =
Hari berkecambah
0 10 6 14 9 11
IVT = + + + + +
1 2 3 4 5 6
0+300+120+210+108+110
IVT =
60
IVT = 14,13 %
Pada perhitungan di atas diketahui pada uji yang dilakukan dengan menggunakan
benih jagung didapatkan Daya Berkecambah (DB) sebesar 94%, Potensi Tumbuh
Maksimum (PTM) sebesar 86%, First Count Test (FCT) sebesar 78%, dan Index Value
Test (IVT) sebesar 14,13%. Berdasarkan uji tetrazolium, benih jagung yang diamati
memiliki viabilitas yang sangat tinggi dimana batas minimum viabilitas benih jagung
adalah sekitar 90%.
Benih yang dikatakan memiliki daya pertumbuhan baik adalah benih dengan
viabilitas mencapai 80% ke atas. Benih dengan viabilitas tinggi tentunya memiliki daya
vigor benih yang kuat, karena didukung oleh komponen cadangan makanan dalam biji
yang cukup untuk menopang pertumbuhan awal dari biji sebelum memperoleh makanan
dari dalam tanah. Untuk dapat mengetahui hal-hal tentang viabilitas dan daya vigor benih
tentunya harus dilakukan dengan sebuah penelitian.
Uji tetrazolium disebut juga uji biochemist benih dan uji cepat viabilitas. Disebut
uji biochemist karena uji tetrazolium mendeteksi adanya proses biokimia yang berlangsung
di dalam sel-sel benih khususnya sel-sel embrio. Disebut uji cepat viabilitas karena
indikasi yang diperoleh dari pengujian tetrazolium bukan berupa perwujudan kecambah,
melainkan pola-pola pewarnaan pada embrio. Sehingga waktu yang diperlukan untuk
pengujian tetrazolium tidak sepanjang waktu yang diperlukan untuk pengujian yang
indikasinya berupa kecambah. Pengujian tetrazolium menggunakan zat indikator 2.3.5
Trifenil tetrazolium chloride.
Prinsip metode tetrazolium adalah bahwa setiap sel hidup akan berwarna merah
oleh reduksi suatu pewarnaan garam tetrazolium dan membentuk endapan formazon
merah, sedangkan sel-sel yang mati akan berwarna putih. Adanya warna merah di bagian-
bagian penting pada embrio benih mengindikasikan benih mampu menumbuhkan embrio
menjadi kecambah yang normal. Enzim yang mendorong terjadinya proses ini adalah
dehidrogenase yang berkaitan dengan respirasi. Uji tetrazolium mempunyai beberapa
kelebihan meliputi waktu pengujian yang singkat, sangat tepat diaplikasikan pada benih
yang mengalami dormansi serta benih yang mengalami pemasakan lanjutan (after
ripening), dan memiliki tingkat ketelitian tinggi. Sedangkan kelemahannya yaitu
memerlukan keahlian dan pelatihan yang intensif, bersifat laboratoris, tidak dapat
mendeteksi kerusakan akibat fungi atau mikrobia lainnya dan bersifat merusak.
Kegunaan uji tetrazolium cukup banyak, diantaranya adalah untuk mengetahui
viabilitas benih yang akan ditanam, untuk mengetahui viabilitas benih dorman, dan untuk
mengetahui hidup atau matinya benih segar dalam pengujian daya berkecambah benih. Uji
tetrazolium sebagai uji vigor bisa dilakukan, dengan cara membuat penilaian benih lebih
ketat untuk katagori benih vigor diantara benih viable. Tinggi rendahnya viabilitas
potensial dapat diukur dengan daya berkecambah benih dan berat kering kecambah normal.
Viabilitas dan vigor benih secara alami akan menurun sejalan dengan meningkatnya suhu
dan kadar air benih. Peningkatan kandungan air berhubungan dengan aktivitas metabolik di
dalam benih yang melibatkan enzim untuk mengkatalisis cadangan energi di dalam benih.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil pada praktikum ini yaitu sebagai berikut :
1. Uji tetrazolium disebut juga uji biochemist benih dan uji cepat viabilitas.
2. Pengujian tetrazolium menggunakan zat indikator 2.3.5 Trifenil tetrazolium chloride.
3. Prinsip metode tetrazolium yaitu bahwa setiap sel hidup akan berwarna merah oleh
reduksi suatu pewarnaan garam tetrazolium dan membentuk endapan formazon merah,
sedangkan sel-sel yang mati akan berwarna putih.
4. Benih yang dikatakan memiliki daya pertumbuhan baik yaitu benih dengan viabilitas
mencapai 80% ke atas.
5. Diketahui hasil uji benih jagung menunjukkan DB sebesar 94%, PTM sebesar 86%,
FCT sebesar 78%, dan IVT sebesar 14,13%.
5.2. Saran
Adapun saran dari saya yaitu semoga kedepannya praktikum ini dapat berjalan
lebih efektif lagi dan agar materinya dapat dijelaskan secara detail supaya praktikan dapat
memahami materi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Black, M., Derek, B., and Peter, H. 2006. The Encyclopedia of Seeds. CABI, Wallingford.
International Seed Testing Association (ISTA). 2014. International Rules for Seed Testing.
ISTA, Switzerland.
Kolasinska, K., Szyrmer, J., Dul, S. 2006. Relationship between laboratory seed
quality tests and field emergence of common bean seed. Journal Crop Science
Society of America. 4(1): 470-475.
McDonald dan Kwong. 2005. Flower Seed Biology and Technology. CABI, Wallingwood.
Pramana, S. A., Bambang, P., dan Amalia, T. S. 2019. Perbandingan uji tetrazolium dan
Radicle Emergence dalam menduga viabilitas benih kopi arabika (Coffea arabica
L.). Jurnal Littri. 25(1): 1-10.