Anda di halaman 1dari 7

1. Hikayat berasal dari bahasa Arab hikayah yang berarti kisah, cerita, atau dongeng.

Dalam sastra
Melayu lama, hikayat diartikan sebagai cerita rekaan berbentuk prosa panjang berbahasa Melayu,
yang menceritakan tentang kehebatan dan kepahlawanan orang ternama dengan segala kesaktian,
keanehan, dan karomah yang mereka miliki. Orang ternama tersebut biasanya raja, puteraputeri
raja, orang-orang suci, dan sebagainya. Hikayat termasuk karya yang cukup populer di masyarakat
Melayu dengan jumlah cerita yang cukup banyak.

Hikayat merupakan salah satu karya sastra lama yang berbentuk prosa yang didalamnya
mengisahkan tentang kehidupan dari keluarga istana, kaum bangsawan atau orang-orang ternama
dengan segala kehebatan, kesaktian ataupun kepahlawanannya. Di dalamnya juga diceritakan
tentang kekuatan, mukjizat dan segala keanehannya.

Hikayat berasal dari bahasa Arab, yakni haka yang mempunyai arti bercerita atau menceritakan.
Fungsi dari hikayat adalah sebagai pembangkit semangat, penghibur atau pelipur lara, atau hanya
untuk meramaikan suatu pesta.

2. Menurut Suherli, dkk, hikayat merupakan ragam jenis cerita rakyat dan termasuk ke dalam teks
narasi. Hikayat merupakan cerita Melayu klasik yang menonjolkan unsur penceritaan berciri
kemustahilan dan kesaktian tokoh-tokohnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hikayat adalah cerita rekaan dalam bentuk
prosa, berisi cerita berbahasa Melayu klasik yang menyuguhkan peristiwa atau kejadian yang
kurang masuk akal direka-reka seolah-olah pernah terjadi, serta diceritakan dengan alur
berbingkai.

-hikayat gedung agung


-hikayat dusun tinggi

3. Karakteristik hikayat adalah :


1. Menggunakan bahasa melayu
2. Pralogis ( terkadang cerita sulit diterima oleh akal )
3. Istana sentries ( cerita berada di lingkungan istana )
4. Anonim ( penggunanya tidak diketahui )
5. Alur / cerita berbingkai
6. Mengandung kemustahilan
7. Tokoh cerita memiliki kesaktian

4. A. Banyak menggunakan konjungsi


Ciri bahasa yang dominan dalam hikayat adalah banyak penggunaan konjungsi pada setiap awal
kalimat.
Perhatikan contoh kutipan hikayat berikut ini.
Maka berkeinginanlah istri Khojan Maimun untuk mendengarkan cerita tersebut. Maka Bayanpun
berceritalah kepada Bibi Zainab dengan maksud agar ia dapat memperlalaikan perempuan itu.
Hatta setiap malam,Bibi Zainab yang selalu ingin mendapatkan anak raja itu, dan setiap
berpamitan dengan bayan. Maka diberilah ia cerita-cerita hingga sampai 24 kisah dan 24 malam.
Burung tersebut bercerita, hingga akhirnyalah Bibi Zainab pun insaf terhadap perbuatannya dan
menunggu suaminya Khojan Maimum pulang dari rantauannya.
Dalam kutipan tersebut, konjungsi maka digunakan hingga tiga kali.

B. Banyak menggunakan kata arkais


Selain banyak menggunakan konjungsi, hikayat menggunakan kata-kata arkais. Hikayat
merupakan karya sastra klasik. Artinya, usia hikayat jauh lebih tua dibandingkan usia Negara
Indonesia. Meskipun bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia (berasal dari bahasa
Melayu), tidak semua kata dalam hikayat kita jumpai dalam bahasa Indonesia sekarang. Kata-kata
yang sudah jarang digunakan atau bahkan sudah asing tersebut disebut sebagai kata-kata arkais.
Contoh

Kata Arkais
Makna Kamus
beroleh
mendapat
titah
kata, perintah
buluh
tanaman berumpun, berakar serabut, batangnya beruas-ruas, berongga, dan keras; bambu; aur

C. Banyak menggunakan majas atau gaya bahasa


Majas atau gaya bahasa yang sering dijumpai dalam teks hikayat antara lain sebagai Berikut
1. Majas antonomasia
Majas antonomasia yaitu majas yang menyebut seseorang berdasarkan ciri atau sifatnya yang
menonjol.
Contoh
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki
berkeliling di negeri antah berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana
mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai
penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarahdarah tubuhnya. Sepanjang perjalanan
menangislah Si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di
hutan, siangnya berjalan mencari rezeki.
Si Miskin dalam kutipan hikayat di atas merupakan contoh majas antonomasia.
2. Majas simile
Majas simile adalah majas yang membandingkan suatu hal dengan hal lainnya menggunakan kata
penghubung atau kata pembanding. Kata penghubung atau kata pembanding yang biasa digunakan
antara lain:
seperti, laksana, bak, dan bagaikan.
Contoh

Maka si Miskin itupun sampailah ke penghadapan itu. Setelah dilihat oleh orang banyak, Si
Miskin laki bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing rupanya. Maka orang banyak itupun
ramailah ia tertawa seraya mengambil kayu dan batu (Hikayat Si Miskin).

5. 1.Memohon kepada Tuhan dengan berdoa dan bersedekah agar dimudahkan urusannya.
2.Pasrah kepada Tuhan setelah beusaha.
3.Tidak melihat status perbedaan social.
4.Membantu orang-orang yang berada dalam posisi kesulitan.

Nilai agama : berkaitan dengan kaidah agama yang berlaku di masyarakat setempat saat itu
• Nilai moral : berkaitan dengan etika sopan santun yang berlaku dimasyarakat
• Nilai budaya : berkaitan dengan sosial budaya masyarakat melayu klasik

6. Perbedaan : 1) pada tema. hikayat bertema statis. cerpen bertema dinamis. 2) latar cerita.
hikayat berlatar pada sebuah kerjaan pada zaman dahulu. cerpen berlatar tentang kehidupan di
masa sekarang. 3) tokoh. tokoh pada hikayat adalah raja, dewa/dewi. tokoh pada cerpen adalah
tokoh modern. 4) bahasa. pada hikayat menggunakan bahasa melayu klasik. pada cerpen
menggunakan bahasa Indonesia yang digunakan dalam sehari-hari. 5) pengarang. pada hikayat
kebanyakan pengarangnya tidak diketahui atau anonim. sedangkan pada cerpen, pengarangnya
diketahui. persamaannya: 1) sama-sama karya sastra berbentuk prosa. 2) tujuannya adalah
menghibur pembaca dan menyampaikan amanat yang baik bagi pembaca.

Alkisah, di sebuah daerah Lebong, Bengkulu, berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang
dipimpin oleh Raja Bikau Bermano. Raja Bikau Bermano mempunyai delapan orang putra. Pada
suatu waktu, Raja Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama
Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai.
Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun, ketika Gajah Meram bersama
calon istrinya sedang melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang
berada di tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang tahu ke mana
hilangnya pasangan itu.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai cemas, karena Gajah
Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu
terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang
untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang ketika sampai di tepi danau itu
tidak mendapati Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga
menemukan mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana.
“Ampun, Baginda! Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor seorang
hulubalang.
“Apa katamu?” tanya sang Raja panik.
“Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar batu bandung dan batu kuning, tapi
kami tidak menemukan mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil memberi hormat.
“Ke mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik.
“Ampun, Baginda! Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang serentak.
Mendengar jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan cemas terhadap
keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil
mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” titah sang Raja
kepada bendahara.
“Baik, Baginda!” jawab bendahara sambil memberi hormat.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang
istana.
“Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra dan calon
menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.
Tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi hening.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan
Suka Negeri yang juga hadir angkat bicara.
“Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan sesuatu.”
“Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku dan Putri Jinggai?” tanya
sang Raja penasaran.
“Ampun, Baginda! Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang
bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu sambil memberi hormat.
“Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di
Danau Tes,” tambahnya.
“Benarkah yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda!” jawab tun tuai itu.
“Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra dan calon menantuku. Kita tidak boleh
terus larut dalam kesedihan ini,” ujar sang Raja.
“Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan
calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di Batu Kuning.
“Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja.
“Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan pandangannya ke arah putranya.
“Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang dan istrinya!” pinta Gaja Merik kepada
ayahandanya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika
putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang cukup besar.
“Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang Raja.
“Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Apa yang akan kamu lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa tidak mampu
melawan Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan putra bungsunya.
“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan seluruh yang hadir di
sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh
seorang kakek yang mengajari Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang
sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya
kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya.
“Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Baiklah! Besok kamu boleh pergi membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi, dengan syarat,
kamu harus pergi bertapa di Bandar Agung untuk memperoleh senjata pusaka,” ujar sang Raja.
“Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Bandar Agung yang terletak di antara Desa
Merambung dan Batu Kuning untuk bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa
dengan penuh konsentrasi, tidak makan dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya, Gajah
Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu
mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sementara
selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang.
Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka itu. Namun, ketika
sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit istana sedang menjaga perbatasan
Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik
langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris
pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air.
Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes, ia berubah
pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke dasar danau.
Tidak berapa lama, ia pun menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah
gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu.
Namun, baru akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam salah satu dari ular itu.
“Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan abangku,” jawab Gaja Merik dengan nada
menantang.
“Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu.
Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan sengit, dan perkelahian pun
tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun
beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap melewati
pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam
perkelahian.
Ketika akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak.
“Ha... ha... ha..., anak manusia, anak manusia!”
“Hei, Raja Ular! Keluarlah jika kau berani!” seru Gajah Merik sambil mundur beberapa langkah.
Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan kepulan asap.
Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa.
“Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun yang mampu memasuki istanaku. Kamu
siapa dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Raja Ular itu.
“Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik.
“Lepaskan abangku dan istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah Gajah Merik
mengancam.
“Ha... ha.... ha...., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu, tapi kamu harus penuhi
syaratku,” ujar Raja Ular.
“Apa syarat itu?” tanya Gajah Merik.
“Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah kamu bunuh. Kedua, kamu harus
mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil tertawa berbahak-bahak.
“Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru Gajah Merik menantang.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap
satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu
sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu.
“Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil memenuhi syaratku yang pertama,” kata
Raja Ular.
“Tapi, kamu tidak akan mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan aku. Ha... ha...
ha....!!!” tambah Raja Ular kembali tertawa terbahak-bahak.
“Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik.
Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah
Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor
Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan
mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang itu
berjalan seimbang.
Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu yang terkalahkan.
Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik. Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja
Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah
menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.
“Aduuuhh... sakiiit!” jerit Raja Ular menahan rasa sakit.
Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga
siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya.
“Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku kalah,” kata Raja Ular.
Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai
yang dikurung dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga istana dilanda kecemasan.
Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja
memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun,
sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan
menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa.
“Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai,” lapor
hulubalang.
“Ah, bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat Topes?” tanya baginda
heran.
“Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah
Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa
selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil
membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang itu.
“Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan
dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian itu. Kedatangan
mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana.
Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok
negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama
tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram.
Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu.
“Ampun, Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang
paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,”
kata Gajah Meram.
“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja, Putraku?” sang Raja
kemudian bertanya kepada Gajah Merik.
“Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai satu permintaan,”
jawab Gajah Merik memberi syarat.
“Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya sang Raja penasaran.
“Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi
hulubalang kerajaan ini?” pinta Gajah Merik.
Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. Akhirnya, Raja Ular yang telah
ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam.
Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular
tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di
Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu
dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembrono

Anda mungkin juga menyukai

  • Uwuuuuu
    Uwuuuuu
    Dokumen4 halaman
    Uwuuuuu
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • Aktivitas Kerterampilan 2 Bab Iii
    Aktivitas Kerterampilan 2 Bab Iii
    Dokumen2 halaman
    Aktivitas Kerterampilan 2 Bab Iii
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • Surat Undangan
    Surat Undangan
    Dokumen2 halaman
    Surat Undangan
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • Aktivitas Pengetahuan Bab Iv
    Aktivitas Pengetahuan Bab Iv
    Dokumen9 halaman
    Aktivitas Pengetahuan Bab Iv
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • GGGGGG
    GGGGGG
    Dokumen2 halaman
    GGGGGG
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • Yuhuuu
    Yuhuuu
    Dokumen2 halaman
    Yuhuuu
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • GG Kli
    GG Kli
    Dokumen7 halaman
    GG Kli
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • GG Kli
    GG Kli
    Dokumen4 halaman
    GG Kli
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • Ashiappp
    Ashiappp
    Dokumen5 halaman
    Ashiappp
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • GGGGGG
    GGGGGG
    Dokumen2 halaman
    GGGGGG
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • Debat Kelas X
    Debat Kelas X
    Dokumen11 halaman
    Debat Kelas X
    sweet peach
    50% (2)
  • Debat Kelas X
    Debat Kelas X
    Dokumen11 halaman
    Debat Kelas X
    sweet peach
    50% (2)
  • PEMBAHAHASAN
    PEMBAHAHASAN
    Dokumen11 halaman
    PEMBAHAHASAN
    sweet peach
    Belum ada peringkat
  • Debat Kelas X
    Debat Kelas X
    Dokumen11 halaman
    Debat Kelas X
    sweet peach
    50% (2)