Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

AIRWAY MANAGEMENT
TINJAUAN PUSTAKA
PENGERTIAN
Airway Manajement ialah memastikan jalan napas terbuka. tindakan paling penting untuk
keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan. Dengan tujuan untuk
menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase
tubuh.
Menurut The Commite on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan Essentia Medica,
1983: 20; Hendrotomo, 1986: 497) tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah
segera melapangkang saluran pernapasan, yaitu dengan cara:
a. Triple manuver

Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:


 Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher, sedangkan tangan yang
lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan dan kepala ditengadahkan ke belakang
oleh tangan yang lain
 Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obtruksi hipofarings oleh
dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan jaringan antara larings dan rahang bawah.
 Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx posterior.

ANATOMI

Pengetahuan tentang anatomi hipofaring penting untuk manajemen airway. Batas


hipofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior ialah laring, batas
inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra cervical. Bila hipofaring diperiksa
dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada
pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak dibawah dasar lidah ialah
valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekuangan yang dibentuk olehligamentum
glossoepiglotika medial dan ligamnetum glossoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula
disebut juga “kantong pil”, sebab pada beberapa orang kadang-kadang bila menelanpil akan
tersangkut disitu. Dibawah valekula terdapat epiglottis yang berfungsi untuk melindungi glottis
ketika menelan minuman atau bolus makanan.

Berikut gambaran anatominya the larynx.

Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan napas adalah hipofaring, terjadi pada pasien
koma ketika otot lidah dan leher yang lemas tidak dapat mengangkat dasar lidah daridinding
belakang faring. Ini terjadi jika kepala pada posisi fleksi atau posisi tengah. Oleh karena itu
ekstensi kepala merupakan langkah pertama yang terpenting dalam resusitasi, karena gerakan ini
akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan terangkat dari dinding
belakang faring. Kadang-kadang sebagai tambahan diperlukan pendorongan mandibula kedepan
untuk meregangkan leher anterior, lebih-lebih jika sumbatan hidung memerlukan pembukaan
mulut. Hal ini akan mengurangi regangan struktur leher tadi. Kombinasi ekstensi kepala,
pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan mulut merupakan ”gerak jalan napas tripel”.
Pada kira-kira 1/3 pasien yang tidak sadar rongga hidung tersumbat selama ekspirasi karena
palatum molle bertindak sebagai katup. Selain itu rongga hidung dapat tersumbat oleh kongesti,
darah atau lendir Jika dagu terjatuh, maka usaha inspirasi dapat ”menghisap” dasar lidah ke posisi
yang menyumbat jalan napas.Sumbatan jalan napas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi
kepala dan mandibula serta dapat saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi
dapat menolong drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan meringankan sumbatan jaringan
lunak hipofaring, sehingga gerak mengangkat dasar lidah seperti diterangkan diatas tetap
diperlukan. Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan atau daah
dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh pasien yang tidak sadar.
Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan nafas atas pada pasien stupor atau koma
dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah dapat disebabkan oleh bronkospasme, sekresi bronkus,
sembeb mukosa, inhalasi isi lambung atau benda asing. Sumbatan jalan nafas dapat total atau
partial. Tanda-tanda obstruksi partial:
1. Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur
atau melengking.
2. Retraksi otot dada kedalam didaerah supraclavicular, suprasternal, sela iga
dan epigastrium selama inspirasi
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/ membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas meningkat).
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang lebih
berat.
Tanda-tanda obstruksi total:
Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor justru menghilang
1. Retarksi lebih jelas
2. gerak paradoksal lebih jelas
3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas.
4. Balon cadangan tidak kembang kempis lagi.
5. Sianosis lebih cepat timbul.
Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia (hipoksemia ditambah
hiperkarbia), henti nafas dan henti jantung (jika tidak dikoreksi) dalam waktu 5 – 10 menit.
Sumbatan partial berisik dan harus pula dikoreksi segera, karena dapat menyebabkan kerusakan
otak hipoksik, sembab otak atau paru dan penyulit lain serta dapat menyebabkan kepayahan, henti
nafasdan henti jantung sekunder.

AIRWAY MANAGEMENT
a. Tindakan penguasaan jalan nafas darurat.

Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan kalau
pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis
akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan nafas
pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
1. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuever)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglotis terbuka,
sniffing position, posisi hitup.

chin lift

Head-tilt
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuever)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong kedepan pada
sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah melekat pada rahang bawah,
maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka.

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan ”manuever triple airway” (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing
lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.
Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horisontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala dibawah
(head down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi. Jangan
meletakkan pasien pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai, menyebabkan
sumbatan mekanis dan mengurang kekembungan dada.
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan utnuk pasien koma diawasi yang
memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk yang
dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan sekali-kali
meletakkan bantal dibawah kepala pasienyang tidak sadar (dapat menyebabkan leher
fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali pada intubasi trakea.
Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.
Ekstensikan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban
kesamping, jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk
membersihkan jalan nafasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu garis
lurus, sementara penolong lain memiringkan korban Posisi mantap dianjurkan utnuk
pasien koma bernafas spontan.
b. Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) dengan Alat

Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi menyebabkan
lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala
atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan
melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan

dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan
dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks
laring masih intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan
refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral
airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no
4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung ke lubang
telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan adanya resiko
epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak
dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii.
Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi.Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada
pasien dengan anestesi ringan.

1. Face Mask dan Teknik Penggunaan

Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi
dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat (gambar
5-5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium face
mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Face mask yang
transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Facemask yang
dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk
muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai untuk mengkaitkan head scrap
sehingga face mask tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam mask untuk pediatrik
di disain untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan
reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya
kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi
dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas.
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face mask
dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan
telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint
atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak
yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking
ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling
penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk
memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena
tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit
memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak
dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat
menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm
H2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral
atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan
cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila face mask dan
ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk
menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk
menghindari resiko aberasi kornea.

2. Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)

Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan


TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada
pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy
fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam
menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe
LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat
dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa
nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang
dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit.

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan
dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa.
Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke
hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara
laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk
memasukan oral airway. Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior,
sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus
terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi
anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika
LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik,
kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih
kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab
kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung
dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus
yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat
membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi
faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan

pada tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai
dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai
lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam
berbagai ukuran (tabel 5-3).

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians
paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi
puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan
bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru
menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA
dihubungkan dengan kejadian bronchospasme lebih kurang dari pada dengan TT.
Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan
sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat
diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka
keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur
stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0
mm).
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang
lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat dilakukan
dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas harus bebas
seraya pasiennya sadar.
3. Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)

Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-
masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih panjang
ujung distalnya ditutup. Pipa yang tranparant berukuran yang lebih pendek punya ujung
distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini biasanya dipasangkan secara buta
melalui mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas
dan bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal
dan 15 ml untuk balon distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah
pemasangan. Pipa yang bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi
lambung. Pilihan lain, jika ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang
bening akan langsung gas ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih rerdaftar sebagai
pilihan untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life
Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA
atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit.
4. Pipa Tracheal (TT)

TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea dan


mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT
(American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT kebanyakan
terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk
indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari TT
dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu
penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang
(mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel
dengan cairan atau trachea.
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola dalam
milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis (diameter
external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil kompromi antara
memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas
dengan ukuran pipa yang kecil.
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari
katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon (cuff).
Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon TT mengijinkan
dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa
yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk meminimalkan resiko
dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon
tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area kontak
mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena adanya
floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari kerusakan mukosa,
balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon, dan
tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon
dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari mukosa
tracheal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,
spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi kepala
dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja menjadi
kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan menggigit pipa),
lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus lainnya termasuk pipa
mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double lumen tube). Semua TT
memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radiogopak yang mengijinkan dapat
dilihatnya ETT pada trachea.

5. Rigid Laryngoscope

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi
trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau
untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle
fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang


MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan
dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena
tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan
bentuk blade yang beragam.
6. Laringoskop Khusus

Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk
membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas yang
sulit yaitu Laringokop Bullard dan laringoskop Wu
Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung
dengan ujung yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis pada
pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior. Banyak
dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang memiliki jalan
nafas sulit. Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang digunakan jalan nafas
pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada pasien normal sebelum
digunakan pada saat penting dan memergensi pada pasien dengan jalan nafas sulit.

7. Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)

Dalam beberapa situasi, -misalnya pasien dengan tulang cervical yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan kelainan
kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan
penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak
dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibel memungkin visualisasi tidak langsung dari
laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana direncanakan intubasi
sadar (awake intubation). FOB dibuat dari fiberglass ini mengalirkan cahaya dan
gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber dan
terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari
fiber, masing-masing berisi 10.000 – 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya
dari sumber cahaya ( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam
handle yang memberikan gambaran resolusi tinggi.
Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat
yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi
oksigen atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan,
akan tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada
pembersihan dan sterilisasi telah digunakan.

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI INTUBASI


Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara
yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi,
menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks
akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal
pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,
memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga
darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan kritis :
mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk
mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah :
trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat
sulit untuk dilakukan intubasi.
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi
maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa
yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas
menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk
intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis.
Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal.
Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang
masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea.
Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.
Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya
pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan intubasi,
adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya kelainan pada
saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri
vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan
intubasi pada keadaan sadar.
KESULITAN INTUBASI
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti riwayat
anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas.8 Pemeriksaan
jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga
gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem
klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk
membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.

Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah intubasi,
sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.
Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi
prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk menggunakan analisis
diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat badan, kepala dan gerakan leher, gerakan
rahang, sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem penilaian yang diperkirakan 75% dari
intubasi sulit pada kriteria risiko = 2.11 Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi
kesulitan intubasi meliputi :
 Lidah besar
 Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
 Mandibula menonjol
 Maksila atau gigi depan menonjol
 Mobilitas leher terbatas
 Pertumbuhan gigi tidak lengkap
 Langit-langit mulut sempit
 Pembukaan mulut kecil
 Anafilaksis saluran napas
 Arthritis dan ankilosis cervical
 Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin
(micrognathia, belahanlangit-langit, glossoptosis),Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)
 Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok)
 Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses, retropharyngeal
abses,epiglottitis)
 Massa pada mediastinum
 Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus
 Jaringan parut luka bakar atau radiasi
 Trauma dan hematoma
 Tumor dan kista
 Benda asing pada jalan napas
 Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah dan kepala,
Kumis, jenggot
 Nasogastrik tube
 Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru. 2,11,12,13,14,15

Kelas 1: sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis dan epiglotis
tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis terlihat; Kelas 4: tidak bahkan
epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai 'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'
KOMPLIKASI INTUBASI
Selama intubasi
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi, laring
 Merangsang saraf simpatis ( hipertensi-takikardi)
 Intubasi bronkus
 Intubasi esophagus
 Aspirasi
 Spasme bronkus

Setelah intubasi
 Spasme laring
 Aspirasi
 Gangguan fonasi
 Edema glotis-subglotis
 Infeksi laring, faring, trakea
PENUTUP
KESIMPULAN
Airway Manajement ialah memastikan jalan napas terbuka. tindakan paling penting untuk
keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan. Penanganan untuk
memastikan jalan nafas tetap terbuka dapat dilakukan dengan berbagai maneuver yang ada
maupun dengan menggunakan alat alat khusus yang digunakan untuk membuka jalan nafas.
Airway management maneuver adalah head tilt – chin lift dan jaw thrust maneuver, sedangkan alat
khusus yang digunakan untuk membuka jalan nafas yaitu face mask, laryngeal mask maneuver,
esophageal – tracheal combitube, pipa tracheal, rigid larngoskope, larngoskop khusus dan flexible
fiberoptic broncoscope. Pada saat melakukan intubasi terdapat beberapa indikasi dan
kontraindikasi yang harus diperhatikan serta terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan
terjadinya kesulitan pada saat dilakukan intubasi dimana kesulitan yang sering terjadi adalah
mallapati, leher pendek maupun obesitas. Pada saat melakukan intubasi juga harus hati – hati
sehingga tidak menimbulkan adanya komplikasi pada pasien seperti gigi yang patah maupun
adanya laserasi pada mukosa.

Anda mungkin juga menyukai