Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum dan kebijaksanaan publik merupakan variabel yang memiliki


keterkaitan yang sangat erat, sehingga kebijaksanaan pemerintah semakin
dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum saat ini. Kompleksnya
persoalan ekonomi, sosial, dan politik merupakan sebab kebutuhannya, serta
sangat berperan bagi pemerintah dalam menemukan alternatif kebijaksanaan yang
bermanfaat bagi masyarakat.

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono justru mengisi sangat banyak


kursi wakil menteri (Wamen), sebuah langkah yang justru bertentangan dengan
semangat reformasi birokrasi. Presiden menambah pos 13 Wamen sehingga total
ada 19 kementerian yang memiliki Wakil menteri yang menjadikan kabinet itu
sangat tambun dan diperkirakan sulit bergerak lincah. Kedua, menteri-menteri
(ekonomi) yang diganti atau dirotasi sama sekali tidak meyakinkan, sehingga
target perbaikan kinerja sulit dicapai. Sebagian figur yang ditunjuk presiden untuk
mengisi kursi Wakil menteri merupakan individu yang memiliki reputasi bagus di
bidang masing-masing. Bayu Krisna Murti yaitu Wakil Menteri Perdagangan,
Eko Prasodjo yaitu Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi
Birokrasi, dan Widjajono Partowidagdo yaitu Wakil Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral. merupakan Wakil menteri yang memiliki rekam jejak cukup
bagus, sehingga berpotensi membantu perbaikan kinerja para menteri di
kementerian masing-masing. Tapi, menyimak pengalaman beberapa kementerian
yang sebelumnya memiliki Wakil menteri seperti Kementerian Perhubungan, dan
Kementerian Perdagangan, ternyata tidak ada korelasi perbaikan kinerja dengan

i
adanya Wakil menteri. Kementerian-kementerian tersebut tidak menunjukkan
perbaikan kinerja. Bahkan, pencapaian Kementerian Perhubungan malah
memburuk. Hal yang sama terjadi di Kementerian Keuangan. Penyerapan
anggaran tidak membaik, meski ada Wakil menteri di situ. Ada beberapa
kemungkinan penyebab penambahan posisi Wakil menteri itu tidak lantas
memperbaiki kinerja kementerian. Pertama, tidak ada pekerjaan spesifik yang bisa
dibantu wakil menteri karena sebetulnya sebagian besar sudah bisa ditangani
struktur birokrasi seperti Sekertaris Jendral dan Direktur Jendral. Dengan kata
lain, para Wakil menteri itu sebetulnya menjadi ’’pengangguran tersembunyi’’
(disguise unemployment) seperti kasus yang terjadi di sektor pertanian sekarang.
Kedua, muncul perbedaan visi, kebijakan, serta sikap antara menteri dan Wakil
menteri dalam melihat suatu persoalan sehingga malah menambah rumit proses
pengambilan keputusan.

Dalam 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan kurang lebih 1 juta pegawai
negeri sipil sehingga mulai tahun ini pemerintah hendak melakukan moratorium
penerimaan pegawai negeri sipil. Di beberapa daerah, alokasi Anggaran
Pemerintah Belanja Daerah bahkan 80-90% habis untuk gaji dan belanja pegawai,
sehingga tidak tersisa lagi bagi dana pembangunan. Menjelang akhir tahun
biasanya menjadi waktu yang sangat dinantikan pencari kerja. Saat itulah mereka
menunggu pengumuman seleksi calon pegawai negeri sipil. Pemerintah daerah
mulai mendapatkan kepastian dari pemerintah pusat soal jumlah formasi calon
pegawai negeri yang bisa mereka seleksi.Namun, meski hampir menjadi rutinitas
setiap tahun, seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tak pernah menjawab
seberapa ideal kebutuhan pegawai negeri di setiap instansi. Pertimbangan jumlah
pelamar yang diterima dalam setiap seleksi calon pegawai negeri sipil selama ini
hanya sebatas mengimbangi.

ii
Jika reformasi birokrasi secara sederhana diartikan sebagai pengurangan
jumlah pegawai negeri sipil yang tidak dibutuhkan, proses tersebut selama ini tak
berjalan. Pemerintah sebenarnya memiliki satu pedoman untuk merestrukturisasi
birokrasi di daerah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Hanya
saja PP No 41/2007 sebatas merestrukturisasi jabatan struktural, bukan
fungsional. PP No 41/2007, misalnya, menghapuskan jabatan wakil kepala satuan
kerja perangkat daerah (SKPD). Menurut Badan Kepegawaian Daerah, dalam
meminta formasi soal Calon Pegawai Negeri Sipil yang dibutuhkan kepada
pemerintah pusat, hanya berpatokan pada permintaan Satuan Kerja Perangkat
Daerah. Sementara baik Badan Kepegawaian Daerah maupun Satuan Kerja
Perangkat Daerah tak pernah mengevaluasi berapa jumlah ideal Pegawai di setiap
instansi. Akhirnya, Pegawai negeri hanya menjadi pengangguran terselubung,
pekerja yang bekerja, tetapi tidak dengan kapasitas maksimal jam kerja. Masih
sering dijumpai Pegawai Negeri Sipil yang tidak jelas kerjanya. Mereka lebih
sering bermain game komputer di kantor. Padahal birokrasi yang efektif sangat
dibutuhkan untuk pelayanan publik yang baik. Apalagi jika diakui, sebagian
Pegawai Negeri yang ada tidak lebih dari pengangguran terselubung. Gaji dan
tunjangan mereka ditanggung oleh uang rakyat dan uang rakyat tersebut
digunakan untuk membayar penganggur.

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari pengangguran tersembunyi.
2. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam mengatasi pegawai negeri
pengangguran tersembunyi.

C. Manfaat
1. Dapat mengetahui pengertian dari pengangguran tersembunyi.
2. Dapat mengetahui upaya pemerintah dalam mengatasi pegawai negeri
pengangguguran tersembunyi.

iii
D. PERMASALAHAN

Pembengkakan jumlah pegawai negeri sipil (PNS) semakin mengkhawatirkan


karena membebani anggaran di pusat maupun di daerah. Pemerintah kesulitan
mengatur jumlah pegawai negeri karena belum adanya regulasi yang secara
khusus mengatur tentang rasio jumlah Pegawai Negeri Sipil. Menurut data Badan
Kepegawaian Nasional (BKN), jumlah Pegawai Negeri Sipil di Indonesia sampai
Desember 2010 adalah 4.598.100 orang atau 1,98 persen dari total penduduk
Indonesia.
Rasio antara jumlah Pegawai Negeri Sipil dengan jumlah penduduk akan
memengaruhi pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Idealnya
persentase jumlah Pegawai Negeri Sipil adalah dua atau tiga persen dari jumlah
penduduk. Hal tersebut dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban
kerja dengan kuantitas dan kualitas aparat yang bertanggung jawab
melaksanakannya. Di samping variabel jumlah penduduk, faktor luas wilayah,
karakteristik daerah dan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) /Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) turut menjadi
pertimbangan dalam menentukan jumlah Pegawai Negeri Sipil yang ideal. Jumlah
Pegawai Negeri Sipil di negeri ini yang dinilai terlalu besar bisa jadi karena
penyebarannya tidak efektif sehingga terkonsentrasi pada wilayah/departemen
tertentu. Dengan adanya rencana induk pengembangan sumber daya aparatur,
maka jumlah dan posisi Pegawai Negeri Sipil diharapkan akan dapat lebih teratur
dan keberadaannya lebih efektif untuk memberikan pelayanan publik yang lebih
baik.

Dari sisi efesiensi, 4,6 juta Pegawai Negeri Sipil saat ini tentu menjadi beban
bagi keuangan negara. Untuk gaji dan tunjangan PNS sebanyak itu pemerintah
harus menyediakan anggaran sebesar Rp. 180 triliun. Merupakan anggaran yang

iv
cukup besar dari Rp 1000 triliun APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) kita. Dilema pemerintah semakin bertambah jika kita melihat dari sisi
jumlah angkatan kerja yang terus meningkat tajam, sementara ketersediaan
lapangan kerja terbatas. Hal ini akan memicu jumlah pengangguran dan berefek
pada pertumbuhan ekonomi negara. Sementara itu, untuk melaksanakan program
pemerintah, terutama mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, penerimaan
Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu solusinya. Namun, pemerintah tidak
bisa terus-terusan tersandera oleh kepentingan jangka pendek tersebut.
Sejak terbentuknya Kementerian Pemberdayaan Aparatu Negara yang
pertama sekali (1968) dibawah pimpinan Harsono Cokraminato, perlu waktu 30
tahun lamanya pemerintah menyadari perlunya pembenahan mental dan kualitas
Pegawai Negeri Sipil melalui perubahan nama lembaga kementerian tersebut
menjadi ganti nama menjadi Kementerian Pengawasan Pembangunan dan
Pendayagunaan Aparatur Negara pada 1998 di bawah Menteri Hartarto
Sastrosunarto.

Tidak lama berselang setahun, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono


melalui Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Freddy Numberi dalam
Kabinet Persatuan Nasional pada 29 Oktober 1999 meracik kembali lembaga
tersebut dan kembali lagi menjadi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara
(kembali ke awal). Barulah pada 22 Oktober 2011, pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dalam Kabinet Indonesia Bersatu II merumuskan dengan tegas nama
kementerian tersebut menjadi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi di bawah racikan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, EE.Mangindaan, Jika mengacu pada era
EE. Mangindaan (2009) sampai Yudyi Chrisnandi (2014) atau dalam kurun 5
(lima) tahun terakhir peranan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dalam
mengelola postur Pegawai Negeri Sipil kita sebagai berkut : Visi Kementerian
Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi : Mewujudkan aparatur

v
negara yang Bersih, Kompeten dan Melayani rasa-rasanya semakin terkikis.
Jumlah Pegawai Negeri Sipil dalam 5 tahun terakhir meski terus menurun tapi
memperlihatkan postur tidak efisien. Berikut data Pegawai Negeri Sipil lima
tahun terakhir : Jumlah Pegawai Negeri Sipil 2009 : 4.524.205 (semua golongan
dari pusat sampai desa). Jumlah Pegawai Negeri Sipil 2010 : 4.598.100 Jumlah
Pegawai Negeri Sipil 2011 : 4.570.818 Jumlah Pegawai Negeri Sipil 2012 :
4.467.982 Jumlah PNS 2013 : 4.362.805 Jumlah Pegawai Negeri Sipil 2014 :
(Perkiraan 4,2 juta. Mengacu pada jumlah Pegawai Negeri Sipil pensiun 100 ribu
setiap tahun). Belanja Pegawai Negeri Sipil dalam Anggaran Pemerintah Belanja
Negara setiap tahun mengeluarkan anggaran sangat besar. Pada Anggaran
Pemerintah Belanja Negara 2014, biaya untuk gaji Pegawai Negeri Sipil
dialokasikan sebesar 276 trliun, atau hampir 22% dari total belanja negara.

Di beberapa provinsi dan Kabupaten/Kota, jumlah Pegawai Negeri Sipil


berlimpah. Hal ini menimbulkan dampak pengangguran tersembunyi yang
menambah beban pengeluaran pemerintah daerah. Pejabat Pegawai Negeri Sipil
yang menggunakan fasilitas negara bergaya bak raja di raja di pemerintahan
daerah kabupaten dan kota.

Pegawai Negeri Sipil yang masih berani melanggar aturan (hukum) demi
tujuan memperkaya diri melalui praktek suap, memeras, gratifikasi, korupsi dan
sejumlah tindakan yang tidak seharusnya tidak dilakukan oleh Pegawai Negeri
Sipil. Kita sering melihat sosok-sosok Pegawai Negeri Sipil yang kaya raya dan
memiliki rekening gendut mengalahkan kemampuannya menabung dari hasil gaji
dan tunjangannya. Mungkin saja Pegawai Negeri Sipil tesebut memiliki bisnis
lain memberi keuntungan berlimpah. Atau bisa saja Pegawai Negeri Sipil tersebut
memiliki harta warisan dari orang tua atau mertua yang berlebihan. Akan tetapi
sangat disayangkan jika kekayaan tersebut diperoleh dari mental minta dilayani
dari teman kerja, kolega, mitra apalagi dari masyarakat yang seharusnya dilayani
secepat dan setepat mungkin.

vi
BAB II
PEMBAHASAN

A. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


Pemerintah tengah ancang-ancang untuk melakukan pembersihan Pegawai
Negeri Sipil ada sekitar 1,5 juta Pegawai Negeri Sipil yang akan dipecat, demi
tercapainya target 3,5 juta Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2019 mendatang.
Pemecatan ini akan dilakukan bertahap oleh pemerintah, karena Pegawai Negeri
Sipil di Indonesia saat ini dianggap terlalu besar yakni 4,517 juta orang.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-


RB) Yuddy Chrisnandi menyebutkan , pada 2019 akan ada 520 ribuan Pegawai
Negeri Sipil yang pensiun. Itu sebabnya pemerintah akan mengisinya dengan
Sumber Daya Manusia yang unggul.

Upaya dalam mengurangi rasio Pegawai Negeri Sipil ini adalah melakukan
moratorium Pegawai Negeri Sipil. Jumlah Pegawai Negeri Sipil yang pensiun
hanya diisi separuhnya saja. Selain itu, kompetensi Pegawai Negeri Sipil pun
ditingkatkan. Jumlah Pegawai Negeri Sipil dari S1 yang tadinya di bawah 40
persen akan ditingkatkan menjadi 50-60 persen, S2 ditingkatkan 30-50 persen,
dan S3 di atas 10 persen. Dengan demikian di 2019, kita sudah mendapatkan
Pegawai Negeri Sipil unggul dan berdaya saing tinggi, Tapi langkah ini
sepertinya masih wacana, soalnya pemerintah pada tahun 2016 ini akan merekrut
71.436 orang sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kuota tersebut hanya untuk Pegawai
Negeri Sipil di pusat, lantaran masih dalam kerangka moratorium Pegawai Negeri
Sipil.

Kuota Pegawai Negeri Sipil pusat yang dialokasikan adalah 71.436 orang.
Itupun tidak seluruhnya harus dihabiskan kuotanya, kuota 71.436 yang sudah ada
anggarannya ini terutama ditujukan untuk program nawa cita yaitu bidang

vii
pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, infrastruktur, poros maritim,
ketahanan energi, dan ketahanan pangan. Dalam desain perencanaan pemerintah,
25 persen untuk tenaga pendidikan, kesehatan 20 persen, penegak hukum 15
persen, teknis pendukung nawacita 30 persen, dan ikatan dinas 10 persen. Meski
jadwal belum keluar, namun setiap instansi sudah bisa melakukan analisa berapa
kebutuhan pegawainya.

Revolusi mental terhadap seluruh Pegawai Negeri Sipil dan rencana


Moratorium yang dicanangkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) sebetulnya akumulasi dari sejumlah
fenomena menipisnya kadar moral dan kualitas Pegawai Negeri Sipil di seluruh
Indonesia. Menurunnya moral yang ikut memicu lahirnya Moratorium Pegawai
Negeri Sipil berimpikasi pada lunturnya nilai-nilai profesionalisme dan semangat
pengabdian kepada masyarakat.

Tingginya minat masyarakat untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, dan


sejarah kebijakan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil yang tidak konsisten
membuat moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil ini menjadi perdebatan. Pada
periode 1999-2004,

Keluarnya Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil ini dilatarbelakangi oleh


kurang efektifnya kebijakan zero growth Calon Pegawai Negeri Sipil /kebijakan
pertumbuhan nol Calon Pegawai Negeri Sipil, membengkaknya jumlah Pegawai
Negeri Sipil dan tersedotnya anggaran Negara untuk membiayai belanja pegawai.
Kebijakan zero growth Calon Pegawai Negeri Sipil dengan hanya merekrut Calon
Pegawai Negeri Sipil baru untuk menggantikan Pegawai Negeri Sipil yang
pensiun, dipecat, atau mengundurkan diri, selama ini dipandang belum memberi
dampak yang berarti untuk merampingkan jumlah Pegawai Negeri Sipil.

Data membengkaknya jumlah Pegawai Negeri Sipil menurut Kementerian


Pemberdayaan Aparatur Negara per Mei 2011 ada 4.708.330 orang. Dari data

viii
tersebut 19,5 persen atau 916.493 Pegawai Negeri Sipil Pusat, sedangkan 80,5
persen atau sekitar 3.791.837 adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah. Bagi Daerah,
konsekuensi dari besarnya jumlah Pegawai Negeri Sipil yang dimiliki
adalah besarnya anggaran yang harus disediakan untuk belanja pegawai,
yang dianggarkan dari Dana Alokasi Umum. Dalam rancangan Nota Keuangan
RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) 2012, Dana
Alokasi Umum telah dianggarkan sejumlah 269,5 trilyun, sedangkan belanja
pegawai mencapai 215,7 trilyun. Ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar
Dana Alokasi Umum dialokasikan untuk belanja pegawai. kurangnya Dana
Alokasi Umum diberbagai daerah untuk belanja pegawai memang menjadi
fenomena yang mengarah pada kurang sehatnya anggaran,terutama anggaran
Daerah. Disisi lain telah ditentukan bahwa anggrang belanja untuk pegawai tidak
boleh melebihi dari 50% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Belanja pegawai ada dalam jenis belanja tidak langsung seperti gaji
pokok,tunjangan, kenaikan gaji berkala. Sedangkan belanja pegawai yang
masuk dalam belanja langsung seperti untuk honor. Dapat kita bayangkan,
betapa kurang idealnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bila
separohnya lebih sudah habis untuk belanja pegawai. Tingginya belanja pegawai
tentu saja membawa konsekuensi logis kurang dapat dipenuhinya belanja modal
yang notabene membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.

Dapat kita bayangkan bagaimana Daerah mampu membiayai pembangunan


dan pelayanan publik untuk menyediakan pelayanan dasar masyarakat bila
sebagian anggarannya sudah terkuras untuk belanja pegawai. Dari aspek penataan
kelembagaan, moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil dalam kerangka Reformasi
Birokrasi, perlu didukung dengan pelaksanaan analisis jabatan dan analisis beban
kerja (ABK) secara tegas sebagai dasar pengadaan formasi dan rangkaian siklus
manajemen kepegawaian.

ix
Kebijakan Moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil ini adalah
upaya pemerintah dalam melakukan penataan pegawai di instansi-instansi
pemerintah dan bukan sekadar penundaaan penerimaan Calon Pegawai Negeri.
Banyak hal yang mendasari dikeluarkannya kebijakan ini oleh pihak pejabat
terkait, antara lain dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi mengoptimalkan
kinerja sumber daya manusia serta efesiensi anggaran belanja pegawai yang telah
ada perlu dilakukan penataan oraganisasi serata penataan pegawai negeri sipil.

Dalam hal mengurangi tingginya pengeluaran negara di bidang belanja


pegawai, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi
merencanakan, dari 4,7 juta Pegawai Negeri Sipil yang ada sekarang, ke depan
akan dikurangi hingga menjadi 3,7 juta orang. Masalah Pegawai Negeri Sipil
memang menjadi suatu dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi
pengangkatan Pegawai Negeri Sipil cukup berperan dalam mengurangi angka
pengangguran. Di sisi lain, tingginya belanja pegawai membuat pemerintah pusat
hingga daerah tidak sanggup mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit di setiap
tahunnya.

Salah satu yang menjadi alasan, persoalan pelemahan ekonomi, tingginya


angka pengangguran, dan lain-lain dinilai hampir belum memiliki solusi. Jika
Pegawai Negeri Sipil dikurangi, jumlahnya pengangguran pastinya bertambah,
bukan tak mungkin itu bisa memicu tingginya angka kriminilitas.

Jika pemerintah memang akan melaksanakan pengurangan jumlah


Pegawai Negeri Sipil, maka kajian mendalam dan komprehensif perlu dilakukan
terlebih dahulu. Pemerintah harus mampu meminimalisir dampak dari kebijakan
yang akan diambil tersebut. Jangan sampai ini menimbulkan persoalan baru. Bila
pengurangan Pegawai Negeri Sipil akan dilakukan, harus ada arahan dari
pemerintah untuk Pegawai Negeri Sipil yang akan dikeluarkan. Mereka yang akan
diberhentikan harus diarahkan agar tetap bisa produktif.

x
Kemudian untuk Pegawai Negeri Sipil yang masih ada di dalam, mesti ada
perbaikan atas standar kinerja yang mereka lakukan. Sehingga prestasi dan
jenjang karir yang akan diperoleh ke depan juga pasti dan jelas. Intinya selain
pengurangan, pembenahan atas Pegawai Negeri Sipil yang tinggal juga mesti
dilakukan. Jika kebijakan efisiensi atas pegawai akan dilakukan, pemberhentian
harus dilakukan berdasarkan kriteria, bukanlah berdasarkan kepentingan politik.
Dengan kata lain yang dikeluarkan adalah memang yang tidak produktif. Tak
kalah pentingnya, sebelum pengurangan dilakukan harus dipastikan dulu kondisi
yang ada di lapangan, apakah pegawai yang ada memang berlebih atau kurang.
Untuk masalah ini, tak jarang pegawai menumpuk di satu tempat atau wilayah
perkotaan saja. Sementara untuk daerah yang ada di pelosok kekurangan masih
kerap dialami.

xi
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Pegawai negeri sipil adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat


yang ditentukan dalam peraturan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan Negeri atau diserahi tugas Negara lainnya yang
ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pegawai negeri pengangguran tersembunyi adalah mereka yang tidak ada
pekerjaan spesifik yang bisa dibantu oleh pegawai karena sebetulnya
sebagian besar sudah dapat ditangani oleh pegawai lain sehingga pegawai
tersebut tidak bekerja secara maksimal.
3. Hal yang menyebabkan adanya pegawai negeri pengangguran tersembunyi
yaitu telah banyaknya pegawai negeri yang bekerja pada bidang tersebut
sehingga tidak meratanya tugas masing-masing pegawai.
4. Kebijakan Moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil ini adalah
upaya pemerintah dalam melakukan penataan pegawai di instansi-instansi
pemerintah sehingga tidak ada lagi pegawai yang tidak bekerja.

xii
B. SARAN

1. Profesionalisme sebagai Pegawai Negeri Sipil sangat diperlukan guna


menunjang suksesnya pembangunan dan penggunaan anggaran belanja
negara.
2. Sebaiknya sebagai pegawai negeri harus melaksanakan kewajibannya
sebagai pegawai negeri dan melayani masyarakat sesuai dengan
kewajibannya.
3. Sebaiknya pemerintah melakukan pemerataan pegawai negeri sipil
sehingga pegawai negeri tidak menumupuk disuatu kota atau daerah
yang tentu menyebabkan adanya pegawai yang tidak bekerja secara
optimal.
4. Sebaiknya pegawai negeri harus mempunyai sikap disiplin sehingga
dapat melayani kebutuhan masyarakat secepat dan setepat mungkin.

xiii

Anda mungkin juga menyukai