PENDAHULUAN
i
adanya Wakil menteri. Kementerian-kementerian tersebut tidak menunjukkan
perbaikan kinerja. Bahkan, pencapaian Kementerian Perhubungan malah
memburuk. Hal yang sama terjadi di Kementerian Keuangan. Penyerapan
anggaran tidak membaik, meski ada Wakil menteri di situ. Ada beberapa
kemungkinan penyebab penambahan posisi Wakil menteri itu tidak lantas
memperbaiki kinerja kementerian. Pertama, tidak ada pekerjaan spesifik yang bisa
dibantu wakil menteri karena sebetulnya sebagian besar sudah bisa ditangani
struktur birokrasi seperti Sekertaris Jendral dan Direktur Jendral. Dengan kata
lain, para Wakil menteri itu sebetulnya menjadi ’’pengangguran tersembunyi’’
(disguise unemployment) seperti kasus yang terjadi di sektor pertanian sekarang.
Kedua, muncul perbedaan visi, kebijakan, serta sikap antara menteri dan Wakil
menteri dalam melihat suatu persoalan sehingga malah menambah rumit proses
pengambilan keputusan.
Dalam 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan kurang lebih 1 juta pegawai
negeri sipil sehingga mulai tahun ini pemerintah hendak melakukan moratorium
penerimaan pegawai negeri sipil. Di beberapa daerah, alokasi Anggaran
Pemerintah Belanja Daerah bahkan 80-90% habis untuk gaji dan belanja pegawai,
sehingga tidak tersisa lagi bagi dana pembangunan. Menjelang akhir tahun
biasanya menjadi waktu yang sangat dinantikan pencari kerja. Saat itulah mereka
menunggu pengumuman seleksi calon pegawai negeri sipil. Pemerintah daerah
mulai mendapatkan kepastian dari pemerintah pusat soal jumlah formasi calon
pegawai negeri yang bisa mereka seleksi.Namun, meski hampir menjadi rutinitas
setiap tahun, seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tak pernah menjawab
seberapa ideal kebutuhan pegawai negeri di setiap instansi. Pertimbangan jumlah
pelamar yang diterima dalam setiap seleksi calon pegawai negeri sipil selama ini
hanya sebatas mengimbangi.
ii
Jika reformasi birokrasi secara sederhana diartikan sebagai pengurangan
jumlah pegawai negeri sipil yang tidak dibutuhkan, proses tersebut selama ini tak
berjalan. Pemerintah sebenarnya memiliki satu pedoman untuk merestrukturisasi
birokrasi di daerah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Hanya
saja PP No 41/2007 sebatas merestrukturisasi jabatan struktural, bukan
fungsional. PP No 41/2007, misalnya, menghapuskan jabatan wakil kepala satuan
kerja perangkat daerah (SKPD). Menurut Badan Kepegawaian Daerah, dalam
meminta formasi soal Calon Pegawai Negeri Sipil yang dibutuhkan kepada
pemerintah pusat, hanya berpatokan pada permintaan Satuan Kerja Perangkat
Daerah. Sementara baik Badan Kepegawaian Daerah maupun Satuan Kerja
Perangkat Daerah tak pernah mengevaluasi berapa jumlah ideal Pegawai di setiap
instansi. Akhirnya, Pegawai negeri hanya menjadi pengangguran terselubung,
pekerja yang bekerja, tetapi tidak dengan kapasitas maksimal jam kerja. Masih
sering dijumpai Pegawai Negeri Sipil yang tidak jelas kerjanya. Mereka lebih
sering bermain game komputer di kantor. Padahal birokrasi yang efektif sangat
dibutuhkan untuk pelayanan publik yang baik. Apalagi jika diakui, sebagian
Pegawai Negeri yang ada tidak lebih dari pengangguran terselubung. Gaji dan
tunjangan mereka ditanggung oleh uang rakyat dan uang rakyat tersebut
digunakan untuk membayar penganggur.
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari pengangguran tersembunyi.
2. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam mengatasi pegawai negeri
pengangguran tersembunyi.
C. Manfaat
1. Dapat mengetahui pengertian dari pengangguran tersembunyi.
2. Dapat mengetahui upaya pemerintah dalam mengatasi pegawai negeri
pengangguguran tersembunyi.
iii
D. PERMASALAHAN
Dari sisi efesiensi, 4,6 juta Pegawai Negeri Sipil saat ini tentu menjadi beban
bagi keuangan negara. Untuk gaji dan tunjangan PNS sebanyak itu pemerintah
harus menyediakan anggaran sebesar Rp. 180 triliun. Merupakan anggaran yang
iv
cukup besar dari Rp 1000 triliun APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) kita. Dilema pemerintah semakin bertambah jika kita melihat dari sisi
jumlah angkatan kerja yang terus meningkat tajam, sementara ketersediaan
lapangan kerja terbatas. Hal ini akan memicu jumlah pengangguran dan berefek
pada pertumbuhan ekonomi negara. Sementara itu, untuk melaksanakan program
pemerintah, terutama mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, penerimaan
Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu solusinya. Namun, pemerintah tidak
bisa terus-terusan tersandera oleh kepentingan jangka pendek tersebut.
Sejak terbentuknya Kementerian Pemberdayaan Aparatu Negara yang
pertama sekali (1968) dibawah pimpinan Harsono Cokraminato, perlu waktu 30
tahun lamanya pemerintah menyadari perlunya pembenahan mental dan kualitas
Pegawai Negeri Sipil melalui perubahan nama lembaga kementerian tersebut
menjadi ganti nama menjadi Kementerian Pengawasan Pembangunan dan
Pendayagunaan Aparatur Negara pada 1998 di bawah Menteri Hartarto
Sastrosunarto.
v
negara yang Bersih, Kompeten dan Melayani rasa-rasanya semakin terkikis.
Jumlah Pegawai Negeri Sipil dalam 5 tahun terakhir meski terus menurun tapi
memperlihatkan postur tidak efisien. Berikut data Pegawai Negeri Sipil lima
tahun terakhir : Jumlah Pegawai Negeri Sipil 2009 : 4.524.205 (semua golongan
dari pusat sampai desa). Jumlah Pegawai Negeri Sipil 2010 : 4.598.100 Jumlah
Pegawai Negeri Sipil 2011 : 4.570.818 Jumlah Pegawai Negeri Sipil 2012 :
4.467.982 Jumlah PNS 2013 : 4.362.805 Jumlah Pegawai Negeri Sipil 2014 :
(Perkiraan 4,2 juta. Mengacu pada jumlah Pegawai Negeri Sipil pensiun 100 ribu
setiap tahun). Belanja Pegawai Negeri Sipil dalam Anggaran Pemerintah Belanja
Negara setiap tahun mengeluarkan anggaran sangat besar. Pada Anggaran
Pemerintah Belanja Negara 2014, biaya untuk gaji Pegawai Negeri Sipil
dialokasikan sebesar 276 trliun, atau hampir 22% dari total belanja negara.
Pegawai Negeri Sipil yang masih berani melanggar aturan (hukum) demi
tujuan memperkaya diri melalui praktek suap, memeras, gratifikasi, korupsi dan
sejumlah tindakan yang tidak seharusnya tidak dilakukan oleh Pegawai Negeri
Sipil. Kita sering melihat sosok-sosok Pegawai Negeri Sipil yang kaya raya dan
memiliki rekening gendut mengalahkan kemampuannya menabung dari hasil gaji
dan tunjangannya. Mungkin saja Pegawai Negeri Sipil tesebut memiliki bisnis
lain memberi keuntungan berlimpah. Atau bisa saja Pegawai Negeri Sipil tersebut
memiliki harta warisan dari orang tua atau mertua yang berlebihan. Akan tetapi
sangat disayangkan jika kekayaan tersebut diperoleh dari mental minta dilayani
dari teman kerja, kolega, mitra apalagi dari masyarakat yang seharusnya dilayani
secepat dan setepat mungkin.
vi
BAB II
PEMBAHASAN
Upaya dalam mengurangi rasio Pegawai Negeri Sipil ini adalah melakukan
moratorium Pegawai Negeri Sipil. Jumlah Pegawai Negeri Sipil yang pensiun
hanya diisi separuhnya saja. Selain itu, kompetensi Pegawai Negeri Sipil pun
ditingkatkan. Jumlah Pegawai Negeri Sipil dari S1 yang tadinya di bawah 40
persen akan ditingkatkan menjadi 50-60 persen, S2 ditingkatkan 30-50 persen,
dan S3 di atas 10 persen. Dengan demikian di 2019, kita sudah mendapatkan
Pegawai Negeri Sipil unggul dan berdaya saing tinggi, Tapi langkah ini
sepertinya masih wacana, soalnya pemerintah pada tahun 2016 ini akan merekrut
71.436 orang sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kuota tersebut hanya untuk Pegawai
Negeri Sipil di pusat, lantaran masih dalam kerangka moratorium Pegawai Negeri
Sipil.
Kuota Pegawai Negeri Sipil pusat yang dialokasikan adalah 71.436 orang.
Itupun tidak seluruhnya harus dihabiskan kuotanya, kuota 71.436 yang sudah ada
anggarannya ini terutama ditujukan untuk program nawa cita yaitu bidang
vii
pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, infrastruktur, poros maritim,
ketahanan energi, dan ketahanan pangan. Dalam desain perencanaan pemerintah,
25 persen untuk tenaga pendidikan, kesehatan 20 persen, penegak hukum 15
persen, teknis pendukung nawacita 30 persen, dan ikatan dinas 10 persen. Meski
jadwal belum keluar, namun setiap instansi sudah bisa melakukan analisa berapa
kebutuhan pegawainya.
viii
tersebut 19,5 persen atau 916.493 Pegawai Negeri Sipil Pusat, sedangkan 80,5
persen atau sekitar 3.791.837 adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah. Bagi Daerah,
konsekuensi dari besarnya jumlah Pegawai Negeri Sipil yang dimiliki
adalah besarnya anggaran yang harus disediakan untuk belanja pegawai,
yang dianggarkan dari Dana Alokasi Umum. Dalam rancangan Nota Keuangan
RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) 2012, Dana
Alokasi Umum telah dianggarkan sejumlah 269,5 trilyun, sedangkan belanja
pegawai mencapai 215,7 trilyun. Ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar
Dana Alokasi Umum dialokasikan untuk belanja pegawai. kurangnya Dana
Alokasi Umum diberbagai daerah untuk belanja pegawai memang menjadi
fenomena yang mengarah pada kurang sehatnya anggaran,terutama anggaran
Daerah. Disisi lain telah ditentukan bahwa anggrang belanja untuk pegawai tidak
boleh melebihi dari 50% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Belanja pegawai ada dalam jenis belanja tidak langsung seperti gaji
pokok,tunjangan, kenaikan gaji berkala. Sedangkan belanja pegawai yang
masuk dalam belanja langsung seperti untuk honor. Dapat kita bayangkan,
betapa kurang idealnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bila
separohnya lebih sudah habis untuk belanja pegawai. Tingginya belanja pegawai
tentu saja membawa konsekuensi logis kurang dapat dipenuhinya belanja modal
yang notabene membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
ix
Kebijakan Moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil ini adalah
upaya pemerintah dalam melakukan penataan pegawai di instansi-instansi
pemerintah dan bukan sekadar penundaaan penerimaan Calon Pegawai Negeri.
Banyak hal yang mendasari dikeluarkannya kebijakan ini oleh pihak pejabat
terkait, antara lain dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi mengoptimalkan
kinerja sumber daya manusia serta efesiensi anggaran belanja pegawai yang telah
ada perlu dilakukan penataan oraganisasi serata penataan pegawai negeri sipil.
x
Kemudian untuk Pegawai Negeri Sipil yang masih ada di dalam, mesti ada
perbaikan atas standar kinerja yang mereka lakukan. Sehingga prestasi dan
jenjang karir yang akan diperoleh ke depan juga pasti dan jelas. Intinya selain
pengurangan, pembenahan atas Pegawai Negeri Sipil yang tinggal juga mesti
dilakukan. Jika kebijakan efisiensi atas pegawai akan dilakukan, pemberhentian
harus dilakukan berdasarkan kriteria, bukanlah berdasarkan kepentingan politik.
Dengan kata lain yang dikeluarkan adalah memang yang tidak produktif. Tak
kalah pentingnya, sebelum pengurangan dilakukan harus dipastikan dulu kondisi
yang ada di lapangan, apakah pegawai yang ada memang berlebih atau kurang.
Untuk masalah ini, tak jarang pegawai menumpuk di satu tempat atau wilayah
perkotaan saja. Sementara untuk daerah yang ada di pelosok kekurangan masih
kerap dialami.
xi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
xii
B. SARAN
xiii