64 125 1 SM PDF
64 125 1 SM PDF
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Salah satu tumbuhan yang dianggap mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai
insektisida adalah tumbuhan kirinyuh (Euphatorium odoratum). Tumbuhan kirinyuh
(Eupatorium odoratum) berasal dari Amerika selatan, di Indonesia tumbuh dengan baik pada
ketinggian 200 – 1800m dpl. Secara ekologi, kirinyuh dianggap sebagai tumbuhan pengganggu
karena tumbuh seperti rumput. Di tanah yang tidak subur sering tumbuh banyak sekali (Grainge
& Ahmed dalam Hadi, 2008).
Selama ini, tanaman kirinyuh (Euphatorium odoratum) yang merupakan tanaman liar
dan mudah ditemui disekitar kita, belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pengendali
biologi. Kandungan sesquiterpen pada daun nimba efektif terhadap tingkat mortalitas rayap.
Daun kirinyuh (Euphatorium odoratum) memiliki kandungan yang sama sesquiterpen
diharapkan mampu mengendalikan tingkat mortalitas pada rayap. Dari potensi kirinyuh
sebagai insektisida, dapat dijadikan sebagai pengendali rayap (Coptotermes sp.) yang ramah
lingkungan (Hartto dalam Hadi, 2008)
Insektisida sintetis sebagai alternatif utama dalam pengendalian OPT selalu digunakan
oleh petani karena insektisida sintetis mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya
mudah dan memberikan hasil yang cepat (Wudianto, 2007). Hal inilah yang meningkatkan
minat petani cenderung menerapkan penggunaan insektisida sintetis secara terus - menerus dan
terjadwal yang berbasis sistem kalender. Namun disisi lain apabila dikaji lebih lanjut maka
insektisida sintetis akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dalam jangka
waktu pendek ataupun di masa yang akan datang. Akibat dampak negatif yang disebabkan oleh
insektisida sintetis, maka mulai dirancang suatu konsep pengendalian hama yang efektif, tetapi
aman bagi lingkungan. Konsep ini disebut dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Hama lalat buah diperkirakan telah merusak sekitar 17.000 hektar tanaman jeruk yang
berada di daerah Kabupaten Karo dan menyebabkan produksi per hektarnya mengalami
penurunan yang drastis menjadi 20 ton dari sebelumnya 60 ton. Bahkan kualitas buah jeruk
1 yang dihasilkannya juga amat buruk sehingga harga jualnya di tingkat petani turun hingga 50%
(Manik & Bangun dalam Manurung dan Eka, 2010).
Penggunaan insektisida sintetis secara kontinyu dapat mengakibatkan kerusakan pada
lingkungan dan gangguan kesehatan . Gangguan kesehatan tubuh yang dapat di alami akibat
penggunaan insektisida sintetis, yaitu nyeri pada bagian perut, gangguan pada jantung, ginjal,
hati, mata, pencernaan, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Selain itu penggunaan
insektisida sintesis dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
pencemaran pada tanah, air, tumbuhan, dan rusaknya rantai makanan suatu ekosistem.
335
Ade Putri Oktary, M. Ridhwan, Armi
Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk menanggulangi dan mengurangi dampak
pencemaran oleh insektisida sintesis,antara lain dengan pencegahan, pengurangan penggunaan
insektisida, dan penggunaan insektisida alami. Insektisida alami dapat berupa predator alami
dari serangga maupun tanaman. Insektisida berupa predator alami antara lain adalah kepik.
Kepik dapat memakan serangga lain, seperti kutu daun. Selain itu, mudah ditemukan dalam
lingkungan sekitar. Solusi lain dari masalah tersebut adalah insektisida botanikal (Kartoharjo
dalam Misrol hasanah, 2012).
Insektisida botanikal adalah insektisida dari tumbuhan.Tumbuhan yang memiliki
senyawa kimia atau metabolit sekunder yang dapat mempertahankan dirinya terhadap
gangguan serangga dan organisme berpotensi penyakit. Metabolit sekunder dapat berupa
kristal, pati, dan lain-lain. Metabolit sekunder biasa disimpan dalam tumbuhan sebagai
cadangan makanan, maupun sebagai penangkal serangga.
Berdasarkan hasil observasi awal peneliti menemukan beberapa pendapat dari
pedagang buah. Dimana pedagang buah memiliki keluhan dengan adanya lalat buah disekitar
tempat mereka berjualan, karena jika ada 1 lalat buah maka buah yang lain sudah bisa di
waspadai akan kehadiran lalat tersebut, terutama jika mereka menjual buah-buah seperti pepaya
dan sawo, buah tersebut tidak perlu dikupas kulitnya lalat buah tersebut akan menghampirinya.
Ada yang mengatakan lalat buah akan banyak disaat senja atau saat cuaca mendung. Meskipun
begitu pedagang buah yang ditemui belum ada yang menggunakan pestisida buatan, karena
mereka tahu bahaya dari penggunaan pestisida tersebut akan membahayakan orang yang akan
mengkonsumsinya. Para pedagang juga belum pernah mencoba pestisida alami, melainkan
hanya meletakkan daun kuda-kuda di atas buah yang dijualnya.
PEMBAHASAN
Tumbuhan Kirinyuh (Euphatorium odoratum)
Morfologi Tumbuhan Kirinyuh (Euphatorium odoratum)
Kirinyuh (Euphatorium odoratum) merupakan tumbuhan berbentuk perdu,
berasa pahit, tumbuh tegak, bercabang banyak, berbau, tingginya 2 sampai 6 m,
rantingnya bulat, berambut pendek dan rapat, daun berhadapan, daun berbentuk
segitiga hingga bundar telur dengan ujung lancip, pinggir daun bergerigi kasar hampir rata
dengan permukaan berbulu halus (Don, 2000).
Tumbuhan ini merupakan perdu yang tumbuh tegak dan bercabang banyak. Tinggi
tumbuhan kirinyuh (Euphatorium odoratum) 2 – 6 m. Diameter batang kirinyuh (Euphatorium
odoratum) sekitar 2 cm. Daun tunggal, berhadapan, bulat telur, tepi bergerigi, ujung dan
pangkal runcing, permukaan berbulu halus pertulangan menyirip, berwarna hijau muda dengan
panjang 4-5 cm dan lebar 1-1,5 cm, serta bertangkai pendek.
Bunga majemuk, tumbuh di ujung batang, kelopak bentuk lonceng dan mahkota bunga
berbentuk jarum. Buah kecil, berbulu coklat kehitaman dengan biji berbentuk jarum, kecil dan
berwarna hitam. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut :
336
Serambi Akademica, Vol. III, No. 2, November 2015 ISSN : 2337 - 8085
337
Ade Putri Oktary, M. Ridhwan, Armi
Lalat buah ini memiliki sifat dimorfisme. Tubuh lalat jantan lebih kecil dibandingkan
betina dengan tanda-tanda secara makroskopis adanya warna gelap pada ujung abdomen, pada
kaki depannya dilengkapi dengan sisir kelamin yang terdiri dari gigi hitam mengkilap
(Shorrock dalam Nur aini, 2008). Banyak mutan-mutan lalat buah (Drosophila melanogaster)
yang dapat diamati dengan mata biasa, dalam artian tidak memerlukan alat khusus. Lalat buah
(Drosophila melanogaster) tipe liar mempunyai mata merah, tipe sepia mempunyai mata
coklat tua dan tipe ebony mempunyai tubuh berwarna hitam mengkilap (Iskandar dalam Nur
aini, 2008).
Lalat buah (Drosophila melanogaster) tergolong serangga, pada umumnya ringan dan
memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di
dalamnya. Di seluruh permukaan tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf
penerima rangsang cahaya, tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau. Pada umumnya
serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen. Kepala berfungsi sebagai
tempat dan alat masukan makanan dan rangsangan syaraf, serta untuk memproses informasi
(otak). Lalat memiliki tipe mulut spons pengisap. Toraks yang terdiri atas tiga ruas
memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki (sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat
sayap, dua pasang pada ruas kedua dan ketiga. Fungsi utama abdomen adalah untuk
menampung saluran pencernaan dan alat reproduksi. Saluran pencernaan serangga terbagi
menjadi tiga wilayah yaitu stomodaeum, proctodaeum dan mesenteron. Saluran pencernaan
tersebut terbentuk pada saat embrio. Stomodeum terdiri dari pharing, esophagus, crop,
proventrikulus dan kelenjar ludah. Mesenteron terdiri dari gastric kaeka, ventrikulus,
membrane peritropik. Proktodeum terdiri dari tabung malphigi, ileum, colon, rektum dan anus
(Davies dalam Nur aini, 2008).
338
Serambi Akademica, Vol. III, No. 2, November 2015 ISSN : 2337 - 8085
Ada beberapa tanda yang dapat digunakan untuk membedakan lalat jantan dan betina,
yaitu bentuk abdomen pada lalat betina kecil dan runcing, sedangkan pada jantan agak
membulat. Tanda hitam pada ujung abdomen juga bisa menjadi ciri dalam menentukan jenis
kelamin lalat ini tanpa bantuan mikroskop. Ujung abdomen lalat jantan berwarna gelap,
sedang pada betina tidak. Jumlah segmen pada lalat jantan hanya 5, sedang pada betina ada 7.
Lalat jantan memiliki sex comb, berjumlah 10, terdapat pada sisi paling atas kaki depan,
berupa bulu rambut kaku dan pendek (Demerec dan Kaufmann dalam Nur aini, 2008). Lalat
betina memiliki 5 garis hitam pada permukaan atas abdomen, sedangkan pada lalat jantan
hanya 3 garis hitam (Wiyono dalam Nur aini, 2008).
1. Telur
Telur Drosophila memiliki panjang kira-kira setengah millimeter. Bagian struktur
punggung telur ini lebih datar dibandingkan dengan bagian perut. Telur lalat akan nampak di
permukaan media makanan setelah 24 jam dari perkawinan. Perkembangan embrio, yang
mengikuti pembuahan dan bentuk zigot, terjadi dalam membran telur. Lensa tangan akan
mempermudah untuk mengamati telur-telur lalat. Setelah fertilisasi acak telur berkembang
kurang lebih satu hari, kemudian menetas menjadi larva (Wiyono dalam Nur aini 2008).
2. Larva
Sekitar satu hari setelah fertilisasi, embrio berkembang dan menetas menjadi larva.
Larva yang baru menetas disebut sebagai larva fase (instar) pertama dan hanya nampak jelas
bila diamati dengan menggunakan alat pembesar. Larva makan dan tumbuh dengan cepat
kemudian berganti kulit mejadi larva fase kedua dan ketiga. Larva fase ketiga, dua sampai tiga
hari kemudian berubah menjadi pupa. Setelah penetasan dari telur, larva mengalami dua kali
molting (ganti kulit), memakan waktu kurang lebih empat hari untuk selanjutnya menjadi
pupa. Fase terakhir dapat mencapai panjang sekitar 4,5 milimeter. Larva sangat aktif dan
termasuk rakus dalam makan, sehingga larva tersebut bergerak pelan pada media biakan. Saat
larva siap menjadi pupa, mereka berjalan perlahan dan menempel di permukaan relatif kering,
seperti sisi botol atau di bagian kertas kering yang diselipkan ke pakannya (Demerec dan
Kaufmann dalam Nur aini, 2008).
3. Pupa
Pupa yang baru terbentuk awalnya bertekstur lembut dan putih seperti kulit larva
tahap akhir, tetapi secara perlahan akan mengeras dan warnanya gelap. Diatas dari empat
hari, tubuh pupa tersebut sudah siap dirubah bentuk dan diberi sayap dewasa, dan akan tumbuh
menjadi individu baru setelah 12 jam (waktu perubahan fase diatas berlaku untuk suhu 25 °C).
Tahap akhir fase ini ditunjukkan dengan perkembangan dalam pupa seperti mulai terlihatnya
bentuk tubuh dan organ dewasa (imago).
339
Ade Putri Oktary, M. Ridhwan, Armi
4. Imago
Perkawinan biasanya terjadi setelah imago berumur 10 jam, tetapi meskipun demikian
lalat betina biasanya tidak segera meletakkan telur sampai hari kedua. Lalat buah (Drosophila
melanogaster) pada suhu 25°C, dua hari setelah keluar dari pupa mulai dapat bertelur kurang
lebih 50 sampai 75 butir per hari sampai jumlah maksimum kurang lebih 400-500 dalam 10
hari, tetapi pada suhu 20°C mencapai kira-kira 15 hari. Jumlah telur tersebut dipengaruhi oleh
faktor genetik, temperatur lingkungan dan volume tabung yang digunakan. Siklus hidup total
terhitung dari telur sampai telur kembali berkisar antara 10-14 hari (Mulyati dalam Nur aini,
2008).
d. Intensitas Cahaya
Lalat buah (Drosophila melanogaster) lebih menyukai cahaya remang-remang dan
akan mengalami pertumbuhan yang lambat selama berada di tempat yang gelap.
340
Serambi Akademica, Vol. III, No. 2, November 2015 ISSN : 2337 - 8085
PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Salah satu tumbuhan yang dianggap mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai
insektisida adalah tumbuhan kirinyuh (Euphatorium odoratum).
2. Tumbuhan kirinyuh (Euphatorium odoratum) memiliki kandungan sesquiterpen
diharapkan mampu mengendalikan tingkat mortalitas pada lalat buah (Drosophila
melanogaster). Selain itu, tumbuhan kirinyuh (Euphatorium odoratum) juga
mengandung 11-17% α- pinene, 12,5-24,8% cymene, serta 10,6% thymyl acetate.
341
Ade Putri Oktary, M. Ridhwan, Armi
DAFTAR PUSTAKA
Aini Nur. 2008. Kajian Awal Kebutuhan Nutrisi Lalat buah (Drosophila melanogaster).
Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Alizar, M. 2007. “Uji Toksisitas Ekstrak Daun dan Ranting Kirinyuh (Chomolaena odorata)
Terhadap Mortalitas dan Perkembangan Crosidolomia pavonana Fab”. Skripsi
tidak diterbitkan. Banda Aceh: Fakultas Pertanian Unsyiah.
Don. 2000. Tanaman Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Febrianti, Novi dan Dwi Rahayu.2012. Aktivitas insektisidal ekstrak etanol daun kirinyuh
(Eupatorium odoratum l.) terhadap wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.).
Seminar nasional IX Pendidikan Biologi FKIP UNS, 661-664.
Hadi, M., J. W. Hidayat, K. Baskoro. 2000. Uji Potensi Ekstrak Daun Euphatorium odoratum
sebagai Bahan Insektisida Alternatif: Toksisitas dan Efek Antimakan Terhadap
Larva Heliothis armigera Hubner. Jurnal Sains dan Matematika. Fakultas MIPA
Undip. Semarang.
Hadi, Mochammad. 2008. Pembuatan Kertas Anti Rayap Ramah Lingkungan dengan
Memanfaatkan Ekstrak Daun Kirinyuh(Eupatorium odoratum). Bioma, Vol 6 No. 2:
12-18.
Hanafiah, K, A. 2005. Rancangan Percobaan Teori dan aplikasi, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
Kandinan, Agus. 2010. Mengenal lebih dekat tanaman pengendalian lalat buah, PT.
Agromedia Pustaka : Jakarta
Manurung, Binari., dan Eka Levianna Ginting. 2010. Efektivitas Atraktan dalam
Memerangkap Lalat Buah Bactrocera SpP. dan Kajian Awal Fluktuasi
Populasinya pada Pertanaman Jeruk di Kabupaten Karo. Jumal Sains Indonesia,
Vol.3:4 No. 2: 96 – 99.
Prawiradiputra,Bambang R.2007 kirinyuh (chromolaena odorata (l) r.m. king dan h.
robinson): gulma padang rumput yang merugikan. WARTAZOA Vol. 17 No. 1: 46-
53
Rahayu dwi, Febrianti novi. 2009. Aktivitas Insektisidal Ekstrak Etanol Daun Kirinyuh
(Euphatorium odoratum) Terhadap Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal). Jurnal
Pendidikan Biologi Unversitas Ahmad Dahlan . Yogyakarta
Sakdiah, S. N. 2006. Pengaruh Tingkat Populasi Serangga Procecidochares connexa Dalam
Mengendalikan Gulma Kirinyuh (Chromolaena odorata). Skripsi tidak diterbitkan.
Banda Aceh: Fakultas Pertanian Unsyiah.
Tjitrosemito, S, dkk. 2000. Kemapanan dan Pengaruh Procecidochares connexa Agen
Pengendali Gulma pada Pertumbuhan Chromolaena odorata di Pulau Jawa. Bogor:
Soputheast Asian Regional Center for Tropical Biology.
Thamrin, M, S. Asikin, dan M. Willis. 2013. Tumbuhan Kirinyuh (Euphatorium
odoratum)Sebagai Insektisida Nabati Untuk Mengendalikan Ultar Grayak
(Spodoptera). Vol. 32 No. 3 September 2013: 112-121
Vanderwoude et al. 2005 Kirinyuh (chromolaena odorata (l) r.m. king dan h. robinson): gulma
padang rumput yang merugikan dalam Prawiradiputra (2007: 49).
Wudianto, R., 2007. Petunjuk Penggunaan Pestida. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta
342