Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami samapaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat kemurahan-nya makalah analisa kasus lydia kadou dan jamal mirdad ini dapat
selesai sesuai dengan yang diharapkan.

Apaun maksud dari penulisan makalah ini disusun guna memenuhi salah satu nilai mata
kuliah Hukum Perdata Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman. Tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak maka penulisan
makalah ini dapat selesai dan atas kekurangannya, kami mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun.

Akhir kata,kami berharap makalah ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi semua
pihak dalam rangka mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum.

1
A. LATAR BELAKANG

Pernikahan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat.


Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi
utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup
bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara.
Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria
dan wanita.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila
dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani
kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan
dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar
individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya
adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam
hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-
Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra,
masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang
berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil tentang
pernikahan beda agama, karena masalah pernikahan adalah masalah yang sangat
rumit dan sangat fital khususnya bagi masyarakat muslim.
Perkawinan berbeda agama merupakan masalah yang sangat sulit untuk
dipecahkan tanpa penyelesaian dan penjelasan yang tuntas di negara kita tercinta.
Banyak pencari keadilan yang kandas dalam menuntut hak mereka supaya
dilegalkan. Seperti baru-baru ini Mahasiswa UI meminta uji materi terkait legalisasi
perkawinan berbeda agama ke Mahkamah Konstitusi.Dia berpendapat bahwa ada
potensi hak konstitusionalnya dirugikan.

Di Indonesia sendiri mempunyai peraturan yang mengatur perkawinan dalam


Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , namun dalam
pelaksanaanya masih banyak kekurangan karena tidak diatur secara tegas.
Faktanya Negara kita secara nyata mempunyai banyak agama.

2
B. KRONOLOGI

Kasus yang menghebohkan pada waktu itu adalah pada tahun 1986 Lydia
Kandou menikah dengan aktor Jamal Mirdad yang jelas-jelas berbeda agama. Lydia
Kandou yang beragama kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Pasangan
ini tetap ingin menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka di
Pengadilan Negeri. Pada waktu itu banyak tentangan dan kecaman dari seluruh
lapisan masyarakat secara terus menerus.

Langkah awal yang ditempuh Jamal Mirdad & Lydia Kandou adalah
mengajukan permohonan ke Kantor Urusan Agama, namun upaya itu ditolak oleh
KUA. Kemudian mereka ke Kantor Catatan Sipil sebagai jalan tengah, tetapi itu juga
tidak bisa dilalui mereka dengan lancar, upaya Jamal Mirdad & Lydia Kandou tidak
berhenti sampai disitu. Mereka menempuh melalui jalur pengadilan,dari hal itu
Hakim Endang Sri Kawuryan mengizinkan mereka menikah. Dengan izin itu, pada
30 Juni 1986, Jamal dan Lydia resmi menikah.

Jamal Mirdad & Lydia Kandou terselamatkan bisa menikah di Kantor Catatan
Sipil karena setelah mereka menikah, sejak 12 Agustus 1986, Kantor Catatan Sipil
Jakarta mengeluarkan keputusan, yang pada intinya menolak menikahkan pasangan
berbeda agama, khususnya laki - laki Islam dan wanita beragama lain, "KANTOR
CATATAN SIPIL hanya melaksanakan pencatatan perkawinan yang sudah sah
menurut agama. Yakni, setelah melangsungkan di gereja, vihara, atau pura.

C. ANALISIS

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia


yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk
agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa
dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam. KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H.,

3
yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak
ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas
tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga
tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk
melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar
agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut
dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak
berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan
campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut
masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami
isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1,
bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa,
perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua
orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan
ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa
perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2
ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan
dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan
argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan
pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti
pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan
juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan
antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu
berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama
dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam
undang-undang perkawinan.

Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran


terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan
Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama

4
berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan
bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa
dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti
bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang
dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras
dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya
bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar
hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu,
Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan
dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan
argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan
pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti
pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan
juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan
campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu
tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli
hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi
antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda
golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan
asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak
diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974
maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan
pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan
sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu
perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW,
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran.
Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU
No. 1/1974.

5
Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama

Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di
Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya
pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan
Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau
perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan
tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan
perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan
pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan
berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga
isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang
perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-
masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-
isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau
kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama
atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama
atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan
dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut
salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon
isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah
satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara
tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah
memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari
1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu
ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan
larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama
warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak
ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka
asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh

6
negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-
masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam
GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun
falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut.
Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang
masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar
agama. Maka MA berpendapat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya
kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan
tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi
kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-
penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus
dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar
agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk
melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam
untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun
putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum
karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai
yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama
dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber
hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan
Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan
tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan
dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut
pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f
UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan,
dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam.
Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan
tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka
yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah
satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan
cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar
negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di
luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan

7
antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka
waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan
perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan
oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat
diberikan akta perkawinan.

permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda


agama antara lain:
1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang
dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat
(1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai
dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah
agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk
dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita
tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah
(2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama
dilarang (I Korintus 6: 14-18).

2. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut


dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi
permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan
Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan
perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila
ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor
Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah
perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan
dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila
pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan
tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan
pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].

3. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda


agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum
terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan
pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya
pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak
yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga
ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].

8
4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila
ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka
dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah
Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP].
Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam
poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan
Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini
bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan
administratif

D. Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai
kesimpulan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur
tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak
dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan
baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi.
Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan
kepercayaannya.
2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas
mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam
yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan
solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama
dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi
yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri
tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan
perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi
orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut
berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan
demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut
pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f
UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawian,
dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam.
Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan
tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka
yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah
satu calon pasangannya.

9
4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara
Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar
negeri.

E. DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
INTERNET :
1. http://rmulyadi.blogspot.com/2010/02/lydia-kandou.html
2. http://tamamijaya.blogspot.com/2013/10/pernikahan-beda-agama-untung-apa-
rugi.html
3. http://tatangsholahudin.blogspot.com/2012/11/perkawinan-beda-agama-di-
indonesia.html
4. http://syaichuhamid.blogspot.com/2013/07/perkawinan-antar-agama_22.html

10
ANALISIS KASUS PERKAWINAN BEDA AGAMA
LYDIA KANDOU DAN JAMAL MIRDAD

Nama: Riza Gibrani Bastari

Nim: 010001600314

Mata Kuliah: Hukum Perdata Internasional

Tugas: Membuat makalah tentang kasus Hukum Perdata Internasional beserta


analisisnya

11

Anda mungkin juga menyukai