Blur
Blur
Bagaimana Mengetahui Kebenaran Di Era Banjir Informasi
Penerjemahan ke Bahasa Indonesia dari buku ‘Blur How To Know What’s True
In The Age Of Information Overload’ dikerjakan Yayasan Pantau (www.pantau.
or.id). Diterjemahkan oleh Imam Shofwan dan Arif Gunawan Sulistiyono di bawah
supervisi Andreas Harsono
ISBN:
Juli 2012
Dewan Pers
Siapakah wartawan?
Dalam tiga tahun terakhir, di era media digital, pertanyaan di atas
muncul dalam berbagai diskusi seputar media. Dewan Pers menerima
pertanyaan yang sama dari akademisi, penggiat komunikasi, wakil
rakyat, pemerintah, dan bahkan insan pers sendiri. Ragam pertanyaan
mulai dari siapa saja yang bisa menjalankan fungsi wartawan? Siapa
yang mengawasi wartawan? Apakah Dewan Pers juga mengawasi
pewarta warga (citizen journalist)? Mengawasi blogger? Bagaimana
dengan pengguna media sosial seperti Twitter, atau Facebook? Apakah
mereka juga masuk domain Dewan Pers? Singkat kata, bagaimana De-
wan Pers merespon tumbuh pesatnya media baru?
Pertanyaan itu relevan mengingat peran media baru (new media)
sebagai sumber informasi kian menguat. Dalam sebuah diskusi Dewan
Pers tahun lalu, lembaga riset AC Nielsen memaparkan pola konsum-
si informasi di Indonesia, berdasarkan survei pada 2011 di sembilan
kota besar Indonesia. Hasilnya, 95% responden menjadikan televisi
sebagai sumber utama informasi. Radio di posisi kedua dengan angka
27%. Konsumsi informasi melalui internet mencatat angka 24%, koran
harian 13% dan majalah 7%. Media berbasis internet mencatat kenai-
kan rata-rata 20% dalam lima tahun terakhir, sebaliknya peran media
cetak sebagai sumber informasi terus merosot.
Fenomena ini bersifat global. Tak lama lagi akan ada medium pita
lebar (broadband) yang memungkinkan publik mengakses informasi
lebih cepat kapanpun, di manapun, melalui beragam alat komunikasi
yang kian personal. Nielsen juga mencatat orang Indonesia meng-
habiskan waktu di depan TV rata-rata 20,3 jam seminggu, sementara
konsumsi internet rata-rata 14 jam seminggu.
Tren konsumsi media di era digital ini jelas mempengaruhi cara
memproduksi konten berita, dengan melibatkan produsen informasi
lain yang tak jarang juga merupakan konsumen media. Interaktivitas
antara media dan wartawan—sebagai produsen informasi—dengan
ISI
12
12
Bagaimana Kita Tahu Mana yang Bisa Dipercaya 1
BAB 1
Bagaimana Kita Tahu
Mana Yang Bisa Dipercaya?
MELANIE Moyer merasa ada yang salah saat tiba di rumah sakit,
menjemput ayahnya.
Di ruang perawat, seorang dokter bercerita bahwa dia telah
mengirim istri dan anak-anaknya ke Utara, ke New England. “Jadi jika
kita harus menangani orang-orang ini, saya tak perlu khawatir soal
keluarga saya,” tuturnya.1
Menangani orang-orang dari apa, dia bertanya-tanya?
“Saya masuk ke mobil, memutar radio dan mendengar ada
‘insiden‘ di pembangkit listrik,” sebuah fasilitas pembangkit tenaga
nuklir terdekat, ingatnya kemudian.
Sementara itu di kota, Maureen Doherty melihat sesuatu di berita
TV. “Saya ingat sempat berpikir bahwa saya akan mati,” katanya.2
Setelah kabar itu menyebar, para pekerja di pembangkit listrik
mulai menghubungi keluarga dan teman untuk memperingatkan
soal kecelakaan serius. Banyak orang, seperti dokter yang tak sengaja
didengar oleh Moyer, menyarankan keluarga dan teman mereka
untuk antisipasi kemungkinan terburuk.
Mereka, pada gilirannya, mulai mengimel orang lain soal rencana
evakuasi. Foto-foto ponsel dan video mengenai ambulans, petugas
yang khawatir, dan pekerja pembangkit listrik yang panik mulai
muncul di TV lokal dan lantas di berita TV kabel. Para ahli, yang tak
terlibat tapi dianggap tahu, masuk di siaran langsung dan berandai-
andai tentang kemungkinan kebocoran nuklir. Klip-klip film The
China Syndrome diputar dan menyebar di YouTube.
Blur
Tak banyak disadari, Three Mile Island menjadi salah satu daru-
rat sipil akbar terakhir yang diliput media, sebelum era berita TV ka-
bel, konsep “berita hari ini”, penemuan ulang kata “spin” (pintiran),
dan pandangan bahwa “media arus utama” bisa menjadi sebuah aib.
Yang terjadi saat itu menunjukkan bagaimana para juru kunci penge-
tahuan publik bisa memverifikasi berita mereka sebelum diterbitkan
atau disiarkan dan membantu menenangkan kepanikan masyarakat
dengan fakta.
Situasi krisis dimulai sekira pukul 04.00, Rabu 28 Maret 1979.
Sebuah klep di sistem pendingin reaktor nuklir macet pada posisi
terbuka, menyebabkan air pendingin reaktor merembes ke luar.
Tanpa pendingin, inti reaktor menjadi terlalu panas dan butir-
butir bahan bakar nuklir mulai bocor. Pukul 09.15, Gedung Putih
diberitahu. Pukul 11.00, pejabat pembangkit listrik memerintahkan
evakuasi semua karyawan yang tak berkepentingan. Dengan itu, kata
“sebuah insiden” di pembangkit listrik menyebar ke masyarakat. Di
tengah selentingan, para pekerja menelpon keluarga, kawan, dan
tetangga untuk mengabarkan kejadian itu, yang membesar karena
melalui cerita berantai. Menjelang tengah hari, helikopter yang
disewa General Public Utilities Nuclear, pemilik pembangkit listrik,
dan Departemen Energi AS terlihat berputar di atas pembangkit
listrik, mengambil sampel radioaktif di udara.
Yang terburuk, menurut saksi mata, adalah pergumulan dengan
ketidaktahuan. Ketakutan ekstra akibat rumor dan kekalutan itu justru
dirasakan oleh mereka yang di dekat lokasi, daripada yang lebih jauh.
“Situasi berubah setiap jam,” kata Maureen Doherty. “Tempat tinggal
saya berjarak 3 mil dari Hershey, PA. Kertas berisi rute evakuasi
diselipkan ke bawah pintu apartemen saya.” Namun informasi itu tak
banyak membantu. Selanjutnya, “bensin langka di SPBU. Jalan raya
macet dipenuhi warga yang mencoba menyelamatkan diri.”
Tak bisa kabur, Doherty mencoba berpikir rasional.“Saya sangat
takut, tapi menimbang lagi situasinya. Sekarat keracunan radiasi
bukanlah cara mati yang saya inginkan, tetapi saya merasa sudah
sangat terlambat; kami sudah terpapar. Saya ingat meletakkan seprai
putih di jendela–saya lupa kenapa.”3
Malam itu, pembawa berita terpopuler di Amerika membuka
siaran dengan nada serius, tetapi tak panik. “Ini adalah tahap pertama
dalam mimpi buruk nuklir. Sejauh yang kami tahu pada jam ini, tak
ada kejadian yang lebih buruk,” ujar pembawa berita CBS Walter
Bagaimana Kita Tahu Mana yang Bisa Dipercaya
dan pergi. Rasa takut dan ketidakpastian malam itu luar biasa.”
Namun pers masih berhati-hati. “Jaringan berita TV menggelar
rapat untuk menentukan penggunaan kata ‘kecelakaan’, ‘insiden’,
atau ‘bencana’,” demikian menurut rekonstruksi perilaku media saat
itu. “ABC memutuskan tak memakai kata sifat yang belum digunakan
pemerintah. Warga Amerika rata-rata punya rujukan informasi kuat
soal energi nuklir dan radiasi. Termasuk laporan penting berguna:
daftar istilah nuklir, kisah medis soal dampak radiasi terhadap
manusia, nasehat untuk perempuan hamil, laporan mengenai reaktor
terdekat, studi analisis radiasi tingkat rendah, dan bahkan laporan
tentang cara menghilangkan atau mengurangi kontaminasi nuklir
(‘dengan sangat hati-hati”, saran New York Daily News).5
Akhirnya, pada Minggu, 1 April, para ahli menyimpulkan gelembung
hidrogen dalam pembangkit tak terbakar atau meledak. Tak ada oksigen
dalam bejana yang bisa membuatnya terbakar. Perusahaan pembangkit
listrik tersebut juga berhasil mengurangi volume gelembung. Untuk
mengirim sinyal bahwa para ahli menganggap krisis telah diatasi,
Presiden Jimmy Carter mengunjungi pembangkit, dan bersama
kamerawan dan reporter TV, berjalan melalui ruang kontrol di mana
insiden berawal.
Setelah empat hari diliputi ketakutan, ketika kebanyakan media
memberitakan kisah itu tanpa henti, stasiun radio dan TV pun berhenti
memberitakannya dan kembali ke program reguler, sebuah sinyal jelas
bagi warga Amerika bahwa hidup kembali berjalan normal. Headline
koran berisi peristiwa yang lebih penting dari tempat lain. Warga di
sekitar Three Mile Island mulai merajut hidup mereka.
Jika insiden Three Mile Island terjadi satu generasi setelah itu, bagaima-
na kisahnya akan berakhir? Apakah skenarionya bisa lebih jauh dari bay-
angan kita? Terlepas dari pertimbangan soal dampak perubahan teknolo-
gi, pasti sulit membayangkan proses penyebaran informasi akan relatif
rapi atau sama. Besar kemungkinan, kita akan melihat proses yang lebih
kacau. Pertanyaannya adalah bagaimana anda, sebagai konsumen berita
dan warga, memahami maksud informasi tentang krisis. Dan bagaimana
memahami kejadian yang bahkan kini diberitakan dari hari ke hari tan-
pa henti? Bagaimana memutuskan informasi mana yang bisa diyakini
dan sumber yang layak dipercaya? Lebih jauh lagi, apa peran pers lama?
Dengan kata lain, bagaimana masa depan kebenaran dan bagaimana
warga memandangnya?
Bagaimana Kita Tahu Mana yang Bisa Dipercaya
Pertanyaan di abad baru ini adalah bagaimana proses itu akan ber-
jalan? Bagaimana kita sebagai warga mengerti apa yang benar?
Bagaimana kita bisa menemukan informasi yang bisa dipercayai
dalam era di mana kita adalah seorang ahli bagi diri sendiri dan
kuasa informasi telah diserahkan kepada publik?
Kita Pernah Mengalami Ini 13
BAB 2
Kita Pernah Mengalami Ini
Kata Tertulis
tertulis, pada abad 5000 SM. Bahasa tertulis pertama kali menunjuk-
kan bentuk perkembangan simbol angka, yang bisa dipakai untuk me
ngukur, mencatat, dan membagi kekayaan yang dikumpulkan satu
pihak. Selanjutnya, segera diikuti penyusunan kata lisan ke simbol
tertulis. Komunikasi tertulis berbeda dari komunikasi lisan dalam
beberapa hal pokok. Tak seperti pengetahuan lisan, yang mungkin di-
lupakan atau berubah saat diceritakan kembali, pengetahuan tulisan
lebih terjaga. Simbolnya pasti, lebih tepercaya dan lebih tepat berkat
sifat permanennya. Komunikasi menjadi kian dalam, kompleks, dan
lebih empiris. Kata yang tertulis juga bergerak. Apa yang tercatat bisa
dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan disimpan untuk ditengok
lagi berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian. Seseorang bisa
menangkap ide dan pengamatan yang dibuat oleh pihak lain yang tak
dikenal dan tak terlihat.
Kualitas yang permanen, kompleksitas, dan mobilitas ini memicu
perubahan besar. Mereka membantu menggerakkan manusia dari
budaya berburu-pengumpul makanan suku primitif ke peradaban
komunitas terorganisir yang bersandar pada kehidupan agraris. Ad-
anya penyusunan catatan dan kebijakan memungkinkan komunikasi
tentang budidaya hewan dan tanaman serta pemukiman penduduk
berkapasitas lebih besar antar komunitas yang saling berjauhan.
Dalam kisah tulisan tertua yang pernah ditemukan, epos Sang Raja
Uruk, Gilgamesh, ditemukan semua pola ini. Kisah ini sangat detil
menceritakan tentang pembangunan dinding, organisasi komunitas,
diskusi politik, dan renungan tentang eksistensi manusia di dunia–
tema sama yang ditemukan dalam lukisan gua yang dibuat ribuan
tahun sebelumnya.
Ketegangan antara dua cara memahami dunia–fakta dan keya-
kinan–kian menguat ketika komunikasi tertulis mencapai tingkat
kepelikan yang baru di era Yunani kuno. Dalam dialognya, Socrates
mengajukan metode disiplin empiris dalam mempertanyakan dunia.
Dalam metode itu, setiap orang memakai pengamatan dan pertimban-
gan personal untuk menguji pernyataan atau keyakinan pihak lain.
Lalu secara bersama-sama, melalui dialog, orang memakai kesadaran
dan pengalaman untuk membandingkan pernyataan dengan realitas
yang diamati, guna membentuk pengetahuan. Ini adalah pendekatan
paling tersusun yang masih tercatat tentang konsep yang kita sebut,
dalam istilah modern, empirisme dan konsensus.
16 Blur
Mesin Cetak
jadi konsep lebih terhormat: opini publik. Gagasan itu, yang absen
sejak peradaban Yunani dan Romawi, muncul kembali di Inggris dalam
tulisan filosof abad 17, John Locke, dan segera istilah itu sendiri di
pakai dalam pidato di parlemen dan esai politik. Dengan penyebaran
informasi, muncul konsep lebih kokoh: ide bahwa orang bisa menga-
tur diri sendiri. Buah terbesar peradaban Barat, demokrasi, tak lain
adalah produk evolusi komunikasi.
nan rohani yang jumlah audiensnya tak kalah banyak dari siaran Roo
sevelt. Salah satu yang paling digemari adalah Pater Charles Edward
Coughlin, seorang pendeta Katolik dengan sekitar 30 juta audiens per
minggu. Tak beda jauh dari buku yang ditawarkan pembawa acara
TV kabel saat ini, edisi pertama buku berisi khotbah radio Coughlin,
yang diterbitkan pada 1933, menjadi buku terlaris nasional. Dia pun
dianggap sebagai orang terkuat kedua di Amerika setelah presiden.
sar berkumpul di antara dua siaran berita tiap malam, NBC dan CBS
(ABC berada di urutan ketiga dengan rentang jauh). Tak kurang 70%
televisi dinyalakan–kadang ditonton lebih dari seperempat warga
Amerika tiap malam–untuk menyiarkan satu dari tiga program itu pada
jam makan malam. Dan tak seperti pembaca koran, pemirsa tak bisa
mengambil dan memilih mana yang ingin ditonton. Mereka harus
menonton program yang didesain bersambung dari awal sampai
akhir itu, atau mematikan televisi. Ini menimbulkan apa yang disebut
sebagai “akuisisi berita secara kebetulan” di kalangan ilmuwan sosial–
ketika orang mengetahui informasi yang mungkin tak disukai. Dan de-
ngan munculnya Uni Soviet sebagai musuh bersama serta diet berita
umum dari jaringan TV, konsensus sosial pun terbangun. Efek politis
warga Amerika yang melihat berita dengan mata kepala sendiri, dan dalam
tingkat yang signifikan melihat hal yang sama, ternyata sangat dahsyat.
Televisi pada gilirannya membantu menasionalkan isu politik
ke tingkat yang belum pernah tercapai sebelumnya. Berita harian
dari Washington, pertama dari penyiar NBC David Brinkley dan ke-
mudian dari generasi jaringan koresponden Gedung Putih, mem-
bantu tumbuhnya daya tarik berita politik. Koran memperbanyak
biro di Washington, dan keagresifan serta skeptisme baru terhadap
kuasa pemerintah pun bercampur dengan keraguan pada era Perang
Vietnam. Keseragaman pandangan Washington seputar isu dan
aktivitas politik berdampak pada menguatnya pemusatan kekuasaan.
Ini terutama terjadi pada kekuasaan presiden, satu-satunya pejabat
publik yang dipilih secara nasional, dan perlu memiliki kemampuan
tampil di TV sebagai modal besar kepemimpinan. Warga Amerika
yang dulu mendapatkan berita dalam istilah lokal, karena disajikan
oleh koran, radio, atau TV lokal, kini mulai fokus pada institusi dan
tokoh politik sama secara nasional. Mengiringi gerakan hak sipil,
tayangan berisi aksi brutal masyarakat dan polisi terhadap protes dam-
ai kaum kulit hitam di Selatan yang mengisi rumah warga Amerika me-
maksa politisi untuk tak lagi mengabaikan tuntutan warga kulit hitam
mengenai persamaan hak. Liputan TV tentang peristiwa dramatis, dan
kesan bahwa berita kian bebas campur-tangan perusahaan media,
juga memberi efek dramatis baru bagi warga biasa yang menghendaki
perubahan politik. Penginjil layar kaca, demonstran antiperang, dan
aktivis gerakan hak perempuan diberdayakan secara politik melalui
bentuk baru komunikasi tersebut dan mulai mengubah sifat dasar
perdebatan politik di Amerika.
22 Blur
Berita menjadi sesuatu yang mulai bisa diakses konsumen ketika di-
perlukan, dan mereka jadi lebih terbiasa dengan pilihan. Evolusi TV
kabel bisa dibilang mewakili perintis era internet.
Efek domino pun melanda jauh lebih cepat. Pada 1994, Ya-
hoo memulai itu, dan Reuters memutuskan menggratiskan berita
di dunia maya. Tahun berikutnya, America Online menyediakan
akses internet, dengan feature suara real-time, dan 50% sekolah di
Amerika pun terhubung. Pada 1996, Microsoft dan MSNBC melun-
curkan MSNBC.com. Menjelang era 2000, pionir internet seperti
Pemimpin Redaksi MSNBC Merril Brown berbicara soal perubahan
besar pola konsumsi berita online. Sebelumnya, kecuali berita kilas
di TV kabel dan berita radio yang kadang muncul, orang mendapat
berita utama sembari sarapan di meja makan atau pada sore hingga
petang, plus beberapa berita lokal di TV pada larut malam. Kini, tidak
lagi. Situs web mulai menyodorkan daftar berita yang bisa dikonsum-
si sepanjang hari, dengan kenaikan lalu-lintas pengunjung pada jam
24 Blur
BAB 3
Cara Berpengetahuan Skeptis:
Keterampilan Verifikasi
dan bilang, “Kamu belum mengerti, ya? Mereka gagal. Program ini
tak berjalan.”
Sekembalinya ke Saigon, para koresponden diberi pengarahan
singkat oleh komandan lapangan yang menyuguhkan kisah yang
sangat menipu diri soal tentara Vietkong yang terkejut oleh bantuan
penuh pasukan ARVN melalui helikopter tempur terbaru dan me-
naklukkan desa persembunyian mereka, dengan lusinan dari mereka
terbunuh.
Berita Associated Press yang muncul pada 9 Maret dari Saigon:
“Bagi saya, itulah Homer,” kata Shennan. “Tak mau menerima apapun
begitu saja.”4
lai cukup. “Hey, koran atau jaringan berita TV tak akan mengutip
seseorang jika mereka tak menganggap dia tahu apa yang dia katakan,
bukan?” Kita cenderung percaya. Ingat Walter Cronkite, yang dalam
jajak pendapat era 1970-an terpilih sebagai “orang terpercaya di
Amerika,” mengakhiri siaran berita dengan kalimat penutup “Dan
begitulah adanya.” Dan kita mempercayai kata-kata Walter.
Masa lalu yang sudah lewat itu mungkin lebih cocok disebut
sebagai era berita “percayalah kepada saya.”
Kini, ketika berita datang dari beragam sumber, dengan bermacam
gaya dan bentuk, dari wartawan dan non-wartawan, kita butuh
sesuatu yang lebih. Kita harus tahu kenapa kita layak mempercayai
sumber-sumber yang menawarkan atau mengomentari fakta. Kini
kita cenderung berpikir, “beri saya cukup informasi untuk menilai
sumber-sumber itu sendiri.”
Apa yang kita lakukan saat ini, dengan kata lain, bisa dianggap
sebagai era berita “tunjukkanlah kepada saya.”
Perhatikan bahwa “saya” dalam dua era itu sudah bergeser.
“Saya” dalam “percayalah kepada saya” merujuk pada wartawan.
“Saya” pada “tunjukkanlah kepada saya” merujuk pada audiens, kon-
sumen berita. Ini merefleksikan pergeseran kekuatan di era digital
dari wartawan sebagai penjaga gawang ke konsumen atau warga
sebagai editor untuk diri sendiri. Pergeseran itu memberi konsumen
atau warga tanggung-jawab lebih besar untuk mengadopsi dan
menyempurnakan cara skeptis untuk tahu.
Buku ini, dan tradecraft dari berpengetahuan skeptis yang di-
tekankan di dalamnya, bisa dianggap sebagai formula konsumen un-
tuk era “tunjukkanlah kepada saya” dalam kehidupan warga bangsa
dan publik.
ling bersaing, dengan beragam nilai yang tersirat, meski dalam kanal
berita sama, di situs web sama, dan bahkan di satu program TV.
Ini menjadi tantangan nyata bagi siapapun yang ingin tahu apa
yang bisa dipercaya, tetapi juga mengawali proses untuk mengetahui
apa yang bisa dipercaya.
dan SMS, yang juga akan kami singgung. Namun, semua itu adalah
bentuk atau kegiatan komunikasi–bukan model konten. Dan karena
bentuk dan kegiatan ini menyebarkan informasi instan lewat internet,
mereka mungkin masuk di empat model konten di atas.
Lebih jauh lagi, di mana pun kita menemukan berita, ia mungkin
berasal dari salah satu model ini sekarang–berita utama tradisional
di stasiun radio diikuti bincang-bincang politik yang tak lebih dari
afirmasi partisan. Kita mungkin menonton berita TV yang seolah dil-
aporkan mendalam tapi disambung propaganda politik yang menya-
ru berita. Beberapa media menyajikan model konten lebih dari satu.
Tugas kita, sebagai konsumen, adalah mengevaluasi tiap isi–tiap
kisah atau segmen wawancara–sendiri, walau kita mungkin meng-
hakimi sebuah saluran berita, acara, atau publikasi berdasarkan sifat
dasar mereka menyediakan tumpukan konten. Dan tentu ada bentuk
cangkokan di media baru–situs web yang mencampur konten parti-
san dan jasa penyedia berita online tradisional.
Semua ini membuat kita tahu cara membedakan kepingan isi yang
berbeda-beda secara lebih kritis, karena jenis dan kualitas informasi
yang kita temukan makin banyak menempel kepingan isi. Kita tak lagi
bisa sepenuhnya menggantungkan kepercayaan pada nama institusi
berita. Dengan memahami dan mengenali model-model berbeda ini-
lah kita bisa mengenali apa yang kita lihat. Langkah pertama yang
terpenting adalah memahami, membangun ulang, dan mengenali apa
yang kita bisa percayai.
Dalam beberapa kasus, orang yang memproduksi bahan-bahan
itu bahkan tak peduli model apa yang mereka pakai, karena mereka
menyesuaikan diri dengan teknologi baru, meraba-raba untuk mem-
pertahankan audiens, berupaya melakukan inovasi, dan tunduk pada
tekanan finansial.
Tak ada aturan media. Tak ada hukum yang mensyaratkan
label. Amandemen Pertama melindungi hak semua orang di Amerika
untuk bebas menulis dan menyiarkan. Apa yang kita hadapi dalam
budaya media adalah sebuah fungsi kebebasan arus informasi dan
sebuah pasar untuk audiens yang tenggelam dalam arus informasi
intens dengan sedikit norma umum. Di pasar ini, sebagaimana kita
memungut dan memilih menonton salah satu program TV kabel, on-
line, kotak email, dan di manapun, kita menciptakan paket berita kita
sendiri. Dan hampir semuanya mengklaim diri mereka benar.
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa mengidentifikasi
38 Blur
Jurnalisme Verifikasi
Jurnalisme Pernyataan
Setahap demi setahap, hampir tak kentara , pada tahun 1980-an dan
tahun 1990-an jurnalisme verifikasi yang telah menjadi lebih baik
Cara Berpengetahuan Skeptis: Ketrampilan Verifikasi 41
cara baru atau informasi mentah bisa menjadi berita utama. Setiap
beberapa menit muncul deadline baru. Ini adalah perpacuan
adrenalin. Berita tampak organik. Reese Schonfeld, salah seorang
pendiri CNN bersama Turner, menyebut dirinya sebagai “profesional
berita” jaringan, mengingat etos ini: “Berita siaran langsung tak per-
nah jadi tujuan jaringan. Siapa yang tahu bagaimana ia akan bekerja?
[Namun] siaran langsung adalah aset berharga kami. Jika kami tahu
di mana harus meletakkan kamera, jika kita memperkirakan dengan
benar, maka seluruh dunia akan menonton.”10 Teknologi, dengan
kata lain, bukan hanya alat; ia adalah sistem.
Pada 1990, Turner berkata, “Di CNN, kami menjadi satu-satunya
jaringan yang bisa menyorot seorang koresponden di depan kamera
dan bilang, ‘Kami berada di sini, dan tak ada apa-apa’.”11
Yang lolos dari catatan praktisi adalah mereka mengubah total
nilai dan kerangka berpikir, jika pada awalnya hanya sedikit. Tak di-
ragukan lagi mereka menjadi lebih baik ketika tumbuh besar dan ma-
pan. Namun menempatkan nilai tertinggi pada upaya mendapatkan
berita di luar sana berarti mengurangi nilai pemeriksaan dan proses
memperoleh berita secara benar.
Kebanyakan jaringan berita TV kabel merupakan siaran langsung.
The Project for Excellence in Journalism secara konsisten menemu-
kan sekitar 60% dari seluruh program berita TV kabel tidak memiliki
persiapan dan tak ditulis. Di sisi lain, kurang dari 10% siaran berita
petang yang merupakan siaran “langsung” atau tanpa persiapan, se-
mentara 92% diedit. Perbedaannya sangat besar. Dalam paket berita
yang direkam dan diedit, wartawan bisa memeriksa dan memveri-
fikasi fakta yang mereka persembahkan. Gambar dan narasi—dua
elemen yang menciptakan koherensi dan pemahaman—bisa diga-
bungkan untuk membuat makna yang jelas. Para koresponden dan
produser bisa memeriksa kata yang dipakai untuk mengontektual-
isasikan berita suara guna memastikan penyampaian arti yang benar.
Dalam berita TV kabel, secara virtual semua kapasitas itu bukan han-
ya kurang bukti, tapi juga tak ada, di tengah banyaknya jam tayang.
Bahkan sebelum era talk show opini, TV kabel memiliki semuanya
tetapi meninggalkan elemen utama berita TV: berita yang tertulis
dan diedit, di mana naskah disiapkan sebelum mengudara dan gam-
bar dicocokan dengan kata-kata dan artinya. 12
Dampak semua ini sangat besar. Dalam jurnalisme pernyataan,
apa yang semula merupakan bahan-bahan kasar jurnalisme—de-
Cara Berpengetahuan Skeptis: Ketrampilan Verifikasi 43
tahan Bush pada 2002 dan 2003, misalnya, meyakini Irak mengem-
bangkan senjata pemusnah masal. Dalam suasana dukungan politik
untuk berperang melawan Irak, pers menulis besar-besaran tanpa
menguji pernyataan itu, meski beberapa reporter dan organisasi
berita melakukannya. Kebenaran soal senjata pemusnah massal itu
baru mengemuka bertahun-tahun kemudian, setelah makna politis
atas kebenaran itu bergeser. Dalam jurnalisme pernyataan, kesala-
han seperti itu kian jamak. Hal yang sama mungkin bisa dikatakan
berlaku perihal sebab-akibat resesi sekarang atau debat soal refor-
masi layanan kesehatan. Sumber berita berada di posisi mapan dan
otoritas resmi memiliki posisi tawar lebih kuat. Lebih mudah bagi
mereka memberi informasi keliru. Toh, para wartawan hanya me-
nyediakan sedikit waktu untuk mengecek fakta dari narasumber dan
mengalokasikan lebih banyak waktu untuk sekadar mengatur konten
sebelum disebarkan. Pers lebih berperan sebagai penyampai, corong
narasumber mereka. Karena jurnalisme pernyataan ini berkembang,
tendensi itu pun tumbuh bersamanya, menjadi lebih dari persoalam
tentang apa yang kita tahu dan bagaimana kita tahu itu.
Tantangan bagi mereka yang memproduksi berita, dan bagi kon-
sumen, adalah menggunakan nilai manusiawi untuk melawan bias
yang melekat dalam teknologi media sekarang. Orang-orang yang
terlibat musti menyatakan nilai akurasi dan verifikasi. Tak terelak-
kan lagi, jurnalisme verifikasi akan memudar. Dan teknologi cender-
ung berlari ke sana, kecuali ada tekanan untuk menekannya.
Memang, informasi instan memiliki nilai tersendiri. Ada bebera-
pa kejadian yang kita sekadar ingin lihat atau dengar, meski dalam
bentuk ringkas: Apa isi pidato presiden di Timur Tengah? Bagaima-
na bursa ditutup? Apa tim saya menang? Apakah juri menjatuhkan
sanksi di pengadilan itu? Apa yang terjadi dalam konferensi pers?
Apa rongsokan pesawat itu ditemukan? Apa headline terbaru?
Namun ini kategori cerita yang terbatas, dan penyebaran infor
masi demikian—siaran langsung pidato presiden atau konferensi
pers atau video kejar-kejaran polisi di jalan tol—lebih merupakan wu-
jud peranan teknologi ketimbang jurnalisme. Selanjutnya, kita butuh
informasi tambahan: kenapa tim saya kalah? Apakah tuduhan dalam
konferensi pers itu benar? Bagaimana audiens di Kairo merespons
pidato presiden?
Dalam jurnalisme pernyataan, para reporter, penyiar, dan koor-
dinator liputan TV jarang memberi jawaban. Mereka menyodorkan
48 Blur
Jurnalisme Pengukuhan
gres Barney Frank di Fox News. Kenapa, kata O’Reilly, Frank tak
mundur dari posisinya di House Finance Committee mengingat
ekonomi sudah ambruk?
Frank menolak saran itu dan mengatakan bahwa fakta O’Reilly
ngawur, bahwa dirinya tak pernah mendorong orang berinvestasi
di pasar modal. O’Reilly, mungkin memilih marah. Dan pembicara-
an pun beralih jadi aksi saling serang secara personal—perkelahian
menghibur, yang menarik audien partisan tapi sebenarnya jauh dari
prinsip jurnalistik.
“Oh, jadi ini sama sekali bukan salahmu! Gila. Orang-orang
kehilangan jutaan dolar, dan itu bukan salahmu. Ayolah, dasar
pengecut. Katakan yang sebenarnya,” teriak O’Reilly pada Frank.
Frank menjawab, “Apa maksudmu dengan pengecut?”
O’Reilly bilang, “Kamu pengecut. Kamu menyalahkan orang lain,
maka kamu seorang pengecut.”
Frank menjawab, “Bill, inilah jeleknya pertunjukanmu. Kamu mu-
lai menggonggong, dan satu-satunya cara meresponmu adalah men-
jadi sekasar dirimu.”
Perbincangan penuh nada tinggi itu berlangsung beberapa me-
nit, dengan naiknya tingkat frustasi kedua belah pihak. Pada satu
titik, O’Reilly menyebut Frank, yang seorang gay, “tak cukup jantan”
mengakui kesalahan.
Jurnalisme pengukuhan adalah jagad realitas semu. Kehidupan
nyata terlalu rumit dan semrawut untuk ditumpukan pada satu ke-
berpihakan.
Beberapa orang mungkin bertanya-tanya mengapa kami me-
makai istilah jurnalisme pengukuhan. Bukankah media neopartisan
ini adalah bagian dari jurnalisme opini, seperti di National Review
atau Nation, hanya saja kini muncul di televisi dan radio?
Menurut kami, mereka jelas berbeda. Satu perbedaannya adalah
jurnalisme opini tradisional, seperti di National Review, Nation,
Harper’s, dan Weekly Standard, bertaut pada perenungan berita,
bukan berdasarkan peliputan harian, bahkan jam-jaman. Majalah-
majalah itu berupaya merenungkan dan mencerminkan makna
kejadian. Mereka juga tak berusaha memposisikan diri sebagai plat-
form netral atau reporter jujur yang memotret kejadian dari tem-
pat pertama, melakukan wawancara, menyediakan berita harian
dari sumber pertama. Dalam jurnalisme pengukuhan, peran terse-
Cara Berpengetahuan Skeptis: Ketrampilan Verifikasi 53
Jurnalisme Agregasi
Hibrida Baru
motifnya. Untuk situs dan gerai media hibrida, anda perlu meng-
ajukan pertanyaan tambahan: Upaya terbesar apa yang dilakukan se-
jauh ini? Apakah ini hanya situs agregasi berita dengan sedikit repor-
tase? Apakah ini lebih merupakan blog ideologis, dengan beberapa
salinan headline yang disisipkan?
Mengidentifikasi apa yang anda baca bukanlah sekadar soal
kehati-hatian konsumen. Anda musti belajar membedakan, untuk
mengenali jenis jurnalisme apa yang mereka perankan, untuk
menguak norma dan motif tersembunyi dalam karya mereka—apa
yang coba dilakukan si wartawan. Ini adalah langkah pertama,
dan yang terutama untuk mengetahui apa yang hendak di
percaya. Jika anda sudah melakukan ini, maka tibalah saatnya tugas
mengetahui cara mengarahkan, menjalani langkah lain dari cara
berpengetahuan skeptis.
Kelengkapan: Apa Yang Ada dan Apa Yang Kurang? 61
BAB 4
Kelengkapan: Apa Yang Ada
dan Apa Yang Kurang?
asi samudera adalah jenis pertanyaan yang kita miliki di satu atau
lain waktu. Sebagai seorang wartawan, dia bisa menindaklanjutinya
lebih jauh, mengumpulkan data dan mewawancarai para ahli dan
pejabat. Pendekatannya dalam bertanya sangat menyeluruh, lapo-
rannya sangat lengkap, dan kasusnya didokumentasikan dengan
begitu baik hingga analisisnya tak terbantahkan. Sepuluh tahun sejak
pemasangan pertama alat pacu jantung di pesawatnya, American Air-
lines dilaporkan menyelamatkan 80 nyawa dengan alat tersebut.
Pertanyaan pertama yang musti kita ajukan ketika menemui
berita dan informasi adalah konten jenis apa ini. Pertanyaan selanjut-
nya terkait pada isu besar lain:
menyodorkan fakta baru tentang apa yang terjadi, apa yang dipe-
lajari kemarin, atau apa yang dijadwalkan terjadi hari ini. Ia adalah
pembacaan fakta secara sederhana, seperti yang kita dapati di kilas
berita radio atau ringkasan headline TV. “Presiden mengatakannya
hari ini.” “The Pirates menang 4:2.” “Senat mengesahkan undang-un-
dang yang mereka perdebatkan kemarin malam bersamaan dengan
penghitungan suara.” Seringkali ia menjadi laporan pertama dari se-
suatu, yang detilnya belum atau telah muncul semua. “Walikota men-
janjikan rencana baru pembangunan jalan, yang akan diungkapkan
minggu depan.”
Straight news seringkali adalah “komoditas” yang ada di mana-
mana hingga kita tak perlu mencarinya. Ia mendatangi kita layaknya
peresapan. Sesekali anda mendengar potongan berita dari kawan,
dari radio mobil, atau bacaan sekilas dari situs Web, anda mungkin
tak terganggu untuk belajar lebih soal ini. Ia adalah tipe berita yang
kemungkinan kita lihat di situs agregasi berita online.
Ekspektasi kita atas kelengkapan cerita di jenis berita ini adalah
kesederhanaan dan kemudahan mencernanya. Ambil contoh head-
line ini di rubrik Metro dari Washington Post, 7 Mei 2009:
“Kebocoran Pipa Banjiri Rumah Sedistrik,” “Kerusakan Pipa Induk
di Adams Morgan Ganggu Lalu Lintas.”
Berita itu diawali dengan paragraf: “Sebuah pipa induk berdiam-
eter 20 inci di kawasan Adams Morgan rusak kemarin saat jam macet
pagi hari, membanjiri rumah dan kawasan bisnis serta memicu
kemacetan yang terjadi hingga sore.” 2
Paragraf pembuka itu berisi tiga dari lima W—Apa yang terjadi
(pipa rusak), di mana (lingkungan Adams Morgan di D.C.), kapan (6
Mei 2009). Siapa dalam cerita (pemadam kebakaran dan korban ban-
jir) dikutip berikutnya, mulai di paragraf dua. Aspek ‘Kenapa’ muncul
di paragraf empat (pemadam kebakaran tak yakin dengan penyebab
kerusakan pipa, tetapi ia menduga ada kombinasi penyebab yakni
usia, suhu yang bergejolak, dan karat tanah). Aspek ‘Bagaimana’
ditunjukkan dengan pembuktian mandiri: pipa rusak, air menyem-
bur, jalan dan bangunan kebanjiran. Tak perlu ada H. Selengkap apa
berita itu? Lumayan.
Lima W satu H bermanfaat sejauh ini. Namun ada pertanyaan lain
soal kerusakan pipa induk yang bagi banyak orang mungkin perlu
diketahui. Sebulan sebelum berita ini muncul, pipa-pipa di seluruh
Washington D.C. dan provinsi sekitarnya telah rusak. Kenapa tiba-
Kelengkapan: Apa Yang Ada dan Apa Yang Kurang? 67
tiba ada begitu banyak yang rusak? Apa yang dilakukan pihak ber-
wenang merespon ini? Apa yang, dalam kasus ini, bisa dilakukan?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjawab di berita keras. 3
Pentingnya Fakta
Ketika berita radio menyebar pada 1930-an dan berita televisi men-
dominasi pada 1960-an, wartawan media lain mulai mengubah cara
penyajian berita. Koran pagi tak lagi cukup untuk mengulang apa
yang sudah disiarkan berita TV malam sebelumnya. Eksekutif koran
pun berstrategi dengan menaruh berita koran pagi dalam konteks
lebih besar atau membuatnya lebih maju ke depan, demi menam-
bah nilai berita dan menunjukkan ke arah mana berita itu bergerak.
Dengan kehadiran TV kabel pada era 1980-an, dan awal stasiun TV
berita 24 jam non-stop, tekanan analitis pun kian kuat. Berita ma-
kin interpretatif, analitis, dan lebih kaya konteks. Ini benar untuk
berita cetak, namun lain halnya dengan eksekutif berita malam di
TV kabel yang nekad menaruh berita kilas 2 menit di jam makan
malam.
Secara umum, kategori baru untuk ‘berita’ telah muncul.
Kami menyebutnya ‘berita penuntun akal’ yakni berita yang tak
hanya melaporkan apa yang dikatakan walikota kemarin, tapi
juga memberitahu bagaimana pidatonya melengkapi apa yang
dia katakan sebelumnya, dan mungkin menyajikan beberapa lapo-
ran mengenai alasan walikota memilih kata-kata tersebut atau
mengubah pandangannya.
Pada akhirnya, berita penuntun akal memasukan beberapa
elemen baru dan membantu menciptakan berita dan fakta lain pada
makna yang lebih besar dan dalam. Ia memberi reporter kesempatan
berbagi beberapa wawasan yang dimiliki waktu itu. Berita penun-
tun akal menciptakan klik perangsang di otak audien dan membagi
pengetahuan atau pemahaman baru. Ia tidak mesti analitis. Ia bisa
saja berupa pemaparan, menyodorkan latar belakang di balik berita,
dan lekat dengan sang reporter. Ia mungkin saja hanya memasuk-
kan satu atau dua fakta penting baru, satu atau dua bagian yang hi-
lang dari teka-teki berita. Namun ia, secara umum, setingkat di atas
straight news karena mengontektualisasikan fakta sehingga audien
bisa mulai mengambil beberapa makna darinya.
Berita penuntun akal mulai marak dan berkembang luas sejak 1960-
an, sementara kategori berita ketiga, “Berita Pembuktian,” jauh lebih
baru. Berita pembuktian coba membantu audiens memilah apa yang
bisa dan tak bisa dipercaya dari sebuah kejadian. Kisah demikian
bisa disebut pemilahan penuntun akal. Namun tujuan utamanya bu-
kan memberi fakta baru atau menaruh yang sudah familiar dalam
konteks membantu audien memperoleh makna baru. Justru, cerita
ini mencoba memverifikasi fakta sehingga audien bisa menentukan
mana fakta atau klaim yang bisa dipercaya. Kisah ini lebih pada bukti:
bagian mana dari sesuatu yang saya dengar dan baca bisa dipercaya?
Di sini, kriteria penentuannya lebih condong pada bukti dan simpu-
lan ketimbang kualitas penafsiran mereka.
Contoh paling tepat soal berita pembuktian mungkin adalah
karya PolitiFact, milik biro perwakilan St. Petersburg Times di Wash-
ington yang dipimpin sang Kepala Biro Bill Adair. Proyek tersebut,
yang memenangi Pulitzer pada 2009, diluncurkan untuk mengawasi
akurasi retorika kandidat pemilihan presiden 2008, yang kemudian
berlanjut menjadi pemeriksa fakta di debat politik secara umum.
Ia menilai akurasi pernyataan para pemain politik nasional, terma-
suk Barack Obama, pemimpin Kongres kedua partai dan komite
nasional keduanya, hingga pembuat film independen Michael Moore dan
berbagai intelek TV dari berbagai warna politik. Ia juga memo
Kelengkapan: Apa Yang Ada dan Apa Yang Kurang? 75
BAB 5
Sumber: Darimana Asalnya?
Steve Jobs, yang cuti dari Apple Inc. sejak Januari untuk
mengobati gangguan medis rahasia, menjalani transplantasi
hati di Tennesee sekitar dua bulan lalu. CEO Apple itu pulih
dan diharapkan kembali bekerja sesuai jadwal bulan ini, meski
paruh waktu terlebih dahulu.
Job tak menjawab email konfirmasi. “Steve masih berupaya
bisa kerja lagi pada akhir Juni, dan belum ada lagi yang bisa
saya sampaikan,” tutur juru bicara Apple Katie Cotton.
Artikel sepanjang 18 paragraf di Journal itu membakar rasa
penasaran pelaku industri seputar detil kesehatan Jobs, tokoh
kunci ekonomi global abad 21; pencipta iPhone, iPod, dan Mac;
gambaran awal remaja jenius penemu hal besar berikutnya
(komputer rumah pertama, untuk kasus Job) di garasi rumah;
model pecandu komputer tulen.
Namun berita Journal miskin petunjuk soal sumber. Tak ada sum-
ber informasi yang dikutip di berita itu. Hanya ada petunjuk samar-
samar tentang satu sumber di satu paragraf: “Setidaknya beberapa
direktur Apple mengetahui bedah yang dijalani CEO mereka. Sebagai
bagian kesepakatan yang dibuat Jobs sebelum cuti, beberapa anggota
dewan direksi tiap minggu mendapat penjelasan singkat soal kondisi
CEO mereka dari dokter Jobs.”
Bahkan, Journal memakai apa yang disebut wartawan sebagai
pendekatan “suara Tuhan” sebagai sumber berita. Perusahaan pers,
akibatnya, mengambil alih peran sebagai sumber. Journal memberi
tahu kita secara langsung, seolah-olah informasi itu berasal dari dir-
inya sendiri.
Mungkin ada banyak alasan kenapa Journal memakai pendekatan
itu. Reporter dan editornya mungkin melindungi narasumber dengan
harapan hubungan tetap lancar sehingga bisa mendapat info dan ber-
ita selanjutnya. Apple adalah perusahaan yang beroperasi di industri
penuh kompetisi ganas dan sangat terkenal di antara wartawan seb-
agai perusahaan yang menjaga kerahasiaan. Mereka memecat pega-
wai hanya karena membuka informasi soal produk yang akan dilun-
curkan. Anggota dewan direksi Apple mungkin khawatir dipecat jika
membuka informasi semacam itu. Atau mereka mungkin ingin men-
jaga nilai saham agar tak anjlok. Sungguh menarik untuk mengetahui
mengapa berita di koran ini minim sumber.
Namun pendekatan suara Tuhan sangat tak biasa, dan jauh dari
82 Blur
kan ada dua kontak telepon yang dia lakukan, sekali dengan walikota
setempat dan satunya lagi dengan kenalannya di situ. Detil yang di-
simpulkan anggota parlemen melalui kontak telepon itu terhitung
mundur dua langkah: walikota cuma mengulang laporan warga
yang datang ke kantornya; penelpon lain mengaku menyaksikan pe-
makaman warga yang disebut-sebut terbunuh dalam serangan udara
itu. Namun sumber ini sendiri adalah lingkaran kedua, yang kemu-
dian meneruskan informasi yang dia terima kepada anggota
parlemen yang ditelpon reporter. Artinya, reporter mendapat
sumber informasi dari lingkaran ketiga, dan hanya ada satu sum-
ber lingkaran ketiga, yakni anggota parlemen, yang kemungkinan
mengubah keterangan agar lebih konsisten. Jadi bagaimana kita me-
nilai sumber yang jaraknya jauh dari kejadian seperti itu? Kita tak
perlu mengabaikan semuanya. Mereka mungkin menjadi satu-satu-
nya sumber yang kita punya. Pada kasus seperti itu, kita perlu men-
cari beberapa sumber yang independen satu sama lain dan melihat
apakah cerita mereka saling mendukung konsistensi dan membuat
mereka kredibel. Inilah cara reporter cakap bekerja. Mereka, pada
prinsipnya, mencoba, “menghubungkan” beberapa laporan untuk
melihat apakah berujung pada satu pola yang bisa dipercaya, sama
seperti cara yang digunakan ilmuwan dan peneliti menghimpun data
dalam jumlah besar untuk melihat bentuk pola kesimpulan yang bisa
dipercaya. Jika tidak banyak sumber yang tersedia, dan organ buk-
tinya terbatas, kita musti menilai laporan tersebut kurang bisa di-
andalkan—sugestif mungkin, tapi tak berbukti.
Pada akhirnya, investigasi lebih lanjut tentang pengeboman
hari itu di Afghanistan memang sulit dibuktikan. Selang dua bulan,
detil utama dalam berita, berapa korban warga sipil dan berapa yang
tewas karena pengeboman (bukan akibat kontak senjata sebelum-
nya), belum bisa ditetapkan. Komisi Independen Hak Asasi Manusia
Afghanistan melaporkan 86 orang terbunuh dalam pengeboman.
Pemerintah Amerika melaporkan 26 warga sipil meninggal akibat
pengeboman itu.1
Dalam hukum, ada aturan ketat mengenai derajat keterangan
saksi mata. Mereka bisa saja memberi pernyataan atas apa yang
mereka lihat langsung—fakta fisik eksternal, apa yang dikatakan,
apa yang dilihat. Namun mereka tak bisa memberi kesaksian, secara
umum, tentang dugaan mereka atas pikiran atau perasaan lawan
bicara, kecuali yang terlontar eksplisit. Dan sumber laporan lingkaran
kedua–keterangan yang didengar saksi mata dari pihak yang
Sumber: Darimana asalnya? 87
sumber: mereka yang tak terlibat langsung dengan kejadian tapi di-
kategorikan sebagai pakar untuk memberi kita konteks atau anali-
sis. Pada masa ketika media yang berorientasi diskusi tumbuh, dan
elemen pelaporan media menyusut, kita mendengar kian banyak
“para pakar” ketimbang sumber yang terlibat langsung. Dan keba-
nyakan yang ditawarkan pakar ini adalah analisis—bukan fakta yang
menjelaskan kejadian sebenarnya. Analisis, pada dasarnya, lebih
spekulatif. Karenanya, kita musti hati-hati. Dalam membuat berita
penuntun akal, yang mencoba membangun konteks, atau memi-
lah fakta yang berjejal untuk membuktikan kesimpulan, kita musti
punya lebih banyak sumber dan bukti, sebab pekerjaan ini tidak
mudah. Ironisnya, hal yang sebaliknya sering terjadi. Karena banyak
yang menawarkan opini, wartawan dan bahkan konsumen tak bisa
berharap banyak.
Dari berbagai berita model ini, yang memoles banyak omongan
opini sebagai sajian berita, kita setidaknya perlu informasi lebih soal
latar belakang pakar tersebut dan apa peran nyata mereka terkait
dengan kejadian yang dianalisis. Apakah mereka benar-benar pakar
netral di tengah kejadian yang ditaksir? Atau apakah dia pemain yang
berkepentingan—mantan jaksa, ahli strategi politik, kolumnis—yang
berpose sebagai pakar netral atau otoritas yang sedang membangun
kredibilitas? Sering sekali, mereka yang mengaku pakar sebena-
rnya hanyalah aktivis partai, faksi, atau kelompok kepentingan yang
berpose sebagai pakar independen sehingga bisa memengaruhi dan
memanipulasi audien. Ini adalah jenis pengukuhan keliru yang musti
diwaspadai.
Pakar cum aktivis macam itu muncul hampir tiap hari di talk show
politis di TV kabel, bahkan yang pembawa acaranya tak ideologis. Mari
lihat program CNN pada 6 Mei 2008 di malam ketika Obama menga-
lahkan Hillary Clinton pada pemilihan bakal calon presiden di North
Carolina. Kemenangan Obama cukup kritis karena membuktikan dia
bisa menang di negara bagian Selatan, dan terbukti menjadi titik balik
jalan Obama menuju Gedung Putih. Namun menarik bagaimana me-
dia memaknai kemenangan itu. CNN membuat dua program di jam
utama untuk menganalisis hasil pemilihan. Satu ditayangkan pukul
20.00 setelah pemilihan usai dan satunya lagi pada 22.00 saat hasil-
nya kian jelas. Anggota panel dan cara mereka diperkenalkan terma-
suk ahli strategi Partai Demokrat Jamal Simmons, mantan penasehat
Gedung Putih Lanny Davis, analis khusus politik CNN David Gergen,
Sumber: Darimana asalnya? 93
analis politik CNN Paul Begala, ahli strategi Partai Republik Alex Cas-
tellanos, kontributor CNN Bill Bennett, dan analis politik CNN Donna
Brazile. Anderson Cooper bertindak sebagai moderator.
Deskripsi pengenalan panelis sangatlah khas untuk program beri-
ta di TV kabel. Selain jabatan atau asal lembaga mereka, biasanya tak
banyak yang diperkenalkan. Sering kali, itu tidak cukup.
Misalnya, pada malam itu Jamal Simmons diperkenalkan sebagai
seorang Demokrat dan Alex Castellanos sebagai Republiken dan
keduanya diberi gelar ahli strategi politik. Penting diketahui bahwa
Simmons terlibat di tiga kampanye calon presiden dari Demokrat,
termasuk suami Hillary, dan sulit menjadi seorang Demokrat yang
bebas kepentingan. Posisi Lenny Davis yang pernah menjadi penas-
ehat Gedung Putih semasa Bill Clinton juga tak disinggung. Perlu
diketahui juga, Castellanos pernah menjadi penasehat kampanye
George W. Bush dan pernah dijuluki “biang iklan memojokkan di era
modern.” Agenda tersembunyi analis CNN juga terbaca samar-samar.
Paul Begala pernah menjadi tim strategi utama pada kampanye Bill
Clinton dan pendukung Hillary. Donna Brazile, yang berbicara di dua
panel itu, ditetapkan sebagai delegasi super di Democratic National
Convention, dan beberapa bulan sesudah itu diketahui sempat men-
dukung Obama. Penilaian mereka tentu bias. David Gergen adalah
tokoh politik langka yang pernah menjadi penasehat Gedung Putih
untuk pemerintahan Republik dan Demokrat, dan Bill Bennett adalah
konservatif kolot dan kini menjadi pembawa acara provokatif. Semua
informasi tambahan ini akan membantu audiens lebih mewaspadai
bias dan agenda yang dipertontonkan. Faktanya, tak satu pun dari
mereka yang murni analis, dengan pengecualian yang bisa diberi-
kan untuk Gergen. Masing-masing adalah pemain yang saling-sikut
menuju Gedung Putih dan, dalam beberapa kasus, turun langsung
dalam pertempuran Obama versus Hillary, meski mereka mengaku
sebagai pengamat independen. Loyalitas spesifik mereka tak disebut
jelas.
Selain mempertanyakan apakah identifikasi sumber sudah jelas
dan lengkap, ada satu pertanyaan lain yang layak diajukan pada sum-
ber yang disebut pakar itu: informasi jenis apa yang dicari moderator
atau reporter dari pakar tersebut? Jika sang pakar dicecar seputar
fakta, ini tanda bahwa proses jurnalisme verifikasi sedang berlang-
sung. Jika mereka dimintai opininya saja, itu tanda bahwa kita berada
di alam lain. Jika pertanyaan diarahkan untuk memancing respons
94 Blur
tertentu, itu tanda bahwa narasumber tamu itu cuma kedok, kita tak
sedang disuguhi penyidikan, melainkan persuasi—yang biasa mun-
cul di jurnalisme pengukuhan.
Terkadang absurditas tamu yang dipakai pemandu acara—
sebagai kedok untuk membidik tujuan tertentu di luar penyidikan—
bisa terlihat jelas. Lihatlah pertemuan antara mantan sekretaris
pers pemerintahan Bush Ari Fleischer dan pembawa acara Chris
Matthews—mantan sekretaris pers Senat kubu Demokrat—dalam
program MSNBC Hardball yang digawangi Chris sendiri selang 4
bulan setelah pemilu 2008. Segmen dibuka dengan layar berisi
wajah tersenyum Matthews dan Fleischer.
“Ari Fleischer!” Matthew berteriak, seolah terkejut menyaksi-
kan tamunya. “Apa yang kau lakukan di sini? Apakah ini 100 hari
kepulangan Napoleon dari Crawford? Kenapa mantan jaringan
Bushies—Bushies yang sekarang, tentu saja—mendendangkan lagu
lama...”
“Chris, aku di sini karena kau mengundangku ke sini.”
Jawaban itu membuat Matthews tercekat sesaat, tapi kemudian
melanjutkan pembicaraan. Dalam lima menit sesudahnya, Matthews
dengan sengit mencecar pertanyaan, memotong Fleischer atau terus
berbicara ketika sang mantan sekretaris pers mencoba memberi per-
nyataan.
Delapan menit menjelang akhir acara, Fleischer protes: “Chris,
kamu seharusnya tak menginterupsi tamumu. Atau apakah ini
yang biasa kamu lakukan?” Barulah setelah itu Fleischer mendapat
kesempatan berbicara satu menit di layar penuh untuk menyampai-
kan maksudnya.
Apa yang bisa kita lakukan jika sebuah berita tak mencantumkan
nama narasumber, hanya mengutip anonim? Bagaimana, sebagai
konsumen, kita berharap bisa mengevaluasi berita seperti itu?
Ada beberapa alasan bagus kenapa wartawan rkadang memil-
ih sumber anonim. Seringkali materi yang paling sensitif datang
dari sumber yang musti tetap menjadi anonim untuk melindungi
identitas. Pembocor rahasia yang menyebut walikota mencuri uang
rakyat bisa dipecat atau dihukum karena dinilai tak loyal. Sumber
anonim bisa jadi jenis PNS terbaik, dan informasi yang dibocorkan
Sumber: Darimana asalnya? 95
adalah penggunaan kata dengan cara baru dan tak biasa. Kunci poin
pengarahan era modern adalah pemakaian frasa unik dan mudah di-
ingat untuk memanipulasi audien.
Contohnya adalah kata-kata berkode. Istilah “batu bara bersih”
didesain untuk menghapus citra batu bara berasap hitam di depan
publik yang kian sensitif akan bahaya peningkatan level karbon dio-
ksida di atmosfir. Ketika negara jatuh dalam resesi, KPR macet dise-
but secara netral sebagai “KPR kelas dua”atau secara agresif sebagai
“aset beracun” tergantung reaksi publik bagaimana yang diharapkan
oleh pembuat frasa itu.
Bagaimana kita berhati-hati dengan bahasa yang demikian? Per-
tama, perhatikan kata langka yang digabung-gabungkan. Sebut saja
“pajak kematian,” “pro-kehidupan” atau “pro-pilihan,” “ibu kes-
ejahteraan.” Ini adalah label yang secara efektif tak berarti apapun,
tapi jika diulang-ulang bisa menumbuhkan makna yang didesain un-
tuk memengaruhi dan bukannya untuk komunikasi. Tak ada orang
yang dikenai pajak karena meninggal, bukan? Namun pajak kema-
tian juga disebut “pajak warisan.” Haruskah orang kaya dibiarkan
meninggalkan warisan tanpa dipajaki negara? “Pro-kehidupan” juga
berarti anti-aborsi. Dan “pro-pilihan” juga berarti pro-aborsi. Kita
musti berharap wartawan mengedepankan kejelasan dan mening-
galkan omong kosong. Dan kita musti berharap insan pers takkan
memakainya. Namun kita tak boleh membiarkan kegagalan pers
menumpulkan tanggungjawab kita untuk peka terhadap bahasa Or-
wellian—berkait dengan sistem politik di mana pemerintah mengon-
trol semua aspek kehidupan manusia. Kita musti berharap wartawan
siap menghadapi, demikian juga dengan kita.
Anonim atau tidak, tiap sumber memiliki motif yang mungkin tersim-
pan baik, atau setidaknya tak berbentuk klaim. Kita perlu memper-
tanyakan kenapa sumber menyajikan informasi itu dan stempel apa
yang mungkin coba mereka sematkan melalui itu.
Fakta bahwa sumber punya motif—tak bebas kepentingan—bu-
kan dengan sendirinya menjadi alasan untuk tak mempercaya infor-
masi mereka. Namun juga tak berarti membuat upaya evaluasi men-
100 Blur
BAB 6
Bukti dan Jurnalisme Verifikasi
mereka, bisa menjadi dasar buat kita menilai apakah mereka layak
diwawancarai, dan bukan berarti penuturan mereka pasti benar. Bagi
penulis atau penikmat berita, sekadar mengutip orang untuk sesuatu
yang bisa dikonfirmasi sendiri jelas masih kurang. Jika sesuatu bisa
dibuktikan, maka bukti itu musti terlihat.
Pada masa kini, ketika kita menjadi editor untuk diri sendiri, di
era informasi “tunjukkan pada saya” versus “percayailah saya,”
porsi evaluasi bukti cenderung jatuh ke tangan konsumen. Mencari
dan mengetahui cara memahami bukti adalah persoalan bagaima-
na membedakan penyedia informasi yang lebih dapat dipercaya, di
antara yang kurang bisa dipercaya. Ini menjadi pemisah antara sikap
mengetahui apa yang bisa dipercaya dan sikap asal percaya. Dan kita
musti berharap ada lebih banyak bukti di sini, ketimbang bukti yang
mungkin kita dapat dari kantor berita dan sumber lain yang meng-
klaim melayani publik.
Dalam memilah bukti, intuisi dan akal sehat terlibat untuk men-
cari mana yang berarti dan dalam konteks apa. Di bidang lain—sains,
hukum, jurnalisme, peradilan—kita bisa jumpai serangkaian langkah
atau ide yang sama soal cara menguji dan mengevaluasi bukti, meski
istilahnya berbeda:
Untuk mengurai proses ini, mari kita mulai dengan contoh berita
paling sederhana: kerusakan pipa air di Washington, D.C. Beberapa
bukti (air luber di jalan) ada di depan kita. Bagi kebanyakan orang,
kecepatan informasi tak begitu penting—bisa ditunggu kemudian
hari, atau besok. Tak ada yang terancam: problem terbesarnya adalah
genangan banjir. Akibatnya, kita berharap laporan yang lengkap atas
kejadian yang relatif sederhana ini.
Bukti apa yang ditawarkan Washington Post? Jika kisahnya di-
baca lekat-lekat, terlihat bahwa reporter Post bukanlah saksi mata.
Deskripsi peristiwa merujuk pada sumber resmi. “Banyak rumah
menderita cukup parah karena terjangan air,” demikian deputi pem-
adam kebakaran dikutip. Namun reporter memberi liputan menge-
sankan untuk berita sepanjang ratusan kata. Lima sumber berbeda
dikutip—jumlah sumber yang sangat kaya untuk laporan yang begitu
pendek—tiga pejabat resmi dan dua penduduk sekitar kejadian. Pe-
jabat yang dikutip adalah penanggung jawab langsung masalah itu,
bukan juru bicara—yang sangat layak dipotong jika masuk di artikel
itu. Penduduk yang dikutip menguatkan informasi pejabat itu dan
memberi detil tambahan. Dalam laporan yang saling melengkapi ini,
disuguhkan pemahaman tentang apa yang terjadi, kenapa dan apa
rasanya. Sifat dasar kejadian itu, sesuatu yang relatif kecil, memben-
tuk apa yang kami sebuat sebagai bukti memadai.
Sekarang, mari periksa liputan tentang peristiwa jenis lain, satu
kecelakaan lain, yang terjadi di jam lalu-lalang sibuk dan mengan-
cam nyawa ratusan orang. Ini adalah jenis kejadian yang ingin kita
ketahui segera saat peristiwa masih terjadi, dan dengan begitu, kita
mungkin memaklumi jika ada sedikit ketakpastian dan kesimpang-
siuran informasi.
Ini adalah berita soal dua kereta bawah tanah Washington,
D.C., yang bertabrakan saat jam sibuk pada musim panas 2009.
110 Blur
saji itu benar-benar bukti? Apakah fakta yang ada membuktikan apa
yang mereka isyaratkan? Apakah melihat saja sudah bisa dikatakan
mengetahui? Apakah ini bukti atau asumsi?
harus menghindari lepasnya gas metan yang terjebak, yang bisa me-
micu ledakan lanjutan. Mereka juga musti mengantisipasi lemahnya
atap yang digali, yang bisa memicu longsor. Hingga Selasa malam,
kadar gas naik, hingga sempat mencapai 10 kali lipat dari ambang
batas aman—kabar buruk. Dengan suplay hanya satu jam oksigen,
para penambang tak mungkin bertahan kecuali menemukan kan-
tong udara dan mengunci diri. Seiring dengan perjalanan waktu dan
media memberi latar belakang, muncul berita tentang pelanggaran
keamanan tambang, kerusakan di tambang yang tak segera diberes-
kan, dan lemahnya pengawasan industri tambang secara umum,
khususnya beberapa tahun terakhir.
Akhirnya, pada Selasa sore, penyelamat menemukan satu jenazah
penambang, tergeletak sendiri di kedalaman 11.200 kaki dari pintu
masuk. Penyebab kematian tak jelas. Mayatnya hanya beberapa kaki
dari kendaraan yang membawa tim memasuki tambang pada Senin
pagi, grup pertama yang masuk setelah libur tahun baru. Tes menun-
jukkan ada karbon monoksida berkadar tinggi di tubuh jenazah.
Kemana 12 penambang lain?
Setelah semalaman, muncul jawaban, dan media bergegas
mengabarkannya. Pada 4 Januari, halaman utama Washington
Post terbit dengan berita tipikal. Headline-nya berbunyi “12 Orang
Selamat di Tambang W.Va.)
didapat, tak ada konfirmasi dari pihak rumah sakit, bahwa mereka
tak melihat sendiri. Para wartawan yang salah di kasus Sago, dengan
kata lain, menjadi korban dengan meyakini apa yang mereka lihat,
mengabaikan apa yang telah mereka tahu, dan gagal mencatat apa
yang kurang.
Memang sangat menggiurkan, di era televisi dan khususnya
TV kabel siaran langsung, untuk terjebak dalam penyederhanaan
dengan berimajinasi bahwa melihat sepadan dengan meyakini, dan
meletakkan kepercayaan itu setara dengan kebenaran. Ini adalah
efek lanjutan jurnalisme pernyataan yang intens di budaya kita.
Namun metode berpengetahuan skeptis menuntut lebih. Meli-
hat bukan berarti mengetahui. Memilah apa yang benar bukanlah
sekadar menerima satu-dua fakta dan memberitakannya. Membe-
dakan antara fakta dan kebenaran memerlukan pemahaman tentang
bagaimana menimbang nilai dari fakta berbeda—dengan kata lain,
tahu untuk memilah dan mengevaluasi bukti.
Jarak terhadap kejadian juga memengaruhi ekspektasi kita dan
sejauh mana kita mungkin bisa memaafkan kesalahan jurnalis. Jika
kita penduduk Sago, yang terjaga sepanjang malam dan menyaksikan
berita TV lokal, kita mungkin memaafkan para reporter yang pada
setengah jam pertama memberitakan luapan kegembiraan di jalan,
tapi juga akan lebih berterima kasih jika saja reporter memperha-
tikan ketiadaan konfirmasi resmi, dan jika stasiun berita mengirim
seseorang ke rumah sakit untuk melaporkan kondisi para penam-
bang. Ketika dekat pada kejadian, kita kemungkinan besar memberi
perhatian lebih intens.
Namun untuk kantor berita nasional, yang jarak audiensnya lebih
jauh dan perhatiannya kurang konstan, kesalahan liputan itu benar-
benar buruk. Penonton CNN atau MSNBC kemungkinan besar mema-
tikan TV dengan menyimpan kesimpulan bahwa para penambang
itu selamat, lalu beranjak tidur. Para pembaca Washinton Post ke-
mungkinan besar tak akan membaca kisah sehari setelahnya. Makin
berjarak audiens, smakin tak tertarik mereka, dan pers semakin
diharapkan menyajikan berita yang tuntas diperiksa, karena mereka
kemungkinan besar tak terdorong mengkonsumsi berita lanjutan.
Di satu sisi Sago menjadi kasus berat, dan salah satu yang parah,
kesalahan demikian kian banyak terjadi. Di era ketika berita lang-
sung terus membombardir, kita sering melihat laporan “fakta” yang
kelihatannya menyarankan sesuatu tapi belum terverifikasi. Pada
Bukti dan Jurnalisme Verifikasi 117
ini telah dijalankan. Apa yang diketahui? Apa yang telah diverifikasi?
Apa yang belum? Apakah ia cocok dengan yang telah kita tahu? Apa
yang kurang?
Artikel itu juga memicu tudingan bahwa Times memiliki motif bias
politik untuk menjegal McCain. Tudingan itu, kata editor Times Bill
Keller dalam tajuk sehari berikutnya, “mengejutkan saya dari sisi
volumenya” dan dari sisi “bagimana jauhnya opini tersebut dari
[keputusan saya] menerbitkannya.” Keller tak semestinya terkejut.
Pada masa George W. Bush berkantor di Gedung Putih, New York
Times telah menjadi pentungan bagi kaum konservatif. Kini, dalam
kampanye presiden terlama sepanjang sejarah Amerika, kritik
bahwa koran ini menjadi corong Partai Demokrat telah berkembang
luas, sehingga berita yang merugikan kaum konservatif pun ber-
buntut reaksi kasar.
Merespon kritik yang muncul, Keller bersikeras bahwa artikel
itu tak pernah menyiratkan hubungan romantis antara McCain
dan Iseman. Berita itu, ujarnya, adalah tentang kelemahan hubu-
ngan personalnya dengan kepentingan khusus. Setahun kemudian,
sebagai bagian dari disposisi langkah hukum Iseman, Times bahkan
mempublikasikan satu “Catatan untuk Pembaca” yang mengumum-
kan bahwa artikel itu “tak menyatakan, dan Times tak bermaksud
menyimpulkan, bahwa Iseman menjalin hubungan romantis dengan
Senator McCain atau hubungan tak etis demi kepentingan kliennya
yang melanggar kepercayaan publik.”
Kisah McCain membagi pelajaran seputar bukti, makna, dan
audiens. Terlepas dari pesan apa yang “[sudah] disampaikan” Times,
para pembaca bisa melihat dengan jelas bahwa artikel itu menuduh
McCain selingkuh. Itulah lead-nya, dan ketika hal menarik dari ma-
teri lain disampaikan, kebanyakan pembaca—yang juga kita rasakan
ketika pertama membaca artikel itu—dengan cepat melewati bagian
panjang berisi berita latar belakang McCain agar bisa kembali me-
ngacu pada lead berita dan membuktikan apa yang telah disiratkan.
Kebanyakan media lain juga menilai berita itu menyiratkan
perselingkuhan. “Kandidat Presiden John McCain Dituduh Berseling-
kuh dengan Pelobi,” tulis judul berita Daily Mail di Inggris. Berdasar-
122 Blur
tas. Kutipan politisi yang tak kita sukai dalam artikel berita mungkin
menginspirasi kita meneruskannya ke email teman dengan komen-
tar tentang betapa udiknya orang itu, meski tak ada banyak bukti di
berita itu sendiri. Tentunya wartawan siapapun yang menerima
email demikian bisa menceritakan contoh audiens yang melewatkan
inti cerita, membuat kesimpulan keliru berdasarkan bukti terbatas,
atau mengritik hilangnya bagian yang mustinya dimuat di berita itu.
Sebagai konsumen di era baru informasi, kita musti membawa se-
jenis kesangsian dalam menyeberangi arus informasi yang dulunya
kita harapkan dimiliki para wartawan. Dan itu bisa berarti menuntut
untuk tahu, meski ketika kita melihat statistik dari pihak berwenang,
bukti data itu berasal.
Sejauh yang kami ketahui, wartawan terbaik punya semacam
disiplin kerendahan hati tentang apa yang dilihat. Mereka melatih diri
sendiri untuk tak membiarkan prasangka mendistorsi pengawasan
mereka dan tak melompat pada kesimpulan soal makna atau maksud
dari apapun yang mereka lihat. Mereka tak buru-buru menyimpul-
kan atau terburu-buru membangun makna. Mereka bertanya pada
diri sendiri apakah mereka benar-benar tahu dan paham apa yang
menurut mereka terlihat. Pengarang dan wartawan David Shipler,
yang menghabiskan berpuluh-puluh tahun menggali fakta dan mak-
na di zona perang untuk New York Times, menjelaskan ini sebagai,
“membawa pikiran saya pada kondisi di mana saya menikmati
asumsi saya ditantang sebab ada banyak kebenaran.”
Jenis kerendah hatian yang disiplin ini juga bisa menjadi atribut
penting bagi konsumen skeptis. Untuk mengembangkannya, kita per-
lu mempertahankan skeptisisme tentang pengetahuan dan pemaha-
man kita sendiri. Ketika kita melatih disiplin semacam itu, kita mulai
membawa mentalitas yang lebih ilmiah dalam observasi kita atas
peristiwa dan kehidupan publik. Kita jadi lebih baik dalam memaha-
mi fakta dan tak menyimpulkannya berdasarkan keyakinan belaka.
Ia memicu keingintahuan lebih, dan menuntut keingintahuan kita
dituntun oleh empirisme. Tak semua wartawan memilikinya, meski
mereka seharusnya punya. Sebagai konsumen, kita kurang-lebih juga
harus menerapkannya.
Bagaimana, sebagai konsumen berita dan informasi, kita bisa
membangun disiplin ini dan menerapkan formula “tunjukkan pada
saya,” atau “buktikan,” atau “kenapa saya harus percaya,” pada bukti-
126 Blur
musti berharap bahwa obyek yang hendak dibuktikan itu diberi ke-
sempatan cukup untuk bicara. Kita musti, dengan kata lain, melihat
bukti hipotesis null atau pemahaman alternatif atas obyek tersebut
telah dieksplorasi. Eksplorasi atas argumen alternatif ini juga tak
boleh hanya di mulut. Jika penjelasan alternatifnya adalah sebuah
argumen, misalnya, kita harus mendengar kasus terkuat. Jika kita
mendengar dari orang berbeda, beberapa di antaranya lebih bisa di-
percaya dari yang lain, kita musti mendengar kedua versi kuat dan
juga yang lemah, sehingga tak semuanya ditolak. Sebagai pihak yang
menyahihkan, kita tak boleh mengambil satu versi terlemah sebagai
perwakilan sisi tersebut.
Ketiga, kita musti berharap bahwa elemen yang tak terjawab atau
tak jelas disebutkan terang-terangan. Apa yang tak diketahui, masih
dicari, atau belum dibuktikan keasliannya berkedudukan sama pent-
ing dengan yang diketahui dan telah terbukti keasliannya. Dan men-
gakui terang-terangan apa yang tak diketahui itu akan memperkuat
otoritas kelompok yang mencoba memupus keraguan.
Keempat, kita musti berharap liputan tentang satu persoalan akan
dilanjutkan dalam beberapa bentuk untuk membuat kita tetap tahu
efek selanjutnya yang mengemuka, jika ada. Ini, pada akhirnya, men-
jadi pengujian terbaik atas kualitas informasi. Anjing penjaga sering
menggonggongi suara yang tak sengaja muncul pada malam hari.
Demikian halnya dengan jurnalisme investigasi sembrono atau salah
pandu yang merasa menemukan jalannya hanya karena tak ada re-
spon yang muncul. Kita musti berharap melihat respon dari sebuah
investasi. Dan jika ia tak ada, kita musti mengharap adanya lanjutan
cerita yang menjelaskan mengapa kurang ada reaksi.
Akhirnya, mungkin juga penting—mengingat kerumitan isu ini—
untuk memeriksa ulang apa yang telah kita diskusikan tentang bukti
dan jurnalisme verifikasi.
Mengetahui sumber informasi tidaklah cukup. Kita butuh tahu
bukti apa yang diberikan—pembuktiannya. Ketika mengevaluasi
bukti tersebut, persoalan konteks: fakta yang tak dapat dibantah dan
tak kontroversial mungkin tak perlu banyak bukti untuk memuaskan
kita.
Kita mungkin memaklumi lebih banyak ketakpastian seputar
berita di depan mata kita—breaking news yang kacau balau itu—tapi
kita musti mengharapkan transparansi dan bukti kerendahan hati
dan pengakuan wartawan tentang berbagai informasi yang mungkin
Bukti dan Jurnalisme Verifikasi 129
meragukan.
Dan sebagaimana peristiwa lekang oleh waktu, atau kebutuhan
informasi kita menjadi kurang penting, kita musti berharap ada
kepastian lebih besar tentang informasi yang kita dapat dan usaha
ekstra para wartawan dalam mengonfirmasikan fakta. Secara alami
kita juga kurang bisa menolerir sesuatu yang sekadar dinyatakan.
Kita musti berharap beberapa berita, yang mungkin menciptakan
kepanikan, diperlakukan lebih hati-hati oleh penyedia berita.
Ketika berita beralih ada tahap menuntun akal dan mencoba sam-
pai pada makna, beban pembuktian dan harapan kita atas bukti musti
meningkat lebih jauh. Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya. Harga
yang harus dibayar karena buruknya analisis dan interpretasi berita
cenderung lebih rendah. Secara umum, tak seorang pun menuntut
koreksi ketika ada analisis keliru. Pengakuan kesalahan cender-
ung muncul hanya dalam kesalahan yang lebih hitam-putih, bahkan
untuk kesalahan yang lebih wajar—salah ejaan, salah mengenali,
salah ketik, dan sejenisnya.
Berbagai pernyataan dalam berita musti didukung bukti, dan
kapanpun dimungkinkan, bukti-bukti musti saling menguatkan.
Berita musti memenuhi ujian penyampaian arti harfiah fakta-
fakta dan juga mendukung arti konotatif serta anotatif.
Dan kita musti mencari tanda bahwa makna alternatif, atau hipo-
tesis null, telah ditelusuri. Ada berbagai peluang kebenaran dan mak-
na cerita. Sudahkah kita diberi tahu soal alternatif yang perlu diper-
timbangkan itu?
Semua itu adalah ekspektasi beralasan ketika menemui jenis
berita paling tradisional—jurnalisme verifikasi, berita yang menco-
ba membangun dan memeriksa fakta. Namun karena ruang redaksi
tradisional menyempit, dan audiens terpecah menjadi berbagai
platform dan saluran berita, materi pemberitaan yang dilaporkan
hati-hati itu berkompetisi dengan jenis materi jurnalistik yang bisa
diproduksi lebih murah. Bukti cenderung beroperasi berbeda di are-
na berita lain—dunia jurnalisme pernyataan yang kian marak dan
jurnalisme pengukuhan dari media yang lebih ideologis.
Itu adalah pertanyaan yang musti kita jawab selanjutnya.
130
BAB 7
Pernyataan, Pengukuhan:
Mana Buktinya?
Bukti bisa melakukan lebih dari sekadar menguak nuansa berita dan
mengonfirmasi kasus. Bagaimana sebuah gerai berita menangani
bukti juga menjadi cara paling berguna mengenali jurnalisme jenis
apa yang anda hadapi, yang merupakan langkah pertama dalam me-
nentukan reliabilitasnya.
Apakah konten berita benar-benar bertaut dengan penyelidikan
yang dijalankan dengan pikiran terbuka untuk mencapai dasar ses-
uatu? Ataukah sekadar menyeberangkan informasi begitu saja, tak
diteliti dan tak diperiksa? Atau apakah ia mengerjakan sesuatu yang
lain bersama-sama, seperti memakai bukti untuk tujuan politik atau
bahkan propagandis?
Di bab sebelumnya, kita mendiskusikan bukti dalam wilayah ber-
ita di mana wartawan dengan jelas mencoba memeriksa fakta dan
membangun akurasi. Mereka mungkin tak selalu berhasil, tapi usaha
mereka itu menjadi penanda upaya mereka.
Kini kita beranjak pada bagaimana bukti dipakai dalam model
jurnalisme lebih baru yang kini frekuensinya terus meningkat, jur-
nalisme pernyataan dan jurnalisme pengukuhan, bersama varian tu-
lisan berbeda, media partisan watchdog. Dalam model ini, kelakuan
wartawan dalam hubungannya dengan bukti sangat berbeda jauh.
Dan mengenali ini menjadi salah satu kunci untuk membedakan isi
media mana yang kita jumpai.
Pernyataan, Pengukuhan: Mana Buktinya? 131
131
131
Tak hanya “analis militer” ini yang dapat pengarahan khusus dan
poin arahan dari Pentagon, mereka juga punya hubungan dengan
kontraktor militer yang memiliki kepentingan vital dalam aktivitas
dan kebijakan yang mereka nilai sesuai pesanan. Sayangnya, seba-
gian besar media yang mewawancarai mereka tak tahu dan tak sem-
pat bertanya soal konflik kepentingan dan koneksi itu.
Persiapan terburu-buru oleh pemesan pihak ketiga yang umum
ditemui hari ini jauh berseberangan dengan jenis liputan jurnalis TV
prawawancara yang pernah dilakukan. Sebelum mewawancarai ter-
dakwa komplotan Watergate H.R. Haldeman di depan kamera pada
pertengahan 1970-an, misalnya, Mike Wallace menghabiskan 55
jam percakapan pendahuluan dengan Haldeman untuk mendengar
kisahnya, memeriksa fakta, dan menyiapkan diri untuk menantang
mereka. Itu terjadi pada masa ketika berita TV tak beroperasi 24 jam
dan ruang redaksi punya staf lebih besar, memberi waktu lebih bagi
wartawan melakukan riset. TV di era itu juga mencoba membukti-
kan bahwa bentuk program ini bisa berkompetisi dengan wawancara
paling dihormati di media cetak.
Pada 1950-an dan 1960-an, di halaman publikasi macam Paris
Review, Playboy, dan New Yorker, wawancara menjadi sebentuk seni
untuk menjelajahi kepribadian selebritas sastra, sosial dan politik.
Wawancara format panjang ini biasanya merupakan buah dari per-
siapan dan riset mendalam, dan wawancara menjadi sebuah proses,
bukan presentasi tunggal. Alex Haley, penulis cum wartawan kon-
tributor Playboy, biasanya mengunjungi kota asal calon narasumber
dan mewawancarai orang-orang yang mengenalnya di masa kecil,
sebelum dia bertemu muka dengan narasumber. Eric Norden, yang
mewawancarai mantan menteri Nazi Albert Speer untuk Playboy,
menghabiskan waktu enam minggu mempelajari temanya sebelum
wawancara dimulai, dan wawancara itu sendiri berlangsung 10 hari.
Wartawan Robert Scheer dalam wawancara terkenalnya dengan Jim-
my Carter yang kemudian menjadi calon presiden pada 1976 terlibat
lima pertemuan terpisah selama tiga bulan.
Di awal era televisi, beberapa analis membayangkan kamera
sebagai bentuk “sinar X” batin yang hampir menyamai alat sihir,
yang sifat “tembus pandangnya” bisa mengekspos kebenaran tentang
138 Blur
acara, jelasnya, sebuah ikatan yang tak mau anda putus. “ Aturan pa-
ling mendasar adalah menjaga pemirsa tetap mengenali anda. Iden-
titas pengenal itu bisa hilang dengan mudah ketika anda melepas
kendali interview, atau menjadi terlalu agresif atau kasar atau tak
mengajukan tipe pertanyaan yang benar,” jelas Koppel. Untuk men-
jaga hubungan subtil itu, Koppel menilai narasumber perlu dibiarkan
mengutarakan isi hatinya pada pertanyaan pertama atau kedua.
Lantas, pada titik tertentu, jika narasumber terlalu bertele-tele atau
menghindari pertanyaan, dan “semua orang di rumah tahu itu,”
pewawancara mendapat izin dari pemirsa untuk lebih agresif. Koppel
menggambarkan seolah-olah alarm telah mati dan para pemirsa bi-
lang, “Ted, hajar.” Meski, bagaimanapun juga, Koppel membayangkan
batasan ketat. Jika subyek tetap mengelak, dia bilang “hal terbaik yang
bisa anda lakukan adalah beri audien kesan bahwa orang itu benar-
benar tak ingin menjawab pertanyaan.” Anda bisa ulang sebuah per-
tanyaan dua-tiga kali yang “menekankan itu, menggarisbawahi ini,”
ujar Kopel, tapi sedikit lebih maju. Membayangkan bahwa “tak realistis
anda memerah kebenaran dari seseorang yang tak mau
memberikannya.”4
Meski ini dipraktikkan dalam interview langsung, pewawancara
harus punya pengetahuan seputar subyek dan kemampuan mengedit
wawancara di pikiran mereka di tengah wawancara, tak sekadar
membiarkan wawancara menggelinding begitu saja menjadi poin
pengarahan sang narasumber. “Inti jurnalisme adalah editing,” kata
Koppel. “Dan mengedit saat siaran langsung sangatlah sulit. Ia berarti
menyaring ucapan tambahan dari yang relevan, yang baru dari yang
lama—di kepala anda, sewaktu mendengarkan orang bicara, dan
secara bersamaan memikirkan pertanyaan selanjutnya.”
Anggaplah pewawancara berpengetahuan cukup untuk tahu ka-
pan subyek berpura-pura. Anggap juga pewawancara cukup cakap
melakukan editing mental selama interview langsung, saat mende-
ngarkan orang yang diwawancara dan mungkin seseorang di ruang
kontrol melalui headset. Tetap saja, wawancara tersebut perlu wak-
tu cukup lama untuk mendapat lebih dari sekadar poin pengarahan
sang narasumber. Namun rata-rata wawancara di berita siang TV
kabel hari ini, menurut penelitian kami di Project for Excellence in
Journalism, adalah sepanjang 3,5 menit. Rata-rata interview di
jaringan berita pagi adalah dua menit 40 detik. Yang melampaui rata-
rata ini adalah News Hour di PBS, dengan rerata panjang wawancara
Pernyataan, Pengukuhan: Mana Buktinya? 141
seperti ini, tak ada upaya melihat lebih luas guna menemukan apakah
anekdot itu benar-benar mewakili atau statistik benar-benar berarti
seperti yang mungkin terlihat. Tak ada upaya untuk mewawancarai
korban atau pendukungnya. Tak ada usaha berarti untuk menggali
hipotesis alternatif/ null. Penyidikan macam ini bisa saja membelok-
kan sasaran penyimpulan.
Pada September 2009, debat nasional tentang RUU jaminan kese-
hatan yang diajukan Presiden Obama mengemuka setelah poin pokok
dalam draf RUU itu diurai lebih detil. Republiken yang solid menen-
tang legislasi itu, dan terbantu kebimbangan Demokrat konservatif,
menjadi subyek The Ed Show MSNBS, yang dipandu Ed Schultz, pada
24 September.
Schultz mengawali segmen pembuka dengan video klip pendek
tentang seorang perempuan dalam pertemuan publik soal layanan
kesehatan yang diinisiasi tokoh politik kaum Republiken Eric Can-
tor di Virginia Utara. Perempuan itu menceritakan kisah kawannya
di awal usia 40-an yang kehilangan pekerjaan dan lantas mengi-
dap tumor yang perlu dioperasi. Tanpa pekerjaan—dan asuransi—
kawannya berada dalam situasi keuangan dan emosional sulit.
Cantor bilang pada perempuan itu bahwa dia ingin tahu lebih lan-
jut tentang keadaan kawannya, “dalam hal pemenuhan pendapatan
dan program yang ada di luar saat ini, sebab, jika anda melihat mer-
eka yang tak dilindungi asuransi, mungkin ada sekitar 23% atau 24%
hak pengangguran saat ini yang mungkin telah memenuhi syarat
dari program pemerintah yang ada. Di samping itu, ada program, ada
organisasi amal, ada rumah sakit yang menyediakan pelayanan ke-
sehatan gratis.”
Video dihentikan, Ed Schultz bilang, “itu klasik, Bung. Apakah ka-
lian mengalami semua itu? Perempuan itu mengalaminya. Dia kena
kanker. Dia perlu operasi sekarang juga! Ini klasik… Sebab jika anda
menyodorkan Republiken dan gangguan skenario nyata, mereka tak
III
Istilah ‘anekdot’ di buku ini dipakai untuk menyebutkan praktik peng-
gunaan data statistik secara parsial (amputasi data). Dalam bahasa Inggris,
istilah ‘anecdote’ tidak serta-merta berarti cerita lucu, melainkan kisah
menarik yang tidak banyak diungkap. Kata ini berasal dari kata ‘anekdo-
tos’ (Bahasa Yunani), yang berarti tak tersiar. Tidak ada padanan kata ini
di bahasa Indonesia, sehingga kami memakai istilah ‘anekdot’, meski kata
ini di budaya tutur kita mengalami penyempitan makna (peyorasi) menjadi
‘cerita jenaka.’ Dalam KBBI, ‘anekdot’ dimaknai sebagai ‘cerita singkat yang
144 Blur
punya jawaban.”
Lantas Schultz jadi lebih semangat: “Mereka masih membincang-
kan persentase. Bagaimana jika Anda masuk dalam persentase yang
ditinggalkan? Anda hanya sial. Ini reformasi mereka. Ini jawaban
mereka. Anda tahu mereka bagus dalam memegang sosialisme, ko-
munisme, Marxisme, semua jenis ‘isme.’ Namun anda tak punya satu
jawaban untuk perempuan itu. Dia hanya berada di tempat yang
salah di waktu yang salah, dan kita perlu bicara tentang pendistri-
busian ulang kekayaan.”
Schultz, bagaimanapun juga, telah berhati-hati memilah fakta-fak-
tanya dari video. Cantor bilang ia perlu fakta lebih untuk benar-benar
mengenali keprihatinan sang perempuan. Untuk membantu, anggota
kongres itu menambahkan ada beberapa cara yang bisa ditempuh
dalam keadaan darurat seperti itu. Bahkan segmen terbatas video
itu membuka berbagai wilayah yang bisa digali Schultz untuk mem-
bagi pengetahuan nyata kepada pemirsa. Program apa yang diperun-
tukkan bagi 23%-24% pengangguran? Pada kondisi apa? Seberapa
efektif perlindungan itu? Scultz dengan gampangnya menampik ke-
mungkinan itu dan kembali pada satu pernyataan yang memperkuat
pendapatnya.
Penjumputan fakta dalam media partisan mungkin juga mema-
sukkan angka dan statistik. Dalam kasus itu, ketika bukti disajikan
dalam bentuk data, dengan aura obyektivitas yang tersirat, ia mung-
kin tetap saja media partisan, lebih banyak pernyataan yang disaji-
kan sebagai fakta, ketimbang fakta itu sendiri, lebih banyak angka
ngawur ketimbang data yang mungkin lolos ujian kelayakan pemak-
naan statistik.
Pada Mei 2009, ketika Chrysler, yang kemudian diawasi tim kecil
restrukturisasi otomotif Presiden Obama, mengumumkan rencana
menutup seperempat diler otomotif nasional, situs Webnya pun di-
penuhi blogger yang mencari politik partisan kejam di balik keputu-
san tersebut.
Seorang blogger, pria bernama Joey Smith, mendapat banyak
perhatian. Smith menaruh lima dari 40 halaman berisi daftar diler
yang akan ditutup, dan mengumumkan akan menciptakan situs
Web baru “untuk menentukan apakah diler yang dipertahankan
akan mendapat hadiah atas donasinya dalam kampanye Demokrat
dan/atau Obama sejak 2004.” Dia menemukan fakta bahwa daftar
diler yang ditutup dalam lima halaman pertama itu telah mem-
Pernyataan, Pengukuhan: Mana Buktinya? 145
Kutipan saran paling berguna yang kami pelajari dalam karir jur-
nalisme bisa diringkas dalam kalimat “hati-hati dengan falasi (sesat
pikir) orang jahat.” Ia merujuk pada ide ketika anda coba memahami
situasi di kehidupan publik, ketika orang berbuat salah karena sifat
asli mereka jahat, atau punya motif buruk—sebab, pada dasarnya,
mereka jahat—ini bisa dipastikan keliru dan bahkan lebih mencu-
rigakan ketika dipakai untuk menjelaskan kelompok lebih besar. Me-
makai penjelasan bahwa tiap orang terlahir jahat adalah cara mema-
tikan penyidikan dan mengubah informasi jadi dongeng. Misalnya,
CEO Acme Widget Company menerima suap sebab dia adalah pria
jahat, atau politisi A mengambil keputusan X karena dia jahat.
Alasan melakukan sesuatu, motif, selalu kompleks—dan menarik.
Kisah CEO yang menerima suap sebab perusahaannya, pekerjaan
hidupnya, dan visi penemuan yang bermanfaat di dunia—tapi tak-
kan bertahan tanpa suap—adalah lebih manusiawi penuh keaslian,
Pernyataan, Pengukuhan: Mana Buktinya? 147
Serangan Ad Hominem
Realitas Pengganti
Etos talk show ideologis adalah sejenis dunia ether, salon TV di mana
pembawa acara, dan seringkali narasumber, dipilih karena kesamaan
sikap, menjelaskan lanskap peristiwa publik seperti yang dilihat,
atau yang diharapkan, dan mereka anggap diperlukan masyarakat.
Etosnya menegaskan, dan secara bersamaan, mendorong pendengar
150 Blur
Teknik Lain
jadi bagian dari sesuatu yang kami sebut sebagai jurnalisme “budaya
jawaban,” di mana penampilan pembawa acara talk show yang memo-
pulerkan wilayah baru ini memposisikan diri sebagai pejuang budaya,
pahlawan bagi yang tertindas dan terlupakan, serdadu perang bersen-
jata jawaban. Dengan kurangnya sikap seperti itu, anda menyaksikan
pengabaian bukti, padahal pengujian bukti memerlukan kemungkinan
keraguan.
Itulah mengapa jurnalisme pengukuhan hampir selalu gagal me-
menuhi ujian kelima di daftar kami dalam menguji keotentikan se-
suatu: menjelajahi penjelasan alternatif. Penjelasan alternatif satu-
satunya yang digemari para pemandu talk show sok tahu adalah ke-
cenderungan menjadi pengumpan argumen yang mereka angkat agar
dijatuhkan.
Dalam pembedaan antara dua bentuk sudut pandang media–opini
versus pengukuhan—anda bisa melihat perbedaan antara empirisme
dan propaganda, antara jurnalisme dan aktivisme. Dalam hubungan
mereka dengan masing-masing audiens, perbedaannya terletak pada
keinginan untuk memahami dan menyelidiki versus keinginan untuk
meyakini.
Ini membawa kita pada poin final daftar periksa yang diperlukan
untuk menjadi konsumen berita yang mawas dan hati-hati. Bagaimana
cara mengetahui apakah diet berita kita sudah sehat, dan apakah kita
sudah mempelajari apa yang kita butuhkan, merupakan hal yang musti
kita perhatikan selanjutnya.
Bagaimana Menemukan
Pernyataan, Hal yang
Pengukuhan: ManaTerpenting
Buktinya? 157
BAB 8
Bagaimana Menemukan Hal yang Terpenting
Kantor media lain pun menyambut kisah ini, hingga segera me-
nyapa audiens dunia. Capitol Hill bereaksi dengan membuat perjan-
jian dagang baru yang dirancang melindungi para buruh pembuat
produk impor.
Sulit untuk menolak fakta betapa kuat dan pentingnya produk
asal Cina menjadi bagian hidup Amerika dan dunia. Tiap konsumen
Amerika turut andil dalam persoalan keselamatan buruh Cina. Dan
keamanan produk ini memengaruhi tiap warga Amerika. Merujuk
pada laporan Federal Trade Commission pada 2009, impor produk
Cina di Amerika mencapai US$24 miliar, dengan nilai ekspor ke Cina
US$4 miliar.
Cerita ini begitu penting hingga Tofani merasa perlu mengubah
hidupnya untuk memberitakan ini.
Kebanyakan warga, ketika menemukan beberapa ketidakadilan,
tidak langsung menjadi reporter investigatif. Sedikit dari kita, bah-
kan sedikit sekali wartawan, punya kecakapan atau kesempatan
untuk melakukan jenis liputan mendalam skala global yang dijalani
Tofani. Namun masing-masing dari kita, tiap hari mengalokasikan
waktu menghadapi apa yang perlu disimak dari media yang kian
berkembang, musti memakai hitungan sama—jika tak bisa dibilang
lebih rendah—dari hitungan Tofani. Kita musti memutuskan sebera-
pa penting sebuah kejadian. Dengan kata lain, ketika mendapat infor-
masi, kita musti tak hanya mempertanyakan kebenarannya, tapi juga
sebesar apa persoalannya. Dari berita-berita itu, kita musti bertanya
apakah kita sudah mempelajari apa yang diperlukan untuk mengeta-
hui subyek tersebut.
160
Dia juga mencoba mengejar berita yang dia yakini tak akan di-
tulis orang lain, yang sulit, dan seolah “memanggilnya.” Seorang
pengajar di kelas penulisan, dia mengenang, pernah menasehatin-
ya untuk “hanya kerjakan berita yang bisa kau kerjakan… perhati-
kan wilayah emosionalmu sendiri.”9 Sugg juga menulis berita yang
memberi tahu orang sesuatu yang tak mereka ketahui. Berita
demikian bukanlah berita yang ditentukan pandangannya sendiri
lebih dulu, atau dari arahan editor di ruang redaksi.
Sugg mengatakan keahlian khususnya adalah mendengarkan, ber-
sabar dengan orang lain dan menjadi dirinya sendiri ketika bersama
mereka, sehingga mereka pun mempercayainya. Dari sini ia mendapat
akses luar biasa ke orang-orang sakit yang berada di kondisi terbu-
ruk mereka, yang mau menceritakan kisah mereka karena mungkin
bisa membantu orang lain, meski sama artinya dia harus mengung-
kapkan deritanya ke publik. Kelebihan Sugg ini termasuk dalam hal
menulis beberapa seri berita tentang orang sakit yang membeberkan
kisah lebih besar dan lebih penting, dari hati ke hati.
Untuk mendapatkan berita ini dan memperoleh kepercayaan
orang, Sugg berpikir bahwa seorang wartawan, yang membawa
sesuatu ke publik, beraksi di ranah publik dengan sendirinya. “Cara
anda bersikap akan berujung pada seberapa bagus kerja anda,” tu-
lis Sugg. 10 “Sadari bahwa anda adalah produk anda sendiri, merek
anda sendiri. Ketika anda seorang reporter, nama anda adalah segala
nya… Apakah anda reporter yang merasa tahu berita masa depan,
yang memaksakan detil yang didasarkan praduga, atau apakah anda
memperhatikan perkataan narasumber anda? Apakah anda reporter
yang mengonfirmasi pandangan buruk orang terhadap jurnalisme,
atau apakah anda mengejutkan mereka dengan kejujuran, integritas,
dan cita-cita besar anda? Jangan pernah pikir bahwa publik tak bisa
cepat menilai anda masuk kategori wartawan apa, dan akan mem-
perlakukan anda sesuai dengan itu.”
Belum ada karya yang lebih tepat mewakili ide jurnalisme
sebagai aksi publik, yang sarat moralitas dan nilai, selain karya
berseri Sugg bersama fotografer Monica Lopposay berjudul
“The Angels Are Coming,” tentang remaja Baltimore berusia
2 tahun bernama R.J. Voight yang berada di ambang kematian. Kisah
ini, menghenyakkan dan sedih, mengungkap isu profesionalisme
medis dan keluarga yang merawat anaknya yang tengah sekarat.
Dalam esai selanjutnya terkait dengan artikel itu, Sugg berkata
170
bahwa dia berjuang untuk tak melampaui batas antara meliput dan
mengeksploitasi orang. Kami pikir menjaga garis itu, dan menapaki-
nya hati-hati, menjadi pembeda antara berita yang bermakna—dari
berita yang menelanjangi—yang dibaca orang dan mengubah hidup
mereka, membantu keluarga dan tenaga medis profesional membuat
pilihan lebih baik.
“Untuk mendapat berita besar, sejauh mana saya memanfaatkan
R.J. dan keluarganya?” tulis Sugg. “Akankah berita ini menyakiti ibu-
nya yang telah hancur? Bagaimana dengan ibu-ibu lain yang berjuang
untuk menyelamatkan anak-anak mereka? Apakah saya telah cukup
berani mengungkap kebenaran? Bahkan, apakah saya tahu kebena-
ran? Dan akhirnya, seberapa jauh ia benar-benar bermakna?”
Setelah itu, dia ingat berdiri di auditorium rumah sakit Johns Hop-
kins, yang dipenuhi kaso dengan para dokter, perawat, kepala-kepala
divisi, terdiam dalam baju putih mereka, saat dia bicara tentang apa
yang telah dia pelajari, dan ketika dia bicara pada CEO perusahan
asuransi terbesar di Amerika. “Mulai sekarang, dalam tiap berita
yang saya tulis, R.J. akan bersama saya,” tulisnya. “Sebuah pengingat
tentang sejauh mana saya bisa menjalankan tugas sebagai wartawan
dan sehati-hati apa saya harus melangkah.”
Pembaca artikel Sugg bisa dengan mudah merasakan sesuatu yang
luar biasa di situ. Ia benar-benar produk kerendah-hatian, perhatian
dan kepedulian yang luar biasa dan mengena. Dia memandang jauh
lebih dalam. Anda mungkin tak mengenali apa metodenya, tapi anda
bisa merasakan kehadirannya.
Liputan Penuh
David Halberstam, yang bukunya The Best and the Brightest meng-
gambarkan masa perang Vietnam, sering berkata pada kolega
yuniornya bahwa penghargaan tertinggi yang paling dia inginkan
adalah dinilai sebagai seseorang yang terlihat masih nol, sebab ma-
sih terus bertanya. Dia menyebutnya “liputan penuh,” yakni proses
membangun dunia yang anda coba jelaskan dari bawah ke atas.
Dan ketika Halberstam selesai melakukan itu, liputannya memiliki
semacam otoritas dan begitu dalam hingga narasinya jauh dari seka-
dar deskriptif; ia bersifat menjelaskan. Dia punya gema narasi yang
tak diragukan lagi, dan kedalaman liputannya begitu jelas terlihat,
pemahamannya pada akar dan alasan serta implikasi bahan tulisan-
Bagaimana Menemukan Hal yang Terpenting 171
Cobalah. Ambil satu tema berita dan cari jawaban atas perta-
178
Teknik di atas bisa membantu anda memahami apa yang perlu anda
ketahui seputar isu yang diberitakan. Namun isu mana yang musti
anda diselidiki? Berita apa yang penting diketahui?
Salah satu cara menjawabnya adalah dengan mendaftar 10 isu
atau topik yang paling anda prioritaskan.
Membuat daftar demikian mungkin membuat anda malas. Sepuluh
itu banyak. Sulit diurutkan. Namun tidak akan begitu ceritanya jika
kita sadar: sesering apa kita mengonsumsi informasi tentang ini?
Latihan ini akan memaksa anda berpikir tentang persoalan apa
yang ada di berita. Bisa jadi mereka adalah berita yang berkelanju-
tan, seperti liputan konflik Israel-Palestina, atau tim olah raga fa-
vorit seseorang. Atau mungkin topik lebih umum, seperti teknologi
komputer.
Manfaatnya, membiasakan daftar tersebut bisa secara permanen
membantu anda memikirkan berita. Daftar itu hanya perlu dibuat 10
menit. Namun, ia bisa membantu anda bertahun-tahun.
• Berita apa dan soal apa yang saya dapatkan? Di mana saya
Bagaimana Menemukan Hal yang Terpenting 179
Akhirnya, ada alat lain yang telah kami pakai sebagai kritikus pers un-
tuk mengenali reporter luar biasa berkarya hebat. Coba ingat-ingatlah
beberapa tahun lalu. Adakah berita yang anda temukan yang masih
bisa anda ingat? Di mana anda mendapatinya? Siapa yang bikin? Apa
yang membuatnya istimewa?
Dalam pengalaman kami, ada berita yang tetap hidup dalam ingatan;
kami telah mendaftar beberapa di antaranya di buku ini. Mengingat
kembali apa yang anda suka tentang mereka bisa membantu memberi
tahu anda apa yang anda sukai dari berita, apa yang anda anggap ber-
nilai.
Kami tak berharap siapa pun akan mengikuti semua teknik ini,
atau beberapa di antaranya. Teknik tersebut dsodorkan, lebih kepa-
da, membuat kita sadar bagaimana mengonsumsi berita, dengan cara
yang sama kita mencoba lebih sadar menjaga kebugaran dan pola
makan. Pada abad 21, kita menjadi warga baru, bertanggung jawab un-
tuk diri sendiri dengan cara baru. Kita memiliki akses ke lebih banyak
informasi, dari lebih banyak sumber, dengan kemampuan lebih besar
untuk mentriangulasi semua yang kita lihat, dan menjadi lebih tahu.
Beberapa dari kita yang ingin mendapat manfaat dari teknik tersebut
akan kian bersemangat untuk belajar dan berkembang. Yang tidak in-
gin, akan ketinggalan lebih jauh di belakang. Pada masa awal perkem-
bangan Internet, kritikus sosial sering mencemaskan jurang informasi
antara orang yang memiliki akses terhadap komputer dan sambungan.
Sebagian kecemasan itu ditekan dengan kehadiran teknologi mobile
smart, yang punya penetrasi lebih tinggi. Gap informasi riil, yang tak
bisa diatasi dengan kebijakan sosial dan teknologi baru, adalah antara
konsumen berita yang cerdas dan mereka yang lebih memilih santai,
atau menyerahkan diri mengikuti arus dan kesenangan.
Ini membawa kita pada daftar yang kami perkenalkan di Bab 3, un-
tuk menjadi konsumen berita yang lebih mawas di era sekarang. Lang-
kah-langkah itu meliputi enam pertanyaan mendasar.
BAB 9
Apa Yang Kita Perlukan
Dari “Jurnalisme Era Baru”
kita kini memperoleh satu berita satu waktu, subyek demi subyek,
pada waktu berbeda dan dalam bentuk pecahan. Konsumsi berita
online, misalnya, melonjak selepas jam makan siang, setelah orang
mendengar sesuatu pada istirahat siang dan lantas balik kantor untuk
membacanya dan membaca berita lain. Ini menunjukkan berita tak lagi
terbendel oleh perusahaan media. Kita tak lagi membolak-balik koran
pagi favorit kita atau menunggu siaran berita petang untuk mendapat
informasi. Kita terus memeriksa berita untuk mencari berita yang
ingin diketahui. Artinya, kini kita mencari berita berdasarkan kisah
dan bukan berdasarkan perusahaan media.
Saat kita berburu berita, alih-alih bersandar pada yang disediakan
“penjaga pintu” berita dalam satu siaran berita atau koran, konsum-
si berita telah menjadi pengalaman yang lebih proaktif. Beberapa
pihak menyebutnya pengalaman “berorientasi ke depan,” di mana
kita mencari sesuatu yang kita minati—untuk menjawab pertanyaan
kita. Ia bukan lagi pengalaman “berorientasi ke belakang,” di mana
kita ongkang-ongkang kaki dan menunggu penyiar berita memberi-
tahu apa yang terjadi, atau membolik-balik koran.
Bergesernya ketergantungan pada satu perusahaan media se-
bagai penyedia berita utama adalah makna penting berubahnya
peran pers sebagai penjaga pintu. Kita belum meninggalkan nilai
sebagai produsen berita. Sumber berita tradisional versi online me-
mang mendominasi lalu-lintas informasi hingga ke level yang semula
tak diperkirakan banyak orang. (Dari 200 situs berita besar Amerika
pada 2010, sekitar 80% adalah sumber berita atau agregator berita
“warisan”—yang terafiliasi dengan media cetak atau TV, dan mereka
menarik 83% lalu-lintas internet. 5) Namun cara publik mengakses
situs ini berbeda dari yang pernah mereka lakukan terhadap media
saudaranya di cetak atau TV. Mereka bergerak di antara berbagai
sumber ini dengan frekuensi tinggi dan dalam waktu singkat. Yang
menduduki puncak daftar tujuan berita online adalah agregator (se-
perti Yahoo dan AOL) dan semi-agregator (macam CNN dan MSNBC)
yang memberi konsumen lebih banyak pilihan. 6 Publik, seperti yang
diprediksi sebagian orang, juga tak membatasi visi mereka dalam
mencari berita, menuju situs yang fokus hanya pada subyek favorit
mereka, atau yang membuat berita berdasarkan perspektif parti-
san. Ceruk atau situs berita khusus kurang populer dibandingkan
dengan situs dengan topik umum, dan rata-rata orang mengunjungi
Apa Yang Kita Perlukan Dari “Jurnalisme Era Baru” 187
V
Alih-alih memakai kata ‘pembawa saksi’, kami memilih ‘penyaksi’ untuk
mentransliterasikan ‘witness bearer,’ karena istilah ‘pembawa saksi’ saja
tidak cukup mewakili makna yang dimaksud Bill Kovach. Melalui frasa ‘wit-
ness bearer,’ dia mengusung konsep peran jurnalisme sebagai ‘pembawa
saksi’ dan juga ‘saksi’ itu sendiri. Perlu diketahui, kata ‘penyaksi’ tidak ada
dalam KBBI, tetapi masih bisa dikorelasikan dengan kata ‘penyaksian’ yang
dalam KBBI bermakna ‘pemberian kesaksian.’ Dari situlah kata ‘penyaksi’
bisa dipahami sebagai ‘pemberi kesaksian’ baik dengan membawa saksi,
maupun menjadi saksi itu sendiri.
Apa Yang Kita Perlukan Dari “Jurnalisme Era Baru” 191
man yang lebih baik. Namun memproduksi liputan seperti itu jauh
lebih menantang. Sulit bagi satu media memproduksi semua elemen
ini, bahkan untuk berita yang terpenting. Audien juga tak bisa me-
nyerap semuanya. Karenanya, mereka yang meliput berita demikian
harus jauh lebih pandai, dan berlatih cara menilai secara jauh lebih
tajam, tentang elemen mana yang paling cocok dengan jenis berita
tertentu.
Pemimpin media besar yang menjalankan ruang redaksi pada
abad 21 mungkin bukanlah koresponden termasyhur dalam operasi
ini. Jurnalis yang terjaring tim pencari bakat, mungkin, malah menjadi
orang yang punya intuisi merasakan perangkat tambahan mana dari
daftar di atas yang paling cocok dengan berita tertentu. Dan proses
“liputan” berita harus diubah untuk bisa mengoptimalkan perangkat
itu. Di ruang redaksi media lama, reporter secara tradisional dikirim
pada pagi hari untuk “menggarap berita.” Mereka semua lalu bersa-
ing mendapat spot di siaran berita atau halaman muka, dan lantas
keputusan dibuat tentang di mana dan berapa panjang masing-mas-
ing berita akan diterbitkan. Kini prosesnya berbeda. Alasannya, ber-
ita masuk terus-menerus, dan editor serta produser secara konstan
harus memutuskan mana gambar interaktif, database, biografi, berita
warga, atau elemen lain yang layak muat.
Pada tingkat tertentu, elemen berita dipecah menjadi komponen
terpisah. Di tingkat lain, berita diberi konteks lebih lengkap karena
ada hal lain yang bisa dikaitkan. Intinya, format digital dengan tau-
tan mengajak pembaca menjelajah dan membaca secara horizontal,
ketimbang secara linier dan “vertikal” dari awal hingga akhir beri-
ta. Informasi berjaringan juga mengajak partisipasi. Internet penuh
dengan aplikasi dan kesempatan yang mendorong orang berbagi
informasi, bereaksi, dan menambahkannya. Perkawinan antara
media cetak dan media lain memungkinkan berita muncul dalam
berbagai bentuk.
Di situasi ini, wartawan yang dulu ibaratnya membangun rumah
dengan hanya bermodal palu, gergaji, obeng, dan tangga, kini bisa
memanfaatkan semua alat yang dijual di toko bangunan.
198
Untuk menjawab peran baru yang diperluas ini, untuk memakai ke-
mampuan ini, perubahan lain mesti dilakukan. Ruang redaksi masa
depan harus diatur dan dijalankan secara berbeda, baik ruang reda-
ksi media lama yang mencoba beradaptasi atau ruang redaksi online
yang baru lahir. Singkatnya, ia mesti membangun budaya jeli dan
beragam.
Bagaimana ruang redaksi mesti berubah?
Hal terpenting dari banyaknya piranti baru yang kini tersedia bagi
wartawan, adalah jurnalisme seharusnya bisa berbuat lebih dari
sekadar bertutur. Informasi mesti hadir dalam lebih banyak bentuk—
statistik, grafik, suara, video, gambar. Teknologi yang memungkink-
an interaksi antara konsumen dan wartawan, untuk bersama-sama
menganalisa usulan bujet, misalnya, harus menjadi bagian lebih be-
sar dari jurnalisme. Untuk memanfaatkan piranti baru ini wartawan
harus menata ulang ruang redaksi.
Ruang redaksi biasanya telah menjadi organisasi yang san-
gat sederhana, khususnya di media cetak dan radio. Ada penutur
Apa Yang Kita Perlukan Dari “Jurnalisme Era Baru” 201
Salah satu hal yang mengembalikan media lama, dan tentu saja
membuktikan kelemahan manusiawinya, adalah ia tak paham kekua-
tan esensial Web dalam hal agregasi. Pemahaman ini menempel di
mentalitas para penulis kode komputer, yang memprogram, mem-
bayangkan pemanfaatan kekuatan Web itu sendiri ketimbang seka-
dar menggunakannya sebagai platform untuk mendistribusikan
beberapa konten asli. Perusahaan media lama punya kesempatan
menciptakan (dan kemudian, dalam beberapa kasus, membeli) situs
yang datang untuk merusak dasar ekonomi mereka, seperti eBay,
Craiglist, Google, Realtor.com, dan Monster.com. Namun, mereka
membuang kesempatan ini begitu saja karena tak secara mendasar
memahami nilai yang bisa dimainkan teknologi ini. Mereka tak me-
nambah bisnis dadakan yang menghasilkan pemasukan untuk media
lama. Mereka tampak seperti bisnis berbeda, dan memang begitu.
Namun yang gagal dipahami perusahaan pers adalah fungsi mereka
secara esensial sama. Organisasi berita masa depan perlu memikir-
kan dan mengidentifikasi ulang tujuan utama mereka.
Jurnalisme lebih dari sekadar bercerita. Ia bisa berbuat lebih jauh
dari sekadar memproduksi narasi. Dan ia seharusnya juga tak cuma
menyalurkan iklan di sela narasi tersebut. Pengetahuan publik jauh
lebih luas dari itu. Dan jika perusahaan pers terus mendefinisikan
diri mereka sendiri secara tradisional, dengan cara terbatas—seb-
agai deskripsi produk yang dihasilkan ketimbang fungsi melayani
kehidupan publik—peluang jurnalisme dan nilai yang dikandungnya
untuk bertahan pun kian tebatas.
Media lama selalu saja mengklaim meliput isu yang menjadi
perdebatan publik. Dalam realitas, ia lebih banyak meliput debat res-
mi, di gedung kantor publik antar para ahli yang mapan. Bagaimana-
pun juga, ia jauh lebih terbatas dalam meliput debat antar orang di
meja makan. Kebangkitan media baru jauh lebih unggul dalam hal
memperluas diskusi publik ini. Ia telah membuat publik menjadi leb-
ih nyata dan sehat. Ini, dalam banyak cara, menjadi jembatan antara
media lama dengan yang baru.
Semua yang telah kita diskusikan sejauh ini berpusar pada ide bahwa
perusahaan pers, lama ataupun baru, harus memahami dan menetap-
kan fungsi yang mereka jalankan dalam kehidupan keseharian pub-
lik agar bisa bertahan dan diterima. Kami ingin memanfaatkan me-
nit selanjutnya untuk membahas pertanyaan tentang tujuan esensial
jurnalisme. Jika perusahaan lokomotif dan kereta disebut membuat
kesalahan fatal hanya karena tak paham dirinya bermain di bisnis
transportasi, lalu bagaimana dengan perusahaan pers?
Lupakan dulu soal bentuk. Lupakan juga tentang teknik. Dan
budaya. Mari kembali ke pertanyaan; fungsi apa yang diperankan
ruang redaksi dalam komunitasnya? Apa tujuan esensialnya, selain
beroleh laba.12
Menuturkan cerita bukanlah jawabannya. Demikian juga dengan
menyampaikan berita, atau bahkan memonitor pemerintah. Semua
itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan sepanjang sejarah jurnal-
isme. Menurut kami, fungsi esensial jurnalisme terkait dengan ses-
uatu yang lebih luas dan konseptual, dan masa depan jurnalisme ber-
gantung pada peran untuk merangkul gagasan yang lebih luas ini.
Organisasi pemberitaan adalah tempat yang mengakumulasi dan
menyintesis pengetahuan seputar komunitas, baik komunitas secara
geopolitik maupun komunitas yang dialasdasari kesamaan topik
atau minat, dan lantas menyodorkan pengetahuan secara interaktif
melalui berbagai cara.
Iklan tradisional adalah salah satu bentuk pengetahuan itu—
iklan penjualan peralatan dan layanan, terutama yang baru keluar.
Daftar dan papan pengumuman adalah bentuk lain. Begitu juga dengan
komunitas pakar dan pihak berwenang. Secara logis, tiap pengala-
man atau daftar sumber reporter adalah jenis pengetahuan yang
diakumulasi dalam ruang redaksi, yang disaring dan dikontrol tiap
reporter tapi pada akhirnya bisa dinikmati audien berkat kerja re-
porter.
Di luar itu, ada jenis pengetahuan lebih abstrak yang diakumulasi
dan disediakan ruang redaksi, yakni jawaban pertanyaan seperti;
bagaimana sebenarnya kinerja kantor walikota? Siapa yang bisa di-
percayai dan tidak dipercayai di kota? Siapa yang layak didengar keti-
Apa Yang Kita Perlukan Dari “Jurnalisme Era Baru” 205
ka ngomong soal ekonomi lokal? Siapa saja badut kota, yang memper-
mainkan diri sendiri tanpa menyadarinya? Siapa orang di kota yang
patut dikasihani karena jadi korban nasib buruk? Siapa yang patut
dihormati? Di mana warung sate terenak? Semua itu adalah contoh
pengetahuan yang dikumpulkan ruang redaksi, jenis pengetahuan
institusional di memori publik. Pengetahuan yang tertinggal dan tak
terpublikasikan di ruang redaksi masih lebih banyak ketimbang yang
dipublikasikan. Ruang redaksi, sebagai abstraksi, menyebarkan pen-
getahuan dalam bentuk yang sangat terbatas—yakni kisah individu.
Persoalannya, perusahaan media tak pernah merasa perlu benar-
benar mengerti peran ini secara konseptual seperti itu. Mereka
mengejar aspek finansial. Mereka hanya dituntut membuat produk
yang sama seperti sebelumnya, memolesnya di beberapa tempat,
menemukan cara baru membuat berita atau topik untuk diliput. Hasil-
nya, kebanyakan pengetahuan yang selama ini ada di ruang redaksi
tak sampai ke publik. Mereka tertinggal di file, atau di kepala reporter
dan editor. Perusahaan media umumnya tak berpikir tentang produk
baru atau cara baru menyebarkan pengetahuan. Dan cara pandang
sempit nan saklek dalam menyampaikan pengetahuan ke publik
menjadi salah satu alasan industri ini kehilangan kesempatan bisnis
baru, baik itu kegagalan untuk beralih menjalankan fungsi pencarian
dan agregasi, atau berpangku tangan ketika pihak lain membangun
media online superior yang memenuhi klasifikasi di atas.
Dalam memahami definisi yang lebih luas ini—fungsi yang di-
jalankan ruang redaksi dalam komunitas, peran yang dimainkan,
ketimbang produk yang sibuk dibuat—menurut kami organisasi
pemberitaan bisa menemukan beberapa jawaban yang dibutuhkan
untuk maju. Salah satunya adalah menemukan bisnis baru yang
bisa diuangkan.
Jenis pengetahuan apa yang telah dikumpulkan perusahaan me-
dia dan belum dieksploitasi? Jenis pengetahuan lain apa yang bisa
mereka kumpulkan? Pasar mana yang bisa disasar pengetahuan itu?
Bagaimana cara menyebarkan? Dan bagaimana ia bisa diuangkan?
Pertanyaan seperti itulah yang dipakai Silicon Valley ketika menguji
potensi pasar negara berkembang sebelum membuka perusahaan
di sana. Tantangan perusahaan pers adalah mereka memiliki bis-
nis yang tenggelam di satu sisi, tapi merekah di sisi lain. Sayangnya,
sebagian besar berpikir dengan pola bisnis lama. Mereka bekerja
seperti Wall Street, bekerja melalui horizon jangka pendek di industri
206
Akhirnya, satu pertanyaan yang masih mengemuka adalah sampai tingkat apa
keberlangsungan institusi berita di masa lalu itu kita masih perlu diperhati-
kan.
Mungkin kita tak perlu repot memikirkan itu. Tulisan bagus datang dan
pergi. Demikian juga dengan alat tulisnya. Banyak koran besar kini tinggal
sejarah. Era kompetisi koran kota besar secara umum berakhir, dan dibarengi
profesionalisme dan tanggung-jawab etika ekstra, menyusul monopoli koran
yang bertahan, meski juga memunculkan pertanyaan soal bias. Tak ada alasan
melepas ketakutan atau bernostalgia dengan yang sudah akrab, hanya karena
ia punya kebaikan tertentu.
Sejarah berulang kali menyajikan bukti bahwa inovasi kemungkinan besar
muncul di tempat kecil dan bukannya besar, di garasi (Apple dan Hewlett-
Packard), kolong sekolah (Google), dan di dalam visi unik seorang pendiri dan
bukannya dari tim khusus milik perusahaan yang masuk daftar Fortune 500.
Semua ini memberi kita alasan untuk memperhatikan dan menggali
potensi orang luar.
Namun kami juga menilai masyarakat dan warga turut andil me-
nentukan apakah beberapa nilai inti jurnalistik di institusi lama bisa
bertahan. Jika ingin jurnalisme baru muncul, kami menilai kehidupan
sipil juga berkepentingan agar nilai ini ditransfer ke media dan ruang
redaksi baru. Nilai-nilai itulah yang ingin dikejar dan dipelajari wartawan
seluruh dunia.
Pertanyaan adalah apakah, dan seberapa besar, nilai-nilai jurnalisme
independen dan terpercaya bisa berpindah ke institusi baru. Penting di-
perhatikan, terkait dengan subyek, untuk tak bernostalgia. Penting juga
bagi kita untuk memahami sejarah. Tak semua organisasi pemberitaan
memegang nilai ini sama baiknya. Banyak di antaranya telah lebih di-
perhalus di paruh terakhir abad 20. Namun fakta bahwa beberapa dari
mereka terlambat datang, atau lebih menonjol di beberapa bagian di
tempat lain, tak serta-merta menghapus fakta lain bahwa ruang redak-
si terbaiklah yang paling kuat mencita-citakannya. Pengamatan sejarah
media secara lebih lekat menunjukkan bahwa tak ada jaminan semua ru-
ang redaksi baru akan mengadopsi nilai ini—bahkan mereka yang terafi-
liasi dengan media lama atau yang dibuat tokoh pers lama. Berita televisi
di Amerika dimulai dengan nilai tradisional radio dan secara berangsur-
angsur, selama lebih dari satu generasi, menyisihkan banyak dari mer-
Apa Yang Kita Perlukan Dari “Jurnalisme Era Baru” 209
eka. Berita kabel diawali (dari CNN) dengan meniru siaran berita petang
tradisional dan secara bersamaan mengubah bingkainya.
Secara taktis, mungkin, peluang terbaik bertahannya nilai fundamen-
tal yang kita hormati terletak pada kemampuan bertahan institusi yang
menjaga mereka, tapi ini juga tak ada jaminan. Fokus kita terletak pada
prinsip fundamental ini dan cara mengartikulasikannya sehingga mereka
bisa dipahami dan dimanifestasikan pada teknologi baru, dalam bentuk
baru, dan melalui alat baru.
Secara berimbang, perusahaan pers yang menghidupkan nilai-nilai ini
telah memenangkan pertarungan jurnalisme sepanjang waktu, sedangkan
perusahaan yang menyimpang dari mereka telah lenyap. Dengan pem-
bongkaran kreatif yang dibawa era digital, nilai saja tak lagi cukup. Agar
jurnalisme mendalam dan nilai di dalamnya bertahan, organisasi pem-
beritaan perlu mencari sumber penghasilan dengan tak hanya memind-
ahkan gaya iklan abad 20 ke Web. Perlu penciptaan iklan jenis baru den-
gan kode komputer yang disetel menyesuaikan profil pengiklan, konten,
dan pembaca. Ia bisa melibatkan penciptaan “produk pengetahuan” baru
yang bisa dijual atau diuangkan—ditujukan ke audien khusus ketimbang
umum. Ia juga bisa melibatkan solusi kebijakan publik, mungkin mem-
bungkus berita dengan akses internet, atau memakai jasa agregator dan
produsen berita. Kami percaya ia akan menuntut adanya penciptaan
ulang ruang redaksi dan pengembangan definisi berita. Siapa yang akan
melakukan itu, dan apakah ia kemungkinan besar melibatkan beberapa
perusahan pers besar hari ini, tidaklah penting. Yang terpenting adalah
apakah mereka yang melakukannya akan memegang nilai itu. Tebakan
kami, meski ini hanya tebakan, adalah bahwa penciptaan ulang ini akan
datang dari tempat baru, kaum muda yang memahami teknologi, tetapi
setia pada nilai lama atau setidaknya gaya lama.
Itu mungkin bisa lebih dianggap sebagai harapan besar kami
ketimbang prediksi.
Seperti yang kami katakan pada permulaan buku ini, kami telah me-
lihat perubahan buruk sebelumnya di media. Perubahan yang kami sa-
rankan di sini tak lebih besar dari perubahan menuju kemunculan pers
independen di awal abad 19. Perubahan itu dipicu penemuan telegraf,
penurunan drastis harga kertas setelah Perang Sipil, gerakan reformasi,
dll. Perubahan yang kami ajukan ditujukan untuk memodernisasi jurnal-
isme dan secara bersamaan memelihara nilai pers abad 20 yang memang
layak dipertahankan.
210
EPILOG
Cara Baru untuk Mengetahui
CATATAN-CATATAN
1.��������������������������������������������
Bagaimana Kita Tahu Mana yang Bisa Dipercaya
1
Direkam di the Center for History and New Media, George Mason University
website, http://echo.gmu.edu/tmi
2
Ibid
3
Ibid
4
Peter Goldman et al., “In the Shadow of the Tower,” Newsweek, April 9,
1979, p.29
5
Arlie Schard et al. “Covering Three Mile Island,” Newsweek, April 16, 1979,
p.93
6
Walter Truett Anderson, All Connected Now: Life in the First Global Civiliza-
tion. Westview Press, Boulder, 2001.
1
Philip B. Meggs, A History of Grapich Design. John Wiley & Sons, 1998, hal.
58-69
2
Lester Faigley, “Print and Cultural Change,” www.cwrl.utexas.edu/-faig-
ley/work/material_literacy/print.html.
3
Morris Bishop, The Middle Age, Houghton Mifflin, Boston, 1996, hal.252
4
Beberapa kalangan terpelajar menyebut penulis karya tersebut sebagai
politisi, ketimbang wartawan. Dalam rangka mengumumkan kematian
Abraham Lincoln melalui secara lebih tepercaya dan menciptakan ketenan-
gan di negara yang tengah panik, Sekretaris Urusan Perang Edwin Stanton
mendiktekan materi berita koran seluruh dunia. Pengumumannya, ditu-
lis sebagai nota kepada pejabat pemerintah lain, mengandung nada dan
strukur fakta kuat, mulai dari kematian Lincoln, dilanjutkan dengan bukti
219
pendukung dan detil tambahan seputar apa yang akan terjadi selanjutnya.
David T.Z. Mindich, Just the Fact, New York University Press, 1998, p.73.
5
See It Now adalah program CBS yang diciptakan Edward R. Murrow dan
Fred W. Friendly6 Chris Anderson, “The Long Tail,” http://www.adtech-
blog.com/blog/detail/the-long-tail-has-destroyed-mass-media.
7
Project for Excellence in Journalism, State of the News Media, 2009, www.
journalism.org.
8
Matthew Hindman berpendapat sama dalam Mythof Digital Democracy,
Princeton University Press, 2008.
1
William Prochnau, “The Wary Cronicler who Inspired a Rebellion,” http://
www.aliciapatterson.org/APF1201/Prochnou/prochnau.rtf.
2
Wawancara dengan penulis, 29 April 2007.
3
Homer Bigart, Forward Positions: The War Correspondence of Homer Big-
art. University of Arkansas Press, 1991, pp. 192-195. Kisah aslinya, berjudul
“U.S. Copters Help in Vietnam Raid,” muncul di halaman muka New York
Times, 9 Maret 1962.
4
Wawancara dengan penulis, 29 April 2007.
5
Definisi kebenaran ini muncul di karya Howie Schneider pada program me-
lek berita di State University of New York di Stony Brook.
6
C. John Sommmerville, The News Revolution in England. Oxford University
Press, New York, 1996, hal.14.
7
John Lloyd, What the Media Are Doing to Our Politics, Constable & Robinson,
London, 2004. Hal. 144.
8
Bill Kovach and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism: What the
Newspeople Should Know and Public Should Expect. Three Rivers Press, New
York, 2007, hal. 38-39.
9
Ibid., hal. 36.
10
Reese Schonfeld, Me and Ted Against the World: The Unauthorized Story
of the Founding of CNN. HarperCollins, New York, 2001, hal. 5.
11
Wawancara dengan Tom Rosenstiel, 1990.
12
The Project for Excellence in Journalism pertama mengumumkan temuan
ini dan implikasinya di laporan tahunan State of the News Media, 2005, www.
journalism.org.
13
Meet the Press, 16 Agustus 2009.
14
Jawabannya, berdasarkan temuan ombudsman PBS Michael Getler, Armey
keliru. Medicare adalah program sukarela, dan seseorang bisa mundur tanpa
kena pinalti dalam kondisi yang sama. Namun Armey benar dalam kondisi
lain; mundur dari program ini bisa menyebabkan seseorang kehilangan hak
mendapat manfaat bulanan Jaring Pengaman Sosial.
220
15
Clark Hoyt, “The Public Editor: Reporting in Real Time,” New York Times,
8 Febuari 2009, hal.10
16
Deborah Tannen, The Argument Culture: Moving From Debate to Dialogue,
Random House, New York, 1998, hal 7, 20.
17
Kety Bachman, “Radio Head Rush,” Mediaweek, 11 Agustus 2003. Http://
www.mediaweek.com/mw/esearch/article_display.jsp?vnu_content_
id=1953833
18
Felix Gillette, “Hard Fall: What Happened to NBC?” New York Observer, 9
September 2008.
19
Committee of Concerned Journalists and the Pew Research Center for the
People and the Press, “Striking the Balance: Audience Interests, Bussiness
Pressure and Journalists’ Values,” Maret 1999, hal. 79. www.journalisme.org
and http://people-press.org.
1
Pada 2010, 28% media online menciptakan halaman berita yang biasa.
Project for Excellence in Journalism dan the Pew Internet and American
Life Project, “Understanding the Participatory News Consumer,” 1 Maret,
2010, http://www.journalism.org/analysis_report/how_people_use_news_and_
feel_about_news.
2
Dengan melayari situs berita sendiri, pilihan kita untuk mempelajari
sesuatu memiliki signifikansi besar terhadap persoalan apakah kita akan
terus-terusan memiliki pusat, meski virtual, ruang publik di komunitas
kita—dan organ pengetahuan yang sama. Ini menjadi salah satu yang kami
catat dalam buku The Elements of Journalism, bahwa berita secara tradis-
ional disediakan pada masyarakat. Ia membantu membentuk kosa-kata
umum, perangkat kepedulian dan pemahaman umum atas fakta dasar.
223
3
Project for Excellence in Journalism dan the Pew Internet dan American Life
Project, “Understanding the Participatory News Consumer,” 1 Maret 2010,
http://www.journalism.org/analisis_report/understanding_participatory_
news_consumer.
4
Kita bisa melihat pola sama ketika menanyakan berapa banyak situs berita
berbeda yang dikunjungi seseorang secara rutin. Kebanyakan orang (ham-
pir dua-pertiganya) tak mempunyai Web berita “favorit.” Namun, mereka
hanya mengunjungi sedikit situs yang dipercaya. Kebanyakan, jumlah situs
yang rutin dikunjungi kurang dari enam, dan hanya 3% yang secara reguler
mengunjungi lebih dari 10 situs.
5
Project for Excellence in Journalism, State of the News Media, 2010. “Nielsen
Analysis,” 15 Maret 2010, http://www.stateofthemedia.org/2010/special-
reports_nielsen.php.
6
Ibid. Rata-rata lama kunjungan pada situs ini hanya 2 menit.
7
Ibid.
8
Untuk diskusi lebih lengkap soal transparansi, lihat edisi kedua The Ele-
ments of Journalism.
9
Wawancara penulis dengan Michael Skoler, 23 Juli 2009.
10
Jay Rosen, “Citizen Journalism Expert Jay Rosen Answers Your
Questions,” 3 Oktober 2006, http://interviews.slashdot.org/article.
pl?sid=06/10/03/1427254.
11
Gary Kamiya, “Let Us Now Praise Editors,” 24 Juli, 2007, Salon.com, www.
salon.com/print/html?URL=opinion/kamiya/2007/07/24.
12
Pertanyaan tentang apa yang dilakukan ruang redaksi di buku ini berbeda
dari pertanyaan yang kami ajukan dalam The Elements of Journalisme ten-
tang tujuan jurnalisme. Di sana, kami mendefinisikan tujuan jurnalisme se-
bagai penyedia informasi yang diperlukan publik untuk bisa merdeka dan
mengatur diri sendiri.
225
226