Anda di halaman 1dari 8

pers UNJ

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - “Nanti diterima tidaknya orang melamar kerja keputusannya ditentukan
oleh mesin algoritma."

Pernyataan tersebut disampaikan oleh EKA TP Simanjuntak, praktisi dan pengamat pendidikan dari PT
Wacana Tata Akademika dalam seminar pendidikan nasional bertema, menggagas sistem pendidikan
nasional.

Selain Eka Simanjuntak, dalam seminar hari ke-2 itu, Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
selaku penyelenggara, menghadirkan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Prof Dr.Hafidz Abbas, Guru
Besar Universitas Pendidikan Indonesia, Prof Dr Nana Supriatna, dan Staf Ahli Menteri Pendidikan &
Kebudayaan bidang Hubungan Pusat & Daerah James Modouw.

Diskusi dipandu oleh Abdullah Taruna selaku moderator.

IKA UNJ mengundang keempat pembicara untuk membahas sejumlah permasalahan pendidikan
Indonesia yang kronis, serta permasalahan baru yang muncul sebagai dampak dari gelombang revolusi
industri 4.0.

“Revolusi Industri Generasi 4.0 itu sudah mulai menetrasi berbagai aspek kehidupan, dan tatanan sosial.
Dunia pendidikan nasional tidak memiliki pilihan selain merespon tantangan tersebut. Persoalan dunia
pendidikan yang sudah kronis, maupun yang muncul sebagai ekses dari terjangan gelombang Revolusi
Industri 4.0 sudah semestinya dipecahkan, “ Kata Ketua Umum IKA UNJ Juri Ardiantoro, menjelaskan
tujuan penyelenggaraan lomba artikel & seminar pendidikan nasional.

Adapun aneka persoalan tersebut, lanjut Juri Ardiantoro, di antaranya, permasalahan kompetensi guru
akses dan pemerataan pendidikan, kompetensi siswa dan bonus demografi, revitalisasi Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), standar kurikulum, format pendidikan untuk menjawab
tantangan revolusi industri 4.0, dan banyaknya pengangguran dari lulusan SMK karena tidak diterima
oleh dunia industri.

“Banyak orang bicara revolusi industri 4.0, tapi sedikit sekali yang memikirkan dampaknya,” kata Eka TP
Simanjuntak, praktisi dan pengamat pendidikan dari PT Wacana Tata Akademika.

Dampaknya bagi mereka yang saat ini baru masuk kuliah akuntansi, lanjut Eka, begitu lulus akan
menghadapi lapangan kerja berkurang.

Pekerjaan yang menggunakan fisik akan hilang. Jadi tidak ada yang bisa menjawab pekerjaan apa yang
akan muncul pada 2030,” kata Eka Simanjuntak menjelaskan banyaknya lapangan kerja yang hilang
karena dampak gelombang revolusi industri 4.0.

Eka Simanjuntak membenarkan bila terjangan gelombang revolusi industri berbasis teknologi informasi
generasi 4.0, telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan.

Sebut saja pemberlakuan gerbang tol elektronik jelas menggantikan petugas pintu jalan tol. Begitu pula
banyak toko direct selling tutup dan merumahkan tenaga kerja gara-gara kalah bersaing dengan toko
online.

Begitu pula menjelmanya gerai ritel aneka produk garmen menjadi toko online praktis membuat
perusahaan harus banyak merumahkan para penjaga toko yang jumlahnya massif.

Jumlah pekerjaan yang hilang kian meluas bakal terus terjadi akibat terjangan gelombang revolusi 4.0.

Munculnya permasalahan itu akan semakin diperparah di masa mendatang, tambah Eka, karena
diterima tidaknya seorang pelamar kerja tidak lagi ditentukan oleh manusia.

“Nanti diterima tidaknya orang yang melamar kerja keputusannya ditentukan oleh mesin algoritma,” kata
Eka.
Hal ini berarti, rekomendasi teman, kedekatan, atau kemampuan lobi seseorang, lanjut Eka, tidak akan
berpengaruh. Sebab keputusan diterima tidaknya pelamar kerja ditentukan oleh mesin algoritma.

Pertanyaannya, mampukah Kurikulum 2013 menjawab tantangan revolusi industri 4.0?

“Kurikulum 2013 kalau dievaluasi akan ditemukan bahwa kurikulum itu tidak dibutuhkan,” kata Eka
Simanjunta

Anak-anak sekolah dasar belum bisa memahami apa yang dibaca pada kelas IV SD. Penyebabnya karena
penyajian literasi kita jadul. Anak-anak lebih banyak diminta menyimak, dan menghafal,” ungkap Eka
Simanjuntak seraya mengingatkan pentingnya pengembangan logika berpikir anak.

Menurut Eka Simanjuntak, agar anak-anak SD memahami literasi kritis, maka penyajian literasinya tidak
boleh jadul. Sebaliknya, anak-anak harus diajarkan untuk membaca literasi, memahami literasi hingga ke
ranah psikomotoriknya.

“Ke depan pengetahuan itu tidak begitu dibutuhkan dibandingkan pengetahuan,” ungkap Eka
Simanjuntak.

Menjawab pertanyaan Nurul, mahasiswi S3 program elektro dari Universitas Negeri Malang (UM)
peserta lomba artikel pendidikan dari Unipma, yang menanyakan apa langkah-langkah yang harus
diambil LPTK untuk menghadapi tantangan gelombang Revolusi Industri 4.0, Eka Simanjuntak menjawab,
“Yang harus dilakukan adalah bagaimana mempersiapkan ilmu-ilmu baru secara cepat. “

Eka menambahkan, bahwa anak-anak milineal nantinya tidak mungkin mengikuti kuliah dengan jenjang
waktu bertahun-tahun seperti generasi sebelumnya. Sebab lapangan kerja bisa dalam waktu cepat
hilang.
“Anak-anak milenial di masa depan mungkin cukup belajar 6 bulan, tapi dalam waktu sesingkat itu bisa
mendapatkan pekerjaan secara cepat,” ungkap Eka Simanjuntak memperkirakan perubahan cepat
sebagai dampak gelombang Revolusi Industri 4.0.

Nihil Perbaikan 20 Persen Anggaran

Prof Dr Hafidz Abbas yang mengawali presentasi mencontohkan kesuksesan Malaysia dalam memajukan
pendidikan mereka.

“Malaysia sukses memperbaiki sistem pendidikannya karena bagi Malaysia education adalah persoalan
hidup mati. Lalu bagimana dengan Indonesia? Pendidikan di Indonesia terus terpuruk karena tidak
dianggap sebagai permasalahan hidup mati,” ungkap Hafidz.

Mantan Dirjen HAM di Departeman Hukum & HAM RI 2001-2006 itu kemudian menunjukkan sejumlah
indikator ketidakseriusan penanganan pendidikan di Indonesia.

Sejak Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan
pemberlakuan anggaran pendidikan sebesar 20 persen APBN, banyak pihak berharap kualitas lulusan
Indonesia meningkat tajam, setidaknya bila dibandingkan negara-negara Asia Tenggara.

"Dengan pemberlakuan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN ternyata pendidikan di Indonesia
masih terjelek di dunia,” ungkap Guru Besar UNJ, Hafidz Abbas.

Pernyataan Hafidz Abbas bukan tanpa dasar. Hafidz merujuk buku Bank Dunia berjudul Spending More
or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia (Belanja Lebih Banyak atau Belanja Lebih
Baik: Memperbaiki Pembiayaan Pendidikan di Indonesia).

Hasil Penelitian yang diluncurkan pada 14 Maret 2013 itu meneliti dampak pemberlakuan anggaran sejak
sepuluh tahun terakhir (2002 sampai dengan 2012).
Bank Dunia menyimpulkan, bahwa 20 persen APBN yang dibelanjakan untuk sektor pendidikan belum
membuahkan capaian pendidikan yang diharapkan.

Hingga 5 tahun sejak laporan itu diterbitkan, kualitas out put pendidikan Indonesia masih belum
beranjak naik.

Indikator SDM Indonesia yang memprihatinkan kembali dirilis pada 2018. Ranking Indonesia dalam
penilaian Programme for International Student Assesment (PISA), menempatkan kualitas SDM Indonesia
di urutan 62 dari 69 negara.

Dan Indonesia peringkatnya masih di bawah Vietnam negara yang baru belakangan memberlakukan
anggaran pendidikan 20 persen dari APBN.

Laporan keterpurukan itu sama buruknya dengan human capital index (indeks modal manusia) yang
dirilis World Bank pada tahun 2018.

Peringkat human capital Indonesia dibanding negara-negara Asia Tenggara berada di urutan bontot.

Berdasarkan laporan tahun 2013 itu, Bank Dunia kemudian merekomendasikan agar anggaran
pendidikan sebesar 20 persen dari APBN itu dibelanjakan secara tepat dan efektif untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dan capaian belajar.

Jadi bukan sebaliknya hanya mengeluarkan uang secara besar-besaran, tapi tidak tepat sasaran. Salah
satunya tercermin dari mubazirnya rasio guru dengan siswa.
“Rasio guru di Indonesia itu 1 berbanding 15 siswa, Jepang yang sukses rasio pendidikannya 1
berbanding 29, itu mendekati rasio ideal yaitu 1 berbanding 30,“ terang Hafidz.

Persoalan guru, lanjut Hafidz, adalah masalah pengadaan, penempatan, pengangkatan dan pembinaan.

“Anggaran Pendidikan 20 persen dari APBN hanya berdampak mengurangi beban kerja guru yang
rangkap,” tandas Hafidz.

Lain halnya dengan Prof Dr Nana Supriatna, M.Ed, Guru Besar UPI tersebut menawarkan pentingnya
penerapan pendidikan konsumen hijau untuk mengurangi dampak terjangan gelombang revolusi industri
4.0.

"Sebagai bangsa memang kita sudah merdeka, tapi sebagai konsumen kita belum merdeka. Buktinya
masyarakat kita hanya mengikuti dan mengonsumsi semua produk industri multinasional tanpa
memikirkan betapa produk-produk tersebut selain menguras uang rakyat Indonesia untuk dibawa ke
negeri asal Multi National Corporation, juga meninggalkan 7 juta ton sampah plastik, dan 3,5 juta ton
dari jumlah itu dibuang ke sungai,” kata Nana Supriatna.

Jadi tujuan dari pendidikan konsumen hijau itu, kata Nana, untuk membebaskan masyarakat sebagai
konsumen dari pengendalian pencitraan atau rekayasa kebutuhan produk oleh produsen.

“Jadi pendidikan green consumer itu membangun kesadaran agar konsumen ikut mengurangi sampah
plastik,” kata Nana.

Untuk mencapai tujuan itu, proses pembelajaran, dan materi ajarnya, tambah Nana, berorientasi
pencerdasan konsumen dalam membaca literasi.

Konsumen diajak memikirkan bagaimana pencitraan mengendalikan cara berpikir dan memompa hasrat
konsumsi produk perusahaan itu dibuat.
Proses pembelajaran itu diharapkan meningkatkan kecerdasan literasi masyarakat sehingga mampu
memupus hasrat berkonsumsi, dan semua konsumen dalam berbelanja produk dilakukan melalui
keputusan yang cerdas dan sehat.

Nana mencontohkan konsumsi tidak sehat itu seperti seorang narapidana korupsi saat ditangkap KPK,
salah satu harta yang disita adalah tas merk Hermes yang harganya ratusan juta.

Penumpukan sampah plastik air mineral, kata Nana, bukan hanya wujud ketidak-disiplinan dalam
membuang sampah melainkan juga ekses dari orientasi konsumsi yang dilakukan konsumen karena
pencitraan oleh produsen.

“Jutaan ton sampah dibuang ke laut, sampai berdampak matinya ikan paus yang menyimpan 7 kilogram
plastik di perutnya,” kata Guru Besar UPI.

Untuk menyadarkan dan mencerdaskan konsumen, Nana Supriatna berharap ke depan pendidikan
konsumen hijau bisa masuk ke semua mata pelajaran.

Sementara itu James Modouw menyampaikan, bahwa desentralisasi pendidikan telah membedakan
pendidikan Indonesia dibanding sebelum era reformasi. Sekarang urusan kebijakan pendidikan
merupakan kewenangan pusat.

“Urusan tekhnis pendidikan diserahkan kepada pemerintah daerah,” kata Staf Ahli Menteri Pendidikan &
Kebudayaan.

Sesuai dengan pembagian kewenangan itu, lanjut James Modouw, pemerintah provinsi harus
memikirkan tekhnis-tekhnis mengatasi dampak gelombang Revolusi Industri berbasis teknologi informasi
generasi 4.0.

Anda mungkin juga menyukai