Anda di halaman 1dari 3

Secangkir Kopi

Fitria Khairunnisa

Rintik hujan mulai mengguyur seisi Kota Malang sore itu, membuat gaduh mahasiswa
yang sibuk berlarian mencari tempat untuk berteduh, tak terkecuali aku dan temanku. Dari
tempatku bertededuh, bisa kulihat hiruk-pikuk kendaraan bermotor milik mahasiswa yang
berdesakan memilih untuk menerobos derasnya guyuran hujan. Pikiranku berkecamuk,
seberapa pentingkah urusan mereka, hingga tak sabar menunggu hujan reda dan memilih
membiarkan tubuhnya basah yang mungkin bisa membahayakan kesehatan dan keselamatan
mereka? Ah, sudahlah masa bodoh dengan mereka, pikirku.

Aku dan temanku memilih untuk diam di sebuah ruangan, membiarkan pikiran kami
berlabuh ke setiap titik permasalahan masing-masing. Ini adalah hujan pertama setelah
kemarau panjang berlalu dan semenjak aku meninggalkan kota kelahiranku dan memilih untuk
mewujudkan mimpiku di kota ini. Samar-samar aku mendengar beberapa mahasiswa di
sampingku sedang menggerutu mengutarakan betapa rindu mereka dengan keluarga dan daerah
asalnya. Sedang beberapa yang lain sedang mengeluhkan tugas kuliah mereka yang tak
kunjung usai. Aku dan temanku saling pandang, seulas senyum terukir di bibir kami mendengar
ocehan mereka. Memang tak dapat dipungkiri, tak ada tempat yang sama seperti rumah sendiri,
tempat dimana kita bisa merasakan hangatnya kasih sayang keluarga.

Hujan turun semakin deras, membuat siapapun enggan untuk beranjak dari tempat kami
berteduh. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling mencari tempat untuk mengistirahatkan
kakiku yang sudah lelah berdiri. Pandanganku terarah pada seorang remaja laki-laki yang saat
itu juga sedang berteduh bersama segerombol temannya. Dapat kulihat dari tempatku berdiri,
mereka sedang asik membicarakan sesuatu yang ku yakini adalah sesuatu hal yang lucu. Tawa
mereka menggema memenuhi seisi ruangan, tak menghiraukan tatapan orang-orang yang
tetuju ke arah mereka. Aku masih memusatkan tatapanku pada mereka, hingga pada akhirnya
seorang remaja laki-laki itu mendongakkan kepalanya. Mata kami bertemu, membuatku
terpaku sejenak sebelum akhirnya ku alihkan pandanganku menghindari tatapannya. Bisa ku
lihat dari ekor mataku, dia masih memandang ke arahku. Aku berusaha menormalkan degup
jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya,

“Udah reda nih, ayo!”, ucap temanku memecah keheneningan yang sedari tadi
melingkupi kami. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Baru saja kami melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu, hujan kembali turun
dengan derasnya. Aku mengangkat tanganku mencoba melindungi kepalaku dari guyuran
hujan, begitu juga yang temanku lakukan. Mau tak mau kami kembali ke tempat perteduhan
tadi sebelum baju kami basah kuyup. Namun sial, seberapa baik aku menghindari guyuran
hujan, tetap saja mampu membuat bajuku sedikit basah saat itu. Bisa kurasakan hawa dingin
mulai menusuk sampai ke tulang. Aku mengatupkan jemariku, menggosok-gosokkan kedua
telapak tanganku bermaksud memperoleh sedikit kehangatan. Ku edarkan pandanganku ke
sekeliling, lebih tepatnya ke arah meja di depanku. Dia masih tetap disana, setia mendengarkan
celotehan teman-temannya.

“Aku tinggal ke kamar mandi sebentar ya”, ucap temanku yang cukup membuatku
terkesiap.

“Mau ku temani?”, tawarku padanya. Ia menolak sembari menggelengkan kepalanya.

Entah sudah berapa kali aku menjengit melihat sekitar dan sesekali tengadah berharap
hujan segera reda. Ku istirahatkan tubuhku dengan duduk di tempat duduk yang kosong.
Kakiku sedikit pegal karena terlalu lama berdiri sejak tadi.

“Mau kopi? Mungkin bisa sedikit menghangatkan tubuhmu.”, ucap remaja laki-laki itu
tersenyum sembari meletakkan secangkir kopi di atas mejaku. Aku tertegun sejenak, suaranya
nyaris tak dapat tertangkap gendang telingaku. Tak lama ia pergi meninggalkan ruangan ini
bersama segerombol temannya. Ragaku serasa luruh, tubuhku terasa kaku, sedang jantungku
berdegup kencang. Apa mungkin aku telah jatuh cinta padanya? Kurasa terlalu dini
menyimpulkan hal itu, terlebih aku tak pernah mengenal dirinya sebelumnya.
Aku termasuk salah satu orang yang tak terlalu menyukai kopi. Mungkin sebagian
banyak anak muda sepertiku di zaman sekarang lebih suka menghabiskan waktu luangnya di
cafe hanya untuk sekedar menikmati kopi, tapi tidak denganku. Hampir semua kedai kopi yang
ku jumpai di kota ini dikunjungi oleh kalangan remaja sepertiku, bahkan mereka rela antri
hanya untuk mendapatkan secangkir kopi yang pahit. Dari sana aku jadi berpikir, sebegitu
spesial kah kopi bagi mereka?

Kupandangi secangkir kopi yang lelaki itu berikan padaku. Pikiranku ragu untuk
meminum atau membiarkannya saja. Kuraih cangkir kopi itu dan perlahan ku sesap sedikit.
Terasa manis walaupun rasa pahit dari kopi itu sendiri tetap terasa di lidahku. Tapi setidaknya
secangkir kopi itu sedikit bisa menghangatkan tubuhku, seperti yang ia katakan. Dari secangkir
kopi itu aku belajar bahwa pahit manis pada kopi ibarat getir dan indahnya hidup. Jika
disyukuri, perpaduan rasa keduanya malah terasa nikmat.

Lagi-lagi bibirku terkulum membentuk senyuman tatkala membayangkan senyum


lelaki itu padaku. Sebenarnya aku tak suka perasaan ini. Aku telah mencecapi segala rasa manis
dan pahit cinta sama seperti secangkir kopi yang saat ini sedang kusesap. Namun aku juga tak
bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa senyum lelaki itu mampu membuat semangatku
hari ini berapi-api layaknya temperatur yang mencapai batas tertinggi.

Lambaian tangan di depan wajahku menyadarkan lamunanku. Aku tak sadar kalau
temanku sudah cukup lama berada di depanku. Dahinya terlihat mengernyit melihat secangkir
kopi yang berada di tanganku, sedang kedua matanya seoalah mengisyaratkan untuk menuntut
penjelasan. Kuputar bola mataku kesal, kuceritakan apa yang terjadi walaupun ku yakini ia
sudah tahu sebelumnya. Dia tersenyum mendengar ceritaku dan berusaha menasehatiku,
mengingatkanku tentang arti cinta yang sebenarnya. Cinta yang didasari oleh kecintaan kepada
Rabb nya, bukan cinta yang diiringi nafsu dan keindahan sesaat. Bukan juga cinta yang
mengumbar janji-janji manis, kata-kata puitis, ataupun sikap romantis. Aku meringis
mendengarnya. Seoalah-olah benda tajam tengah menikam relung hatiku. Aku sungguh malu,
betapa bodohnya aku memikirkan suatu hal yang sia-sia terlebih pada seseorang yang baru ku
kenal. Namun aku tak ingin berbohong kalau aku tetap berharap suatu saat nanti kita akan
dipertemukan kembali walaupun hanya sekedar mengucapkan terimakasih atas secangkir kopi
yang ia berikan padaku sore itu.

*Sumber gambar : Ig @jana_maesiati

Anda mungkin juga menyukai