Anda di halaman 1dari 21

PANDUAN

MANAJEMEN NYERI
RUMAH SAKIT BALIMED BULELENG
TAHUN 2018

1
BAB I
DEFINISI

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya


kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional
yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan. (Internasional association for the
study of pain).
Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki
hubungan temporal dan kausal dengan adanya edera atau penyakit.
Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama, nyeri
kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering
kali tidak diketahui penyebabnya yang pasti.

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat.
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).Menurut International
Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang
tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan
yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa
yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan
bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri
dapat diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey &
Beebe, 1989 dikutip dari Betz & Sowden,2002)

BAB II
RUANG LINGKUP

2
Anamnesis

1. Riwayat penyakit sekarang


a. Onset nyeri : akut atau kronik, traumatic atau non-traumatik
b. Karakter dan derajat keparahan nyeri : nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar
tidak nyaman, kesemutan, neuralgia
c. Pola penjalaran / pola penyebaran nyeri
d. Durasi dan lokasi nyeri
e. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan, mual/muntah,
atau gangguan keseimbangan/control motorik
f. Faktor yang memperberat dan memperingan
g. Kronisitas
h. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respon terapi
i. Gangguan/kehilangan fungsi akibat nyeri/luka
j. Penggunaan alat bantu
k. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar (ativity
of daily living)
l. Singkirkan kemungkinan potensi emergeny pemedahan, seperti adanya raktur yang
tidak stabil, gejala neurologis progresif epat yang berhubungan dengan sindrom
kauda ekuina
2. Riwayat pembedahan/penyakit dahulu
3. Riwayat psiko-sosial
a. Riwayat konsumsi alcohol, merokok, atau narkotika
b. Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien
c. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri
d. Pembatasan/retriksi partisipasi pasien dalam aktivitas social uang berpotensi
menimbulkan stress. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya
e. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negative terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan
masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi/psikofarmaka
f. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stress bagi
pasien/keluarga
4. Riwayat pekerjaan
a. Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, sperti mengangkat benda
berat, membungkuk atau memutar, merupakan pekerjaan tersering yang
berhubungan dengan nyeri punggung
5. Obat-obatan dan alergi
a. Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu studi
menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi suplemen/herbal dan 36%
mengkonsumsi vitamin)

3
b. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektivitas dan efek
samping kognitif dan fisik
6. Riwayat keluarga
a. Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetic
7. Assemen system organ yang komprehensi
1. Evaluasi gejala kardiovaskuler, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi,
reumatologi, genetourinaria, endokrin, musuloskeletal
2. Gejala konstitusional : penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam,
dan sebagainya

BAB III
TATA LAKSANA NYERI

A. Assemen dapat menggunakan Numeric Rating Scale


1. Indikasi digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia >9 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang diraskannya
2. Instruksi : pasien akan ditanya mengenai imtensitas nyeri akan dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0-10. Bila ada nyeri tanyakan juga lokasi dan
durasinya
3. 0 = tidak nyeri
4. 1-3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
5. 4-6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
6. 7-10 = nyeri berat (tidak dapat melakuakan aktivitas sehari-hari)

B. Wong baker FACES Pain Sale

4
1. Indikasi : pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat menggambarkan
intensitas nyerinya dengan angka, gunakan assemen ini
2. Instruksi : petugas memilih gambar mana yang paling sesuai dengan ekspresi pasien.
Bila tampak nyeri tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri
a. 0-1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
b. 2-3 = sedikit nyeri
c. 4-5 = cukup nyeri
d. 6-7 = lumayan nyeri
e. 8-9 = sangat nyeri
f. 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

C. COMFORT Scale
1. Indikasi : pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat intensif/kamar operasi ruang
rawat inap yang tidak dapat dinilai menggunakan Numeric Rating Sale, Wong Baker,
FACES Pain Sale
2. Instruksi : terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki skor 1-5, dengan skor
total 9-45
a. Kewaspadaan
b. Ketenangan
c. Distress pernafasan
d. Menangis
e. Pergerakan
f. Tonus otot
g. Tegangan wajah
h. Tekanan darah basal
i. Denyut jantung basal

Kategori Skor Tanggal/Waktu


Kewaspadaan 1. Tidur pulas/nyenyak
2. Tidur kurang nyenyak
3. Gelisah
4. Sadar sepenuhnya dan waspada
5. Hipert alert
Ketenangan 1. Tenang

5
2. Agak cemas
3. Cemas
4. Sangat cemas
5. Panik
Distress 1. Tidak ada respirasi spontan dan tidak
Pernafasan
ada batuk
2. Respirasi spontan dengan
sedikit/tidak ada respon terhadap
ventilasi
3. Kadang-kadang batuk atau terdapat
tahanan terhadap ventilasi
4. Sering batuk, terdapat
tahanan/perlawanan terhadap
ventilator
5. Melawan secara akti terhadap
ventilator, batuk terus
menerus/tersedak
Menangis 1. Bernafas dengan tenang tidak
menangis
2. Terisak-isak
3. Meraung
4. Menangis
5. Berteriak
Pergerakan 1. Tidak ada pergerakan
2. Kadang-kadang bergerak perlahan
3. Sering bergerak perlahan
4. Pergerakan aktif/gelisah
5. Pergerakan aktif termasuk badan dan
kepala
Tonus otot 1. Otot relaks sepenuhnya, tidak ada
tonus otot
2. Penurunan tonus otot
3. Tonus otot normal
4. Peningkatan tonus otot dan leksi jari
tangan dan kaki
5. Kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari
tangan dan kaki
Tegangan 1. Otot wajah relaks sepenuhnya
2. Tonus otot wajah normal, tidak
Wajah
terlihat tegangan otot wajah yang
nyata
3. Tegangan beberapa otot wajah

6
terlihat nyata
4. Tegangan hamper di seluruh otot
wajah
5. Seluruh otot wajah tegang, meringis

Tekanan darah 1. Tekanan darah di bawah batas


basal normal
2. Tekanan darah berada di batas
normal secara konsisten
3. Peningkatan tekanan darah sesekali
≥ 15% di atas batas normal (1-3 kali
dalam observasi selama 2 menit)
4. Seringnya peningkatan tekanan
darah ≥ 15% diatas batas normal (>
3 kali dalam observasi selama 2
menit)
5. Peningkatan tekanan darah terus
menerus ≥ 15%

Denyut 1. Denyut jantung dibawah batas


jantung basal normal
2. Denyut jantung berada di batas
normal secara konsisten
3. Peningkatan denyut jantung sesekali
≥ 15% diatas batas normal (1-3 kali
dalam observasi selama 2 menit)
4. Seringnya peningkatan denyut
jantung ≥ 15% diatas batas normal
(> 3 kali dalam observasi 2 menit)
5. Peningkatan denyut jantung terus
menerus ≥ 15%
Skor total

D. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang
asesmen dan penangan nyeri dilakuakan saat pasien menunjukkan respon berupa
ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri

E. Asesmen ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam
dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:

7
1. Lakukan asesmen nyeri yang komperhensif setiap kali melakukan pemeriksaan
fisik pada pasien
2. Dilakukan pada : pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tata laksana nyeri,
setiap empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang menjalani
prosedur menyakitkan, sebelumnya transfer pasien, dan sebelum pasien pulang
dari Rumah Sakit
3. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang
setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obatan intravena
4. Pada nyeri akut/kronik lakukan asesmen ulang tiap 30 menit-jam stelah
pemberian obat nyeri

F. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai
menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis
bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca pembedahan, nyeri neuropatik)
1. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
1) Tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu tubuh
2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
3) Periksa apakah terdapat lesi/luka di kulit seperti jaringan parut akibat
operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
4) Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment),
atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema
b. Status mental
1) Nilai orientasi pasien
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera
3) Nilai kemampuan kognitif
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak
ada harapan atau cemas
c. Pemeriksaan nadi
1) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
2) Nilai dan catat pergerakan aktif semua nadi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris
3) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal
dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan
adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris
4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera
ligament
d. Pemeriksaan motorik
1) Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan
criteria di bawah ini :

8
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan
tekanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak/bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak
mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi), tidak
menghasilkan gerakan
0 Tidak terdapat kontrasi otot

e. Pemeriksaan sensorik
1) Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin
prick), getaran dan suhu
f. Pemeriksaan neurologis lainnya
1) Evaluasi nervus cranial I-XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri
wajah atau sevikal dan sakit kepala
2) Periksa refleksi otot, nilai adanya asimetris dan klorus untuk menetuskan
klonus membutuhkan kontraksi >4 otot

Reflex Segmen spinal


Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medical L5
Achilles S1

3) Nilai adanya flex babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan


lesi upper motor neuron)
4) Nilai gaya berjalan pasien dan identiikasi deficit serevelum dengan
melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari ke hidung, pergerakan
tumit ke tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan
(Romberg dan Romberg modifikasi)
g. Pemeriksaan khusus
1) Terdapat 5 tanda non organic pada pasien dengan gejala nyeri tetapi
tidak ditemukan etiologi seara anatomi. Pada beberapa pasien dengan
5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondrosis, hispteria dan
depresi
2) Kelima tanda ini adalah :
a) Distribusi nyeri superficial atau non anatomic
b) Gangguan sensorik atau motorik non anatomic

9
c) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
d) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes/pemeriksaan
nyeri
e) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat
gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda
(distraksi)
2. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
a. Membantu menarik penyebab nyeri akut/kronik pasien
b. Mengidentifikasi area persarafan/cedera otot okal atau difus yang
terkena
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan
dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi otot
d. Membantu menegakkan diagnosis
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan
respons terhadap terapi
f. Indikasi : keurigaan saraf terjepit, mono/poli neuropati, radikulopati
3. Pemeriksaan sensorik kuantitatif
a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri) : getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri) : tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi
4. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi
1) Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degenaratif tulang belakang
2) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,
penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular
3) Pasien dengan deficit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau
ereksi
4) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
5) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi : bergantung pada lokasi dan
karakteristik nyeri
a) Foto polos : untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan veterbra, spondiolistesis, spondilolisis, neoplasma)
b) MRI : gold standart dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi
dikus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi, ruang diskus,
keganasan, kompresi tulang belakang, infeksi)
c) CT-Scan : evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis
spinal
d) Radionuklida bone – scan : sangat bagus dalam mendektesi
perubahan metabolism tulang (mendektesi osteomyelitis dini, fraktur
kompresi yang keil/minimal, keganasan primer, metatastis tulang)
5. Asesmen psikologi

10
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan social, interaksi social

G. Farmakologi Obat Analgesik

1. Lidokain tempel (lidocaine patch) 5%


a. Berisi lidokain 5% (700mg)
b. Mekanisme kerja : memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal
c. Memberikan efek analgetik yang ukup baik ke jaringan local, tanpa adanya efek
anastesi (baal), bekerja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik
d. Indikasi : sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia pasca bahwa,
nyeri miofasial, osteoarthritis
e. Efek samping : iritasi kulit ringan pada tempat menempelkan lidokain
f. Dosis dan cara penggunaan : dapat memakai hingga 3 patcher di area paling
nyeri (kulit harus tidak boleh ada luka terbuka) dipakai selama < 12 jam dalam
periode 24 jam
2. Eutectie mixture of loal anesthetis (EMLA)
a. Mengandung lidokain 2,5 % dan prilokain 2,5%
b. Indikasi : anestesi topical genital untuk pembedahan minor superficial dan
sebagai pre-medikasi untuk anastesi infiltrasi
c. Mekanisme kerja : efek anastesi (baal) dengan memblok total kanal natrium saraf
sensorik
d. Omset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anastesi local
pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan mentap
selama 1-2 jam setelah kassa dilepas
e. Kontraindikasi ; methemoglobinemia idiopatik atau congenital
f. Dosis dan cara penggunaan : oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan
tutuplah dengan kassa oklusif

3. Paracetamol
a. Efek analgesic untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat dikombinasikan
dengan opioid untuk memperoleh efek analgesic yang lebih besar
b. Dosis : 10 mg/kg BB/kali dengan pemberian 3-4 sehari. Untuk dewasa dapat
diberikan dosis 3-4 kali 500mg perhari

4. Obat-obatan inflamasi non steroid (OAINS)


a. Efek analgesic pada neri akut dan kronik dengan intensitas ringan sedang anti
piretik
b. Kontraindikasi : pasien dengan triad franklin (polip hidung, angioedema, dan
urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid
c. Eek samping gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi renal, peningkatan
enzim hati

11
d. Ketorolac
e) Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parentral. Efektif untuk
nyeri sedang berat
f) Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan
opioid untuk mendapat efeksinergistik dan meminimalisasi efek samping opiod
(depresi pernafasan, sedasi, statis gastrointenstinal). Sangat baik untuk terapi
multi analgetik
5. Efek analgetik antidepresan
a. Mekanisme kerja : memblok pengambilan kembali norepinerin di serotonim
sehingga meningktakan efek neurotan suitter tersebut dan meningkatkan
aktivasi neuron inhibisa nosiseptif
b. Indikasi : nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca herpetik, cedera
saraf perifer, nyeri sentral)
c. Ontoh obat yang sering dipakai : amitriptilin, imipramine, despiramin : efek anti
nosiseptik perifer dosis 50-300 sekali sehari
6. Anti konvulsan
a. Carbanazepine efektif untuk nyeri neuropatik, efek samping somnolen,
gangguan berjalan, pusing. Dosis 400-1800 mg/hari (2-3 kali/hari) mulai
dengan dosis kecil (2x100 mg) ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif
b. Gabapentin
7. Antagonis kanal natrium
a. Indikasi : nyeri neuropatik dan pasca operasi
b. Lidokain : dosis 2mg/KG BB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 1-3
mg/kgBB/jam titrasi
c. Prokain : 4-6,6mg/kgBB/hari
8. Antagonis kanal kalsium
a. Ziconotide : merupakan antagonis kanal kalsium yang paling eektif sebagai
analgesik. Dosis 1-3 ug/hari. Efek samping : pusing, mual, nistagmus,
ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan
reversible jika dosis dikurangi atau dihentikan.
b. Nimodipin, verapamil : mengobati migraine dan sakit kepala kronik.
Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan esklasi
dosis morfin.
9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih paten dari pada OAINS oral, dengan efek
samping yang lebih sedikit/ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS.
b. Indikasi : efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas nyeri sedang (nyeri
kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawaan neuropati DM, fibromyalgia,
neuralgia paska-herpetik, nyeri pasca operasi)
c. Efek samping : pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi
d. Jalur pemberian : intravena/epidural, rectal, dan oral

12
e. Dosis tramadol oral 3-4 kali 50-100 mg/hari dosis maksimal 400 mg dalam 24
jam
f. Titrasi : terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama
digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk
terhadap pengobatan atau memiliki resiko tinggi jatuh.

Jadwal titrasi tramadol

Protocol Dosis Jadwal titrasi Direkomendasikan untuk


titrasi inisial
Titrasi 4x50 mg  2x50 mg selama 3 hari  Lanjut usia
selama 3  Naikkan menjadi  Resiko jatuh
 Sensitivitas medikasi
hari 3x50mg selama 3 hari
 Lanjutkan dengan
4x50mg
 Dapat dinaikkan sampai
terapai efek analgesic
yang diinginkan
Titrasi 16 4x25 mg  2x25mg selama 3 hari  Lanjut usia
hari selama 3  Naikkan menjadi  Resiko jatuh
 Sensitivitas medikasi
hari 3x25mg selama 3 hari
 Naikkan menjadi 4x
25mg selama 3 hari
 Naikkan menjadi
2x50mg dan 2x25mg
 Naikkan menjadi
4x50mg
 Dapat dinaikkan sampai
tercapai efek analgesic
yang diinginkan

10. Opioid
a. Merupakan analgesik paten (tergantung dosis) dan efeknya dapat ditiadakan
oleh nalokson
b. Contoh opioid yang sering digunakan morfin, sufentanil, meperidin
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap inividu, gunakan titrasi
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut
e. Efek samping :
1. Depresi pernafasan dapat terjadi pada :

13
 Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara infuse,
opioid long acting
 Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepine, anti histamine, anti emetic
tertentu)
 Adanya kondisi tertentu : gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia, gangguan
respirasi dan peningkatan tekanan intracranial
 Obstructive sleep apnea atau obstrucsi jalan nafas intermiten
2. Sedasi adalah indicator yang baik untuk memantau dengan menggunakan skor
sedasi yaitu :
 0 = sadar penuh
 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
 3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
 S : tidur normal
3. System saraf pusat
 Euforia, halusinasi, miosis, kekakuan otot
 Pemakaian MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan koma
4. Toksisitas metabolic
 Petidin (nopertidin) menimbulkan tremor, twitching, mioklunus
multifocal, kejang
 Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk
penatalaksanaan nyeri pasa bedah
 Pemberian morfin kronik menimbulkan gangguan fungsi ginjal
terutama pada pasien >70 tahun
5. Efek kardiovaskuler
 Tergantung jenis dosis, dan cara pemberian : status volume
intravascular serta level aktivitas simpatik
 Morfin menimbulkan vasodilatasi
 Petidin menimbulkan takikardi
6. Gastrointestinal : mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah : hidrasi
dan pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan
pasca bedah, atasi keemasan pasien, obat anti emetic

Kategori Metoklopra Dropram Ondansentr Proklorperazi


mid id on n Fenotiazin
Durasi(jam) 4 4-6(dosis 8-24 6
rendah)
24(dosis
tinggi)
Efek samping
1. Ektrapiramidal ++ - +
++
2. Anti kolinergik ++ - +
3. Sedasi - + -

14
g) + +

Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5


Frekuensi Tiap 4-6jam Tiap 4- Tiap 12 jam Tiap 6-8 jam
6jam
Jalur pemberian Oral,IV,IM IV,IM Oral, IV Oral IM

11. Pemberian oral


 Sama efektifnya dengan parentral pada dosis yang sesuai
 Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medical oral
12. Injeksi intramuscular
 Merupakan nite parentral standar yang sering digunakan
 Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektivitas penyerahan tidak dapat
diandalkan
 Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin
13. Injeksi subcutan
14. Injeksi intravena
 Pilihan parentral utama setelah pembedahan major
 Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian yang tidak sesuai dosis
 Terdapat resiko depresi pernafasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis
15. Injeksi supraspinal
 Lokasi mikroinjeksi terbaik : mesencephalic periaqueductal gray (PAG)
 Mekanisme kerja : memblok respon nosiseptif di otak
16. Injeksi perifer
 Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek
anastesi local (pada konsentrasi tinggi)
 Sering digunakan pada sendi lutut yang mengalami inflamasi

H. Manajemen Nyeri Akut

1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu


2. Lakukan assessment nyeri mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang
3. Lakukan mekanisme nyeri
a. Nyeri somatic
h) Nyeri diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan
nyeri melalui nosiseptor kulit
i) Karakteristik onset epat terlokalisasi dengan baikdan nyeri bersifat tajam
menusuk atau seperti tertikam
j) Contoh nyeri akibat laserasi sprain, fraktur dislokasi
b. Nyeri visceral

15
k) Nasiseptor viscaeral lebih sedikit dibandingkan somatic sehingga jika
terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi
bersifat difus, tumpul, seperti ditikam benda berat.
l) Penyebab iskemi nekrosis inflamasi peregangan ligament spasme otot
polos disertai organ berongga lumen.
m)Biasanya disertai dengan gejala otonomi sperti mual, muntah, hipotensi,
bradikaria, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik
n) Berasal dari edera jaringan saraf
o) Sifat nyeri rasa terbakar, nyeri mendalar kesemutan alodinia (nyeri saat
disentuh) hipergesia
p) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat edera
(sementara pada nyeri nosiseptif nyeri dialami pada tempat cideranya)
q) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis hernia
diskus AIDS pasien yang menjalani kemoterapi/radioterapi.
d. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya
a. Farmakologi gunakan step-ladder WHO :
r) OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang opioid efektif untuk nyeri
sedang-berat
s) Mulailah dengan pemberian OAINS/opioid lemah (langkah 1 dan 2)
dengan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien
t) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif/nyeri menjadi sedang berat, dapat
ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn
anlagesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1)
u) Penggunaan opioid harus dititrasi opioid standar yang sering
digunakan adalah morfin kodein
v) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolute OAINS dapat diberikan
opioid ringan
w) Jika fase nyeri akut telah terlewati lakukan pengurangan dosis seara
bertahap

I. Manajemen Nyeri Kronik

1. Lakukan anamnesis nyeri :


a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen
nyeri sebelumnya)
b. Pemeriksaan penunjang radiologi
c. Assesmen fungsional
x) Nilai aktivitas kebutuhan dasar (ADL), identifikasi keacatan/disabilitas
y) Buatlah tujuan fungsional spesifik dan renacan perawatan pasien

16
z) Nilai efektivitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
2. Tentukan mekanisme nyeri
a. Manajemen bergantung pada jenis klasifikasi nyerinya
b. Pasien sering mengalami 1 jenis nyeri
c. Terbagi menjadi 4 jenis :
 Nyeri neuropatik
aa) Disebabkan oleh kerusakan/disfungsi somatosensorik
bb) Contoh neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca herpetic
cc) Karakteristi nyeri persisten
dd) Fibromyalgia gatal, kaku, dan nyeri yang infuse pada musuloskletal
(bahu ekstermitas) nyeri berlangsung selama 3 bulan
 Nyeri otot
ee) Mengenai otot leher, bahu, lengan punggung bawah panggul dan
ekstermitas bawah
ff) Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1 jenis otot
gg) Biasanya munul akibat aktivitas yang repetitive
hh) Tatalaksana mengembalikan fungsi otot
 Nyeri inflamasi
 Nyeri mekanisme/ kompresi
3. Nyeri kronik yang persisten selama 6 minggu
4. Asesmen lainnya
5. Manajemen nyeri kronik

J. Manajemen Nyeri Pada Pediatrik

1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah sakit kepala kronik
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang berbeda terhadap
kerusakan jaringan yang sama atau sederajat
3. Neonates lebih sensitive terhadap stimulus nyeri
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatric
Alogaritma Manajemen Nyeri mendasar pada Pediatrik
a. Asesmen nyeri pada anak

 Nilai karakteristik nyeri


 Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
 Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosisptif dan
neuropatik
 Kajilah factor yang mempengaruhi nyeri pada anak

b. Diagnosis penyebab primer dan sekunder

 Komponen nosiseptif dan neiropatik yang ada saat ini


 Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada

17
 Pikirkan factor emosional kognitif dan perilaku

c. Pilih terapi yang sesuai

Obat Non obat


 Analgesic  Kognitif
 Analgesic adjuvant  Fisik
 Anatesi  Perilaku

d. Implementasi rencana manajemen nyeri

 Beri umpan balik mengenai penyebab yang mempengaruhi nyeri


kepada orang tua dan anak
 Berikan renana manajemen yang rasional dan terintegrasi
 Asesmen ulang nyeri pada anak seara rutin
 Revisi renana jika diperlukan

5. Pemberian analgesic
a. By the ladder pemberian analgesic secara bertahap sesuai dengan level nyeri
anak (ringan, sedang, berat)
b. Jika nyeri menetap dengan pemberian analgetik level 1 naikkan ke level 2
(pemberian analgesic lebih paten)
c. Pada yang mendapat terapi opioid pemberian paracetamol tetap
diaplikasikan sebagai analgetik adjuvant
d. Analgesic adjuvant
 Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri
tetapi dapat berefek analgesi dalam kondisi tertentu.
 Pada anak dengan nyeri neuropati dapat diberikan analgesic adjuvant
sebagai level 1.
 Analgesic adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi
nyeri neuropatik
ii) Analgesic multi tujuan antidepressant, agonis adrenergic alfa 2,
kortikosteroid, anastesi topical.
jj) Analgesic untuk nyeri neuropatik antidepressant, antikolvusan,
agonis, GARA, anastesi local
kk) Analgesic untuk nyeri musckoluskletal, relaksan otot,
benzodiazepine, inhibitor, osteoklas, radiofarmaka.
e. Analgesic dan anastesi regional : epidural atau spinal
f. Manajemen nyeri kronik

18
g. Berikut adalah table obat-obatan no-opioid yang sering digunakan untuk
anak
h. Panduan penggunaan opioid pada anak
i. Terapi alternative/tambahan
j. Terapi non obat
6. By the clock mengau pada waktu pemberian analgesi
7. By the hild
8. By the mounth
K. Manajemen Nyeri Pada Kelompok Usia Lanjut (Geriatri)
1. Lanjut usia (Lansia) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia >65 tahun
2. Pada lansia prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipat
dibandingkan dewasa muda
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah arthritis, kanker,
neuralgia, trigeminal, pasca-herpetik, reumatika dan penyakit degenerative.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri : sendi utama/penyangga tubuh, punggung
tungkai bawah dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang kurang buruk adalah
a. Kurangnya pelatihan dokter mengenai manajemen nyeri geriati
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Kewenangan dokter untuk meresepkan opioid
6. Assemen nyeri pada geriatric yang valid reliable, dan dapat diaplikasikan
menggunakan functional pain scale seperti dibawah ini :

Functional Pain Scale

Skala Keterangan
Nyeri
0 Tidak nyeri
1 Dapat toleransi (aktiitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktifitas sedikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,
menonton tv, membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon,
menonton tv, membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
Skor normal/ yang diinginkan : 0-2

7. Intervensi non farmakologi


a. Terapi terminal pemberian pendingin atau pemanasan di nosiseptif untuk
mengidentifikasi pelepasan opioid endogen
b. Stimulasi listrik pada sara trankutan/perkutan dan akupuntur

19
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi
e. Fisioterapi dan terapi okupasi
8. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan)
a. Ansiolitik
b. Opioid
c. Analgesic adjuvant
9. Resiko efek samping OAINS meningkat pada lansia insiden perdarahan
gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada lansia >65 tahun
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorsi,
distribusi metabolisme dan eleminasi
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesic, absorbs
sering tidak teratur karena danya penundaan waktu transit atau sindrom
malabsorbsi
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan
15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami konstipasi
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi alangesi antidepressant dan sedasi secara rutin harian)
17. Prinsip dasar terapi farmakologi mulailah dengan dosis rendah lalu naik
perlahan-lahan sehingga terapai dosis yang diinginkan
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan
19. Beberapa dosis yang sebaiknya tidak digunakan (hindari) pada lansia
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid sebelumnya harus diberikan
kombinasi preparat semua dan pelunak feses
21. Pemilihan analgesic menggunakan 3 step ladder WHO sama dengan OAINS
dan manjemen pada nyeri akut
a. Nyeri ringan analgesic non opioid
b. Nyeri sedang opioid minor dapat dikombinasi dengan OAINS dan analgesic
adjuvant
c. Nyeri berat opioid paten
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesic ini adalah penyesuaian dosis
dan hati-hati dalam pemberian obat kombinasi

20
BAB IV
DOKUMENTASI

Untuk assesmen nyeri tentang manajemen nyeri khususnya assesmen akan dilakukan
di ruang UGD, Rawat Inap, VK RS BaliMèd Karangasem didokumentasikan dalam formulir
yang sudah tersedia sesuai peruntukkannya yaitu di form asesmen yang disimpan di dalam
catatan rekam medis pasien.

21

Anda mungkin juga menyukai