Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

PERENCANAAN KOTA

“Mencari Materri Mengenai Historical City, Urban Sprawl dan Urban Renewal”

Disusun Oleh :

Aulia Ramadhani

F23117051

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS TADULAKO

TAHUN 2019
Historical City

Historical City atau kota sejarah adalah kota yang memiliki sejarah didalamnya baik
sejarah perkotaannya, tata ruang kotanya maupun peninggalan-peninggalan yang ada.
Dimana kota sejarah ini dapat di jadikan sebagai tempat wisata serta tempat pembelajaran
bagi orang-rang yang tinggal pada kota tersebut.

Ruang Lingkup Sejarah Kota

Kawasan perkotaan memiliki problem yang lebih kompleks dibandingkan dengan


kawasan pedesaan. Hal tersebut tentu saja mempengaruhi ruang lingkup pembahasan
mengenai sejarah kota. Pembahasan sejarah kota dapat dilakukan secara kronologis dengan
melakukan pembabakan atas perkembangan kota. Kota-kota yang terletak di negara yang
pernah dijajah, pembabakannya dapat dikaitkan dengan era kolonial. Secara umum
pembabakannya adalah sebagai berikut :

1. Era Kota Tradisional (Prakolonial)


Kota tradisional adalah perkembangan kota ketika berada di bawah kekuasaan
penguasa-penguasa lokal, seperti bupati dan raja, sebelum kedatangan bangsa penjajah. Pada
tataran budaya ditandai dengan penggunaan teknologi yang masih sederhana, ilmu
pengetahuan yang terbatas, serta sistem produksi yang masih didominasi oleh tenaga manusia
dan hewan.
2. Era Kota Kolonial
Kota kolonial adalah kota yang tumbuh dan berkembang dengan munculnya
kolonialisme Eropa di negara-negara dunia ketiga, terutama Asia dan Afrika. Pada masa ini
kota-kota berada di bawah kendali pemerintah kolonial atau pemerintah jajahan. Bentuk
fisiknya juga disesuaikan dengan kepentingan dan selera bangsa penjajah.
3. Era Kota Pascakolonial
Pada periode ini adalah kota yang telah ditinggalkan oleh bangsa penjajah. Kota-kota
kemudian dibangun sebisa mungkin meninggalkan ciri-ciri kota kolonial.

Kuntowijoyo juga mengemukakan ada lima ruang lingkup sejarah kota sebagai berkut :

1. Perkembangan ekologi kota. Ekologi kota ialah interaksi antara manusia dan alam
sekitarnya, dan perubahan ekologi terjadi apabila salah satu dari komponen itu
mengalami perubahan. Penggunaan tanah kota untuk berbagai keperluan telah
mengubah kedaan alamiah lahan ke dalam berbagai sektor, seperti pemukiman
penduduk, industri, dan pemerintahan.
2. Transformasi sosial ekonomi. Industrialisasi dan urbanisasi adalah bagian dari
perubahan sosial.
3. Sistem sosial. Kota sebagai sebuah sistem sosial menunjukkan kekayaan yang tidak
pernah habis sebagai bidang kajian.
4. Problem sosial. Perkembangan ekologi dapat menyebabkan berbagai permasalahan
sosial yang terjadi di kota, mulai dari kriminalitas, kepadatan penduduk, kemiskinan,
dan sebagainya.
5. Mobilitas sosial. Kota merupakan tujuan urbanisasi. Orang berbonding-
bondong mengadu nasib di kota. Mobilitas sosial ini telah mengubah banyak hal di
kota.

Asal-Usul dan Perkembangan Kota

Perkembangan kota selalu dikaitkan dengan pedesaan. Desa dianggap mewakili


masyarakat yang masih bersahaja, sedangkan kota dianggap mewakili masyarakat modern.
Hal tersebut membawa kita untuk berpikir atau bahkan yakin bahwa : pertama, setiap desa
akan berkembang menjadi kota, kota pun akan berkembang lewat tahapan-tahapan
perkembangan tertentu. Kedua, setiap kota merupakan hasil perkembangan dari suatu
desa. Ketiga, tahap-tahap perkembangan itu bersifat linear atau uniersal.

E.E. Bergel mengemukakan beberapa istilah berkaitan dengan perkembangan suatu wilayah
menjadi sebuah kota sebagai berikut :

a. Village (desa), diartikan sebagai tempat pemukiman para petani. Ciri utamanya adalah
tidak dominasi antara desa satu dengan yang lain.
b. Town (kota kecil), merupakan suatu pemukiman perkotaan yang mendominasi
lingkungan pedesaan.
c. City (kota besar), merupakan suatu pemukiman perkotaan yang mendominasi sebuah
kawasan baik pedesaan maupun perkotaan.
d. Metropolis (metro=hidup, polis=kota). Batasan metropolis semula didasarkan pada
jumlah penduduk, yaitu lebih dari 1.000.000. Kemudian batasan ini tidak digunakan
karena banyak kota yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 1.000.000.
Suatu tempat harus memenuhi persyaratan untuk menjadi sebuah kota. Menurut
Horton dan Hunt, ada tiga persyaratan agar suatu tempat dapat disebut kota. Pertama,
tersedianya air. Air merupakan kebutuhan pokok manusia. Sebab tanpa air manusia akan sulit
untuk hidup. Kedua, terjadinya surplus pangan. Hal ini sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan pangan warga kota. Ketiga, tersedianya infrastruktur transportasi. Hidup manusia
sangat tergantung satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu diperlukan transportasi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.

Di samping persyaratan di atas, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu


daerah berkembang menjadi sebuah kota. Dengan kata lain tidak semua tempat atau desa
bersahaja bisa begitu saja berubah menjadi kota. Beberapa faktor yang mendorong suatu
tempat berkembang menjadi sebuah kota antara lain : daerah pusat kegiatan agama, daerah
pusat pemerintahan, serta daerah pusat perdagangan dan industri.

Contoh Historical City (Kota Sejarah)

Salah satu contoh kota sejarah yang berada di pinggiran kota-kota besar di Jawa
seperti Surabaya tepatnya di pusat kota.

Pusat kota pada jaman pra kolonial di Jawa lebih mudah untuk ditengarai. Yang
dimaksud pusat kota pada jaman pra kolonial waktu itu adalah Keraton dan fasiltas
pendukungnya seperti alun-alun dan bangunan disekitarnya yang mendukung kekuasaan
penguasa atau raja. Meskipun pada awalnya pusat kota pesisir dan pedalaman mempunyai
pola pusat kota yang sama, tapi dalam perjalanan sejarah kota pesisir seperti Lasem, Gresik,
Juana dsb.nya menjadikan satu pusat pemerintahan (political domain) dan pusat perdagangan
(economical domain) menjadi ‘pusat kotanya’.

Pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah selalu berubah. Pada jaman kolonial pada
awalnya VOC, menjadikan townhall nya sebagai pusat kota pada kota- kota pesisir. Tapi
dalam perjalanan sejarah pada abad ke 18 sampai akhir abad ke 19, Belanda memakai elemen
pembentuk ruang kota pada jaman pra kolonial sebagai pusat kotanya. Yaitu alun-alun
beserta bangunan pendukungnya sebagai pusat kota dan sekaligus sebagai kontrol
administratif atas tanah jajahannya.

Pada awal abad ke 20 terjadi perubahan atas sistim pemerintahan di Hindia Belanda.
Perubahan ini akibat dari dikeluarkannya undang-undang desentralisasi th. 1903 dan
dilaksanakan pada th. 1905. Pada prinsipnya undang-undang ini memberi-kan kekuasaan
kepada kota-kota yang ditunjuk sebagai gemeente (kotamadya) untuk memerintah sendiri.
Perubahan ini membawa dampak pada perpindahan ‘pusat kota’ (terutama pada kota-kota
besar di Jawa seperti Malang, Bandung dan Surabaya) dari alun-alun ke daerah elit yang baru
yang dibangun oleh penguasa kolonial dengan bangunan kantor kotamadya nya yang menjadi
landmark kota.

Setelah kemerdekaan sampai tahun 1970 an tidak ada perubahan pada daerah yang
disebut sebagai pusat kota di Jawa. Tapi setelah th. 1980 an terjadi gejala pemekaran yang
tidak terkontrol pada kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Malang
dsb.nya, yang disinyalir oleh McGee (1991), sebagai akibat dari terjadinya proses pergeseran
fungsi ‘pusat kota’, dari pusat manufaktur menjadi pusat kegiatan jasa dan keuangan. Secara
fisik restrukturisasi ini ditandai dengan perubahan penggunaan lahan secara besar-besaran,
karena munculnya lokasi-lokasi industri ditepi kota yang kemudian disusul dengan
munculnya daerah perumahan baru. Sehingga terjadilah istilah mega urban pada kota-kota
seperti Surabaya (Gerbangker-tasusila) dan Semarang Kedungsepur).

Dari pembahasan tersebut rasanya tidak mungkin ada pusat kota tunggal pada kota-
kota besar di Jawa. Kecuali dipaksakan secara politis10. Tapi pada kota-kota Kabupaten alun-
alun dan bangunan sekitarnya masih mungkin untuk dikembangkan sebagai daerah pusat
kota. Dengan catatan bahwa pembangunan pusat kota tidak hanya penggunaan kembali dan
konservasi kawasan lama, tapi juga mencakup pembuatan desain baru dari bangunan dan
lingkungan sekitarnya, untuk memenuhi tuntutan kebutuhan baru. Terutama pada era abad ke
21 ini.

Urban Sprawl

Urban sprawl adalah suatu proses perubahan fungsi dari wilayah yang bernama
perdesaan menjadi wilayah perkotaan, yaitu suatu proses perluasan kegiatan perkotaan ke
wilayah pinggiran yang melimpah, dengan kata lain terjadi proses pengembangan
kenampakan fisik suatu perkotaan ke arah luar. Urban Sprawl merupakan salah satu bentuk
perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara vertikal
maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota.
Urban Sprawl atau biasa disebut dengan pemekaran kota yakni bentuk bertambah
luasnya kota yang disebabkan oleh bertambahnya perkembangan penduduk dan meningginya
arus urbanisasi pada suatu kota.

Karakteristik Urban Sprawl

Keberadaan sprawl ditandai dengan adanya beberapa perubahan pola guna lahan yang
terjadi secara serempak, seperti sebagai berikut :

a. Single-use zoning
Keadaan ini menunjukkan situasi dimana kawasan komersial, perumahan dan area
industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya, bidang besar
tanah digunakan sebagai penggunaan lahan tunggal yang saling terpisahkan, antara ruang
terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Sebagai hasilnya, lokasi dimana masyarakat
yang tinggal, bekerja, berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh, antara satu dan
yang lainnya, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit, dan bersepeda tidak dapat
digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil.
b. Low-densityzoning Sprawl
Mengonsumsi jauh lebih banyak penggunaan lahan perkapita dibandingkan
perkembangan kota tradisional, karena peraturan penzonaan seharusnya menyatakan bahwa
perkembangankota seharusnya berada dalam kepadatan penduduk yang rendah. Definisi yang
tepat mengenai kepadatan yang rendah ini relatif.
Dampak dari perkembangan kepadatan penduduk yang rendah ini mengalami
peningkatan secepat peningkatan populasi pula. Overall density is often lowered by "leap-
frog development".
c. Car-dependent communities
Area yang mengalami Urban sprawl biasa dikenali dengan tingkat penggunaan mobil
yang tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut dengan auto mobile
dependency. Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja membutuhkan mobil sebagai
akibat dari isolasi area dari zona perumahan dengan kawasan industri dan kawasan komersial.
Berjalan kaki dan metode transit lainnya tidak cocok untuk digunakan, karena banyak dari
area ini yang hanya memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi
pejalan kaki.
Proses Urban Sprawl
Menurut Yunus (2005), ditinjau dari prosesnya perkembangan spasial fisikal kota
dapat diidentifikasi, yaitu :
a. Secara horizontal : 1) Sentrifugal : proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke
arah luar dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah
pinggiran kota. Proses inilah yang memicu dan memacu bertambah luasnya areal
kekotaan. Makin cepat proses ini berjalan, makin cepat pula perkembangan kota secara
fisikal. Sedangkan, 2) Sentripetal : proses penambahan bangunan-bangunan kekotaan di
bagian dalam kota (pada lahan kosong/ruang terbuka kota).
b. Secara vertikal : Penambahan ruang kota dengan menambah jumlah lantai (bangunan
bertingkat).

Dampak Urban Sprawl Terhadap Lingkungan


Dampak langsung urban sprawl pada kualitas lingkungan yaitu :

1. Polusi Air
The Environmental Protection Administration (EPA) menyatakan bahwa 35% sungai
dan 45% danau tercemar dan tidak cukup bersih bagi ikan-ikan untuk hidup dana man
dikonsumsi oleh manusia. Walaupun beberapa polutan berasal dari pertanian dan industri,
beberapa sumber berasal dari kawasan sprawl. Jumlah kendaraan dan jalan menambah limbah
oli, bensin dan material jalan dan berkontribusi pada polusi air dan memengaruhi kese-hatan
publik.
2. Polusi Udara
Kehidupan pada wilayah sprawl membutuhkan tiga kali lebih banyak untuk
berkendara oada kawasan perko-taan berkepadatan tinggi. Sejak tingkat polutan dapat
memicu pendanaan jalan raya, wilayah seperti Atlanta mengubah kebijakan pembangunan
mereka. Kereta cepat dan moda transportasi massal lain dapat mengurangi polusi kendaraan.
Namun dengan absennya perencanaan kota, kawasan sprawl tidak akan berku-rang.
3. Dampak lainnya
Bertambahnya jarak tempuh, kece-patan dan semakin sedikitnya pedestri-an, tingkat
kecelakaan semakin mening-kan, terutama pada anak – anak dan orang tua. 59% kematian
pejalan kaki diakibatkan oleh ketiadaan pedestrian dan fasilitas penyeberangan jalan, sep-erti
kawasan sprawl. Efek lainnya dari kawasan sprawl adalah sulitnya akses ke rumah sakit /
klinik, fasilitas sosial, dan perbelanjaan karena mereka harus berkendara.
Contoh Kota Urban Sprawl

Salah satu contoh kota urban sprawl yaitu pada Kota Depok yang memiliki luas
wilayah sebesar 200.29 km², berlokasi dan berbatasan dengan bagian selatan Jakarta.
Demografi Depok semakin meningk-ta sejak tahun 1990 sejak salah satu universitas
berkembang pesat di sana. Kebanyakan masyaraka yang tinggal di Depo bekerja di Jakarta
dan setiap hari melakukan mobilisasi Jakarta-Depok dan sebaliknya. Area asli depok adalah
hutan dan pertanian dengan beberapa danau dan sungai. Namun kondisi alam tersebut
berubah menjadi kawasan perumahan.

Faktanya, kedua kota tidak terencana dengan baik sejak awal sehingga masyarakat
dan developer berlomba membangun rumah tanpa koordina-si dengan pemerintah. Fakta
lainn-ya adalah masyarakat Indonesia lebih menyukai tingal di rumah di atas tanah sehingga
kebutuhan lahan perumahan semakin meningkat. Masyarakat ada yang tidak mampu untuk
hidup pada perumahan layak karena mahal. Akibatnya, munculah kawasan penyangga,
kumuh, yang dihunin oleh masyarakat berekonomi lemah. Beberapa kejadian alam dan
bencana terjadi, seperti banjir, banjir rob, gempa bumi, dan kecelakaan.

Dampak urban sprawl menimbulkan banyak jalan dan jalan yang semakin panjang
karena komposisi fungsi lahan saling berjauhan untuk diakses dengan berjalan kaki. Semakin
banyak jalan artinya semakin banyak kendaraan. Kota menyediakan jalan untuk kendaraan.
Kota Depok mempunyai banyak transportasi publik namun kualitas transportasi publik
kurang banyak dan nyaman sehingga lebih banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan
pribadi. Kita bisa melihat peta emisi dunia yang menyebar di seluruh dunia, termasuk Kota
Depok mempunyai kadar emisi yang tinggi.

Fenomena yang terjadi pada urban sprawl adalah perkembangan lompatan (leapfrog)
yaitu lompatan perkembangan menciptakan ruang terbuang yang tidak digunakan dan
biasanya milik swasta sehingga tidak dapat diakses oleh publik. Area ini menjadi area
terbuang dan pengembang hanya peduli dengan keuntungan bukan kepentingan publik. Pada
Kota Depok, peran pemerintah masih lemah untuk memaksimalkan ruang di kota dan tegas
untuk mempertahankan daerah hijau. Di sisi lain, kualitas air di Kota Depok menjadi buruk
karena sumber air tidak bisa diambil dari sungai yang sudah tercemar.
Urban Renewal

Urban Renewal atau bisa disebut juga dengan peremajaan kota menurut Mohammad
Danisworo (1992) yaitu upaya penataan kembali suatu kawasan tertentu di dalam kota
dengan tujuan untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih memadai bagi kawasan tersebut
sesuai dengan potensi nilai ekonomi yang dimiliki oleh lahan kawasan tersebut.

Peremajaan Kota adakah sebuah u saha meremajakan suatu bagian wilayah kota atau
kawasan fungsional kota sebagai salah satu rangkaian pembangunan kota. Wilayah
atau kawasan yangdiremajakan dilihat sebagai sub sistem kota secara keseluruhan.
Peremajaan kota terbatas lingkupnya pada usaha peningkatan kualitas dan vitalitas
lingkungan fisik sedangkan pembaharuan kota menyangkut upaya menata kembali
berbagai segi kehidupan kota. Program peremajaan kota harus sesuai dengan
kebijaksanaan pembangunan kota secara keseluruhan.

Peremajaan kota dapat ditinjau dari 3 pengertian :

a. Sebagai suatu proses, diartikan sebagai pembangunan kembali bagian wilayah kota
dengan maksud untuk meningkatkan kualitas, kegunaan, kemanfaatan, kapasitas dan
vitalitasnya.
b. Sebagai suatu fungsi, diartikan sebagai kegiatan untuk menguasai, menata,
merehabilitasi atau membangun kembali suatu bagian wilayah kota yang
mengalami degradasi untuk menampung kegiatan-kegiatan penduduk yang
membutuhkan lebih banyak ruang.
c. Sebagai suatu program, diartikan sebagai bagian dari suatu kegiatan pelaksanaan
pembangunan kota yang terkoordinir dan terorganisir dengan meningkatkan
pembangunan sarana dan prasarana.

Tujuan Urban Renewal


a. Ekonomi : Pemanfaatan lahan sesuai dengan fungsi dan nilai yang tinggi.
b. Sosial : Memberi wadah bagi berlangsungnya interaksi sosial yang lebih baik.
c. Budaya : Memberi wadah bagi berlangsungnya transformasi budaya secara luas.
d. Fisik : Menciptakan lingkungan hidup yang nyaman dan menarik.
Pola Urban Renewal
a. Peremajaan Permukiman lama melalui KIP.
b. Peremajaan pada Prasarana Kota.
c. Membangun tanpa Menggusur.
d. Fungsi dan Pemanfaatan berubah total.
e. Renovasi bangunan dan Kawasan Lama
Pendekatan Urban Renewal
a. Perkembangan sosial kultural masyarakat.
b. Memanfaatkan sebanyak mungkin potensi yang ada.
c. Perkembangan mutu ekosistem.
d. Pengembangan mutu fasilitas.
e. Sustainable development.
Tipologi Peremajaan Kota
a. Rehabilitasi : Pada umumnya merupakan perbaikan kembali fungsi kawasan dengan
pembangunan sarana dan prasarana. Contoh : perbaikan kampung, perbaikan
lingkungan, perbaikan pusat perbelanjaan.
b. Renovasi : Umumnya hanya terbatas pada peningkatan struktur dan kualitas fisik
dengan tampilan bangunan yang tetap. Contoh : perbaikan bangunan-bangunan
bersejarah.
c. Preservasi : Upaya pelestarian struktur yang telah ada dengan cara memelihara dan
mengamankan. Contoh : pelestarian bangunan atau kawasan yang bernilai sejarah.
d. Konservasi : Upaya perlindungan dari kemungkinan kerusakan oleh alam maupun
manusia. Pada konservasi dimungkinkan untuk menghilangkan atau menambah
struktur demi menjaga keamanan dan kelatarian. Contoh : pengamanan tebing dala
kota, normalisasi das, penghutanan kota.
e. Gentrifikasi : Peningkatan fungsi sebagai kompensasi atau pengganti bagi suatu
bagian wilayah kota yang telah mengalami degradasi. Contoh : pembangunan rumah
susun.
Konsep Urban Renewal
a. Urban Catalysts : Suatu Konsep pembentukan fisik kota dari bangunan atau elemen
yang lebih kecil hingga suatu peremajaan lingkungan yang merupakan katalisator bagi
terbentuknya proses peningkatan atau pengembangan kualitas ruang kota
b. Zona Pengembangan Terpadu : Suatu Konsep yang berusaha mengintegrasikan proses
pembangunan kota yang mendukung secara konkret skenario dan arah pembangunan
Kota. Berupa Penanganan Pengelolaan Pembangunan dan Operasional Pasca Huni
untuk mencapai tujuan Pembangunan Kota yang Komprehensif dan terintegrasi.
c. Peremajaan Lingkungan Kota : Suatu Konsep dan strategi pembangunan kota untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan mengantisipasi proses ekologi perubahan
keruangan.

Contoh Kota Urban Renewal

Salah satu contoh kota Urban Renewal yaitu berupa peremajaan permukiman kumuh
yang berada di DKI Jakarta.

Peremajaan lingkungan kumuh menyangkut kesiapan lingkungan sosial dan


kelembagaan masyarakat. Pemecahan masalah lingkungan kumuh harus didasarkan atas
kondisi setempat yang spesifik dan pendekatan yang bersifat partisipatif. Keberhasialan
pemecahan masalah peremajaan permukiman kumuh harus mencakup aspek fisik dan non-
fisik. Masing-masing stake holder (penghuni, pemerintah, dan swasta) harus benar-benar
dilibatkan secara seimbang dalam pengambilan keputusan dan implementasi.

Pola peremajaan permukiman kumuh harus disesuaikan dengan karakteristik


penduduk dan daerah setempat . Pola relokasi dan penataan permukiman kumuh dengan
membangun rumah susun sederhana yang disewakan kepada penghuni lama lebih sesuai
untuk kasus status tanah ilegal, lokasi kurang strategis, pekerjaan penduduk berpindah, dan
daerah permukiman yang kecil. Pola Pembangunan rumah susun sederhana dan penghuni
lama diberi ganti rugi yang cukup untuk membayar uang muka KPR rusun tersebut lebih
sesuai untuk kasus status tanah legal, lokasi kurang strategis, pekerjaan penduduk tetap, dan
daerah permukiman yang besar. Pola pelibatan peran swasta untuk pembebasan tanah dan
pembangunan dari permukiman kumuh menjadi kawasan permukiman, pertokoan, dan
perkantoran dengan sistem subsidi silang lebih sesuai untuk kasus status tanah legal, lokasi
sangat strategis, pekerjaan penduduk tetap atau berpindah, dan daerah permukiman yang
besar.

Strategi implementasi peremajaan permukiman kumuh secara keseluruhan (untuk


semua alternatif diatas), pertama-tama harus memakai pendekatan pemberdayaan masyarakat
yang bersifat terarah/memihak (targeted), pertisipatif (participatory) dan bertumpu pada
kelompok (community based). Sejak awal masyarakat (penghuni setempat) harus sudah
dilibatkan dalam prosesnya dan dikembangkan aspirasinya. Hal ini untuk memberikan
pengertian pada masyarakat bahwa program ini adalah program mereka dan bukannya
program pemerintah. Bersamaan dengan itu pada setiap tahapnya harus dimasukkan unsur
edukasi dan sosialisasi tentang perlunya hidup yang bersih, sehat, dan teratur sehingga
tercipta pergeseran persepsi mengenai permukiman yang ideal.

Disamping itu seringkali terdapat interelasi komponen antar proyek dimana intervensi
teknik dan sosio-ekonomi harus disesuaikan secara mutual. Interelasi ini berada diluar
jangkauan organisasi pemerintah daerah, oleh sebab itu dibutuhkan perubahan perilaku
organisasi yang menuju pada konsep Strategic urban management. Pendekatan koordinatif
yang lebih bersifat wilayah (regional) lebih efektif dan efisien dari pada pendekatan yang
bersifat sektoral yang tumpang tindih.
Daftar Pustaka

Anonim. 2012. Urban Renewal. http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2013-1-


00811-AR%20Bab2001.pdf. (diakses pada tanggal 29 April 2019, pukul 20:08 wita).

Anonim 2. 2016. Sejarah Perkotaan. http://coret-coret27.blogspot.com/2016/01/sejarah-


perkotaan.html. (diakses pada tanggal 29 April 2019, pukul 20:56wita).

Damayanti, Rully. 2015. Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan Di
Jawa. http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/Pusat%20Kota.pdf. (diakses pada tanggal
29 April 2019, pukul 20:47 wita).

Desiyana, Irma. 2017. Urban Sprawl Dan Dampaknya Pada Kualitas Lingkungan: Studi
Kasus Di Dki Jakarta Dan Depok, Jawa Barat.
https://www.researchgate.net/publication/327648752_Urban_Sprawl_Dan_Dampaknya_Pada
_Kualitas_Lingkungan. (diakses pada tanggal 29 April 2019, pukul 17:35 wita).

Ghiffari, Rifqi. 2014. Urban Sprawl.


https://www.academia.edu/10150081/Urban_sprawl_definisi_dan_Konteks. (diakses pada
tanggal 29 April 2019, pukul 17:27 wita).

Anda mungkin juga menyukai