Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT &

FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS


UNIVERSITAS HASANUDDIN MARET 2019

REFERAT : POST TRAUMATIC STRESS DISORDER


LAPORAN KASUS : GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR EPISODE
KINI MANIK DENGAN GEJALA PSIKOTIK

Oleh:
Pahista Pamberiaski
C014182145

Residen Pembimbing:
dr. Veraferial M.

Pembimbing Supervisor:
dr. Ifa Tunisyah, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Pahista Pamberiaski


NIM : C014182145
Judul Referat : Post Traumatic Stress Disorder
Judul Laporan Kasus : Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Manik
dengan Gejala Psikotik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 15 Maret 2019

Mengetahui,

Pembimbing Supervisor Residen Pembimbing

dr. Ifa Tunisyah, Sp.KJ dr. Veraferial M.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Post

Traumatic Stress Disorder” dan laporan kasus yang berjudul “Gangguan Afektif

Bipolar Episode Kini Manik dengan Gejala Psikotik” Referat dan Laporan kasus ini di

susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun 2019.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ifa Tunisyah, Sp.KJ dan dr.

Veraferial M, Semua yang telah membimbing dan membantu penulis dalam

melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat

ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata

penulis berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang

ingin mengetahui tentang “Gangguan Kepribadian Paranoid, Skizoid, dan Anankastik”

Makassar, 15 Maret 2019

Penulis,
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

2.1 DEFINISI ............................................................................................................. 3

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENSI .................................................................. .4

2.3 ETIOLOGI ........................................................................................................... 5

2.4 MANIFESTASI KLINIS ..................................................................................... 8

2.5 KRITERIA DIAGNOSIS ..................................................................................... 9

2.6 DIAGNOSIS BANDING ................................................................................... 11

2.7 PENATALAKSANAAN ................................................................................... 11

2.8 PROGNOSIS ...................................................................................................... 20

KESIMPULAN .......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 23

LAPORAN KASUS ................................................................................................... 25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat

mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik yang terjadi, selalu

ada implikasi kesehatan jiwa ,baik dalam kasus akibat bencana alam,

misalnya gempa bumi, tsunami, angin ribut, atau pada bencana yang

diakibatkan oleh manusia, misalnya perang, serangan teroris, kekerasan

interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh setiap

orang tidaklah sama. Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat

diatasi dengan baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang

berkaitan dengan kecemasan, kompleksitas gangguan kecemasan ini

dikenal sebagai gangguan stres pasca trauma (Posttraumatic Stress

Disorder/ PTSD).

Menurut National Center for PTSD, lima juta anak di Amerika

Serikat terpapar dengan kejadian traumatik setiap tahunnya dan 36% di

antaranya mengalami gangguan stress pasca trauma. Semakin muda usia

anak yang mengalami trauma semakin besar kemungkinan berkembang

menjadi gangguan stress pasca trauma.

Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut data

dari klinik psikiatri RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat Rujukan

nasional untuk pengobatan psikis bagi korban bencana melihat makin

tingginya angka kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air belakangan ini.

Kondisi itu membuat prevalensi penderita gangguan stres pasca trauma

1
meningkat. Salah satu bencana alam yang terbesar yakni, tsunami di Aceh

yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan mengakibatkan sekitar

165.708 korban jiwa meninggal. Kejadian ini menyisakan duka yang

mendalam akibat ditinggalkan keluarga yang dicintainya.

Oleh karena semakin meningkatnya angka kejadian gangguan stress

pasca trauma tiap tahunnya, baik yang disebabkan oleh bencana alam

maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya kekerasan maka

gangguan stres pasca trauma merupakan suatu topik permasalahan yang

harus diperhatikan. Identifikasi trauma yang berisiko menjadi gangguan

stress pasca trauma merupakan komponen yang penting dalam mencegah

terjadinya gangguan mental ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Gangguan stress pascatrauma merupakan sindrom kecemasan,

labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang

amat pedih setelah stres fisik maupun emosi ynag melampaui batas

ketahanan orang biasa. Selain itu, gangguan stress pascatrauma (PTSD)

dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan

mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar,

atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang

mengancam kehidupannya7. Gangguan stress pasca trauma adalah reaksi

kuat,memanjang dan tertunda terhadap suatu peristiwa yang luar biasa

sehingga seseorang menderita stress atau kehilangan yang berat.

National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan

gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa

kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang

mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa

berupa serangan kekekerasan, bencana alam yang menimpa manusia,

kecelakaan ataupun perang. Dalam Diagnostic and Statistical Manual

of Mental Disorders, (DSM-V-TR), PTSD didefinisikan sebagai

suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau

disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau

3
ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas

fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan

ynag ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya. Menurut Departemen

Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma merupakan

reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari

pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan

luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.8

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENSI

Gangguan psikologis setelah mengalami peristiwa traumatik atau stres berat

seperti perang telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Pada tahun 1980,

American Psychiatric Assosiation mulai memperkenalkan gangguan jiwa yang

disebut sebagai gangguan stres pasca trauma (Post Traumatic Stress

Disorder/PTSD). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa kasus gangguan stres pasca trauma merupakan salah satu kasus psikiatri

yang cukup sering dijumpai.2

Gangguan stres pasca trauma memiliki prevalensi sekitar 8% pada populasi

umum. Prevalensi seumur hidup PTSD pada perempuan berkisar sekitar 10-

12%, sedangkan pada laki-laki berkisar 5-6%. Sebagian besar laki-laki dengan

gangguan ini pernah mengalami pengalaman pertempuran. Sedangkan pada

perempuan, peristiwa pencetus yang paling sering adalah serangan fisik atau

pemerkosaan.4

Prevalensi untuk gangguan stres pasca trauma ini sangat bervariasi dari

negara ke negara. Dalam suatu penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan

bahwa prevalensi sepanjang waktu untuk gangguan stres pasca trauma sekitar

4
6,4-8,0% pada populasi dewasa. Pada anak dan remaja juga berisiko untuk

mengalami gangguan stres pasca trauma, sesuai hasil dari National Survey of

Adolescents dengan data dari usia 12-17 tahun ditemukan bahwa 8% anak dan

remaja termasuk dalam kriteria diagnosis PTSD menurut DSM-IV.5

Di Indonesia sendiri belum terdapat angka kejadian yang pasti dari

gangguan stres pasca trauma. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Ciamis

pasca tsunami 8 bulan pada populasi dewasa menunjukkan angka terjadinya

gangguan stres pasca trauma sebesar 48,8%. Sedangkan pada suatu penelitian

anak dan remaja di Aceh Utara menunjukkan bahwa 8,94% dari total

mengalami gangguan jiwa dan gangguan stres pasca trauma menduduki

peringkat pertama dari gangguan jiwa yang dijumpai tersebut.2

2.3 ETIOLOGI

Seseorang dapat mengalami PTSD adalah akibat respon

terhadap suatu trauma yang ekstrem atau sebuah kejadian yang mengerikan

yang seseorang alami, saksikan, atau dipelajari, terutama yang mengancam

hidup atau yang menyebabkan penderitaan fisik. Pengalaman tersebut

menyebabkan seseorang merasakan takut yang sangat kuat, atau perasaan

tidak berdaya.

1. Stressor

Stressor yang menyebabkan stress akut dan PTSD cukup hebat

untuk mempengaruhi setiap orang. Stressor tersebut dapat timbul

dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan,

perkosaan, dan kecelakaan serius. Meskipun demikian, tidak semua

5
orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatik. Klinisi

harus mempertimbangkan faktor psikososial dan biologis yang

sebelumnya ada dan peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah

trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompokyang bertahan

hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma

karena anggota yang lainnya juga mengalami pengalaman yang

sama. Arti subjektif suatu stressor pada seseorang juga penting.

Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat mengalami rasa

bersalah yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.

2. Faktor Risiko

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahkan ketika

mengalami trauma yang hebat, sebagian besar orang tidak

mengalami gejala PTSD. National Comorbidity Study

menemukan bahwa 60% laki-laki dan 50% perempuan

mengalami sejumlah trauma yang signifikan tetapi prevalensi

PTSD yang dilaporkan hanya 6,7%. Demikian juga peristiwa

yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap sebagai

bencana besar bagi sebagian orang dapat menimbulkan PTSD

pada sejumlah orang lainnya.

Adapun faktor risiko yang berperan antara lain :

o Biologis

- Kerentanan genetik.

6
- Kepribadian “borderline”, paranoid,dependent atau

antisosial.

- Perempuan

o Psikososial

- Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-

anak).

- Perubahan hidup penuh stress yang baruterjadi.

- Sistem pendukung yang tidak adekuat(Dukungan

keluarga atau kelompok yang kurang).

- Konsumsi alkohol yang berlebihan.

3. Faktor Psikodinamik

Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma

mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang

tetapi tidak terselesaikan. Penghidupan kembali trauma masa

kanak-kanak dapat menimbulkan regresi, penyangkalan, reaction

formation, dan undoing. Konflik yang sebelumnya telah ada secara

simbolis dibangkitkan kembali oleh traumatik yang baru.

4. Faktor Perilaku Kognitif

Model kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang

mengalaminya tidak mampu memproses dan merasionalisasikan

trauma yang mencetuskan gangguan ini. Mereka terus mengalami

7
stress dan berupaya menghindari hal tersebut dengan teknik

penghindaran.

Model perilaku PTSD menekankan ada 2 fase, yang pertama adalah

trauma yang menimbulkan respon takut dengan stimulus yang

dipelajari. Yang kedua adalah melalui pembelajaran instrumental

melalui stimulus yang tidak dipelajari.

5. Faktor Biologis
Banyak sistem neurotransmitter yang terlibat dalam suatu teori biologis

PTSD yang berkembang dari studi praklinis pada model stres hewan .

Di dalam populasi klinis tersebut, data menyokong hipotesis bahwa

sistem noradrenergik dan opiat endogen hiperaktif pada sedikitnya

sejumlah pasien dengan PTSD.4

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon

maladaptive terhadap stress berat atau stress berkelanjutan dimana

mekanisme penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga

menimbulkan masalah dalam fungsi sosialnya. Gangguan ini terjadi

berminggu-minggu/berbulan- bulan setelah kejadian,awitan biasanya

dalam 6 bulan.

Gambaran klinis dari gangguan stres pasca trauma seringkali

diklasifikan dalam tiga gejala, yaitu gejala re-experience, gejala avoidance, dan

gejala hyperaurosal. Pertama; gejala re-experience yaitu berupa adanya

ingatan-ingatan kembali dari peristiwa traumatik yang pernah dialami

8
(flashback) serta mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai oleh mimpi

buruk. Kedua; gejala avoidance yaitu selalu dengan sengaja menghindari

berbagai situasi atau kondisi yang dapat mengingatkan adanya peristiwa

traumatik tersebut serta berkurangnya perhatian atau partisipasi dalam kegiatan

sehari-hari, merasa terasing dari orang lain, dan membatasi perasaan-

perasaannya. Ketiga; gejala hyperaurosal yaitu adanya kesadaran atau

kewaspadaan yang berlebihan, dengan gejala yang biasa dikeluhkan adalah

mengalami gangguan tidur atau insomnia, mudah marah dan meledak-ledak,

cemas yang persisten, dan sulit berkonsentrasi.1,2,10

Tetapi, kadangkala pada umumnya individu dengan gangguan stres

pasca trauma datang ke dokter tidak dengan keluhan di atas, tetaapi dengan

berupa gejala-gejala depresi, ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari

lingkungannya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat aditif lainnya,

serta berbagai keluhan fisik lainnya.2

2.5 KRITERIA DIAGNOSIS

Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada

bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik

yang luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan

apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi

waktu lebih dari 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak

didapatkan alternative lain yang memungkinkan dari gangguan ini.

Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan,

bayangan atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang.

9
Seringkali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan perasaan,

dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin akan mengingatkan

kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk

diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan

perilaku semuanya ,mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal

yang terlalu penting.

Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:

a. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun

waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang

berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai

melampaui 6 bulan).Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan

apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan

melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan

tidak terdapat alternative kategori gangguan lainnya.

b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan baying-bayang

atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-

ulang kembali (flashbacks)

c. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku

semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

d. Suatu “sequelae” manahun yang terjadi lambat setelah stress yang

luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma,

diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang

berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

10
Adapun kriteria diagnosis gangguan stres pasca trauma berdasarkan DSM 5

(309.81):

 Kriteria untuk orang dewasa, remaja, dan anak-anak yang berusia lebih dari

6 tahun

A. Telah terpapar suatu kejadian yang dapat mengancam jiwa,

menyebabkan kerusakan yang berat, atau kekerasan seksual dengan

salah satu (atau lebih) dari cara berikut:

1. Pemaparan peristiwa traumatik secara langsung

2. Menyaksikan secara langsung peristiwa traumatik itu pada orang

lain

3. Mengetahui bahwa peristiwa traumatik terjadi pada anggota

keluarga dekat atau teman dekat

4. Mengalami paparan berulang atau ekstrim terhadap detail

permusuhan pada peristiwa traumatik

Catatan: Kriteria A4 tidak berlaku pada paparan melalui media

elektronik, televisi, film, gambar, kecuali paparan ini terkait dengan

pekerjaan.

11
B. Terdapat satu (atau lebih) gejala terkait dengan peristiwa traumatik, yang

dimulai setelah peristiwa tersebut terjadi:

1. Ingatan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu

Catatan: Anak-anak yang berusia di atas 6 tahun mungkin

mengungkapkan gejala ini dalam permainan yang berulang-ulang.

2. Mimpi buruk yang berulang, di mana konten dan atau pengaruh

mimpinya terkait dengan peristiwa traumatik

Catatan: Anak-anak mungkin memiliki mimpi yang menakutkan

tanpa konten yang dikenali.

3. Reaksi disosiatif (flashback), dimana seseorang merasa seolah-olah

peristiwa traumatik itu berulang

Catatan: Anak-anak mungkin dapat mengaktifkan kembali kejadian

dalam permainan.

4. Paparan tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan

terhadap isyarat internal atau eksternal sebagai simbol aspek dari

peristiwa traumatik

5. Tanda reaktivitas fisiologis setelah terpapar rangsangan yang terkait

peristiwa traumatik

C. Penghindaran secara persisten rangsangan terkait dengan peristiwa

traumatik mulai setelah peristiwa traumatik terjadi, sebagaimana

dibuktikan oleh salah satu atau kedua hal berikut:

1. Penghindaran atau upaya untuk menghindari ingatan yang

mengganggu, pikiran atau perasaan tentang yang berkaitan erat

dengan peristiwa traumatik

12
2. Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal

yang membangkitkan ingatan yang mengganggu, pikiran atau

perasaan tentang yang berkaitan erat dengan peristiwa traumatik

D. Perubahan negatif pada kognisi dan suasana hati yang terkait dengan

peristiwa traumatik mulai atau memburuk setelah peristiwa traumatik

terjadi, terbukti dua atau lebih di bawah ini:

1. Ketidakmampuan mengingat aspek penting peristiwa traumatik

(biasanya amnesia disosiasi, dan bukan karena faktor cedera kepala,

alkohol, atau obat-obatan terlarang)

2. Keyakinan atau harapan negatif yang persisten dan berlebihan

tentang diri sendiri, yang lain, atau dunia

3. Kesadaran yang terus menerus dan berlebihan tentang penyebab atau

konsekuensi dari peristiwa traumatik tersebut yang membuat

individu itu menyalahkan dirinya sendiri atau yang lainnya

4. Keadaan emosional negatif yang persisten

5. Minat atau partisipasi yang sangat berkurang pada aktivitas yang

signifikan

6. Merasa terisolasi

7. Ketidakmampuan yang persisten untuk mengalami emosi yang

positif

E. Perubahan ditandai dalam gairah dan reaktivitas terkait dengan peristiwa

traumatik, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatik

terjadi, terbukti dua atau lebih di bawah ini:

1. Perilaku mudah marah

13
2. Perilaku berisiko atau merusak

3. Kewaspadaan tinggi

4. Reaksi terkejut yang berlebihan

5. Kesulitan berkonsentrasi

6. Gangguan tidur

F. Durasi gangguan (B, C, D, dan E) lebih dari 1 bulan

G. Gangguan tersebut menyebabkan distress yang signifikan atau

penurunan sosial, pekerjaan, atau daerah penting lainnya dari fungsi

H. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya

obat-obatan , alkohol) atau kondisi medis lainnya

Tentukan apakah:

Dengan gejala disosiatif: Gejala individu yang memenuhi kriteria gangguan

stres pasca trauma, dan selain itu, pada respons terhadap stresor, individu

mengalami gejala persisten atau berulang dari salah satu di bawah ini:

1. Depersonalisasi: Pengalaman yang terus-menerus atau berulang dari

perasaan yang terlepas dari diri sendiri dan sebagai pengamat luar, proses

mental atau tubuh seseorang

2. Derealisasi: Pengalaman yang terus-menerus atau berulang mengenai

ketidaknyataan daerah sekitar

Catatan: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif tidak boleh

dikaitkan dengan efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis lainnya.

14
Tentukan jika:

Dengan ekspresi tertunda: Jika kriteria diagnosis penuh tidak terpenuhi

setidaknya sampai 6 bulan setelah peristiwa traumatik, meskipun onset dan

beberapa gejala mungkin segera terjadi.

 Kriteria untuk anak-anak berusia 6 tahun ke bawah

A. Pada anak-anak berusia 6 tahun ke bawah, telah terpapar suatu kejadian

yang dapat mengancam jiwa, menyebabkan kerusakan yang berat, atau

kekerasan seksual dengan salah satu (atau lebih) dari cara berikut:

1. Pemaparan peristiwa traumatik secara langsung

2. Menyaksikan secara langsung peristiwa traumatik itu pada orang lain,

terutama pengasuh utamanya

Catatan: Kata menyaksikan yang dimaksud tidak termasuk peristiwa

yang disaksikan yang hanya melalui media elektronik, televisi, film,

atau gambar.

3. Mengetahui bahwa peristiwa traumatik terjadi pada orang tua atau

sosok pengasuhnya

B. Terdapat satu (atau lebih) gejala terkait dengan peristiwa traumatik, yang

dimulai setelah peristiwa tersebut terjadi:

1. Ingatan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu

Catatan: Ingatan yang spontan dan mengganggu mungkin tidak

selalu nampak menyedihkan dan dapat diekspresikan kembali

sebagai permainan.

2. Mimpi buruk yang berulang, di mana konten dan atau pengaruh

mimpinya terkait dengan peristiwa traumatik

15
Catatan: Mungkin tidak mungkin bahwa konten yang menakutkan

tersebut terkait dengan peristiwa traumatik.

3. Reaksi disosiatif (flashback), dimana seseorang merasa seolah-olah

peristiwa traumatik itu berulang.

4. Paparan tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan

terhadap isyarat internal atau eksternal sebagai simbol aspek dari

peristiwa traumatik

5. Tanda reaktivitas fisiologis yang mengingatkan terkait peristiwa

traumatik

C. Satu (atau lebih) gejala berikut, mewakili penghindaran persisten

rangsangan yang terkait dengan peristiwa traumatik, atau perubahan

negatif pada kognisi, dan suasana perasaan yang terkait dengan

peristiwa traumatik, harus menunjukkan, dimulai setelah peristiwa atau

memburuk setelah peristiwa:

Penghindaran stimulus yang persisten

1. Penghindaran atau upaya untuk menghindari kegiatan, tempat, atau

pengingat fisik yang membangkitkan ingatan akan peristiwa

traumatik

2. Penghindaran atau upaya untuk menghindari orang, percakapan,

atau situasi antarpribadi yang membangkitkan ingatan akan

peristiwa traumatik

Perubahan negatif pada kognisi

3. Secara substansial meningkatkan frekuensi keadaan emosional

negatif

16
4. Minat atau partisipasi yang sangat berkurang pada aktivitas yang

signifikan, termasuk hambatan bermain

5. Perilaku yang ditarik secara sosial

6. Pengurangan yang terus-menerus dalam ekspresi emosional positif

D. Perubahan ditandai dalam gairah dan reaktivitas terkait dengan

peristiwa traumatik, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa

traumatik terjadi, terbukti dua atau lebih di bawah ini:

1. Perilaku mudah marah

2. Kewaspadaan tinggi

3. Reaksi terkejut yang berlebihan

4. Kesulitan berkonsentrasi

5. Gangguan tidur

E. Durasi gangguan lebih dari 1 bulan

F. Gangguan tersebut mengakibatkan gejala klinis yang signifikan atau

gangguan dalam hubungan dengan orang tua, saudara kandung, teman

sebaya, atau pengasuh lainnya dengan perilaku sekolah

G. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya

obat-obatan , alkohol) atau kondisi medis lainnya

Tentukan apakah:

Dengan gejala disosiatif: Gejala individu yang memenuhi kriteria

gangguan stres pasca trauma, individu mengalami gejala persisten atau

berulang dari salah satu di bawah ini:

17
1. Depersonalisasi: Pengalaman yang terus-menerus atau berulang dari

perasaan yang terlepas dari diri sendiri dan sebagai pengamat luar,

proses mental atau tubuh seseorang

2. Derealisasi: Pengalaman yang terus-menerus atau berulang mengenai

ketidaknyataan daerah sekitar

Catatan: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif tidak boleh

dikaitkan dengan efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis lainnya.

Tentukan jika:

Dengan ekspresi tertunda: Jika kriteria diagnosis penuh tidak

terpenuhi setidaknya sampai 6 bulan setelah peristiwa traumatik,

meskipun onset dan beberapa gejala mungkin segera terjadi.7

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Pertimbangan utama dalam diagnosis gangguan stres pasca trauma

adalah kemungkinan bahwa pasien juga menderita cedera kepala selama

trauma. Pertimbangan organik yang lain yang dapat menyebabkan dan

meperberat gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan

gangguan terkait zat lain. Gangguan stres pasca trauma memang terkadang

salah didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain, seperti halnya gangguan

kepribadian ambang dapat sulit dibedakan dengan gangguan stres pasca

trauma. Selain itu, dapat pula didiagnosis banding dengan gangguan

disosiatif, namun biasanya pada pasien dengan gangguan disosiatif tidak

memiliki derajat perilaku menghindar, hyperaurosal autonom, atau riwayat

trauma seperti yang dimiliki pasien gangguan stres pasca trauma.4

18
2.7 PENATALAKSANAAN

Tatalaksana gangguan stres pasca trauma diharapkan dalam bentuk

yang komprehensif, meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta

edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan

juga modifikasi pola hidup. Dukungan psikososial dibutuhkan untuk

mengurangi berbagai stigma negatif yang mungkin muncul akibat dari

diagnosis gangguan stres pasca trauma. Berbagai teknik untuk meredakan

kecemasan seperti relaksasi, teknik-tenik mengatur pernapasan. Modifikasi

pola hidup sepeti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol,

rokok, dan obat-obatan.2

1. Farmakoterapi

 Pemberian antidepresaan golongan SSRI (penghambat selektif dari

ambilan serotonin/SSRI), seperti contohnya adalah Fluoxetin 10-60

mg/hari, setralin 50-200 mg/hari, atau fluoxamine 50-300 mg/hari.

 Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amitriptilin 50-

300 mg/hari dan juga imipramin 50-300 mg/hari.

 Obat lain yang dapat berguna pada gangguan stres pasca trauma adalah

antikonvulsan yaitu karbamazepin atau valproat, agen antiadrenergik

yaitu klonidin dan propranolol, antianxietas yaitu golongan

benzodiazepin seperti klonazepam dan alprazolam, juga golongan

nonbenzodiazepin yaitu buspiron. Serta disiapkan pula antipsikotik

untuk kontrol jika terdapat gejala psikotik atau agitasi yang berat.2,4

2. Psikoterapi

19
Intervensi psikoterapeutik gangguan stres pasca trauma

mencakup terapi perilaku atau terapi paparan, dan terapi kognitif.

Terapi kognitif, jenis terapi dengan membantu mengenali cara berpikir

(pola kognitif) seseorang. Dalam pengobatan gangguan stres pasca

trauma, terapi kognitif sering digunakan bersama dengan terapi

perilaku. Terapi perilaku atau terapi paparan, teknik terapi dengan

membantu secara aman menghadapi hal yang sangat menakutkan yang

dialami seseorang dan belajar utnuk mengatasinya dengan efektif.

Pendekatan baru pada terapi paparan ini menggunakan program Virtual

Reality. Teknik psikoterapi lainnya yang relatif baru dan kontroversial

adalah eye movement desenzitation and reprocessing (EMDR).4

Berdasarkan rekomendasi dari The Aspect Consensus Panels

for PTSD, tatalaksana gangguan stres pasca trauma sebaiknya

mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini:

1. Gangguan stres pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik

dan berulang serta sering berkomorbitas dengan gangguan jiwa serius

lainnya

2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan

serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama

3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan

Terapi paparan merupakan terapi dengan pendekatan psikososial

terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.2

20
2.8 PROGNOSIS

Gangguan stres pasca trauma biasanya timbul beberapa waktu

setelah trauma. Penundaan dapat selama 1 pekan atau hingga 30 tahun.

Gejala dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi paling intens

selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan pulih

sempurna, 40% akan terus memiliki gejala ringan, 20% akan terus

memiliki gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau bertambah

buruk. Prognosis yang baik diperkirakan dengan adanya awitan gejala

cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik,

dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri lain, medis,

faktor risiko, atau gangguan terkait zat lainnya. Umumnya, orang yang

sangat muda dan sangat tua lebih memiliki kesulitan dengan peristiwa

traumatik daripada orang dengan usia pertengahan.4

21
BAB III

KESIMPULAN

Post traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan

yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau

disaksikan oleh seseorang baik acaman kematian, kematian, cidera fisik

yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya

hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila

tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang

menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan

kepribadian.

Identifikasi pada anak yang mengalami trauma dan berisiko

menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang

penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi akibat adanya

kejadian traumatik dan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang

berperan antara lain: faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan

faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadi gangguan ini.

Tanda dan gejala penderita PTSD secara umum dapat dibagi menjadi

tiga yakni: mengalami kembali kejadian trauma, menghindari stimulus,

dan gejala hiperarousal. Pada anak dan remaja gejala dan tanda ini dapat

dibagi lagi menurut kelompok umur. Pada anak yang mengalami

gangguan stress pasca trauma sebaiknya dilakukan evaluasi psikologis

terlebih dahulu. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi

22
pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan

menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi.Hasil pengobatan akan

lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai

penanganan yang holistik dan komprehensif.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Masril, D. 2012. Konseling Post Traumatic Stress Disorder dengan

Pendekatan “Terapi Realitas”. Prosiding International Seminar &

Workshop Post Traumatic Counseling di STAIN Batusangkar. p184-192

2. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga. 2017. Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. p308-317

3. Amin, MK. 2017. Post Traumatic Stress Disorders Pasca Bencana:

Literature Review. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Magelang. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad Vol. X No. 1. p67-73

4. Sadock, BJ., Sadock, VA. 2015. Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry:

Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Wolter Kluwer, Philadephia, Pa.

p252-259

5. Tasman, A., Kay, J., Lieberman, JA., et al. 2015. Psychiatry Fourth Edition

Volume 1. USA. p1142-1157

6. Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan

Ringkasan dari PPDGJ III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika

Atmajaya: Jakarta. p79

7. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical

Manual Of Mental Disorders Fifth Edition DSM-5TM. American Psychiatric

Publishing: Washington DC. p271-280

8. Nawangsih, E. 2014. Play Therapy Untuk Anak-anak Korban Bencana

Alam yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).

Jurnal Ilmiah Psikologi Vol. 1, No.2. Universitas Islam Bandung. p166

24
9. Tentama, F. 2014. Dukungan Sosial dan Pst Traumatic Stress Disorder

pada Remaja Penyintas Gunung Merapi. Fakultas Kedokteran Universitas

Ahmad Dahlan, Yogyakarta. p134

10. Wahyuni, H. 2016. Faktor Risiko Gangguan Stress Pasca Trauma pada

Anak Korban Pelecehan Seksual. Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. X, No.

1. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

25
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. AN
No. RM : 00793982
Umur : 23 tahun (01 Januari 1996)
Agama : Islam
Suku : Bugis
Status Pernikahan : Belum menikah
Pendidikan Terakhir : S1
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. Belawa, Wajo
Masuk Poli Klinik Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Sulawesi Selatan untuk
kedua kalinya pada tanggal 21 Februari 2019, diantar oleh ibu dan keluarga
pasien. Dan di rawat inap di perawatan pakis pada tanggal 21 Februari 2019.

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Diperoleh dari catatan medis, autoanamnesis, dan alloanamnesis dari:
1. Nama : Ny. C
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Belawa
Hubungan dengan pasien : Ibu pasien

A. Keluhan Utama
Mengamuk

B. Riwayat Gangguan Sekarang


Pasien perempuan usia 23 tahun, datang diantar oleh ibu dan saudara
pasien, masuk rsws untuk kedua kalinya. Pasien menolak makan, hanya sedikit

26
dikasih tidak mau, hanya mau ambil sendiri. Pasien juga tidak mau minum obat
selama ± 3 hari terakhir, dipaksa untuk minum obat. Pasien tidur malam
terganggu selama ± 4 hari ini, mengaji atau bicara-bicara sendiri. Jika ditanya
pasien mengamuk dan marah dengan melempar barang. Dua hari yang lalu
pasien melempar durian dan menangkapnya sendiri sehingga tangannya luka.
Pasien dipanggil makan durian tapi tidak mau, sewaktu keluarga makan pasien
tersinggung dan marah.
Awal perubahan perilaku sewaktu SMP, pasien sering menangis tiba-tiba,
diakui keluarga tidak ada teman yang jahat. Keluarga tidak membawa berobat,
hanya 1 minggu sembuh sendiri. Sebelum sakit pasien cenderung pendiam dan
pemalu tapi aktif bergaul di sekolahnya.
Pertama dirawat di pakis, sewaktu kuliah (KKN), tahun 2017 pasien
mengamuk dan menangis. Pasien memukul dinding, melempar barang juga,
marah-marah, mudah tersinggung, dirawat ± 18 hari. Pulang dalam keadaan
baik, pasien sudah 1 tahun tidak minum obat karena sudah merasa sembuh pasien
selalu rutin kontrol poli jiwa. Tanggal 21 januari 2019. Pasien kembali kontrol
di poli, setelah 4 bulan tidak kontrol karena ibu merasa pasien kambuh dan suka
marah-marah.
Saat ini pasien tinggal di rumah, bersama ibu. Bapak meninggal sewaktu
SMA dan menurut pengakuan ibu, pasien terguncang. Pasien anak bungsu dari
6 bersaudara (L,L,L,L,L,P). Anak kedua dan keempat telah meninggal, ketiga
saudara sudah berkeluarga dan tinggal terpisah dan berjauhan. Pasien belum
menikah pasien tamat S1 jurusan biologi di UNM, lulus 2017 (selama 4 tahun 6
bulan) setelah dirawat di pakis, lulus kedua di angkatannya. Sejak SD, SMP,
SMA selalu ranking 1-2. Sekolah SMP hanya 2 tahun (akselerasi di SMA
unggulan Sengkang). Kadang bantu keluarga menjual di Sengkang dan
hubungan dengan keluarga diakui baik.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya


1. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ditemukan adanya riwayat infeksi, trauma, riwayat kejang
demam sampai usia 3-4 tahun.

27
2. Riwayat Penggunaan NAPZA
Tidak ada riwayat penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif sebelumnya.
3. Riwayat Gangguan Psikiatrik Sebelumnya
Pasien pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya.

D. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir normal di rumahnya ditolong oleh bidan pada tanggal 01
Januari 1996. Berat badan lahir dan panjang badan tidak diketahui. Tidak
ditemukan cacat lahir maupun kelainan bawaan. Selama kehamilan, keadaan
ibu pasien tidak diketahui. Tidak ada penyalahgunaan alkohol dan obat-
obatan selama kehamilannya.

2. Riwayat Masa Kanak Awal (Usia 1-3 tahun)


Sejak lahir pasien diasuh oleh kedua orang tuanya. Pasien diberikan
ASI hingga waktu yang tidak diketahui. Perkembangan pasien sama dengan
perkembangan anak-anak pada umumnya. Ibu pasien tidak mengingat umur
anaknya saat mampu berbicara dan berjalan.

3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (Usia 4-11 tahun)


Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Pertumbuhan dan
perkembangan pasien normal dan juga mengikuti pendidikan sekolah dasar.

4. Riwayat Masa Kanak Akhir (Usia 12-14 tahun)


Pasien termasuk anak yang cerdas di sekolah. Pasien menghabiskan
waktu dengan bersekolah sambil membantu ibu di rumah

5. Riwayat Masa Remaja (Usia 15-18 tahun)


Saat masa ini, pasien aktif bersekolah hingga jenjang SMA dengan
masa sekolah 2 tahun

28
6. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pekerjaan
Setelah pasien tamat pendidik Strata-1 pasien membantu kakak
yang berjualan di Sengkang. Sempat mendaftar pendidikan S2 dan
menjadi pengajar sebuah sekolah di Maros.
b. Riwayat Pernikahan
Pasien belum menikah
c. Riwayat Agama
Pasien memeluk agama Islam dan menjalankan ibadahnya dengan
baik.
d. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum sebelumnya.
e. Aktivitas Sosial
Pasien sering berkumpul dengan teman-temannya, namun
cenderung pendiam dan pemalu..

7. Riwayat Keluarga
Pasien anak bungsu dari 6 bersaudara (♂,♂,♂,♂,♂,♀) → (anak ke-2
telah meninggal ketika usia 4 bulan dan anak ke-4 ketika usia 4 tahun). Ketiga
saudara sudah berkeluarga dan tinggal terpisah dan berjauhan. Hubungan pasien
dengan keluarga baik. Riwayat gangguan yang sama atau gangguang jiwa
lainnya pada keluarga yaitu saudara kandung bapak namun tidak berobat ke
dokter.

29
GENOGRAM

Keterangan :

Anggota keluarga laki – laki

Anggota keluarga perempuan

Pasien

Anggota keluarga yang sudah meninggal

Anggota keluarga yang tinggal serumah

8. Situasi Kehidupan Sekarang


Saat ini pasien tinggal bersama ibu di Sengkang. Semua saudaranya sudah
berkeluarga dan bekerja. Sebagian biaya kehidupan ditanggung oleh ibu dan
saudaranya.
.
9. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya
Saat ini pasien merasa lingkungan keluarga baik terhadap dirinya. Namun
pasien khawatir terhadap keluhan yang dialaminya.

30
III. PEMERIKSAAN FISIS DAN NEUROLOGIS (Bangsal Pakis, 11 Maret
2019)
A. Status Internus
Keadaan umum tampak sehat namun terlalu aktif, gizi baik, kesadaran
composmentis (E4M6V5), tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100 kali/menit,
frekuensi pernafasan 18 kali/menit, suhu tubuh 36,1°C, konjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterus, jantung, paru, abdomen dalam batas normal,
ekstremitas atas dan bawah tidak ada kelainan.

B. Status Neurologis
Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk (-), Kernig’s sign (-)/(-), pupil
bulat dan isokor 2,5 mm/2,5 mm, refleks cahaya (+)/(+), fungsi motorik dan
sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal, tidak ditemukan refleks
patologis.

IV. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL (Bangsal Pakis, 11 Maret 2019)


a. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang perempuan, wajah tampak sesuai umur (23 tahun), kulit kuning
langsat, mengenakan jilbab merah muda menutupi hingga lutut, dan
gamis panjang warna merah muda, mengenakan kaos kaki. Perawakan
sedang, pasien nampak rapi dan perawatan baik.
2. Kesadaran
Baik, secara kualitas maupun kuantitas
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Gelisah
4. Pembicaraan
Pasien menjawab pertanyaan dengan spontan, lancar, intonasi biasa.
5. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif

31
b. Keadaan Afektif
1. Mood : Labil
2. Afek : Sangat Luas
3. Keserasian : Serasi
4. Empati : Tidak dapat diraba rasakan
c. Fungsi Intelektual (Kognitif)
1. Taraf Pendidikan
Pengetahuan umum dan kecerdasan pasien sesuai dengan tingkat
pendidikannya
2. Orientasi
a. Waktu :baik
b. Tempat :baik
c. Orang :baik
3. Daya Ingat
a. Jangka Panjang :baik
b. Jangka Sedang :baik
c. Jangka Pendek :baik
d. Jangka Segera :baik
4. Konsentrasi dan Perhatian
Baik
5. Pikiran Abstrak
Baik
6. Bakat Kreatif
Menulis KTI
7. Kemampuan Menolong diri sendiri
Baik
d. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi
Halusinasi auditorik : bisikan yang memanggil-manggil nama
2. Ilusi
Tidak ada
3. Depersonalisasi

32
Tidak ada
4.Derealisasi
Tidak ada
e. Proses Berpikir
1. Produktivitas : Meningkat
2. Kontinuitas : Relevan dan koheren, flight of idea.
3. Isi Pikiran :
Terdapat gangguan isi pikiran berupa :
Pre okupasi :
Waham : Tidak ada
f. Pengendalian Impuls
Tidak terganggu
g. Daya Nilai dan Tilikan
1.Norma Sosial : Tidak terganggu
2. Uji daya nilai : Tidak terganggu
3.Penilaian Realitas : Baik
4. Tilikan : Tilikan 4 (Pasien mengetahui bahwa dirinya sakit
tapi tidak mengetahui penyebabnya)
h. Taraf Dapat Dipercaya
Dapat dipercaya

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Pasien perempuan usia 23 tahun, datang diantar oleh ibu dan saudara
pasien, masuk rsws untuk kedua kalinya. Pasien menolak makan, hanya sedikit
dikasih tidak mau, hanya mau ambil sendiri. Pasien juga tidak mau minum obat
selama ± 3 hari terakhir, dipaksa untuk minum obat. Pasien tidur malam
terganggu selama ± 4 hari ini, mengaji atau bicara-bicara sendiri. Jika ditanya
pasien mengamuk dan marah dengan melempar barang. Awal perubahan
perilaku sewaktu SMP, pasien sering menangis tiba-tiba. Pertama dirawat di
pakis, sewaktu kuliah (KKN), tahun 2017 pasien mengamuk dan menangis.
Pada pemeriksaan status mental, tampak seorang perempuan, wajah sesuai
umurnya 23 tahun, kulit kuning langsat, menggunakan jilbab merah muda

33
menutupi hingga lutut, dan gamis panjang warna merah muda, mengenakan kaos
kaki. Perawakan sedang, pasien tampak rapid dan perawatan baik. Kesadaran
baik, perilaku dan aktivitas psikomotor gelisah, menjawab pertanyaan sesuai
yang ditanyakan, dan sikap terhadap pemeriksa cukup kooperatif.
Mood labil, afek luas, keserasian serasi, dan empati tidak dapat diraba
rasakan. Konsentrasi dan perhatian baik, pikiran abstrak baik, bakat kreatif
menulis KTI dan kemampuan menolong diri baik.
Ada gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik berupa bisikan yang
memanggil-manggil nama. Produktifitas pikir meningkat, kontinuitas relevan
dan koheren, tidak ada preokupasi dan tidak terdapat waham. Pengendalian
impuls tidak terganggu. Pada norma sosial dan uji daya nilai tidak terganggu,
dan penilaian reailitas baik. Pasien menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya
disertai motivasi untuk mecapai perbaikan (Tilikan 6).

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK DAN EVALUASI MULTIAKSIAL


Aksis I
Berdasarkan alloanamnesis, autoanamnesis dan pemeriksaan status mental
didapatkan gejala klinis yang bermakna yaitu pasien gelisah, sulit tidur, sering
kali banyak berbicara. Pasien juga mengaku mengalami halusinasi auditorik
sehingga pasien dikatakan mengalami Gangguan Jiwa Psikotik
Pada pemeriksaan status internus dan neurologis tidak ditemukan adanya
kelainan, sehingga kemungkinan adanya gangguan mental organik dapat
disingkirkan dan pasien didiagnosis gangguan jiwa non psikotik non organik.
Dari alloanamnesis Dari aloanamnesis dan pemeriksaan status mental,
didapatkan gejala yaitu adanya halusinasi dengan gangguan afektif tipe manik
yang ada pada pasien yaitu filght of idea, afek sangat luas. Kejadian juga dialami
sekitar 2 tahun yang lalu. Hal ini memenuhi kriteria gangguan afektif bipolar,
episode kini manik dengan gejala psikotik.

Aksis II
Dari informasi yang didapatkan pasien belum cukup untuk memenuhi
kriteria ciri kepribadian yang khas.

34
Aksis III
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan kelainan
fisik.
Aksis IV
Tidak jelas
Aksis V
GAF Scale (Global Assesment Functioning) Scale 70-61 gejala ringan dan
menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik.

VII. DAFTAR MASALAH


1. Organobiologik :
Terdapat kelainan pada ketidakseimbangan neurotransmitter, maka dari
itu pasien memerlukan farmakoterapi.
2. Psikologik :
Gelisah, sulit tidur, pasien seringkali banyak berbicara. Terdapat afek agak
meningkat dan halusinasi auditorik

VIII. RENCANA TERAPI


 Farmakoterapi :
- Depacote 250 mg 1 tab / 12 jam / oral
- Olanzapine 5 mg 1 tab / 24 jam / oral
- Haloperidol 5 mg 1 tab / 12 jam / oral
- Tryhexipheidil 2 mg 1 tab / 12 jam / oral
 Psikoterapi Suportif
Memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat membantu pasien
dalam memahami dan menghadapi penyakitnya. Memberi
penjelasan dan pengertian mengenai penyakitnya, manfaat
pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan, serta memotivasi pasien supaya mau minum
obat secara teratur.

35
IX. PROGNOSIS
Dari hasil alloanamnesis, didapatkan keadaan-keadaan berikut ini
a. Faktor yang mendukung kearah prognosis baik:
– Tidak ada kelainan organik
– Adanya dukungan dari keluarga
– Kepatuhan minum obat
b. Faktor yang mendukung kearah prognosis buruk
– Riwayat keluhan yang sama pada keluarga

Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam :Dubia et bonam.
Ad Sanationam : Dubia et bonam

X. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien serta perkembangan penyakitnya, selain itu
menilai efektivitas dan kemungkinan efek samping obat yang diberikan.

XI. PEMBAHASAN / TINJAUAN PUSTAKA


Gangguan bipolar adalah gangguan otak yang ditandai oleh perubahan
suasana hati, pikiran, energi dan tingkah laku. Gangguan ini berlangsung dengan
episode mania, hipomania, campuran dan mayor depresi. Mania adalah gangguan
perilaku yang bermanifestasi dari suasana hati gembira atau lekas marah, dengan
beberapa tanda lain, seperti ‘flight of ideas’ dan meningkatnya kepercayaan diri.
Diagnosis gangguan bipolar sulit karena gejala psikotik yang tumpang tindih
dengan gangguan jiwa yang lain seperti skizofrenia dan schizoafektif. Ini
menyebabkan gangguan bipolar tidak terdiagnosis dan tidak diobati dengan baik.
Tujuan pengobatan adalah menangani gejala, mengembalikan fungsi psikososial
yang sempurna, dan pencegahan terhadap kekambuhan berulang. Dalam
menentukan algoritma gangguan bipolar harus dipertimbangkan kemanjuran,
tolerabilitas, kemanjuran dan keamanan obat untuk pasien. Namun, pengobatan

36
gangguan bipolar efektif jika dilakukan secara komprehensif. Terapi Komprehensif
termasuk farmakoterapi dan psikoterapi.
Saat ini prevalensi gangguan bipolar dalam populasi cukup tinggi, mencapai
1,3 -3%. Bahkan prevalensi untuk seluruh spektrum bipolar mencapai 2,6-6,5%.
Tujuh dari sepuluh pasien pada awalnya misdiagnosis. Prevalensi antara laki-laki
dan perempuan sama besarnya terutama pada gangguan bipolar I, sedangkan pada
gangguan bipolar II, prevalensi pada perempuan lebih besar. Depresi atau distimia
yang terjadi pertama kali pada prapubertas memiliki risiko untuk menjadi gangguan
bipolar Penyebab gangguan bipolar sampai saat ini belum dapat diketahui dengan
pasti. Banyakfaktor yang mempengaruhi dalam gangguan bipolar yaitu faktor
genetik, faktor biokimia, faktor neurofisiologi, faktor psikodinamik, dan faktor
lingkungan. Bentuk gejala psikotik yang sering ditemukan pada gangguan bipolar
episode manik yaitu gangguan proses pikir, halusinasi dan waham.
Gangguan Afektif Bipolar Episode Manik Dengan Gejala Psikotik; Episode
manik didefinisikan sebagai kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat,
disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam
berbagai derajat keparahan. Menurut PPDGJ III, gangguan afektif bipolar adalah
suatu gangguan suasana perasaan yang ditandai oleh adanya episode berulang
(sekurang-kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan tingkat aktivitas jelas
terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan
energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan
afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah bahwa
biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai
dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, episode
depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun
jarang melebihi satu tahun kecuali pada orang usia lanjut. Kedua macam episode
tersebut sering terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental
lain (adanya stres tidak esensial untuk penegakan diagnosis)

Menurut PPDGJ-III F31.2Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik


dengan Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik : Untuk menegakkan diagnosis

37
a) episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gajala
psikotik
(F30.2) dan
b) harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif, atau campuran) di masa lampau.

Kriteria 30.2Mania dengan Gejala Psikotik


Pedoman Diagnostik
 Gambaran klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat dari F30.1( mania
tanpa gejala psikotik)
 Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang
menjadi waham kebesaran ( delusion of grande
ur), iritabilitas dan kecurigaan menjadi waham kejar ( delusion of persecution).
Waham dan halusinasi “sesuai” dengan keadaan afek tersebut (mood-congruent).

38
XII. LAMPIRAN WAWANCARA

AUTOANAMNESIS
(11 Maret 2019 di Bangsal Pakis)

D (Dokter) : Selamat sore Kak


P (Pasien) : Selamat sore dok
D : Perkenalkan saya Pahista, saya mau Tanya-tanya ya, apakah bersedia?
P : Iya bersedia
D : Bisa saya tahu siapa nama ta?
P :N
D : Kalo boleh tau sapa sekarang yang dikeluhkan?
P: : Gelisah
D : Gelisah kayak bagaimana?
P : Selalu mau jalan, mondar-mandir
D : Kenapa mau mondar-mandir?
P : Nda tau kenapa, hanya mau saja
D : Bagaimana sekarang yang dirasakan dibanding hari pertama masuk?
P : Agak mendingan mi dok
D : Ada yang kita lihat atau dengar suara-suara?
P : Iye ada
D : Seperti apa itu?
P : Suara-suara kayak panggil-panggil namaku, tapi tidak tahu siapa
D : Kita’ tau dimana sekarang?
P : Tau dok, di RS
D : Kita’ tau hari apa sekarang?
P : Iya tau, hari senin
D : Masih diingat waktu datang pertama kali sama siapa?
P : Sama Ibu dan saudara
D : Tabe di’ misalnya saya bilang ada udang dibalik batu apa maksudnya itu?
P : Berarti ada maksud yang tersembunyi
D : Kalo panjang tangan?

39
P : Pencuri
D : Kalo boleh tau, kita ini apa ada bakat ta ?
P : Ada, menulis
D : Menulis apa itu?
P : Menulis Karya tulis ilmiah mengenai penggunaan bawang terhadap kesehatan
mata
D : Waktu kapan itu? Dapat juara?
P : Waktu SMP, iya dapat penghargaan
D : Apa lagi, selain itu?
P : pernah olimpiade biologi waktu SMA
D : Tabe di, ini kita tau ji kalo lagi sakit?
P : Iya tau ji
D :Sakit bagaimana itu?
P : Karena selalu mau jalan, gelisah.
D : Tapi mau ji berobat?
P : Iya mau ji
D : Ada lagi kita mau bilang?
P : Nda adami dok, sekian terimakasih
D : iye, terimaksih banyak juga kak.

40

Anda mungkin juga menyukai