Anda di halaman 1dari 14

FARMAKOLOGI LANSIA

DIABETES MELITUS

Disusun Oleh:

Kelompok 4 Genap
Nama:
1. Riza Silviana (PO.71.39.0.17.034)
2. Siti Aliyah Putri Daulay (PO.71.39.0.17.036)
3. Tiara Zaila Marta Ayu (PO.71.39.0.17.038)
4. Ulfa Azizah (PO.71.39.0.17.040)

Kelas : Reguler 2 A
NILAI PARAF

JURUSAN FARMASI

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2018/2019


1. Patofisiologi DM Tipe 2
DM Tipe 2 (90% dari semua kasus) dikarakterisasikan dengan kombinasi resistensi
insulin dan kekurangan insulin yang relatif seperti pada Gambar 3.Resistensi insulin
dimanisfestasi oleh meningkatnya lipolisis dan produksi asam lemak bebas, meningkatnya
produksi gula hati, sera penurunan serapan glukosa oleh otot rangka (Dipiro, 2012).Penyebab
resistensi insulin dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4.Penyebab Resistensi Insulin (Ozougwu, et al., 2013).

Disfungsi sel β terjadi secara progresif dan memperburuk kontrol atas glukosa darah
dengan berjalannya waktu.Faktor risiko nomor satu DM tipe 2 yaitu obesitas dan penumpukan
lemak visceral, penyebab penumpukan lemak visceral dapat dilihat pada Gambar 5. DM tipe
2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang latihan fisik, dan
kegemukan) yang memperburuk genotip tertentu, asupan lemak yang meningkat namun tidak
dibarengi dengan asupan karbohidrat atau serat dapat sebabkan hiperinsulinemia. DM tipe 2
juga dapat disebabkan oleh faktor stress akibat penuaan. Selain itu, pada DM tipe 2 juga
terdapat kecenderungan genetic yang menyebabkan pankreas menghasilkan insulin yang
rusak atau menyebabkan reseptor insulin atau second messengers gagal untuk merespon
insulin secara memadai. Kecenderungan genetik juga dapat berkaitan dengan obesitas dan
stimulasi reseptor insulin yang diperlama.Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya jumlah
reseptor insulin pada badan sel. Pada DM tipe 2 mungkin juga diproduksi autoantibody insulin
yang berikatan dengan reseptor insulin sehingga menghambat akses insulin ke reseptor. Selain
itu DM tipe 2 dapat disebabkan kekurangan hormone leptin akibat kekurangan gen yang
memproduksi hormone leptin atau terdapat disfungsi pada gennya. Tanpa gen leptin, individu
akan gagal merespon sensasi kenyang sehingga akan cenderung mengalami obesitas dan
menurun sensitivitas insulinnya. Walau obesitas adalah faktor risiko utama namun DM tipe 2
juga dapat dialami pada individu yang kurus atau memiliki berat badan normal.(Corwin, 2008;
Dipiro, 2011).

Gambar 5.Penyebab Penumpukan Lemak Viseral (Ozougwu, et al., 2013).

Pada pasien DM tipe 2, insulin masih disekresikan namun terdapat penundaan waktu
sekresi dan adanya penurunan jumlah insulin total yang dilepaskan. Hal ini semakin parah
semakin tua usia seseorang. Jaringan lemak dan otot menunjukkan resistensi terhadap insulin
yang tersirkulasi sehingga carrier glukosa (transporter GLUT4) tidak terdapat pada sel secara
memadai dan glukosa tidak dapat digunakan oleh sel. Ketika sel mulai kehilangan energy, hati
akan memulai proses glukoneogenesis yang lama kelamaan akan meningkatkan kadar glukosa
darah, pemecahan trigliserida, protein, dan glikogen sebagai sumber energy sehingga kadarnya
akan meningkat dalam darah (Corwin, 2008).
I. Contoh Kasus dan DRP

Pasien seorang wanita bernama Hannah berusia 54 tahun memiliki riwayat diabetes
mellitus tipe 2 selama 5 tahun.Dia bercerai, memiliki 2 orang anak, dan bekerja sebagai
headhunter. Beratnya 82 kg dan memiliki BMI sebesar 32,2 kg/m2 termasuk kategori obesitas.
Meskipun Hannah menunjukkan keinginan dan kesiapan untuk menurunkan berat badan serta telah
mengikuti konseling mengenai gizi, dia tidak dapat mengubah kebiasaan hidupnya.Penyakit yang
diderita meliputi hipertensi, dislipidemia, dan osteoarthritis. Tingkat glukosa darah puasa yaitu
174 mg/dL, kadar glukosa postprandial 240 mg/dL, dan kadar A1C 8,6%.

Analisis SOAP
1. Subject
 Pasien seorang wanita bernama Hannah berusia 54 tahun memiliki riwayat diabetes
mellitus selama 5 tahun
 Berat badan 82 kg, tinggi 62 in, BMI 32,2 kg/m2
 Riwayat penyakit paskamenopause (osteoarthritis), hipertensi, dislipidemia, tidak ada
riwayat pankreatitis dan kanker tiroid
 Riwayat penyakit keluarga ayah pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2, ibu
pasien meninggal pada usia 52 tahun karena infark miokard, kakak perempuan pasien (usia
60 tahun) memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2 yang diterapi dengan insulin
 Pasien bekerja sebagai headhunter, perokok (20 tahun yang lalu), Mengkonsumsi alkohol
(segelas wine saat makan malam, hampir setiap malam), tidak mengkonsumsi obat
terlarang, aerobik 2 kali seminggu, bercerai, memiliki 2 orang anak dengan usia 14 dan 12
tahun dalam keadaan sehat
 Pasien alergi dengan kacang
 Pemeriksaan fisik pasien yaitu obesitas tanpa adanya gejala resistensi perifer atau
endokrinopati, refleks ekstermitas bawah berkurang, pemeriksaan funduskopi
menunjukkan latar belakang diabetes retinopati bilateral tanpa adanya edema makula

2. Object

Tabel 4. Pemeriksaan Laboratorium Pasien

Data Laboratorium Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Kategori


Nadi 66 bpm 60-100 bpm Normal
(Chester J. G., 2011).
Pernapasan 15 kali/menit 12-20 kali/menit Normal
(Chester J. G., 2011).
Tekanan darah 130/78 mmHg < 120/80 Tinggi
(Dipiro, 2015).
Level A1C 8,6% 6,5% Tinggi
(Dipiro, 2015).
Kadar glukosa 174 mg/dL 70-130 mg/dL Tinggi
darah puasa (Dipiro, 2015).
Kadar glukosa 240 mg/dL < 180 mg/dL Tinggi
darah post prandial (Dipiro, 2015).
Serum kreatinin 1,4 mg/dL 0,6-1,3 mg/dL Tinggi
(Kemenkes RI, 2011)
LDL 94 mg/dL < 100 mg/dL Normal
(Dipiro, 2015).
Trigliserida 189 mg/dL < 150 mg/dL Tinggi
(Dipiro, 2015).
HDL 37 mg/dL < 40 mg/dL Rendah
(Dipiro, 2015).

3. Assessment

Pasien ini memenuhi kriteria klinis untuk diabetes mellitus tipe 2, karakteristiknya ditandai
dengan tingginya level A1C yaitu 8,6%, kadar glukosa darah puasa 174 mg/dL, dan kadar glukosa
darah post prandial 240 mg/dL. Untuk mengatasi diabetes mellitus tipe 2 yang dimiliki oleh pasien,
dokter meresepkan obat metformin 1000 mg setiap hari selama 4 tahun dan glyburide 5 mg setiap
hari selama 3 tahun.

Gambar 19.Tujuan terapi glikemik (Dipiro, 2015).

Selain diabetes mellitus tipe 2, pasien juga memiliki riwayat penyakit hipertensi yang
ditandai dengan tingginya tekanan darah yaitu 130/78 mmHg serta dislipidemia dengan
karakteristik kadar trigliserida tinggi sebesar 189 mg/dL dan kadar HDL rendah 37 mg/dL, untuk
mengatasinya dokter meresepkan lisinopril 12,5 mg/hari selama 8 tahun dan atorvastatin 40
mg/hari selama 4 tahun.

4. Plan
a. Terapi Farmakologi
1. Metformin

Pada kasus ini pasien diresepkan metformin dengan dosis 1000 mg sekali sehari selama 4
tahun.Dosis yang disarankan dimulai dari 500 mg per hari sampai dengan kemampuan fungsional
ginjal pasien, dosis maksimum yang diperbolehkan dalam terapi menggunakan metformin yaitu
2550 mg/hari.Metformin biasanya digunakan pada pasien yang memiliki kelebihan berat badan
atau obesitas.Mekanisme kerjanya yaitu menekan produksi glukosa hepatik, meningkatkan
sensitivitas insulin, meningkatkan penyerapan glukosa oleh fosforilasi faktor GLUT-enhancer,
meningkatkan oksidasi asam lemak dan mengurangi penyerapan glukosa dari saluran pencernaan
(Dipiro, 2015).

2. Glyburide
Pada kasus ini pasien diresepkan glyburide dengan dosis 5 mg sekali sehari selama 3
tahun.Dosis yang dianjurkan yaitu 5 mg/hari dengan dosis maksimal 20 mg/hari.Glyburide masuk
ke dalam golongan sulfonilurea, sulfonilurea umunya dapat ditoleransi dengan baik tetapi
sulfonilurea merangsang sekresi insulin endogen yang menyebabkan adanya resiko hipoglikemia.
Penggunaan sulfonilurea long-acting harus dihindari pada pasien diabetes melitus tipe 2 usia
lanjut, sebaiknya diberikan sulfonilurea dengan short-acting (Dipiro, 2015).

3. Liraglutide
Liraglutide merupakan agonis reseptor glucagon like-peptide-1 (GLP-1).Liraglutide
disetujui oleh FDA di tahun 2010 sebagai terapi DM tipe 2. Pada kasus DM tipe 2, cukup diberikan
injeksi liraglutide 1,2 mg atau 1,8 mg, sedangkan pada obesitas diberikan dengan dosis 3,0 mg
(Lowes, 2014).
GLP-1 adalah sebuah inkretin, hormon saluran cerna yang dilepaskan ke dalam sirkulasi
sebagai respons terhadap nutrien yang masuk ketika kita makan. GLP-1 mengatur kadar glukosa
dengan merangsang sekresi dan biosintesis insulin bergantung-glukosa, menekan sekresi
glukagon, memperlambat pengosongan lambung, serta memicu timbulnya rasa kenyang (Kalbe
Medical, 2012).
Agonis GLP-1 diketahui dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna, terutama
mual.Efek samping ini paling terasa pada awal penggunaan obat, tetapi lama-kelamaan
menghilang.Fungsi sel beta membaik dengan pemberian agonis GLP-1, tetapi efek tersebut tidak
bertahan begitu terapi dihentikan.Kenyataannya, tidak satu pun studi yang berdurasi cukup lama
guna bisa menilai efek positif/negatif jangka panjang dari penggunaan obat ini (Kalbe Medical,
2012).

Gambar 20.Algoritma terapi hipertensi menurut JNC8

4. Lisinopril (ACE inhibitor)


ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini merupakan
pilihan pertama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes.Rekomendasi ini berdasarkan
fakta yang menunjukkan penurunan hipertensi yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk
penderita sakit jantung, peningkatan penyakit ginjal, dan stroke.Terapi ACE inhibitor mungkin
merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter,
2005).
Beberapa studi mengatakan bahwa ACE inhibitor mungkin lebih efektif mengurangi risiko
kardiovaskular dari anti hipertensi lain. Pada diabetes tipe 2 ACE inhibitor lebih baik dari CCBs,
bagaimanapun satu dari penelitian UKPDS menemukan captropil sebanding dengan atenolol
dalam mencegah kejadiaan kardiovaskular pada pasien diabetes tipe 2. ACE inhibitor mengurangi
kematian dan kesakitan pada pasien dengan gagal ginjal dan mengurangi penyakit gagal ginjal
kronik. Selain itu ACE inhibitor mengurangi aldosteron dan meningkatkan konsentrasi potassium
(Saseen dan Carter, 2005).
Pada kasus ini pasien diresepkan lisinopril dengan dosis 12,5 mg sekali sehari selama 8
tahun. Dosis yang dianjurkan yaitu 10-40 mg sekali sehari. Lisinopril masuk ke dalam golongan
ACE inhibitor, ACE inhibitor merupakan lini pertama dalam terapi hipertensi atau tekanan darah
tinggi. Selain itu, lisinopril juga dapat mengatasi penyakit gagal jantung.
Golongan ACE inhibitor mencegah tubuh menghasilkan hormon yang dikenal dengan
nama angiotensin II. Obat ini melakukannya dengan menghalangi unsur kimia bernama enzim
pengubah angiotensin. Pembuluh darah akan rileks dan membantu mengurangi kadar air dalam
darah yang dikembalikan oleh ginjal. Akibatnya, tekanan darah akan berkurang dan meningkatkan
pasokan darah serta oksigen ke dalam jantung. Hipertensi biasanya tidak menyebabkan tubuh
terasa sakit, tapi jika tidak ditangani, kondisi ini bisa melukai jantung dan merusak pembuluh
darah.Komplikasi lainnya adalah serangan jantung dan stroke.Biasanya terdapat terlalu banyak
cairan dalam pembuluh darah saat seseorang mengalami gagal jantung.Obat ini membantu
mengurangi cairan yang berlebih. Obat ini memberikan efek perlindungan pada jantung dan
memperlambat proses perkembangan gagal jantung (Dipiro, 2015).

5. Atorvastatin
Pada kasus ini pasien diresepkan atorvastatin dengan dosis 40 mg sekali sehari selama 4
tahun.Dosis yang dianjurkan yaitu 10 mg/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari. Atorvastatin
merupakan obat yang digunakan untuk menurunkan LDL dan trigliserida dalam darah, sekaligus
mampu meningkatkan kadar HDL. Atorvastatin termasuk ke dalam golongan statin atau HMG
CoA reductase inhibitors.

Seperti semua statin, atorvastatin bekerja dengan cara menghambat 3-hydroxy-3-


methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reductase, suatu enzim yang berperan dalam
pembentukan kolestrol. Dengan terhambatnya kinerja enzim ini kadar kolestrol dalam darah akan
berkurang. Kadar LDL dikatakan normal jika berada pada kadar< 100 mg/dL. Obat golongan statin
lebih efektif dibandingkan obat-obat hipolipidemia lain dalam menurunkan kolesterol (LDL) tetapi
kurang efektif dibanding golongan fibrat dalam menurunkan trigliserida (Dipiro, 2015).
Gambar 21.Terapi Farmakologi yang digunakan untuk penyakit Diabetes Mellitus tipe 2
(Dipiro, 2015).

Pada kasus ini, osteoarthritis yang diderita pasien tidak secara langsung mendapatkan
terapi farmakologi. Hal tersebut dikarenakan menurut Felson tahun 2008 rencana terapi untuk
pasien obesitas sebaiknya diawali dengan penurunan berat badan, tetapi pada kasus ini pasien tidak
ingin melakukan peningkatan aktivitas fisik sehingga dilakukan penambahan terapi farmakologi
dengan GLP1 menjadi solusi untuk penurunan berat badan pasien.

Gambar 22.Rencana terapi osteoarthritis pada pasien obesitas (Felson, 2008).

b. Terapi Nonfarmakologi
1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan
lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut :
 Karbohidrat : 60-70%
 Protein : 10-15%
 Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akutdan kegiatan fisik,
yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai danmempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensiinsulin dan
memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalamsalah satu penelitian dilaporkan
bahwa penurunan 5% berat badan dapatmengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah
salah satu parameterstatus DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan
3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan.Masukan
kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari.Sumber lemak diupayakan
yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh
dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam
(terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per
hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak
dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan
penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat
seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral.

2. Mengurangi Asupan Garam


Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada
kebanyakan daerah.Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan
cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya.Tidak jarang, diet rendah garam ini juga
bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2.
Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari (PERKI, 2015)

3. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal.
Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi
olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga
ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak
dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Dipiro, 2015).

4. Penggunaan Obat Rasional


Penggunaan obat dikatakan rasional jika tepat secara medik dan memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu. Masing-masing persyaratan mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, kekeliruan dalam menegakkan diagnosis akan memberi konsekuensi berupa
kekeliruan dalam menentukan jenis pengobatan (Anonim, 2006).
Dalam konteks biomedis mencakup kriteria berikut :
a. Obat yang benar
b. Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran, keamanan, kecocokan
bagi pasien dan harga.
c. Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan pada
pertimbangan medis yang tepat.
d. Dosis pemberian, dan durasi pengobatan yang tepat.
e. Pasien yang tepat, yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan reaksi
merugikan adalah minimal.
f. Dispensing yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi pasien tentang obat yang
ditulis
g. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

5. Ketepatan Pemilihan Obat


Agar tercapai pengobatan yang efektif, aman, dan ekonomis maka harus
memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Indikasi tepat
b. Penilaian kondisi tepat
c. Pemilihan obat tepat
d. Dosis dan cara pemberian obat secara tepat
e. Informasi untuk pasien secara tepat
f. Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat

Analisis DRP
1. Indikasi Tanpa Obat
Indikasi tanpa obat dapat terjadi apabila pasien memiliki kondisi medis yang memerlukan
terapi tapi pasien tidak mendapatkan obat.Pada kasus ini, pasien telah mendapatkan obat sesuai
dengan kondisi medis yaitu diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, dan osteoarthritis.

2. Obat Tanpa Indikasi


Obat tanpa indikasi dapat diartikan adanya obat yang tidak diperlukan atau tidak sesuai
dengan kondisi medis pasien.Pada kasus ini, tidak ditemukan penggunaan obat tanpa indikasi.

3. Ketidaktepatan Pemilihan Obat


Ketidaktepatan pemilihan obat maksudnya adalah adanya pemberian obat yang tidak
efektif berdasarkan kondisi pasien. Permasalahan yang terjadi pada kasus ini adalah pemakaian
metformin dan glyburide pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang sudah 5 tahun tidak mengalami
penurunan sehingga diperlukan tambahan terapi untuk memaksimalkan dalam penurunan A1C.
Pada kasus ini, terapi yang ditambahkan yaitu obat golongan GLP-1 receptor agonist sehingga
pasien memiliki kombinasi 3 obat untuk terapi diabetes mellitus tipe 2.Pemilihan golongan GLP-
1 receptor agonist dikarenakan golongan tersebut baik digunakan untuk pasien diabetes mellitus
tipe 2 yang memiliki kondisi obesitas, dimana golongan tersebut dapat menurunkan A1C serta
membantu penurunan berat badan (Inzucchi SE et al, 2012).

4. Dosis Obat Berlebih


Dosis obat berlebih dapat disebabkan karena penggunaan dosis obat diatas nilai batas dosis
lazim atau frekuensi yang berlebih.Pada kasus ini, dosis obat sudah sesuai dengan dosis yang
dianjurkan.
5. Dosis Obat Kurang
Dosis obat kurang artinya obat yang digunakan dosisnya terlalu rendah untuk efek yang
diinginkan.Pada kasus ini, dosis obat sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

6. Interaksi Obat
Interaksi obat artinya aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain jika diberikan
secara bersamaan. Pada kasus ini, permasalahannya adalah pemilihan terapi untuk pasien memiliki
interaksi moderate.Tetapi terapi masih dapat dilakukan hanya diperlukan monitoring hasil terapi.

Tabel 5.Interaksi Obat

Obat A Obat B Tingkat Interaksi


Glyburide Lisinopril Moderate Menggunakan simvastatin bersama
dengan feofibrat dapat
meningkatkan efek glyburide
sehingga menyebabkan kadar
glukosa dalam darah menjadi terlalu
rendah (Drugs, 2017).
Lisinopril Metformin Moderate Menggunakan lisinopril bersama
dengan metformin dapat
meningkatkan efek metformin pada
penurunan glukosa darah. Hal ini
dapat menyebabkan kadar glukosa
darah menjadi terlalu rendah
(Drugs, 2017).
Glyburide Liraglutide Moderate Menggunakan glyburide bersama
dengan liraglutide dapat
meningkatkan resiko hipoglikemik
atau glukosa darah rendah (Drugs,
2017).

Anda mungkin juga menyukai