DIABETES MELITUS
Disusun Oleh:
Kelompok 4 Genap
Nama:
1. Riza Silviana (PO.71.39.0.17.034)
2. Siti Aliyah Putri Daulay (PO.71.39.0.17.036)
3. Tiara Zaila Marta Ayu (PO.71.39.0.17.038)
4. Ulfa Azizah (PO.71.39.0.17.040)
Kelas : Reguler 2 A
NILAI PARAF
JURUSAN FARMASI
Disfungsi sel β terjadi secara progresif dan memperburuk kontrol atas glukosa darah
dengan berjalannya waktu.Faktor risiko nomor satu DM tipe 2 yaitu obesitas dan penumpukan
lemak visceral, penyebab penumpukan lemak visceral dapat dilihat pada Gambar 5. DM tipe
2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang latihan fisik, dan
kegemukan) yang memperburuk genotip tertentu, asupan lemak yang meningkat namun tidak
dibarengi dengan asupan karbohidrat atau serat dapat sebabkan hiperinsulinemia. DM tipe 2
juga dapat disebabkan oleh faktor stress akibat penuaan. Selain itu, pada DM tipe 2 juga
terdapat kecenderungan genetic yang menyebabkan pankreas menghasilkan insulin yang
rusak atau menyebabkan reseptor insulin atau second messengers gagal untuk merespon
insulin secara memadai. Kecenderungan genetik juga dapat berkaitan dengan obesitas dan
stimulasi reseptor insulin yang diperlama.Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya jumlah
reseptor insulin pada badan sel. Pada DM tipe 2 mungkin juga diproduksi autoantibody insulin
yang berikatan dengan reseptor insulin sehingga menghambat akses insulin ke reseptor. Selain
itu DM tipe 2 dapat disebabkan kekurangan hormone leptin akibat kekurangan gen yang
memproduksi hormone leptin atau terdapat disfungsi pada gennya. Tanpa gen leptin, individu
akan gagal merespon sensasi kenyang sehingga akan cenderung mengalami obesitas dan
menurun sensitivitas insulinnya. Walau obesitas adalah faktor risiko utama namun DM tipe 2
juga dapat dialami pada individu yang kurus atau memiliki berat badan normal.(Corwin, 2008;
Dipiro, 2011).
Pada pasien DM tipe 2, insulin masih disekresikan namun terdapat penundaan waktu
sekresi dan adanya penurunan jumlah insulin total yang dilepaskan. Hal ini semakin parah
semakin tua usia seseorang. Jaringan lemak dan otot menunjukkan resistensi terhadap insulin
yang tersirkulasi sehingga carrier glukosa (transporter GLUT4) tidak terdapat pada sel secara
memadai dan glukosa tidak dapat digunakan oleh sel. Ketika sel mulai kehilangan energy, hati
akan memulai proses glukoneogenesis yang lama kelamaan akan meningkatkan kadar glukosa
darah, pemecahan trigliserida, protein, dan glikogen sebagai sumber energy sehingga kadarnya
akan meningkat dalam darah (Corwin, 2008).
I. Contoh Kasus dan DRP
Pasien seorang wanita bernama Hannah berusia 54 tahun memiliki riwayat diabetes
mellitus tipe 2 selama 5 tahun.Dia bercerai, memiliki 2 orang anak, dan bekerja sebagai
headhunter. Beratnya 82 kg dan memiliki BMI sebesar 32,2 kg/m2 termasuk kategori obesitas.
Meskipun Hannah menunjukkan keinginan dan kesiapan untuk menurunkan berat badan serta telah
mengikuti konseling mengenai gizi, dia tidak dapat mengubah kebiasaan hidupnya.Penyakit yang
diderita meliputi hipertensi, dislipidemia, dan osteoarthritis. Tingkat glukosa darah puasa yaitu
174 mg/dL, kadar glukosa postprandial 240 mg/dL, dan kadar A1C 8,6%.
Analisis SOAP
1. Subject
Pasien seorang wanita bernama Hannah berusia 54 tahun memiliki riwayat diabetes
mellitus selama 5 tahun
Berat badan 82 kg, tinggi 62 in, BMI 32,2 kg/m2
Riwayat penyakit paskamenopause (osteoarthritis), hipertensi, dislipidemia, tidak ada
riwayat pankreatitis dan kanker tiroid
Riwayat penyakit keluarga ayah pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2, ibu
pasien meninggal pada usia 52 tahun karena infark miokard, kakak perempuan pasien (usia
60 tahun) memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2 yang diterapi dengan insulin
Pasien bekerja sebagai headhunter, perokok (20 tahun yang lalu), Mengkonsumsi alkohol
(segelas wine saat makan malam, hampir setiap malam), tidak mengkonsumsi obat
terlarang, aerobik 2 kali seminggu, bercerai, memiliki 2 orang anak dengan usia 14 dan 12
tahun dalam keadaan sehat
Pasien alergi dengan kacang
Pemeriksaan fisik pasien yaitu obesitas tanpa adanya gejala resistensi perifer atau
endokrinopati, refleks ekstermitas bawah berkurang, pemeriksaan funduskopi
menunjukkan latar belakang diabetes retinopati bilateral tanpa adanya edema makula
2. Object
3. Assessment
Pasien ini memenuhi kriteria klinis untuk diabetes mellitus tipe 2, karakteristiknya ditandai
dengan tingginya level A1C yaitu 8,6%, kadar glukosa darah puasa 174 mg/dL, dan kadar glukosa
darah post prandial 240 mg/dL. Untuk mengatasi diabetes mellitus tipe 2 yang dimiliki oleh pasien,
dokter meresepkan obat metformin 1000 mg setiap hari selama 4 tahun dan glyburide 5 mg setiap
hari selama 3 tahun.
Selain diabetes mellitus tipe 2, pasien juga memiliki riwayat penyakit hipertensi yang
ditandai dengan tingginya tekanan darah yaitu 130/78 mmHg serta dislipidemia dengan
karakteristik kadar trigliserida tinggi sebesar 189 mg/dL dan kadar HDL rendah 37 mg/dL, untuk
mengatasinya dokter meresepkan lisinopril 12,5 mg/hari selama 8 tahun dan atorvastatin 40
mg/hari selama 4 tahun.
4. Plan
a. Terapi Farmakologi
1. Metformin
Pada kasus ini pasien diresepkan metformin dengan dosis 1000 mg sekali sehari selama 4
tahun.Dosis yang disarankan dimulai dari 500 mg per hari sampai dengan kemampuan fungsional
ginjal pasien, dosis maksimum yang diperbolehkan dalam terapi menggunakan metformin yaitu
2550 mg/hari.Metformin biasanya digunakan pada pasien yang memiliki kelebihan berat badan
atau obesitas.Mekanisme kerjanya yaitu menekan produksi glukosa hepatik, meningkatkan
sensitivitas insulin, meningkatkan penyerapan glukosa oleh fosforilasi faktor GLUT-enhancer,
meningkatkan oksidasi asam lemak dan mengurangi penyerapan glukosa dari saluran pencernaan
(Dipiro, 2015).
2. Glyburide
Pada kasus ini pasien diresepkan glyburide dengan dosis 5 mg sekali sehari selama 3
tahun.Dosis yang dianjurkan yaitu 5 mg/hari dengan dosis maksimal 20 mg/hari.Glyburide masuk
ke dalam golongan sulfonilurea, sulfonilurea umunya dapat ditoleransi dengan baik tetapi
sulfonilurea merangsang sekresi insulin endogen yang menyebabkan adanya resiko hipoglikemia.
Penggunaan sulfonilurea long-acting harus dihindari pada pasien diabetes melitus tipe 2 usia
lanjut, sebaiknya diberikan sulfonilurea dengan short-acting (Dipiro, 2015).
3. Liraglutide
Liraglutide merupakan agonis reseptor glucagon like-peptide-1 (GLP-1).Liraglutide
disetujui oleh FDA di tahun 2010 sebagai terapi DM tipe 2. Pada kasus DM tipe 2, cukup diberikan
injeksi liraglutide 1,2 mg atau 1,8 mg, sedangkan pada obesitas diberikan dengan dosis 3,0 mg
(Lowes, 2014).
GLP-1 adalah sebuah inkretin, hormon saluran cerna yang dilepaskan ke dalam sirkulasi
sebagai respons terhadap nutrien yang masuk ketika kita makan. GLP-1 mengatur kadar glukosa
dengan merangsang sekresi dan biosintesis insulin bergantung-glukosa, menekan sekresi
glukagon, memperlambat pengosongan lambung, serta memicu timbulnya rasa kenyang (Kalbe
Medical, 2012).
Agonis GLP-1 diketahui dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna, terutama
mual.Efek samping ini paling terasa pada awal penggunaan obat, tetapi lama-kelamaan
menghilang.Fungsi sel beta membaik dengan pemberian agonis GLP-1, tetapi efek tersebut tidak
bertahan begitu terapi dihentikan.Kenyataannya, tidak satu pun studi yang berdurasi cukup lama
guna bisa menilai efek positif/negatif jangka panjang dari penggunaan obat ini (Kalbe Medical,
2012).
5. Atorvastatin
Pada kasus ini pasien diresepkan atorvastatin dengan dosis 40 mg sekali sehari selama 4
tahun.Dosis yang dianjurkan yaitu 10 mg/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari. Atorvastatin
merupakan obat yang digunakan untuk menurunkan LDL dan trigliserida dalam darah, sekaligus
mampu meningkatkan kadar HDL. Atorvastatin termasuk ke dalam golongan statin atau HMG
CoA reductase inhibitors.
Pada kasus ini, osteoarthritis yang diderita pasien tidak secara langsung mendapatkan
terapi farmakologi. Hal tersebut dikarenakan menurut Felson tahun 2008 rencana terapi untuk
pasien obesitas sebaiknya diawali dengan penurunan berat badan, tetapi pada kasus ini pasien tidak
ingin melakukan peningkatan aktivitas fisik sehingga dilakukan penambahan terapi farmakologi
dengan GLP1 menjadi solusi untuk penurunan berat badan pasien.
b. Terapi Nonfarmakologi
1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan
lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut :
Karbohidrat : 60-70%
Protein : 10-15%
Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akutdan kegiatan fisik,
yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai danmempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensiinsulin dan
memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalamsalah satu penelitian dilaporkan
bahwa penurunan 5% berat badan dapatmengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah
salah satu parameterstatus DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan
3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan.Masukan
kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari.Sumber lemak diupayakan
yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh
dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam
(terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per
hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak
dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan
penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat
seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral.
3. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal.
Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi
olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga
ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak
dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Dipiro, 2015).
Analisis DRP
1. Indikasi Tanpa Obat
Indikasi tanpa obat dapat terjadi apabila pasien memiliki kondisi medis yang memerlukan
terapi tapi pasien tidak mendapatkan obat.Pada kasus ini, pasien telah mendapatkan obat sesuai
dengan kondisi medis yaitu diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, dan osteoarthritis.
6. Interaksi Obat
Interaksi obat artinya aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain jika diberikan
secara bersamaan. Pada kasus ini, permasalahannya adalah pemilihan terapi untuk pasien memiliki
interaksi moderate.Tetapi terapi masih dapat dilakukan hanya diperlukan monitoring hasil terapi.