Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam
penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien,perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Obstruksi ileus merupakan kegawatan dalam bedah abdominal yang sering
dijumpai. Sekitar 20% pasien datang kerumah sakit datang dengan keluhan nyeri
abdomen karena obstruksi pada saluran cerna, 80% terjadi pada usus halus. Obstruksi
ileus adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana menghambat proses
pencernaan secara normal Penyakit ini sering terjadi pada individu yang memiliki
kebiasaan mengkonsumsi makanan yang rendah serat, dari kebiasaan tersebut akan
muncul permasalahan pada kurangnya membentuk massa feses yang menyambung
pada rangsangan peristaltic usus, kemudian saat kemampuan peristaltic usus menurun
maka akan terjadi konstipasi yang mengarah pada feses yang mengeras dan mampu
menyumbat lumen usus sehingga menyebabkan terjadinya osbtruksi.
Salah satu pelayanan kesehatan yang di lakukan di rumah sakit adalah
pelayanan pembedahan. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin maju,
prosedur tindakan pembedahan pun mengalami kemajuan pesat. Salah satu cara
penanganan pada pasien dengan obstruksi ileus adalah dengan pembedahan
laparotomi, penyayatan pada dinding abdomen. Obstruksi ileus dapat terjadi pada
setiap usia. Namun penyakit ini sering dijumpai pada orang dewasa.Angka kejadian
di Indonesia menunjukan kasus laparotomi meningkat dari 162 kasus pada tahun

1
2005 menjadi 983 kasus pada 2006 dan 1281 kasus pada tahun 2007 (Depkes RI,
2007) . Angka kejadian di Rumah Sakit H.Adam Malik Medan menunjukan semakin
tingginya angka terapi pembedahan abdomen tiap tahunya, pada tahun 2008 terdapat
172 kasus laparotomi, lalu pada tahun 2009 terdapat 182 kasus pembedahan
laparotomi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ILEUS OBSTRUKTIF
2.1.1 DEFINISI
Ileus atau obstruksi usus adalah suatu gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran isi usus. Obstruksi usus dapat akut
dengan kronik, partial atau total.Intestinal obstruction terjadi ketika isi usus tidak
dapat melewati saluran gastrointestinal.
Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda
adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan atau tindakan.
Obstruksi usus mekanis adalah Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak
dapat diatasi oleh peristaltik. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia
stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya intususepsi,
tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura,
perlengketan, hernia dan abses.

2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Penyebab tersering obstruksi usus di Indonesia, adalah hernia, baik sebagai
penyebab obstruksi sederhana (51%) maupun obstruksi usus
strangulasi(63%).Adhesi pasca operasi timbul setelah terjadi cedera pada
permukaan jaringan, sebagai akibat insisi, kauterisasi, jahitan atau mekanisme
trauma lainnya. Dari laporan terakhir pasien yang telah menjalani sedikitnya
sekali operasi intraabdomen, akan berkembang adhesi satu hingga lebih dari
sepuluh kali. Obstruksi usus merupakan salah satu konsekuensi klinik yang
penting. Di negara maju, adhesi intraabdomen merupakan penyebab terbanyak
terjadinya obstruksi usus. Pada pasien digestif yang memerlukan tindakan
reoperasi, 30-41% disebabkan obstruksi usus akibat adhesi. Untuk obstruksi usus
halus, proporsi ini meningkat hingga 65-75%.

3
2.1.3 ETIOLOGI
Menurut etiologinya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 3:
a) Lesi ekstrinsik (ekstraluminal) yaitu yang disebabkan oleh adhesi
(postoperative), hernia (inguinal, femoral, umbilical), neoplasma (karsinoma),
dan abses intraabdominal.
b) Lesi intrinsik yaitu di dalam dinding usus, biasanya terjadi karena kelainan
kongenital (malrotasi), inflamasi (Chron’s disease, diverticulitis), neoplasma,
traumatik, dan intususepsi.
c) Obstruksi menutup (intaluminal) yaitu penyebabnya dapat berada di dalam
usus, misalnya benda asing, batu empedu.

2.1.4 KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstrukif dibedakan menjadi,
antara lain:
1. Ileus obstruktif letak tinggi : obstruksi mengenai usus halus (dari gas tersampai
ileum terminal).
2.Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum
terminal sampai rectum). Selain itu, ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 3
berdasarkan stadiumnya, antara lain :
1.Obstruksi sebagian (partial obstruction) : obstruksi terjadi sebagian sehingga
makanan masih bisa sedikit lewat, dapat flatus dan defekasi sedikit.
2.Obstruksi sederhana ( simple obstruction) : obstruksi / sumbatan yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak disertai gangguan aliran darah).
3.Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan
nekrosis atau gangren.

4
2.1.5 KOMPLIKASI
a) Peritonitis septicemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peradangan
pada selaput rongga perut (peritonium) yang disebabkan oleh terdapatnya
bakteri dalam darah (bakteremia).
b) Syok hypovolemia terjadi abikat terjadi dehidrasi dan kekurangan volume
cairan.
c) Perforasiusus adalah suatu kondisi yang ditandai dengan terbentuknya
suatu lubang usus yang menyebabkan kebocoran isi usus ke dalam rongga
perut. Kebocoran ini dapat menyebabkan peritonitis
d) Nekrosisusus adalah adanya kematian jaringan pada usus
e) Sepsis adalah infeksi berat di dalam darah karena adanya bakteri.
f) Abses adalah kondisi medis dimana terkumpulnya nanah didaerah anus
oleh bakteri atau kelenjar yang tersumbat pada anus.

2.1.6 PROGNOSIS
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur,
etiologi,tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun
tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang
dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon
mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus.

5
2.2 ANESTESI UMUM
2.2.1 Definisi Anastesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan
kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,
hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan
mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi,
menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek
yang tidak diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis
yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian
mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang
merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan,
mempunyai batas keamanan yang luas.Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai
berikut:
1) Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2) Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3) Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

6
Tahap-tahap atau stadium anastesi dibagi dalam 4 stadium yaitu :
1. Analgesia
Stadium ini dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan hilangnya
kesadaran. Sulit untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga
sebagai tahap induksi.
2. Eksitasi atau delirium
Pada stadium ini terjadi kehilangan kesadaran akibat penekanan korteks serebri,
pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan
takikardi. Kekacauan mental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi. Waktu induksi
singkat.
3. Surgical
Prosedur pembedahan biasanya dilakukan pada tahap ini. Stadium ini terbagi
dalam 3 tahap yaitu ; plane II yang ditandai dengn pernafasan teratur dan
terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal
masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjungtiva, dan kornea
terdepresi. Plane II ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata
ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III ditandai
dengan respirasi regular, abdominall, bola mata kembali ke tengah dan otot perut
relaksasi.
4. Paralisis medular
Stadium ini merupakan tahap toksik dari anastesi. Ditandai dengan paralisis otot
dada, pulsus cepat dan dilatasi pupil. Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular.
Perlu diberikan bantuan ventilasi.

7
2.2.2 Macam-macam Teknik Anestesi
Teknik anestesi umum ada 3, yaitu:
1. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh
darah vena.
A. Kelebihan TIVA
 Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat
dalam pemakaiannya.
 Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
 Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus
B. Kerugian penggunaan TIVA (Masui , 2009).
 Nyeri pada saat penyuntikan propofol
 Membutuhkan pompa infus yang canggih dengan algoritma untuk peralatan TCI
 Variasi farmakokinetik dan farmakodinamik individu yang lebih besar
 Terdapat variasi individu terhadap kedalaman anestesi yang dimonitor menggunakan
Bispectral Index (BIS)
 Sulit memperkirakan konsentrasi plasma propofol dalam waktu singkat
 Sulit memonitor pemberian intravena kontinyu
 Pada anak-anak waktu paruh context-sensitive mengalami sedikit pemanjangan
dibandingkan dengan dewasa yang ditunjukkan dengan dosis propofol yang lebih
tinggi
 Sindroma infuse propofol
2. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan yaitu N2O, Halotan, Enfluran,
Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori menggunakan sungkup muka,
Endotrakeal Tube nafas spontan, Endotrakeal tube nafas terkontrol.

8
3. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi
obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias
anestesi secara optimal dan berimbang.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi
maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance,
dan lain-lain.

2.2.3 Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2
hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi
pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan
kunjungan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.
Angka mortalitas 38%.
ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu
sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.

9
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI: Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak,
jantung, paru, ibu dan anak.
2.2..4 Pemeriksaan praoperasi anestesi
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti
kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

II. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas

10
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dindingposterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok
saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
A. Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG

11
B. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
IV. Cara Intubasi Penatalaksanaan Airway

2.2.4 Premedikasi Anestesi


Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu
dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat
kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh
terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan
rencana anestesi yang akan digunakan.

12
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :
a. Fentanyl
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil,
suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk
meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang diberikan
selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya
kebutuhan opioid postperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka
dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai
premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun
intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek
depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik
fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan
yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi
dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya
digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam
bentuk kombinasi tetap dengan droperidol10. Fentanyl dan droperidol (suatu
butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida
memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.

13
b. Midazolam
Midazolam merupakan short-acting benzodiazepine yang bersifat depresan
sistem saraf pusat (SSP). Efek midazolam pada SSP tergantung pada dosis yang
diberikan, rute pemberian, dan ada atau tidak adanya obat lain. Sedasi pada pasien
dewasa dan anak-anak dicapai dalam waktu 3 sampai 5 menit setelah injeksi
intravena (IV). Waktu onset dipengaruhi oleh dosis total diberikan dan administrasi
bersamaan premedikasi narkotika. Dalam studi onkologi pediatrik, didapatkan 91%
dari pasien yang menerima midazolam amnesia dibandingkan dengan hanya 35% dari
pasien yang telah menerima fentanil saja.
Midazolam apabila digunakan sesuai petunjuk, tidak menunda pasien dari
sadar setelah dilakukan anestesi umum. Pemulihan yang terjadi setelah pasien sadar
(orientasi, kemampuan untuk berdiri dan berjalan, kesesuaian untuk keluar dari ruang
pemulihan, kembali ke dasar kompetensi Trieger) biasanya terjadi dalam waktu 2
jam, tetapi pemulihan bisa memakan waktu hingga 6 jam dalam beberapa kasus. Bila
dibandingkan dengan pasien yang menerima thiopental, pasien yang menerima
midazolam umumnya pulih sedikit lebih lambat.
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar
darah otak. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik
karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang
masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan
kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak
begitu aktif juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu
paruh diazepam. Waktu paruh meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati.
Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat
banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam,
maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam.
Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa
sirup (2 mg/ml) kepada anak-anak untuk memberikan efek sedasi dan anxiolisis

14
dengan efek pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit
sebelum operasi dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.

2.2.5 Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi11.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat
setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah
postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan
kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis
atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti
selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan
venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek

15
ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya
adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol
cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus.
Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan
kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih
besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-
obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal.
Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca
operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).
b. Rocuronium
Rocuronium bromide adalah pelumpuh otot non-depolarisasi (inhibitor
kompetitif) yang berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil kolin menempatinya, sehingga

16
asetil kolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerjanya pelumpuh otot non-
depolarisasi dibagi menjadi tiga golongan : kerja panjang, sedang dan pendek.
Rocuronium bromide termasuk golongan pendek hingga sedang. Indikasi pemakaian
rocuronium adalah saat intubasi trakea dan relaksasi otot selama pembedahan dan
ventilasi mekanik.
Rocuronium bromide diberikkan secara intravena baik secara bolus maupun
melalui infus secara berkelanjutan. Dosis untuk intubasi endotrakeal rutin adalah 0,6
mg/kg. Untuk induksi cepat dosis rocuronium 1,0 mg/kg, lakukan intubasi setelah 90
detik pemberian rocuronium. Dosis pemeliharaan disarankan 0,15 mg/kg, untuk
inhalasi harus dikurangi 0,075-0,1 mg/kg.
Rokuronium berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada lempeng akhir
motorik. Tidak ada perubahan yang secara klinis bermakna terhadap parameter
hemodinamik. Rocuronium bromide memiliki aktifitas vagolitik ringan dan terkadang
dapat menimbulkan takikardi. Rocuronium bromide tidak melepaskan konsentrasi
histamin yang secara klinis bermakna. Awitan aksi : 45-90 detik, efek puncak : 1-3
menit dan lama aksi : 15-150 menit (tergantung dosis).
Walaupun jarang reaksi anafilaksis yang diakibatkan pelumpuh otot termasuk
Rocuronium bromidepernah dilaporkan. Pada beberapa kasus reaksi ini berakibat
fatal. Oleh karena itu penggunaannya harus diawasi. Penggunaan zat ini dapat
mengakibatkan pelepasan histamin baik lokal ataupun sistemik. Reaksi lokal seperti
gatal dan kemerahan pada tempat suntikan. Reaksi sistemik berupa bronkospasme,
gangguan pada jantung seperti hipotensi dan takikardi. Oleh karena itu penggunaan
zat ini harus dijaga. Pemberian Rocuronium bromide dengan dosis rata-rata 0,3-0,9
mg/kg hanya sedikit meningkatkan histamin plasma. Nyeri pada saat penyuntikkan
Rocuronium bromide pernah dilaporkan. Terutama pada pasien yang belum hilang
kesadarannya secara penuh dan sebagian pada pasien yang diinduksi oleh propofol.
Dilaporkan 16% pasien merasakan nyeri pada saat penyuntikkan Rocuronium
bromide yang awalnya diinduksi menggunakan propofol dan 0,5% yang diinduksi
menggunakan thiopental dan fentanil.

17
2.2.6 Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap
SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan,
hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan
tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% :
50%11.
b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna tanpa
stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak terlihat adanya
degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas.Sevoflurane bekerja cepat,
tidak iritasi, induksi lancar dan cepat serta pemulihan yang cepat setelah obat
dihentikan. Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi
termasuk reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus, olfacatory
cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga mendepresi transmisi rangsang
di spinal cord, terutama pada level dorsal horn interneuron yang bertanggung jawab
terhadap transmisi rasa sakit.

18
2.2.7 Intubasi Endotrakeal
1. Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea
melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakhea
antara pita suara dan bifurkasio trakhea. Tindakan intubasi trakhea merupakan salah
satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi
inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.

2. Indikasi Intubasi Trakea


Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut:
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan
nafas dan lain-lain.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi.

3. Kotraindikasi ETT
Ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan pada
saat dilakukan intubasi, antara lain:
 Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
 Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis

19
 Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi
laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
 Benda asing
 Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
 Obesitas
 Extensi leher yang tidak maksimal : Artritis rematik, spondilosis arkilosing,
halo traction
 Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi
moncong.

4. Pemasangan Intubasi Endotrakheal


Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut14:
a. Persiapan Alat (STATICS):
1) Scope : Laringoscope, Stetoscope
2) Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
3) Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
4) Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
5) Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep
6) Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
7) Suction : Penghisap lendir siap pakai.
8) Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi yang siap
pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).
9) Sarung tangan steril
10) Xylocain jelly/ Spray 10%
11) Gunting plester
12) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
13) Bantal kecil setinggi 12 cm
14) Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan emergency).

20
4.2 Pelaksanaan
Intubasi Endotrakeal

1) Mesin siap pakai


2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
6) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
7) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
8) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
9) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis, dorong blade
sampai pangkal epiglotis
10) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain jelly
11) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan kanan

21
12) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan nafas kontrol
8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
13) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak terdengar
14) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
15) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
16) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
17) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
18) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

2.2.8 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan

22
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

2.2.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.

Aldrete Scoring System


No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakan empat ekstremitas 2
Motorik  Mampu menggerakan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakan ekstremitas 0
2 Respirasi  Mampu napas dalam, batuk, dan tangis 2
 Sesak atau pernapasan terbatas 1
 Henti napas 0

23
3 Tekanan  Berubah sampai 20 % dari prabedah 2
Darah  Berubah sampai 20-50 % dari prabedah 1
 Berubah sampai > 50 % dari prabedah 0
4 Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna  Kemerahan 2
Kulit  Pucat agak suram 1
 Sianosis 0

Jika jumlahnya >8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

24
BAB III

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS

Nama : Tn. Hari Mustakim

Jenis Kelamin :Laki-Laki

Umur :21tahun

No RM : 33.16.45

2. ANAMNESA

• Keluhan utama: Perut membesar

• Telaah :
Pasien dibawa ke Rumah sakit umum haji medan dengan keluhan perut
membesar sejak 1 minggu ini.Perut membesar disertai dengan perut trasa mengeras.
Awalnya pasien merasakan nyeri pada perutnya,nyeri dirasakan hilang timbul.pasien
tidak bisa buang air besar dan buang angin.pasien tidak bisa makan karena sehabis
makan akan muntah.Muntah sebanyak 10kali/hari.

Riwayat penyakit dahulu :-


Riwayat keluarga :-
Riwayat pengobatan :-
Riwayat kebiasaan/sosial : merokok (-), alkohol (-)
Riwayat Alergi :-

Riwayat Pengobatan :- Tidak Ada

Riwayat Psikososial :- Merokok (-)

- Alkohol (-) - Obat-Obatan

25
3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum :Tampak sakit berat

Tinggi Badan :170 cm

Berat Badan :50 kg

B1 (Breath)

Airway : Clear

RR : 20 kali/ menit

SP :Vesikuler kanan = kiri

ST :Ronchi (-), Wheezing (-/-)

B2 (Blood)

Akral :H/M/K

TD : 120/ 90 mmHg

HR : 80 kali/ menit

S : 36 0 C

B3 (Brain)

Sensorium : Compos Mentis

Pupil :Isokor, kanan = kiri 3 mm/ 3 mm

RC : (+) / (+)

B4 (Bladder)

Urine Output :700 CC

Kateter : terpasang

26
B5 (Bowel)

Inspeksi :distensi abdomen

Palpasi :nyeri tekan (+) di seluruh region abdomen.,defans muscular (+)

Auskultasi :peristaltik normal 4x/menit

Perkusi : pekak

Mual/Muntah : (+) (-)

BAB (-)

B6 (Bone)

Oedem : (-)

Ekstremitas Atas : DBN

Ekstremitas Bawah : DBN

Pemeriksaan Umum

Kulit :Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor menurun (-)

Kepala :Normocepali

Mata :Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Edema palpebra (-/-)

Mulut :sulit dinilai

Leher :Pembesaran KGB (-)

Thorax

-Paru (thorax)

Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan abdomino

torakal, retraksi costae (-/-)

Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan

27
Perkusi :Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi :Vesikuler seluruh lapang paru,suara napas tambahan (-)

-Jantung

Inspeksi :Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi :Iktus kordis teraba

Perkusi :

Batas jantung kiri atas : ICS 2 parasternal sinistra

Batas jantung kiri bawah : ICS 5 linea midklavikula sinistra

Batas jantung kanan atas : ICS 2 linea parasternal dextra

Batas jantungkananbawah : ICS 4 linea parasternal dextra

Auskultasi : S1-S2 reguler, suara tambahan (-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Laboratorium

Darah Rutin

Hb :12.1 g/dl (11.7 – 15.5 g/dl)

HT :36,3 % (35 – 47 %)

Eritrosit : 4,1 x 10 6 /µL (3.8 – 5.2 x 10 6 /µL)

Leukosit :10,420 / µL (4000 – 11.000 / µL)

Trombosit :319.000/µL (154.000 – 442.000 / µL)

Hitung Jenis Leukosit

Eosinofil :0% (1-3 %)

Basofil :0% (0-1 %)

N. Stab : 0% (2-6 %)

28
N. Seg :69% (53-75 %)

Limfosit :8% (20-45 %)

Monosit :23% (4-8 %)

Metabolik

KGDS :104 mg/dl (<140 mg/dl)

Fungsi Hati

Bilirubin total :0,65- (0.3-1 mg/dl)

Bilirubin direk: 0,13 (< 0.25 mg/dl)

AST (SGOT) :25 (<40 U/I)

ALT (SGPT) : 8 (<40 U/I)

Fungsi Ginjal

Ureum :69 mg/dl (20-40 mg/dl)

Kreatinin :1.07 mg/dl (0.6-1.1 mg/dl)

5. DIAGNOSIS :ILEUS OBSTRUKS

6. KLASIFIKASI ASA

Pasien termasuk dalam ASA 1

Puasa mulai : Jam 4pagi (8 jam)

7. RENCANA TINDAKAN (DURANTE OPERASI)

Tindakan :LAPARATOMI

Anesthesi : GA-ETT

29
PS-ASA : 1

Posisi :Supinasi

Pernapasan :Terkontrol dengan Ventilator

Anastesi Dengan : N2O:O2:2L/I, Sevofluren

Releksasi Dengan :RCOROCURONIUM

8. PRA ANASTESI

KEBIASAAN

Merokok :tidak

Alkohol :tidak

Kopi/The/Soda :tidak

Olahraga :tidakrutin

PENGOBATAN YANG PERNA DIGUNAKAN

Obat Resep :pasien lupa nama obat dan dosisnya

Obat Bebas (vitamin, herbal) :tidak

Penggunaan Aspirin rutin :tidak

Obat Anti sakit :pasien lupa nama obat dan dosisnya

Injeksi Steroid tahun trakhir :tidak

Alergi obat :tidak

Alergi lateks :tidak

Alergi plester :tidak

Alergi makanan :tidak

30
RIWAYAT KELUARGA

Pendarahan yang tidak normal :tidak

Pembekuan darah yang tidak normal :tidak

Permasalahan dengan pembiusan :tidak

Operasi jantung coroner :tidak

Diabetes :tidak

Serangan Jantung :tidak

Hipertensi :tidak

Tuberculosis :Iya

Penyakit beratlainnya :tidak

KOMUNIKASI

Bahasa : Indonesia

Gangguan Penglihatan / buta :tidak

Gangguan pendengaran / Tuli :tidak

Gangguan bicara :Iya, sakit ketika buka mulut

9. PERSIAPAN OBAT GA-ETT

Premedikasi

Fentanyl : 100 mg

Midazolam : 2,5 mg

Medikasi

Propofol : 100 mg

31
Atracurium :10 mg

Fentanyl : 30 mg

Neostigmin : 0,5 mg

Ketamine :

Ondansetron : 8 mg

Ranitidin : 50 mg

Ketorolac : 30 mg

Atropin : 1 mg

Jumlah Cairan

PO : RL 500 cc + Nacl 500 cc

DO : RL 500 cc + 500 HES+ RL 500cc+ RL 500 + RL 500

Produksi Urin : -

Perdarahan

• Kasa Basah : 1x 15 =15

• Kasa 1/2 basah : 2x 8 = 16

• Suction : 1500 ml

• EBV :50 x 70 = 3500cc

• EBL : 3500cc

• 10 % : 350

• 20 % :700cc

• 30 % :1050cc

32
Durasi Operatif

• Lama Anestesi : 12.10 –1.30WIB

• Lama Operasi : 12.00 – 14.45 WIB

• Teknik Anastesi :GA-ETT

Premedikasi Analgetik + midazolam

Teknik Anastesi : GA - ETT

Premedikasi : Fentanyl 100mg + Midazolam 15 mg

Preoksigenasi Induksi Propofol 100mg Sleep Non Apnue relaxation dgn

Atracurium 50 mg Sleep Apnue ETT No 7 Ujung Tip No 20 Suara

ParuKanan = Kiri Fiksasi

Intubasi : ETT 7 Cuff (+) (Nasotrakeal)

Maintenance : Sevoflurance1,5%+ O 2 + N 2 O 2L/i

10. POST OPERASI

Operasi berakhir pukul : 14.45 WIB

Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room.

Pasien dipindahkan ke ICU karena Alderette score tidak lebih dari 8

Pergerakan : 2

Pernapasan : 2

Warna kulit : 2

Tekanan darah : 2

Kesadaran : 2

33
11. PERAWATAN POST OPERASI

Setelah operasi selesai, pasien dibawa keruang pemulihan setelah dipastikan

Pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign

stabil, pasien dipindahkan kebangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam,

makan dan minum sedikit demi sedikit, dengan makanan yang lunak apabila

pasien sudah sadar penuh dan peristaltik normal.

12. TERAPI POST OPERASI

Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

IVFD RL 30 gtt/menit

Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltik (+) Normal

Injeksi Ketorolac 30 mg / 8 jam IV

Injeksi Ondansetron 4 mg/8 jam IV bila mual/muntah

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2017. PanduanPenatalaksanaan trauma kepaladanwajah

KomitePenanggulangan trauma Nasional

2. Sjamsuhidayat, R.: Wim de Jong. 2004. Buku Ajar IlmuBedahEdisi 2

.Jakarta : EGC, pp. 519-37.

3. Ramli, M. 2015. Update Management Diagnostic And Treatment. Majalah

KedokteranAndalas, vol 38

4. Boulton T., Blogg C. 1994. KomplikasidanBahayaAnestesi: Anestesiologi.

EGC. Jakarta. pp:229-231

5. Munaf, S. 2008. Buku Ajar AnestesidanReanimasi. Jakarta: PT. Indeks

6. E, B, C, et al. 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC

7. Brunicardi, F. Charles., dkk. 2010.Schwartz”s Principles of Surgery, 9 th

ed.United States: The McGraw-Hill Companies.

8. Muhardi, M, dkk. 1989. Anestesiologi, BagianAnastesiologidanTerapi

Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

13. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C. 2009.

Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams &

Wilkins

14. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing

35
Disease. 5th edition. NY : Elsevier

15. OmoiguiSota, Obat – obatananestesiaedisi II, EGC, jakarta, 1997

16. Said A.latief, Kartini A. Suryadi, M.RuswanDachlan, petunjukpraktis

anestesiologi, fakultaskedokteranuniversitasindonesia, jakarta, 2002

17. Latief, A.S. 2007. PetunjukPraktisAnesthesiologiEdisiKedua. Bagian

Anesthesiology danTerapiIntensif. FakultasKedokteranUniversitas

Indonesia, Jakarta

36

Anda mungkin juga menyukai