Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stres dan Stres Kerja


Menurut Charles D, Spielberger (dalam Ilandoyo, 2001:63) menyebutkan bahwa stres
adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam
lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa
diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal
dari luar diri seseorang.
Stres adalah satu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor). Yang
dapat melihat ialah akibat dari pembangkit stres. Menurut Dr. Hans Selye, guru besar emiritus
(purnawirawan) dari Universitas Montrealdan penemu stres. Sebagai seorang ahli faal, ia
terutama tertarik pada bagaimana cara stres mempengaruhi badan. Ia mengamati serangkaian
perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam
tuntutan lingkungan. Rangkaian perubahan ini ia namakan general adption syndrome, yang
terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, ia namakan tahap ’alarm’ (tanda bahaya). Organisme
berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya
sebagai ancaman. Tahap ini tidak dapat tahan lama. Organisme memasuki tahap kedua, tahap
resistance (perlawanan). Organisme memobilisasi sumber-sumbernya supaya mampu
menghadapi tuntutan. Jika tuntutan berlangsung lebih lama, maka sumber-sumber penyesuaian
ini mulai habis dan organisme mencapai tahap terakhir, yaitu tahap exhaustion (kehabisan
tenaga).
Jika diterapkan pada orang, maka sindrom adaptasi umum dari Selye dapat diuraikan
secara singkat sebagai berikut: jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh
stres, maka mekanisme pertahanan dalam badan diaktifkan: kelenjar-kelenjar
mengeluarkan/melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang
besar, dan perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat
(tahap alarm). Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stres bersinambung dan badan
mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas
terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stres (tahap resistance). Tetapi jika
paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan
menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi
sepatutnya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dari hampir semua bagian dari
badan (tahap exhaustion).
Stres kerja yang diungkapkan oleh para ahli diantaranya French, Rogers, dan Cobb (1974)
telah mendefinisikan stres kerja sebagai berikut:
“ a misfit between a person’s skill and abilities and demands of the job misfit in term of
person”s needs supplied by the job environment.” Kemudian bersama Van Harrison dan
Pinneau (1975) mereka mengubah definisi itu menjadi “any characteristic of the job
environment which process a threat to the individual”.
Dalam suatu kesempatan berbeda, Smith (1981) mengemukakan bahwa konsep stres kerja
dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu: pertama, stres kerja merupakan hasil dari keadaan
tempat kerja. Contoh: keadaan tempat bising dan ventilasi udara yang kurang baik. Hal ini akan
mengurangi motivasi karyawan. Kedua, stres kerja merupakan hasil dari dua faktor organisasi
yaitu keterlibatan dalam tugas dan dukungan organisasi. Ketiga, stres terjadi karena faktor
“workload” juga faktor kemampuan melakukan tugas. Keempat, akibat dari waktu kerja yang
berlebihan. Kelima, adalah faktor tanggung jawab kerja. Keenam, tantangan yang muncul dari
tugas. Kesimpulan stres kerja merupakan hasil yang disebabkan oleh faktor-faktor di atas.
Heilriegel & Slocum (1986) mengatakan bahwa stres kerja dapat disebabkan oleh empat
faktor utama, yaitu konflik, ketidakpastian, tekanan dari tugas serta hubungan dengan pihak
manajemen. Jadi stres kerja merupakan umpan balik atas diri karyawan secara fisiologis
maupun psikologis terhadap keinginan atau permintaan organisasi. Kemudian dikatakan pula
bahwa stres kerja merupakan faktor-faktor yang dapat member tekanan terhadap produktivitas
dan lingkungan kerja serta dapat mengganggu individu tersebut. Stres kerja yang meningkatkan
motivasi karyawan dianggap sebagai stres yang positif (eustres). Sebaliknya “Stresor” yang
dapat mengakibatkan hancurnya produktivitas kerja karyawan dapat disebut sebagai stres
negative (distres).
Sementara itu, McGee, Goodson, & Cashman (1984) mendapati bahwa beberapa faktor
yang menyebabkan pegawai mengalami stres kerja tetapi masih merasa puas terhadap
pekerjaannya. Hal ini diantaranya disebabkan oleh tugas yang mereka kerjakan penuh dengan
tantangan dan menyenangkan hati mereka. Selain itu terjadi komunikasi yang efektif diantara
para anggota dalam organisasi tersebut. Mereka menunjukkan bahwa ada kerjasama yang
kondusif antara atasan dan karyawan. Selain itu, karyawan memandang para manajemen
member keleluasaan yang besar terhadap diri mereka. Selanjutnya McGee et al. (1984) juga
menemukan bahwa faktor internal individu yaitu kepribadian dan sifat yang dimiliki individu
dapat memengaruhi kepuasan kerja dan stres kerja karyawan. Namun, hal tersebut ditentukan
dari cara mengelola dan ditambah dengan adanya spesifikasi tugas yang jelas dapat memberi
motivasi kepada karyawan. Oleh karena itu, stres kerja belum tentu dapat member pengaruh
terhadap motivasi kerja karyawan.
Stres kerja yang dapat memengaruhi motivasi kerja mungkin disebabkan oleh adanya
pengaruh lingkungan sosial. Individu mempunyai kecenderungan bertingkah laku dan
bertindak menurut keinginan lingkungan sosial dan dipengaruhi oleh para anggota masyarakat
di lingkungan sosial lainnya (Korman, 1977). Apabila masyrakat menghendaki keberhasilan
para anggota yang ada dalam lingkungan sosial, maka mereka akan berusaha untuk bermotivasi
dalam mencapai keberhasilan tersebut. Jadi, stres lingkungan sosial dan bukan stres kerja yang
dapat memengaruhi individu untuk bermotivasi dalam mencapai keberhasilan.
Selanjutnya, Caplan et al. (dalam Beehr & Newman, 1978) mengatakan bahwa stres kerja
mengacu pada semua karakteristik pekerjaan yang mungkin mengancam individu yaitu baik
berupa tuntutan dimana individu mungkin tidak berusaha mencapai kebutuhannya atau
persediaan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut.
Namun Beehr & Newman (1978) mendefinisikan bahwa stres kerja sebagai suatu keadaan
yang timbul dalam interaksi diantara manusia dengan pekerjaan. Secara umum, stres
didefinisikan sebagai rangsangan eksternal yang mengganggu fungsi mental, fisik, dan kimiawi
dalam tubuh seseorang (Nykodym dan George, 1989). Sebaliknya, Selye (dalam Brief et al.
1981) berpendapat bahwa stres kerja merupakan sustu konsep yang terus-menerus bertambah.
Ini terjadi jika semakin banyak permintaan, maka semakin bertambah munculnya potensi stres
kerja dan peluang untuk menghadapi ketegangan akan ikut bertambah pula.
Seorang individu mungkin mengalami gejala stres kerja positif seandainya mendapat
kesempatan untuk naik jabatan atau menerima ganjaran (reward). Tetapi sebaliknya, jika dia
merasa dihambat oleh berbagai sebab di luar kontrol dalam mencapai tujuannya, maka dia akan
mengalami gejala stres yang negative (Brief et al. 1981). Kemudian Kahn dan Quin (dalam
Ivanceviech, 1982) mendefinisikan bahwa stres kerja merupakan faktor-faktor lingkungan
kerja yang negative seperti konflik peran, kekaburan peran, dan beban kerja yang berlebihan
dalam pekerjaan. Selanjutnya, Rubin dan McNeil (1985) berpendapat bahwa rangsangan
negative dari lingkungan kerja dianggap sebagai penyebab stres eksternal dan tindakan secara
emosional dan fisik sebagai penyebab stres internal.
Sementara itu, Keenan dan Newton (1984) juga berpendapat stres kerja perwujudan dari
kekaburan peran, konflik peran, dan beban kerja yang berlebihan. Kondisi ini selanjutnya akan
dapat mengganggu prestasi dan kemampuan individu untuk bekerja. Ivanceviech et al. (1982)
mengatakan bahwa pengalaman individu mengalami stres kerja dapat digambarkan melalui
perbedaan antara faktor-faktor stres dari lingkungan eksternal yang disebabkan faktor internal,
yaitu tingkah laku tipe A. Menurut Kavaganh, Hurst, dan Rose (1990), stres kerja juga
merupakan suatu ketidakseimbangan persepsi individu tersebut terhadap kemampuannya untuk
melakukan tindakan.
Kemudian stres kerja dapat disimpulkan sebagi suatu kondisi dari hasil penghayatan
subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan lingkungan kerja yang dapat
mengancam dan member tekanan secara psikologis, fisiologis, dan sikap individu.

2.2 Jenis-Jenis Stres


Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:

1) Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif
(bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi
yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat
performance yang tinggi.
2) Distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan
destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga
organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang
tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

2.3 Model Stres


Pada gambar di bawah ini menampilkan sebuah model instruksi dari sebuah stres yang
berkaitan dengan pekerjaan. Model tersebut menunjukkan bahwa empat jenis stresor mengarah
pada stres yang dirasakan, yang pada gilirannya, memunculkan berbagai hasil. Model tersebut
juga menggolongkan beberapa perbedaan individual yang memoderatkan hubungan stresor-
stres-hasil.
Stresor Hasil

Jenjang Individual Perilaku

Beban peran berlebihan Kepuasan

Konflik peran Kinerja

Kemangkiran
Kemenduaan peran
Perputaran
Tanggung jawab
Kecelakaan
Jenjang kelompok Penyalahgunaan obat
Perilaku manajerial

Kurangnya kohesivitas Kognitif

Konflik antar kelompok Pengambilan keputusan jelek


STRES
Konsentrasi berkurang
Jenjang Organisasional
Menjadi pelupa
Iklim

Teknologi Phisiologis
Gaya manajemen Tekanan darah meningkat
Desain Organisasional Kolesterol tinggi

Perbedaan Individual Sakit jantung


Ekstra-Organisasional
Keturunan, seks, usia,
Keluarga, ekonomi
diet, dukungan sosial,
Kurangnya mobilitas watak kepribadian, dan
cara menangani
Kualitas kehidupan
Gambar: Model Stres Pekerja

2.3.1 Stresor
Stresor adalah faktor-faktor lingkungan yang menimbulkan stres. Dengan kata lain,
stresor adalah suatu prasyarat untuk mengalami respon stres. Gambar di atas menunjukkan
empat jenis utama stresor yaitu individual, kelompok, organisasi dan diluar organisasi.
1) Jenjang Individual
Stresor tingkat individual adalah stresor yang berkaitan secara langsung dengan tugas-
tugas kerja seseorang. Contoh stresor yang paling umum adalah beban peran berlebihan,
konflik peran, kemenduaan peran, dan tanggung jawab.
Para manajer dapat membantu mengurangi stresor ini dengan memberikan arahan dan
dukungan dan secara adil mengalokasikan penugasan pekerjaan di dalam unit kerja.
Akhirnya, keamanan kerja adalah stresor tingkat individual yang penting untuk dikelola
karena berkaitan dengan meningkatnya kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kinerja,
dan hal ini sedang mengalami penurunan.
2) Jenjang Kelompok
Stresor tingkat kelompok disebabkan oleh dinamika kelompok dan perilaku
manajerial. Para manajer menciptakan stres pada karyawan dengan:
 Menunjukkan perilaku yang tidak konsisten.
 Gagal memberikan dukungan.
 Menunjukkan kekurangpedulian.
 Memberikan arahan yang tidak memadai.
 Menciptakan suatu lingkungan dengan produktivitas yang tinggi.
 Memfokuskan pada hal-hal negatif sementara itu mengabaikan kinerja yang baik.
3) Jenjang Organisasional
Stresor organisasi mempengaruhi sebagian besar karyawan. Sebagai contoh, sebuah
lingkungan dengan tekanan yang tinggi menempatkan permintaan kerja yang terus-
menerus pada karyawan akan menyalakan respon stres. Sebaliknya penelitian
menyediakan dukungan awal untuk gagasan bahwa manajemen partisipatif dapat
mengurangi stres organisasional. Meningkatnya penggunaan teknologi informasi
merupakan suatu sumber lain dari stres organisasional.
Sebagai tambahan atas beberapa jenis stresor ini, sebagian orang juga fobia terhadap
teknoligi. Akhirnya, desain kantor dan lingkungan umum kantor merupakan stresor
tingkat organisasional yang penting. Penelitian menunjukkan bahwa penerangan yang
buruk, suara yang bising, penempatan perabot yang tidak tepat, dan suatu lingkungan kotor
atau bau akan menciptakan stres.
4) Ekstraorganisasional
Stresor diluar organisasi (extra organizational stresors) adalah stresor yang disebabkan
oleh faktor di luar organisasi. Sebagai contoh, konflik yang berkaitan dengan
penyeimbangan kehidupan karier dan keluarga seseorang sangatlah membuat stres. Status
sosial ekonomi adalah stresor ekstra organisasional yang lain. Stres yang lebih tinggi
terjadi pada orang-orang dengan status sosial ekonomi lebih rendah, yang menggambarkan
suatu kombinasi dari:
 Status ekonomi, sebagaimana diukur dengan pendapatan.
 Status sosial, yang dinilai dengan tingkat pendidikan.
 Status kerja, sebagaimana diindekskan oleh pekerjaan.

2.3.2 Stres
Stres yang dirasakan menggambarkan persepsi keseluruhan seseorang individu
mengenai bagaimana berbagai stresor mempengaruhi kehidupannya. Persepsi terhadap
stresor ini merupakan suatu komponen yang penting di dalam proses stres karena orang
menginterprestasikan stresor yang sama secara berlainan.

2.3.3 Hasil
Para ahli teori menyatakan bahwa stres memiliki konsekuensi atau hasil psikologis
yang berkaitan dengan sikap, keprilakuan, kognitif, dan kesehatan fisik. Sebuah badan
penelitian yang besar mendukung dampak negatif dari stres yang dirasakan pada banyak
aspek kehidupan kita. Stres berkaitan secara negatif dengan kepuasan kerja, komitmen
organisasional, emosi positif, dan kinerja yang berhubungan secara positif dengan tingkat
perputaran yang disebabkan oleh kepenatan.
2.3.4 Perbedaan Individual
Orang tidak mengalami tingkat stres yang sama atau menunjukkan hasil yang
serupa untuk suatu jenis stresor tertentu. Sebagai contoh, jenis stresor yang dialami di
tempat kerja bervariasi menurut pekerjaan dan jenis kelamin. Stresor untuk pengendalian
yang rendah adalah lebih tinggi pada pekerjaan klerikal tingkat rendah daripada pekerjaan
profesional, dan konflik antar pribadi merupakan suatu sumber stres yang lebih besar bagi
kaum wanita daripada kaum pria. Pengendalian yang dirasakan juga merupakan suatu
moderator yang signifikan dari proses stres. Orang merasakan tingkat stres yang lebih
rendah dan mengalami konsekuensi yang lebih mendukung pada saat mereka percaya
bahwa mereka dapat mengendalikan stresor yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Akhirnya, ciri kepribadian kekerasan atau sisinme yang kronis juga memoderatkan
stres. Penelitian menunjukan bahwa orang yang secara terus-menerus marah, ingin tahu,
tidak mudah percaya akan memiliki kemungkin dua kali lipat lebih besar untuk mengalami
penutupan ateri koroner. Walaupun para peneliti telah mampu mengidentifikasi beberapa
moderator yang penting, masih terdapat suatu jurang yang lebar dalam mengidentifikasi
perbedaan individual yang relevan.

2.4 Sumber Stres


Sumber stres (stresor) adalah suatu kondisi, situasi atau peristiwa yang dapat
menyebabkan stres. Dalam hal ini Newstrom dan Davis (1993, hlm.459) mengatakan bahwa
“conditions that tend to cause stres are called stresors”.
Ada berbagai sumber stres yang dapat menyebabkan stres di perusahaan diantaranya
adalah faktor pekerjaan itu sendiri dan diluar pekerjaan itu. Pendapat ini sejalan dengan Tosi
(1971) yang menyebutkan bahwa ada lima macam faktor yang menyebabkan stres dan
berhubungan dengan pekerjaan individu, tekanan peran, kesempatan perlibatan diri dalam
tugas, tanggung jawab individu, dan faktor organisasi.
Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi dan transaksi antara seseorang
individu dengan lingkungannya. Dalam pembahasan ini lingkungan individu tersebut dapat
digolongkan menjadi dua faktor sebagai sumber dari stres, yaitu faktor-faktor pekerjaan dan
faktor-faktor diluar pekerjaan itu sendiri.
1. Faktor-Faktor Pekerjaan
Dalam suatu kesempatan berbeda, Cooper (dalam Munandar, 2001) secara perinci
menemukan bahwa ada 5 macam faktor pekerjaan yang menyebabkan stres, yaitu 1) faktor-
faktor intrinsic dalam pekerjaan (tuntutan fisik dan tugas); 2) pengembangan karier
(kepastian pekerjaan dan ketimpangan status); 3) hubungan dalam pekerjaan (hubungan
antar tenaga kerja) ; 4) struktur ; dan 5) iklim organisasi. Sementara itu, secara jelas
pernyataan Cooper dan Payne (dalam Robins, 2001) telah menyebutkan bahwa ada 3
macam faktor yang menyebabkan stres, yaitu 1) faktor lingkungan (ketidakpastian
ekonomi, politis, dan teknologi); 2) faktor organisasi (tuntutan tugas, peran, antar pribadi,
struktur organisasi, kepemimpinan, dan tahap kehidupan organisasi itu); dan 3) faktor
individual (masalah keluarga, masalah ekonomi, dan kepribadian).
Sejalan dengan hasil penelitian diatas, maka Soewondo menemukan bahwa sumber
stres adalah 1) tempat kerja (ruangan kerja yang terlalu panas atau terlalu dingin, ruangan
sempit, berisik, penerangan kurang); 2) isi pekerjaan (batas waktu, beban kerja, tekanan
waktu, kekompleksitasan pekerjaan, pekerjaan yang terlalu banyak sehingga tak
terselesaikan, pekerjaan baru yang belum dikenal merupakan sumber stres); 3) syarat-
syarat pekerjaan (karier tidak jelas, kenaikan pangkat tertahan, tidak dipromosikan, status
kepegawaian yang tidak jelas, masalah penghargaan stresor di tempat kerja mereka); dan
4) hubungan interpersonal dalam bekerja (atasan yang terlalu banyak tuntutan, atasan yang
menyebalkan, kurang apresiasi dari pimpinan, keputusan atasan yang berubah-ubah, sikap
kolega yang tidak enak,tidak cocok dengan teman sekerja, kurang terbuka antara atasan
dan bawahan, bawahan yang memerlukan petunjuk setiap saat dalam menyelesaikan
pekerjaan rutin).
Mengikuti Tosi et al. (1990, 348-69) yang mengatakan bahwa ada lima faktor yang
dapat menjadi sumber stres dalam organisasi, yaitu:
a. Faktor-Faktor Yang Berkaitan dengan Pekerjaan Seseorang Individu
Ada beberapa tugas yang cenderung menunjukkan lebih banyak berhubungan
dengan stres daripada tugas-tugas lain. Hal ini terbukti dari beberapa contoh hasil
penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, yaitu:
Karyawan-karyawan yang berkolaret biru lebih memungkinkan menghadapi resiko
pekerjaan yang mengancam kesehatan, tugas-tugas yang dilakukan berhubungan
dengan bahan-bahan yang beracun (Shostak, 1980). Peneliti-peneliti yang lain
menunjukkan bahwa orang yang bekerja pada pekerjaan rutin mengalami tingkat
keengganan, kebosanan (Kornhauser, 1965) dan bekerja dengan kecepatan gerakan
mempunyai hubungan signifikan dengan ketegangan, kecemasan, kemarahan, dan
tugas yang ada dalam pekerjaan tersebut (Hurrel, 1985).
Hasil penelitian Karasek dkk. (1981) mendukung bahwa sebab-sebab dari setiap
tingkat stres yang tinggi ada dalam beberapa tugas dan bukan tugas-tugas lainnya.
Mereka memperlihatkan bahwa beberapa tugas yang mempunyai nilai lebih tinggi
dalam menghasilkan resiko munculnya penyakit jantung koroner dibandingkan dengan
yang lain. Sementara itu, tingkat resiko munculnya penyakit jantung koroner adalah
sebuah fungsi dari dua faktor tugas yaitu tingkat dari tekanan psikologis dan tingkat
dari pengendalian kerja yang berlebih. Mereka menemukan resiko mengalami penyakit
jantung koroner yang tinggi berhubungan dengan tugas-tugas dari seorang pelayan
perempuan, juru masak, dan karyawan yang bekerja di sebuah pabrik produksi pakaian.
Sebaliknya, tugas-tugas yang beresiko mengalami penyakit jantung koroner yang
rendah adalah pengawas hutan, ilmuwan, dan pedagang kelililng.
Tekanan-tekanan psikologis yang tinggi menyebabkan tugas-tugas menjadi
beresiko tinggi dalam melakukan pengendalian terhadap keputusan. Individu yang
melakukan tugas-tugas yang beresiko tinggi mengalami penyakit jantung koroner bisa
juga tidak mengalami perubahan perilaku apabila ia mendapat tekanan psikologis dari
orang lain. Hal ini disebabkan individu member respons terhadap tekanan psiokologis
tersebut dengan satu cara yang dikehendaki oleh orang lain dan bukan seperti cara yang
dikehendakinya.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang manajer puncak mempunyai
tingkat kematian lebih rendah karena penyakit jantung koroner dari populasi lelaki yang
menjadi manajer madya pada umumnya (Goldberg, 1979). Hasil penelitian tersebut
tampaknya tidak berubah sesuai dengan stereotip tradisional yang menunjukkan bahwa
tekanan psikologis terhadap manajer puncak mempunyai pengendalian yang lebih
tinggi terhadap pekerjaan mereka daripada orang yang mempunyai jabatan yang lebih
rendah. Situasi ini juga lebih memungkinkan manajer puncak mempunyai pribadi lebih
tahan dalam menghadapi tekanan-tekanan psikologis yang dapat menimbulkan
penyakit jantung koroner karena adanya situasi-situasi yang penuh dengan stres
tersebut dari pada manajer madya yang sering mendapat tekanan dari atasan,
bawahannya sehingga dapat membuat dirinya mengalami stres kerja yang tinggi dan
menimbulkan potensi munculnya penyakit jantung koroner.

b. Stres Peran
Dalam kesempatan, Kahn dkk. (1964) telah melakukan penelitian tentang konflik
peran dan ketidakjelasan peran dalam suatu organisasi. Tujuan mereka melakukan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat ketegangan peran dan
penyesuain diri. Penelitian ini didasarkan pada premis bahwa individu-individu lebih
efektif dalam memainkan perannya ketika ia memahami tentang peran yang
dimainkannya, sehingga mereka tidak mengalami stres/tekanan-tekanan peran yang
menimbulkan konflik peran yang tinggi.
Contoh yang dapat menggambarkan konflik peran adalah seorang manajer
mengharapkan dukungan dari bawahannya untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.
Namun, mereka tidak diberi tambahan sumber-sumber agar lebih produktif. Sering kali
manajer dalam mencapai tujuannya memerlukan dukungan dari bawahannya tetapi
sebaliknya ia harus membuat perencanaan agar dapat mengendalikan program secara
efektif dan efisien. Tipe yang lain dari ketegangan peran adalah ketidakpastian terhadap
hasil pengalaman yang diperoleh individu tentang pengharapan-pengharapan yang lain,
yang tampak dalam tipe 1 dan tipe 2.
Tipe 1, ketidakjelasan peran yang dikerjakan individu dapat menyebabkan
ketidakpastian tentang persyaratan kerja mereka sendiri karena hal ini bersifat umum.
Contoh, ketika individu mendapat posisi baru, maka individu tersebut mencoba
mempelajari bagaimana cara mengerjakan tugas, karena tugas tersebut menunjukkan
ketidakjelasan tanggung jawabnya. Selain itu, deskripsinya samar-samar dan instruksi-
instruksinya juga tidak jelas. Tipe 2, merupakan tipe yang berhubungan dengan
ketidakjelasan emosi dan sosial, ketidakpastian tentang bagaimana prestasi kerja
individu dinilai oleh orang lain. Situasi ini muncul ketika ukuran kerja untuk
melaksanakan penilaian prestasi tidak jelas dan pertimbangan penilaiannya subjektif.
Situasi tersebut dapat menyebabkan timbulnya masalah apabila orang yang dapat
dinilai prestasi kerjanya merasa tidak puas dan menerima kenyataan tersebut.

c. Peluang Partisipasi
Ada beberapa manajer dilaporkan bahwa apabila tingkat partisipasi mereka dalam
mengambil keputusan dirasakan lebih banyak akan mengalami stres yang lebih rendah.
Sebaliknya, tingkat kecemasan terhadap tugas dan ancaman terhadap tugas dirasakan
rendah oleh manajer yang partisipasinya terhadap tugasnya rendah (Tosi, 1971).
Partisipasi adalah penting untuk dua alas an, yaitu: (1) partisipasi dihubungkan dengan
konflik peran yang rendah dan ketidakjelasan peran yang rendah (Kahn et al., 1964,
Tosi, 1971); (2) partisipasi yang tinggi (keputusan-keputusannya lebih berpengaruh)
dapat membuat seseorang merasa dapat mengendalikan lingkungan sekitarnya.
d. Tanggung Jawab
Tanggung jawab yang lain mungkin dapat mempengaruhi stres yang sedang bekerja
(Cooper dan Marshall, 1976). Sebagai seorang manajer keefektifannya tergantung pada
siapa yang bekerja untuknya, seandainya manajer mempunyai alasan bahwa dirinya
tidak mempunyai kepercayaan terhadap mereka, atau kemampuannya kurang dapat
mengendalikan mereka, maka manajer aka mengalami stres karena diriya tidak dapat
mengendalikan situasi tersebut.

e. Faktor-Faktor Organisasi
Organisasi itu sendiri dapat menyebabkan stres. Contohnya, banyak yang percaya
bahwa birokrasi (atau mekanis) merupakan bentuk organisasi yang mengarah dan tidak
memaksimalkan potensi individu, sedangkan struktur organisasi lebih memungkinkan
untuk mewujudkan potensi dan produktivitasnya individu (Argyris, 1964; Presthus,
1978). Di bawah ini ada empat cirri-ciri organisasi yang dapat menyebabkan stres yaitu:
1. Tingkat organisasi
2. Keadaan yang sulit dalam organisasi
3. Taraf perubahan organisasi
4. Batas peran

Anda mungkin juga menyukai