Anda di halaman 1dari 9

PPN DAN PPNBM

Kelompok 7:

1. Ni Kadek Putri Noviana 03


2. Ni Made Indri Raditya Oviani 04
3. I Gusti Agung Ayu Laksmi Wedari 07
4. Alit Anggara Putra 15
5. I Gusti Ngurah Agung Priadnyana Putra 20
6. Ni Putu Eni Juniari 26
7. I Dewa Ayu Diah Cahyani 40

Universitas Mahasaraswati Denpasar

Tahun Ajaran 2018


A. PENDAHULUAN

Pengertian PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari
barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak
tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan
penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan
langsung pajak yang ia tanggung. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada
pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang
disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak
keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual
produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPn yang dibayarkan ketita PKP membeli,
memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 %. Batas waktu penyetoran
dan pelaporan PPN adalah setiap akhir bulan. Dasar hukum utama yang digunakan untuk
penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu
Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Mewah (PPnBM)


PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan
PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dikenakan terhadap :
1. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh
pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak
dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM
tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP
Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan
dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor.

B. DASAR HUKUM PPn dan PPnBM


a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak
Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

C. BARANG KENA PAJAK


Barang kena pajak adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak
berdasarakan UU PPN

Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah :


1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau
bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial atau
ilmiah.
3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial.
4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada huruf 1, penggunaan atau hak menggunakan hak-hak
tersebut pada no 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf 3,
berupa :
a. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik,
atau teknologi yang serupa.
b. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
c. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi.
d. Penggunaan atau hak mengguanakn film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio
e. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana
tersebut di atas.

D. PENGECUALIAN BARANG KENA PAJAK (BKP)

Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas
kelompok-kelompok barang sebagai berikut :
a. Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, seperti: Minyak bumi, gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara, biji
besi, timah, biji emas, biji nikel, biji perak serta biji bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti: Beras,
gabah, jagung, sagu, kedelai, garam.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya.
d. Uang, emas batangan, surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya)

E. JASA KENA PAJAK

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun


2000, definisi jasa kena pajak tidak mengalami perubahan, yaitu jasa kena pajak adalah setiap
kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas
petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini.

Dengan rumusan yang tidak sama, namun dengan persepsi yang sama berdasarkan Pasal 4 huruf
C Juncto Pasal 1 angka 14 dan 15 UU No. 8 PPN Th. 1983, suatu kegiatan penyerahan
dikenakan PPN sepanjang memenuhi syarat-syarat :
1. Penyerahan jasa kena pajak;
2. Berlangsung di dalam daerah pabean;
3. Berlangsung di dalam kegiatan usaha dan atau pekerjaan;
4. Penyerahan dilakukan oleh pengusaha jasa kena pajak.

Berdasarkan Pasal 4A Ayat 3 UU No. 8 PPN Th. 1983 Juncto Pasal 5 PP No. 144 Th. 2000 jenis
jasa yang tidak kena PPN adalah
1. Jasa di bidang pelayan kesehatan medik;
2. Jasa di bidang pelayanan sosial;
3. Jasa di bidang pengiriman surdat dengan perangko;
4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
5. Jasa di bidang keagaman;
6. Jasa di bidang pendidikan;
7. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
10. Jasa di bidang tenaga kerja;
11. Jasa di bidang perhotelan;
12. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum.

F. PENGUSAHA KENA PAJAK

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha sebagaimana dimaksud di atas yang melakukan
penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenakan pajak
berdasarkan UU PPN tahun 1984, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan
Menkeu, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak :


1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP
2. Memungut PPN dan PPnBM yang terutang
3. Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak
4. Membuat nota retur dalam hal pengembalian BKP
5. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya
6. Menyetor PPN dan PPnBM
7. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN)
G. PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK

Pengertian penyerahan dimaksudkan sebagai penyerahan hak, pengalihan hak atas barang,
pemakaian sendiri dan penyerahan lainnya seperti penyerahan karena konsinyasi. Termasuk
dalam pengertian penyerahan barang Kena Pajak sesuai dengan Undang-undang PPN adalah

1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian.


Perjanjian yang dimaksudkan meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan
angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.

2. Pengalihan Barang Kena Pajak karena satu perjanjian sewa beli dan atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing).
Penyerahan Barang Kena Pajak juga dapat terjadi karena perjanjian sewa beli atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan karena
perjanjian sewa guna usaha adalah penyerahan yang disebabkan oleh perjanjian sewa
guna usaha dengan hak opsi. Meskipun pengalihan atau penyerahan hak atas Barang
Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran atas harga jual Barang Kena Pajak tersebut
dilakukan secara bertahap, tetapi karena pengusaan atas Barang Kena Pajak telah
berpindah dari penjual kepada pembeli atau dari lessor kepada lessee, maka penyerahan
Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi pada saat perjanjian ditandatangani, kecuali
apabila saatnya berpindahnya pengusaan secara nyata atas Barang Kena Pajak tersebut
terjadi lebIh dahulu daripada saat ditandatanganinya perjanjian.
3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru
lelang.
Pedagang perantara adalah orang pribadi atau badan yang dalam lingkungan perusahaan
atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan
untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya
komisioner. Sedangkan yang dimaksud dengan juru lelang adalah juru lelang pemerintah
atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.

4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak.
Pemakaian sendiri diartikan sebagai pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri,
pengurus, atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai
pemberian yang diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk
promosi kepada relasi atau pembeli.

5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan.
Persediaan Barang Kena Pajak dan asset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan disamakan dengan
pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak. Khusus
untuk asset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, hanya dikenakan
PPN apabila memenuhi persyaratan, yaitu bahwa PPN yang dibayar pada saat
perolehanya dapat dikreditkan.

6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang.
Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang, yaitu tempat
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pihak lain, baik sebagai pusat maupun
sebagai cabang perusahaan, maka undang-undang ini menganggap bahwa pemindahan
Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan cabang dalam ketentuan ini termasuk antara lain lokasi usaha,
perwakilan, unit pemasaran, dan sejenisnya.

7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.


Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, PPN yang sudah dibayar pada waktu Barang
Kena Pajak bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan
tersebut. Sebaliknya jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan
diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak pengusaha yang
menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang
Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A tentang PPN dan PPn BM.
Perlu diketahui bahwa penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh pengusaha
kecil sesuai dengan ketentuan Undang-undang PPN, tidak dikenakan pajak Pertambahan
Nilai.
Yang tidak termasuk dalam penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang.
2. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang.
3. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan
Barang Kena Pajak antarcabang, dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut telah
memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang
4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan
dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan.
H. OBJEK PPN

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalamDaerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
(UU No 11 Tahun 1994)
b. impor Barang Kena Pajak. (UU No 11Tahun 1994)
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabeanyang dilakukan oleh Pengusaha. (UU
No 18 Tahun 2000)
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujuddari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean. (UU No 11 Tahun 1994)
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dariluar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau (UU No
11 Tahun 1994)
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh PengusahaKena Pajak. (UU No 18 Tahun 2000)

OBJEK PPNBM

PPnBM terutang hanya pada dua peristiwa yaitu pada saat impor BKP yang tergolong mewah
dan pada saat penyerahan BKP tergolong mewah oleh Pabrikan.
BKP yang tergolong mewah berarti :
a. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
d. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
e. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu
ketertiban masyarakat seperti minuman beralkohol.

I. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan
PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dikenakan terhadap :
1. Penyerahan BKP yang tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang
menghasilkan BKP yang tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor BKP yang tergolong Mewah

Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan
(pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi
pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan
BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu,
PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN
impor dan PPh Pasal 22 Impor.
Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM

1. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan
konsumen yang berpenghasilan tinggi.
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah
3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecuali atau tradisional
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara

Maka atas penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh produsen atau impor BKP yang
tergolong Mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) juga dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah ( PPn BM ).

Batasan suatu barang termasuk BKP yang tergolong mewah adalah :


1. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
2. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
3. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan atau
4. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status

Tarif Penjualan Atas Barang Mewah


Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif pajak penjualan atas barang mewah
ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi sebesar 200% (dua ratus
persen). Jika pengusaha melakukan ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka
akan dikenai pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen).

Anda mungkin juga menyukai