Anda di halaman 1dari 13

JOURNAL READING

Incidence and Pattern of Dry Eye after Cataract Surgery

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Periode 18 Maret-12 April 2019
Bagian Ilmu Penyakit Mata Balai Kesehatan Indera Masyarakat Semarang

Disusun Oleh:
Qodrunnada Maulidinawati
30101407289

Pembimbing:
dr.Meiyana Handarina, Sp.M

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
BALAI KESEHATAN INDERA MASYARAKAT
SEMARANG
2019
Kejadian dan Pola Mata Kering setelah Operasi Katarak

Abstract
Tujuan: Untuk mengevaluasi kejadian dan pola keparahan mata kering setelah
fakoemulsifikasi.
Tempat: King Chulalongkom Memorial Hospital, Bangkok, Thailand
Desain: Studi prospektif deskriptif
Metode: sampel diperoleh dari 92 pasien katarak imatur yang berusia 18 tahun atau lebih.
Kejadian dan pola mata kering dianalisis dalam hari ke 0, 7, 30, dan 90 setelah fakoemulsifikasi
menggunakan (1) Kuesioner Ocular Surface Disease Index (OSDI) (2) tear break up time
(TBUT), (3) sistem pewarnaan permukaan okular Oxford, dan (4) uji Schirmer I tanpa anastesi.
Hasil: Tujuh hari setelah fakoemulsifikasi, mata kering terjadi 9,8% (IK 95%; 3,6 - 16.0%).
Keparahan mata kering memuncak pada 7 hari post-fakoemulsifikasi dan di ukur menggunakan
kuesioner OSDI dan seluruh ketiga uji klinis. Dalam 30 hari dan 3 bulan paska operasi, kedua
tanda dan gejala perbaikan timbul cepat dan bertahap secara berurutan. Namun, mata kering
post-fakoemulsifikasi tidak signifikan berkaitan dengan jenis kelamin dan hipertensi sistemik
(P=0.26, 0.17 and 0.73, berurutan).
Kesimpulan: Kejadian mata kering setelah fakoemulsifikasi adalah 9,8%. Gejala dan tanda
mata kering terjadi paling awal setelah 7 hari post-fakoemulsifikasi dan tingkat keparahan
berkembang sesuai waktu. Kami menyarankan bahwa para ophtalmologis sebaiknya
mengevaluasi kedua hal baik sebelum dan setelah fakoemulsifikasi pada pasien untuk
mencegah kerusakan lebih jauh pada permukaan okular dan mampu untuk segera mengatur
penatalaksanaan pasien dengan efektif sehingga pasien tidak akan memiliki kualitas hidup dan
penglihatan yang buruk karena sindrom mata kering.

Pendahuluan
Mata kering adalah penyakit multifaktorial pada permukaan okular dan air mata. Gejala
yang muncul pada okular seperti rasa sakit, iritasi, dan penglihatan menurun dapat disebabkan
oleh mata kering. Dampak mata kering yang berat pada okular dan status kesehatan umum
meliputi kualitas hidup pasien, sejak sindrom mata kering umum terjadi di seluruh dunia, dapat
menyebabkan beberapa hal. Sejumlah studi epidemiologi dilaporkan bahwa usia, penyakit
jaringan penghubung, riwayat alergi dan diabetes, dan penggunaan antihistamin dan bedah
refraktif merupakan faktor-faktor resiko dalam perkembangan sindrom mata kering.
Beberapa pasien yang mengikuti operasi katarak, dengan prosedur paling umum yang
dilakukan pada unit optalmik, memiliki keluhan mata kering dan gejala iritasi paska operasi.
Komplikasi seperti sindrom mata kering dapat terjadi setelah tindakan EKEK karena insisi
yang lebar tercipta pada mata selama prosedur yang kadang-kadang juga merusak kornea.
Fakoemulsifikasi juga umum dilakukan di seluruh dunia; insisi yang lebih kecil tercipta dari
getaran ujung probe dengan ultrasonik yang bertujuan untuk mengemulsi atau membentuk
fragmen-fragmen kristal lensa. Sedikit laporan mengenai sindrom mata kering yang berfokus
pada pasien yang menjalani fakoemulsifikasi dan sesudah itu berkembang menjadi mata kering.
Pada studi yang terbaru, kami menggunakan berbagai variasi pengukuran untuk menilai
kejadian dan pola keparahan sindrom mata kering pada pasien yang menjalani
fakoemulsifikasi.

Bahan dan Metode


Prospektif ini, studi deskriptif yang diselenggarakan pada pasien rawat jalan dan unit
bedah departemen optalmologi, King Chulalongkorn Memorial Hospital, Bangkok, Thailand,
dari tahun 2010 sampai 2011. Terdapat 92 pasien berusia 18 tahun ke atas dengan katarak dan
tanpa mata kering, di nilai dengan menggunakan kuesioner OSDI (Skor OSDI 25 atau kurang).
Pasien yang menerima medikasi beragam yang dapat menyebabkan mata kering seperti
antihistamin, antidepresan, obat KB, dekongestan, medikasi jangka pendek, gabapentin,
sildenafil citrate, obat antikolinergik, dan yang mengalami penyakit autoimun termasuk dalam
kriteria eksklusi. Pasien yang juga dieksklusi jika mereka mengalami komplikasi yang
berkembang selama fakoemulsifikasi.

Pernyataan Etik
Pengurus institusional fakultas kedokteran, universitas Chulalongkorn, menyetujui dan
memantau studi ini. Seluruh pasien memperoleh inform konsen sebelum memulai studi.
Ukuran sampel pada studi ini di hitung berdasarkan studi dari Lekhanont et al. yang
dilaporkan 34% angka kejadian mata kering pada 550 pasien di Bangkok. Kejadian mata kering
di nilai menggunakan kuesioner OSDI. Pola keparahan mata kering setelah fakoemulsifikasi
diperoleh dari rata-rata skor OSDI, tear break-up time (TBUT), uji Schirmer I tanpa anastesi,
dan Schema Oxford. Kejadian mata kering pada 7 hari setelah fakoemulsifikasi di nilai
menggunakan kuesioner OSDI, terdapat 12 hal pada kuesioner yang digunakan di seluruh dunia
dan secara akurat menilai gejala iritasi okular yang berkaitan dengan mata kering dan gangguan
penglihatan. Kami memodifikasi kuesioner dengan menghilangkan hal ke 4 dan ke 5, yang
berguna untuk menilai adanya penglihatan yang menurun dan kabur, karena ini sulit untuk
membedakan perubahan gejala-gejala ini karena operasi katarak sendiri yang merangsang
terjadinya kondisi mata kering. Total skor OSDI di hitung menggunakan formula berikut:
Skor OSDI = (jumlah seluruh jawaban pertanyaan) x 100/ total nomor pertanyaan yang di
jawab ) x 4
Rentang skor OSDI dari 0 sampai 100. Skor dari 0 - 25 dikategorikan sebagai normal,
skor lebih dari 25 mengindikasikan adanya gejala mata kering.
Setelah kuesioner terpenuhi, uji-uji berikut dilakukan secara berurutan: TBUT,
pewarnaan fluorescein dengan Schema Oxford, dan uji Schirmer I tanpa anastesi. TBUT di
ukur berdasarkan interval antara kedipan penuh terakhir dan tampilan pertama pada spot kering
atau gangguan dari lapisan air mata. Tiga skor TBUT dirata-ratakan untuk menentukan apakah
pasien memiliki mata kering. Skor rata-rata pada 10 detik lebih diklasifikasikan sebagai
normal; skor TBUT < 10 detik mengindikasikan adanya mata kering. Derajat pewarnaan
fluorescein konjungtiva dan kornea menggunakan Schema Oxford, dengan 0 ke I adalah
normal dan II ke V adalah mata kering. Untuk uji Schirmer I tanpa anastesi, kertas strip
Schirmer dimasukkan melewati batas bulu mata bawah, setengah bagian antara tengah sampai
sepertiga luar bulu mata. Strip yang basah di ukur selama 5 menit setelah diletakkan. Area yang
basah di ukur 10 mm atau kurang maka terdiagnosis sebagai mata kering. Kuesioner OSDI dan
ketiga uji klinis dilakukan pada hari ke 0 (sebagai baseline), minggu ke-1, bulan ke-1 dan ke-3
setelah fakoemulsifikasi.
Satu ahli bedah (N.K.) melakukan seluruh operasi katarak dengan pasien di bawah
anestesi topikal yang dirangsang dengan tetrakain hidroklorid 0,5%. Sebelum pembedahan,
mata dipersiapkan dan ditutup menggunakan teknik steril. Fakoemulsifikasi dilakukan dengan
insisi kornea 2,75 mm ke arah temporal dan sisi satunya dengan insisi sekitar 90O 1 mm
menjauh dari insisi utama. Rentang waktu fakoemulsifikasi 5 sampai 10 menit dan dimasukkan
lensa intraokular yang dapat di lipat setelahnya. Tidak terdapat komplikasi intraoperatif pada
semua kasus. Setelah operasi, seluruh pasien diberikan Tobradex (tobramycin dengan
deksametasone optalmik, Alcon, Fort Worth, TX) tetes mata empat kali sehari selama 1 bulan.
Pola mata kering diketahui dengan rerata skor OSDI, TBUT, dan uji Schirmer I tanpa
anastesi dianalisis sebagai data lanjutan dan oleh sistem pewarnaan permukaan okular Oxford
dimasukkan sebagai data ordinal. Analisis Kappa digunakan untuk menilai kesepakatan antara
empat uji. Hubungan antara usia, jenis kelamin, penyakit yang mendasari, dan mata kering
paska operasi di analisis dengan uji Fisher exact. Seluruh analisis statistik dilakukan
menggunakan perangkat lunak Stata, versi 11 (StataCorp. 2009. Stata Statistical Software:
Release 11. College Station, TX: StataCorp LP.) dengan nilai signifikansi alfa 0.05.

Hasil
Data 92 mata dari 92 pasien (satu mata untuk masing-masing pasien) dianalisa. Data
demografi pasien ditunjukkan pada tabel 1. 66% pasien adalah wanita (rata-rata usia 67.22 ±
8.26 tahun).
Data pada hari ke 7, 30, dan 90, yang berasal dari kuesioner OSDI dan ketiga uji klinis
lainnya diketahui sebanyak 92 pasien (100%), 82 pasien (89,1%) dan 74 pasien (80,4%) secara
berurutan. Pada hari ke-7, 9 dari 92 kasus dengan OSDI mencapai skor 25. Angka kejadian
mata kering adalah 9,8% (95% IK, 3.6%–16.0%). Perubahan-perubahan pada uji yang lain
berkorelasi dengan hasil OSDI (Tabel 2).
Pada hari ke 7 paska operasi, rerata skor kuesioner OSDI (Pra operatif : paska operatif,
12.57 : 33.87), TBUT (Pra operatif : paska operatif, 12.15 : 4.59 detik), Schema Oxford (Pra
operatif : paska operatif, derajat 1 : 2), Schirmer I tanpa anastesi (Pra operatif : paska operatif,
14.14 : 7.57) mengarahkan kepada sindroma mata kering. Kesepakatan antara 3 uji klinis dan
kuesioner OSDI dalam variasi kombinasi dianalisis menggunakan analisis Kappa dan
menunjukkan tidak adanya kesepakatan satu sama lain kecuali kuesioner OSDI dengan Schema
Oxford dan TBUT dengan Schema Oxford. Kesepakatan yang rendah diketahui terdapat antara
kuesioner OSDI dan Schema Oxford (kesepakatan 47,2%, Kappa 9,8%, p=0.03); TBUT dan
Schema Oxford (kesepakatan 73,0%, Kappa 39,9%, p<0.001) menunjukkan kesepakatan yang
baik.
Gambar 1 menunjukkan hasil antara adanya gejala yang di nilai dengan kuesioner OSDI
dalam kombinasi dengan salah satu dari ketiga uji klinis yang dilakukan pada hari ke 7. Pasien
dengan gejala OSDI sering menurunkan skor TBUT (77,78%) dan sebuah Schema Oxford yang
abnormal (88,89%) dalam kontras dengan uji Schirmer I tanpa anastesi. Menurut uji Schirmer I
tanpa anastesi, 88,89% memiliki hasil uji normal.
Pola mata kering paska operasi berdasarkan skor OSDI ditunjukkan pada gambar 2.
Rerata skor OSDI pada hari ke-7, bulan pertama dan ketiga paska operasi adalah 33.87, 17.34,
dan 16.88. pola mata kering mirip dengan ketiga uji klinis dan kuesioner OSDI (gambar 3-5).
Hanya 4 dari 9 pasien dengan mata kering paska operasi yang memiliki hipertensi
sistemik. Tidak terdapat pasien dengan penyakit yang mendasari. Tidak ditemukan korelasi
antara mata kering paska operasi dengan jenis kelamin (p = 0.26), usia (p = 0.17), atau
hipertensi sistemik (p = 0.73)

Diskusi
Mata kering adalah penyakit multifaktorial pada air mata dan permukaan okular yang
dapat merupakan hasil dari defisiensi akuos atau evaporasi alami. Sindrom ini berdampak pada
individu di seluruh dunia. Studi berdasarkan populasi jangka panjang diketahui memiliki
tingkat insidensi mata kering pada populasi antara usia 43 dan 86 tahun pada 5 dan 10 tahun
pemantauan menjadi 13,3% dan 21,6%. Di Thailand, kejadian amta kering pada populasi di
rumah sakit sekitar 34%.
Mata kering dapat sering berkembang setelah berbagai variasi jenis bedah optalmik
seperti photorefractive keratectomy and laser-assisted in situ keratomileusis (LASIK). Tingkat
kejadian mata kering, di nilai dengan pewarnaan fluorescein kornea setalah 1 minggu paska
operasi pada nasal atau superior-hinge LASIK, adalah 47.06% dan 52.94%. Tambahan, setelah
LASIK, mata kering dapat menetap lebih dari 6 bulan atau lebih dengan kejadian 20% dimana
pada pasien yang menjalani blefaroplasti, mata kering dapat bertahan sampai 2 minggu lebih
dengan insidensi 10,9%. Meskipun studi sebelumnya membandingkan perubahan antara
preoperatif dan postoperatif pada gejala mata kering dan atau nilai uji mata kering dapat
memburuk secara signifikan setelah operasi katarak. Studi terbaru adalah pertama untuk
dilaporkan insiden dan pola mata kering setelah fakoemulsifikasi menggunakan variasi
kombinasi pengujian lebih dari periode 90 hari.
Kesulitan menilai mata kering adalah bahwa tidak adanya uji gold standard. Hasilnya,
berbagai variasi alat diagnostik dengan perbedaan sensitivitas dan spesifitas digunakan untuk
mendiagnosa mata kering, kuesioner sering digunakan untuk studi penelitian epidemiologis
untuk menilai mata kering. Studi terbaru, kami menggunakan kuesioner OSDI karena dapat
dipercaya untuk menilai keparahan, riwayat alami, dan efek pada mata kering. Dibandingkan
dengan survey Short Form 12- Health, kuesioner the National Eye Institute Visual
Functioning, dan kuesioner the McMonnies Dry Eye, kuesioner OSDI memiliki sensitivitas
60% dan spesifitas 79%. Kami merubah kuesioner OSDI dengan menghilangkan 2 dari lima
pertanyaan evaluasi gejala okular yang menyinggung penglihatan tajam rendah dan kabur
sehingga kami yakin bahwa dengan begitu dpat menghindari bias karena ketajaman penglihatan
lebih baik paska operasi.
Meskipun Rose Bengal lebih sensitif untuk mengevaluasi permukaan okular pada mata
kering pasien, kami hanya melaporkan hasil pewarnaan konjungtiva dan kornea sejak
kebanyakan pasien menolak menggunakan pewarnaan Rose Bengal paska operasi karena
ketidaknyamanan akibat pewarnaan.
Alasan mengapa TBUT dan Schema Oxford menyatakan lebih banyak kasus pada paska
operasi dibandingkan dengan uji Schirmes I tanpa anastesi (Tabel 2) adalah karena uji-uji ini
dapat dengan mudah mengetahui ketidakstabilan lapisan air mata dan inflamasi permukaan
okular secara berurutan yaitu TBUT abnormal dan Schema Oxford yang mungkin hasil dari
pajanan mikroskop cahaya, bahan beracun dari sitokin inflamasi, pengobatan, atau bahan
pembuat tahan lama. Walaupun hanya injeksi bulbar konjungtiva bulbar ringan dan tidak
adanya signifikansi inflamasi segmen anterior yang ditemukan paska operasi, persentase tinggi
pada pasien yang berkembang dari TBUT abnormal dan Schema Oxford. Fakoemulsifikasi
dapat berdampak atau mengganggu respon neurogenik permukaan okular dan menurunkan
sekresi air mata. Meskipun begitu, sejumlah kecil kasus dengan uji Schirmer I yang abnormal
tanpa anastesi mengindikasikan bahwa fakoemulsifikasi berdampak pada stabilitas lapisan air
mata dan inflamasi permukaan okular lebih dari sekresi air mata.
Seperti studi lainnya, kami juga melaporkan bahwa mata kering dapat berkembang
setelah operasi katarak. Lie et al. melaporkan persentase tinggi pada pasien yang berkembang
menjadi gejala mata kering setelah fakoemulsifikasi, ketinggian meniskus air mata lebih
rendah, penurunan skor TBUT, penurunan skor uji Schirmer I, dan metaplasia skuamosa serius
di deteksi dengan kesan sitologi. Liu et al. juga melaporkan perburukan yang signifikan pada
pola lapisan air mata, ketinggian meniskus air mata, dan pewarnaan fluorescein kornea setelah
fakoemulsifikasi. Barabino et al. melaporkan bahwa fakoemulsifikasi dapat merangsang
terjadinya gejala dan tanda mirip mata kering pada hari ke 1 dan 7 (data tidak di sebarkan
namun dipresentasikan pada the 6th International Conference on the Tear Film and Ocular
Surface, Florence, Italy, September 2010). Pada satu seri kasus, 10 pasien (12 mata)
menunjukkan keratopati berat termasuk keratopati epitelial, ulkus epitel sentral, dan ulkus
stroma sentral setelah operasi katarak. Kontras, Ram et al. melaporkan tidak terdapat perbedaan
pada mata kering antara sebelum dan setelah fakoemulsifikasi yang dilakukan di 23 pasien
ketika TBUT dan uji Schirmer I tanpa anastesi digunakan. Alasan untuk ketidaksesuaian ini
mungkin karena ukuran sampel yang kecil dan desain studi retrospektif.
Mengenai pola mata kering paska operasi, temuan kami konsisten dengan hasil Barabino
et al. (data tidak disebarkan) yang mendeteksi mata kering pada ketujuh hari setelah operasi
dan perkembangan yang cepat dalam 30 hari paska operasi. Kami tidak menemukan reaksi
lambat pada kekeringan air mata seperti keratopati filamen, keratokonjungtivitis limbik
superior atau defek epitel menetap. Namun, satu studi melaporkan bahwa gejala mata kering
dan meniskus air mata yang lebih rendah berkembang pada 1 bulan dan berlanjung hingga 2
bulan setelahnya. Sebuah alasan yang mungkin untuk perbedaan ini mungkin karena perbedaan
obat tetes okular topikal dan durasi rejimen yang digunakan: larutan Optalmik Tarivid
(ofloxacin, Daiichi Sankyo, Tokyo, Japan) 4 kali sehari selama 2 minggu, Pred Forte
(prednisolone acetate ophthalmic suspension, USP 1%, Allergan, Irvine, CA) 4 kali sehari
selama 1 minggu, dan tetes mata Pranopulin (Senju Pharmaceu- tical, Chuo-Ku, Osaka, Japan)
4 kali sehari selama 1 bulan. Teknik pembedahan mungkin juga berdampak terhadap hasil
mereka, yang juga ukuran dan lokasi luka yang dilaporkan.
Penjelasan lainnya untuk pola mata kering diamati pada studi terbaru karena proses
penyembuhan pada nervus kornea. Sejak kornea adalah satu dari organ yang paling banyak
memiliki inervasi, dengan kira-kira 44 berkas nervus kornea yang memasuki kornea di sekitar
limbus secara sentripetal dan serat saraf yang lebih besar yang berjalan dari arah posisi jam 9
ke jam 3 dan bifurkasio yang mencapai distribusi homogen di seluruh kornea, daerah ini mudah
terjadi kerusakan. Insisi kornea temporal tercipta selama fakoemulsifikasi dan dapat
mengurangi sensitivitas kornea pada area pembedahan dan area lainnya yang lebih jauh dari
insisi pertama. Kerusakan pada nervus kornea mungkin meluas dengan waktu fakoemulsifikasi
yang lebih lama yang dibutuhkan untuk memecah densitas katarak. Inflamasi neurogenik juga
dapat berkembang setelah insisi kornea. Mediator inflamasi dapat merubah aksi nervus kornea
dan mengurangi sensitivitas kornea. Gangguan pada inervasi kornea normal atau unit umpan
balik fungsional lakrimal dapat mengurangi aliran air mata dan tingkat kedipan dan
menyebabkan instabilitas pada hiperosmolaritas air amta dan lapisan air mata. Dengan
penyembuhan kornea paska opeasi, sel saraf ya\g baru bergabung dan setelah 25 hari, neural
growth factor dilepaskan untuk regenerasi akson kornea subepitelial. Namun, penyembuhan
nervus kornea mungkin menjelaskan mengapa mata kering terlihat saat awal setelah operasi
dan perkembangan setelahnya. Meskipun begitu, secara teori, inflamasi neurogenik mungkin
berdampak umpan balik bolak-balik ke mata kontralateral, kami melakukan pemeriksaan ulang
pada mata satunya sebagai screening umum dan tidak menemukan adanya kekeringan yang
signifikan setelah operasi.
Sebagai tambahan pada transeksi nervus kornea dan kerusakan sel-sel epitel kornea,
pajanan oleh mikroskop cahaya, irigasi lapisan air mata intraoperatif dengan kuat, elevasi
faktor-faktor inflamasi pada lapisan air amta karena iritasi permukaan okular, penggunaan
anastasi topikal intra operatif, dan pemberian obat tetes mata topikal paska operatif serta lebih
lamanya dapat menyebabkan amta kering setelah fakoemulsifikasi. Irigasi yang hebat pada
lapisan air mata dan manipulasi permukaan okular intra operatif dapat mengurangi densitas sel
goblet dan hasil singkatnya TBUT paska operatif. Kami yakin bahwa penggunaan filter cahaya,
penurunan waktu pajanan, irigasi yang sesuai, dan penanganan yang sesuai pada jaringan
permukaan okular dapat menurunkan komplikasi paska operasi.
Lebih jauh lagi, benzalkonium chloride, satu satu dari obat yang paling umum
digunakan pada tetes mata topikal, seperti Tobradex, dapat merangsang instabilitas air mata dan
menurunkan jumlah sel ekspresi musin. Penyulingan yang berlebihan dan penggunaan yang
tidak benar dari obat tetes mata stelah fakoemulsifikasi dan toksisitas kornea. Namun,
pewarnaan permukaan okular abnormal pada studi terbaru menunjukkan pola pewarnaan
interpalpebra tipikal menyebabkan mata kering daripada pewarnaan inferior dibandingkan
toksisitas obat medikamentosa. Insidensi tinggi pada derajat Schema Oxford abnormal setelah
fakoemulsifikasi mungkin dikarenakan inflamasi neurogenik.
Faktor-faktor lainnya yang berkaitan dengan mata kering adalah tuanya usia, jenis
kelamin wanita, diabetes, dan hipertensi sistemik. Namun, studi terbaru ini; mata kering tidak
berkaitan dengan faktor-faktor tersebut, yang mungkin karena karena ukuran sampel yang kecil
pada studi. Seperti adanya penampakan spontan mata kering, studi lebih jauh seharusnya
mengarah kepada membandingkan pasien paska operasi dengan subjek-subjek tanpa operasi
yang kontrol.
Meskipun mata kering ringan dan sedang tidak mempengaruhi penglihatan, penurunan
tajam penglihatan dapat terjadi pada kasus-kasus yang berat. Sebagai hasilnya, penilaian
preoperatif seharusnya dilakukan dengan sesuai, Hardten menyarankan penggunaan uji stress
permukaan okular, yang dilakukan selama 30 - 60 menit dan dapat dilakukan setelah
pemeriksasan okular rutin seperti pemeriksaan slit-lamp dan dilatasi pupil. Jika permukaan
okular abnormal diketahui, pasien-pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi mata
kering paska operasi. Uji klinis lainnya seperti TBUT dan pewarnaan fluorescein dapat
digunakan untuk pemilihan mata kering. Jika mata kering diketahui pre operatif, air mata
buatan atau siklosporin A topikal (Restasis, Allergan, Irvine, California) dapat diresepkan
paska operasi.
Kamu menyimpulkan gejala mata kering dapat berkembang dengan cepat setelah
fakoemulsifikasi dan beratnya mencapai puncak pada hari ke-7. Kedua gejala dan tanda mata
kering dapat berkembang seiring berjalannya waktu. Namun, ini penting bagi ahli optalmologis
untuk menilai mata kering sebelum dan setelah fakoemulsifikasi untuk memastikan terapi yang
sesuai, kualitas penglihatan, dan kualitas hidup pasien mereka.

Apa yang Diketahui


 Mata kering dapat berkembang setelah variasi jenis pembedahan optalmik
termasuk operasi katarak
 Fakoemulsifikasi dapat merangsang sindrom mirip mata kering dan juga bisa
membuat gejala mata kering semakin memburuk

Apa yang Ditambahkan Pada Tulisan Ini


 Insidensi mata kering setelah fakoemulsifikasi adalah sebanyak 9,8%
 Gejala mata kering dapat berkembang dengan cepat setelah fakoemulsifikasi da
keparahan mencapai puncak di hari ke-7. Kedua gejala dan tanda dapat berkembang
seiring waktu. Pola mata kering mirip antara ketiga uji klinis (TBUT, Schirmer I tanpa
anastesi, sistem pewarnaan permukaan okular Oxford) dan kuesioner OSDI
CRITICAL APPRAISAL

CRITICAL APPRAISAL
NO KRITERIA YA (+) TIDAK (-)
Judul dan Pengarang
1 Jumlah kata dalam judul <12 kata +
2 Deskripsi Judul Menggambarkan isi
utama penelitian
3 Daftar penulis sesuai aturan jurnal +
4 Korespondensi Penulis +
5 Tempat dan waktu penelitian dalam judul +

Abstrak
1 Abstrak 1 paragraf +
2 Mencakup IMRC +
3 Secara keseluruhan informatif +
4 Tanpa singkatan selain yang baku +
5 Kurang dari 250 kata + 235 kata
Pendahuluan
1 Terdiri dari 2 bagian atau 2 paragraf - (3 paragraf)
2 Paragraf pertama mengemukakan alasan +
penelitian
3 Paragraf kedua menyatakan hipotesis atau +
tujuan penelitian
4 Didukung oleh pustaka yang relevan +
5 Kurang dari 1 halaman +
Bahan dan Metode Penelitian
1 Jenis dan rancangan penelitian + (Deskriptif)
2 Waktu dan tempat penelitian +
3 Populasi sumber +
4 Teknik sampling -
5 Kriteria inklusi +
6 Kriteria ekslusi +
7 Perkiraan dan perhitungan besar sampel -
8 Perincian cara penelitian +
9 Blind -
10 Uji statistik -
11 Program komputer +
12 Persetujuan subjektif +
Hasil
1 Jumlah Subjek +
2 Tabel karakteristik subjek +
3 Tabel hasil penelitian +
4 Komentar dan pendapat penulis ttg hasil +
5 Tabel analisis data dengan uji +
Pembahasan, Kesimpulan, Daftar, Pustaka
1 Pembahasan dan kesimpulan terpisah +
2 Pembahasan dan kesimpulan dipaparkan -
dengan jelas
3 Pembahasan mengacu dari penelitian +
sebelumnya
4 Pembahasan sesuai landasan teori +
5 Keterbatasan penelitian +
6 Simpulan utama +
7 Simpulan berdasarkan penelitian +
8 Saran penelitian +
9 Penulisan daftar pustaka sesuai aturan -

Anda mungkin juga menyukai