Bone is a body part and parcel of human life , because by coordinating with the
muscles , bones become passive locomotor and participate in the movement of everyday people .
One cord injury are at high risk of bone fracture or fractures . Fractures Bone fractures can be
open or closed fractures . Here will be discussed on a closed fracture of the femur proximal 1/3 ,
and how to maintain
Keywords: fracture, bone, femur
Abstrak
Tulang merupakan bagian tubuh yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena
dengan berkoordinasi bersama otot, tulang menjadi alat gerak pasif dan ikut berpartisipasi dalam
pergerakan sehari-hari manusia. Salah satu cidera tulang yang memiliki risiko tinggi ialah fraktur
tulang atau patah tulang. Fraktur tulang dapat berupa fraktur tulang terbuka ataupun fraktur
tulang tertutup. Disini akan dibahas mengenai fraktur tertutup pada femur 1/3 proksimal, juga
bagaimana cara perawatannya.
Pendahuluan
Tulang merupakan bagian tubuh yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena
dengan berkoordinasi bersama otot, tulang menjadi alat gerak pasif dan ikut berpartisipasi dalam
pergerakan sehari-hari manusia. Kelainan atau adanya cidera pada tulang tentu akan menganggu
aktivitas sehari-hari dan membuat produktivitas manusia menurun.
Salah satu cidera tulang yang memiliki risiko tinggi ialah fraktur tulang atau patah tulang.
Fraktur tulang dapat berupa fraktur tulang terbuka ataupun fraktur tulang tertutup. Pada makalah
ini, saya akan lebih memperdalam mengenai fraktur tulang terbuka. Fraktur sendiri, memiliki
definisi putusnya kesinambungan suatu tulang atau terputusnya kontinuitas tulang.
Fraktur adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas tulang, sering diikuti oleh
kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan
persarafan. Bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara luar atau
permukaan kulit atau kulit diatasnya masih utuh ini disebut fraktur tertutup (atau sederhana),
sedangkan bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan udara luar atau
permukaan kulit yang cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi ini disebut fraktur
terbuka.1
Anamnesis
Anamnesis meliputi: identitas pasien, keluhan utama (pada umumnya keluhan utama
pada kasus fraktur adalah rasa nyeri), Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu,
Riwayat Penyakit Keluarga, Riwayat Psikososial.2
Inspeksi (Look)
Arti inspeksi adalah dilihat. Dilihat secara anterior, posterior dan lateral dari frakturnya
dengan melihat bagian yang dikeluhkan oleh pasien tersebut apakah ada pembengkakan,
memar dan deformitas. Apakah ada hal lain yang abnormal. Hal lain yang juga penting
adalah jika kulit tersebut robek atau tidak. Serta luka yang memiliki hubungan dengan
fraktur tersebut.
Palpasi (Feel)
Palpasi adalah meraba, jika ada nyeri tekan ditempat fraktur tersebut. Perlu juga
memeriksa nadi/ pulsasi apakah lemah atau kuat di tempat tersebut. Bisa saja terjadi
cedera pembuluh darah yang menunjukan keadaan darurat yang perlu pembedahan.
Pergerakan (Movement)
Pada pergerakan dapat ditemukan gerakan abnormal seperti krepitasi atau bunyi “kretek-
kretek” pada sendi yang terdapat fraktur terutama pada sendi lutut dengan. Tapi lebih
penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi- sendi di bagian yang
mengalami cedera jika pasien tersebut masih dalam keadaan sadar.1
Foto Rontgen
Pada proyeksi AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus yang impacted,
untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial. Pergeseran dinilai melalui bentuk
bayangan tulang yang abnormal dan tingkat ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris
dan ujung leher femur. Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser
(stadium I dan II Garden ) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur yang
bergeser sering mengalami non union dan nekrosis avaskular.1,3
Radiografi foto polos secara tradisional telah digunakan sebagai langkah pertama dalam
pemeriksaan pada fraktur tulang pinggul. Tujuan utama dari film x-ray untuk menyingkirkan
setiap patah tulang yang jelas dan untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur. Adanya
pembentukan tulang periosteal, sclerosis, kalus, atau garis fraktur dapat menunjukkan tegangan
fraktur.3,4
Radiografi mungkin menunjukkan garis fraktur pada bagian leher femur, yang merupakan
lokasi untuk jenis fraktur. Fraktur harus dibedakan dari patah tulang kompresi, yang menurut
Devas dan Fullerton dan Snowdy, biasanya terletak pada bagian inferior leher femoralis. Jika
tidak terlihat di film x-ray standar, bone scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus
dilakukan.4
MRI telah terbukti akurat dalam penilaian fraktur dan andal dilakukan dalam waktu 24
jam dari cedera, namun pemeriksaan ini mahal. Dengan MRI, fraktur biasanya muncul sebagai
garis fraktur di korteks dikelilingi oleh zona edema intens dalam rongga meduler. Dalam sebuah
studi oleh Quinn dan McCarthy, temuan pada MRI 100% sensitif pada pasien dengan hasil foto
rontgen yang kurang terlihat. MRI dapat menunjukkan hasil yang 100% sensitif, spesifik dan
akurat dalam mengidentifikasi fraktur collum femur.3
Working Diagnosis
Klasifikasi fraktur femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. Dibagi menjadi :1,4
Tertutup
Fraktur femur terbuka
a. Fraktur tertutup (closed) bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat
(menurut R. Gustillo) yaitu:
Derajat I:
Luka <1cm
Tidak kotor
Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan.
Derajat II :
Laserasi 1- 10cm
Luka sedikit kotor
Kerusakan jaringan tendon (sedikit)
Fraktur kominutif sedang
Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:
a. Luka >10cm, Tulang rusak secara komunitif, banyak oto rusak, kulit masih dapat
menutup luka.
b. Adanya kulit yang tidak dapat menutup luka (skin loss)
c. Terdapat lesi neuro- vaskuler (mengenai saraf)
Pemeriksaan klinik
Daerah yang patah tulangnya sangat membengkak, ditemukan tanda functiolaesa. Nyeri
tekan, nyeri gerak. Tampak adanya deformitas angulasi ke lateral atau angulasi anterior, rotasi.
Tungkai bawah, ditemukan adanya perpendekan tungkai. Pada fraktur 1/3 tengah femur, pada
pemeriksaan harus diperhatikan pula kemungkinan adanya dislokasi sendi panggul dan robeknya
ligament dari daerah lutut.4
Diferential Diagnosis
a. Fraktur Caput Femur
b. Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femoris adalah fraktur yang terjadi disebelah proksimal linea
intertrochanter pada daerah intrakapsular sendi panggul yang termasuk kolum femur
dimulai dari bagian distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian proksimal
dari intertrokanter.1,5
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya
penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur
dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu
karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Kebanyakan fraktur collum
femur (intrakapsuler) terjadi pada wanita tua (60 tahun keatas) dimana tulangnya sudah
mengalami osteoporosis. Trauma yang biasa dialami seperti jatuh terpelest dikamar
mandi.1,5
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditemukan riwayat trauma, pada penderita
muda ditemukan riwayat kecelakaan. Pada penderita tua biasanya trauma ringan (jatuh
terpelest dikamar mandi). Penderita tidak dapat berdiri karena sakit sekali di panggul
terutama daerah inguinal depan. Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan eksorotasi.
Fraktur kolum femur dengan pergeseran akan menyebabkan deformitas yaitu terjadi
pemendekan serta rotasi eksternal sedangkan pada fraktur tanpa pergeseran deformitas
tidak jelas terlihat.
Etiologi
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit dan infiltrasi sel darah
putih.7
Penatalaksanaan
o Recognition
Yaitu penilaian dan diagnosis fraktur. Prinsip pertama adalah mengetahui dan
menilai keadan fraktur dengan anamnesis dan pemeriksaan klinik serta radiiologis.
Pada awal pengobatan perlu diperhatikan juga lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan komplikasi yang mungkin
terjadi setelah pengobatan.
o Reduction
Yaitu reduksi draktur atau tindakan pengembalian tulang ke posisi semula
agar dapat berfungsi kembali seperti semula. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan
reduksi atau dibenarkan secara anatomis dan mengembalikan fungsi normal. Tidak
hanya tulang, sendi pun juga harus dibenarkan untuk mencegah komplikasi seperti
kekakuan, dan deformitas.
o Retaining
Artinya tindakan imonilisasi untuk mengistirahatkan alat gerak yang sakit
tersebut sampai mendapat kesembuhan. Dalam kasus ini wanita tersebut berarti harus
istirahat dengan tidak boleh banyak berjalan karena akan berdampak pada femurnya.
o Rehabilitation
Adalah tindakan untuk mengembalikan kemampuan dari anggota atau alat
gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali. Berarti pasien harus berlatih berjalan
misalnya dengan gips, atau tongkat supaya tulang femurnya bisa berfungsi dengan
baik.
Komplikasi
a. Komplikasi dini10,11
Kerusakan arteri. Insiden kerusakan arteri memang jarang, tapi juga harus diwaspadai.
Contohnya seperti kerusakan arteri poplitea setelah trauma. Hal ini terjadi karena
kumpulan vaskular terhambat. Serta bisa juga karena laserasi langsung.
b. Komplikasi lanjut10,11
o Kekakuan sendi lutut. Hal ini hampir tidak dapat dihindari, karena itu diperlukan
banyak latihan.
o Non-union yaitu fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu. Hal ini dapat
disertai kekakuan lutut dan mungkin diakibatkan oleh gerakan lutut yang
dipaksakan terlalu awal. Fraktur sulit diterapi dan kecuali kalau dilakukan dengan
hati- hati.
o Mal-union yaitu bila tulang sembuh dengan fungsi anatomis abnormal (angulasi,
perpendekan, atau rotasi) dalam waktu yang normal. Fiksasi internal sangat sulit
dan malunion kadang terjadi. Osteotomi dibutuhkan pada pasien yang masih
melakukan aktivitas fisik untuk melakukan koreksi terhadap malunion yang
terjadi.
Prognosis
Prognosis dari kasus fraktur femur tergantung tipe dan tingkat keparahan fraktur.
Semakin kompleks fraktur yang terjadi, semakin jelek prognosisnya. Pada umumnya terapi yang
sesuai akan memberikan hasil yang baik pada pasien.
Kesimpulan
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian),
Pasien pada kasus di atas mengalami fraktura femur dextra 1/3 proksimal. Fraktur ini
merupakan jenis fraktur traumatik, dimana penyebab fraktur ini pasien tersebut jatuh dengan
posisi menyamping dan pangkal paha yang membentur lantai. Diagnosis ini dapat ditegakkan
dengan pasti melalui gejala-gejala yang ditimbulkan dari pasien tersebut dan hasil pemeriksaan
penunjang berupa foto rontgen yang mendukung diagnosis pasti.
Daftar Pustaka
1. Thomas MA. Terapi dan rehabilitas fraktur. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2011.h. 245, 262, 276.
2. Gleadle J. At a glance Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Erlangga Medical Series.
Jakarta, 2005. h. 106.
3. Rasad, S. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. h.31.
4. Patel P R. Lecture notes radiologi. Erlangga medical series. Edisi ke-2. Jakarta, 2007. h.
222-3
5. Bagian Ilmu Bedah FKUI. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2005.h. 503-12, 537-43.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Interna Publishing. 2009. h. 904-6
7. Bell S, Elbow and Brukner P, Khan K. Clinical sports medicine. 3rd Ed. Australia :
McGraw-Hill. 2005. h. 303-6.
8. Price & Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki.Volume2.
Edisi 6. EGC : Jakarta.
9. Gunawan, Sulitia G. Farmakologi dan terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2008. h. 57-89.
10. Sabiston. Buku ajar bedah. Edisi ke-2. Penerbit buku kedokteran, EGC. Jakarta, 1994. h.
380-3.
11. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
3, Jilid 2. Jakarta : Media Aeskulapius. 2000. h. 346-8.