Ghereetha/102013158 (F9)
Email: ghereetha.2013fk158@civitas.ukrida.ac.id
Abstrak: Pendengaran diartikan sebagai proses penerimaan suara, transduksi suara menjadi
impuls saraf dan penyaluran ke daerah yang sesuai di korteks serebri. Mendengar suara
berarti adanya perhatian terhadap suara serta menginterpretasikannya. Janin sensitif terhadap
bunyi-bunyian dan sejak lahir terdapat pengaruh suara yang penting antara ibu dan bayi.
Pendengaran juga diperlakukan untuk kontak emosional, perkembangan bahasa, identifikasi
lingkungan dan membantu kewaspadaan orientasi tubuh dan sikap tubuh. Semua anak harus
dilakukan pemeriksaan untuk menjaring kemungkinan adanya ketulian dengan menggunakan
pemeriksaan yang sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing anak. Ada beberapa
jenis tuli sensorineural kongenital non genetik, salah satu diantaranya adalah karena
disebabkan virus rubella. Pada penulisan kali ini, penulis akan membahas mengenai tuli
sensorineural kongenital non genetik yang disebabkan oleh virus rubella. Selain itu juga akan
membahas mengenai tuli sensorineural kongenital yang genetik.
Kata kunci: tuli sensorineural akibat infeksi virus rubella, tuli sensorineural genetik.
Abstract: Hearing is defined as the process of sound reception , transduction of sound into
nerve impulses and distribution to the relevant areas in the cerebral cortex . Hearing the
sound means their attention to sounds and interpret them . The fetus is sensitive to sounds and
sound effects from birth are important between mother and baby . Hearing is also being
treated for emotional contact , language development , the identification of the environment
and helps alertness body orientation and posture . All children must be examined to
encompass the possibility of deafness using the probe in accordance with the level of
development of each child. There are several kinds of non-genetic congenital sensorineural
deafness , one of them is because due to the rubella virus . At the time of this writing , the
author will discuss the non-genetic congenital sensorineural deafness caused by the rubella
virus . It will also discuss the genetic congenital sensorineural deafness .
Key words: Congenital Sensorineural Hearing Loss et causa Rubella Virus infection,
Congenital Sensorineural Hearing Loss Genetic.
I Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dimuliakan dibandingkan makhluk lainnya
yang ada didalam dunia ini, sehingga penampakan/penampilannya pun diistimewakan dan
berbeda dari jenis makhluk yang lainnya. Dalam perjalanan kehidupannya, manusia tidak
bisa menghindari dirinya dari sakit, seperti terinfeksi rubella virus yang apabila dialami oleh
ibu hamil akan dapat menularkan virus tersebut kepada janinnya sehingga saat kelahiran
bayinya, bayi dapat mengalami kehilangan pendengaran/ketulian. Dalam penulisan kali ini
penulis akan membahas mengenai tuli sensorineural kongenital akibat infeksi virus Rubella
dan tuli sensorineural kongenital genetik.
Tujuan penulisan makalah ini adalah memudahkan pembaca dalam mengenal, mengerti dan
memahami mengenai tuli sensorineural kongenital non genetik akibat virus rubella.
Bayi laki-laki (3bulan) dibawa ke dokter dengan keluhan kurang respon terhadap suara.
I.4 Skenario 16
Seorang perempuan membawa bayi laki-lakinya yang berusia 3bulan ke dokter dengan
keluhan kurang respon terhadap suara.
Anamnesis
Pada kasus ini, anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesis, karena pasien masih
bayi. Hal-hal yang perlu ditanyakan pada kasus ini adalah sebagai berikut:
A. Riwayat kehamilan
- Berapa usia gestasi ibu saat melahirkan bayinya?
- Bagaimana pengawasan ante natal yang ibu lakukan?
- Apakah terjadi kelainan selama kehamilan ibu? (riwayat penyakit, cedera, infeksi
selama kehamilan. Pada kasus ini, pada minggu ke-8 kehamilan ibu mengalami
campak Jerman)
- Ketika trisemester berapa ibu menderita campak jerman?
Jika ibu hamil terinfeksi saat usia kehamilannya < 12 minggu maka risiko
janin tertular 80-90 persen.
Jika infeksi dialami ibu saat usia kehamilan 15-30 minggu, maka risiko janin
terinfeksi turun yaitu 10-20%.
Risiko janin tertular meningkat hingga 100 persen jika ibu terinfeksi saat usia
kehamilan > 36 minggu.
- Apakah selama kehamilan ibu mengkonsumsi obat-obat ototoksik? (aminoglikosida
seperti gentamisin,kanamisin,diuretik seperti furosemid dan salisilat seperti penisilin
dan kuinolon).
- Berapa usia ibu saat hamil bayi ini dan bayi ini kehamilan ke berapa?
B. Riwayat persalinan
- Bagaimana proses persalinan bayi?
- Apakah ada kejadian saat persalinan?
- Bagaimana pengawasan perinatalnya?
C. Riwayat kelahiran
- Dimana tempat lahirnya?
- Berapa nilai APGAR? (untuk melihat keadaan bayi pada usia 1 menit dan 5 menit,
tetapi tidak dipakai untuk menentukan apakah BBL perlu resusitasi atau tidak. Nilai
Apgar 5 menit dapat digunakan untuk menentukan prognosis).
Nilai APGAR 0-4 pada menit pertama. 0-6 pada menit kelima
A = Appearance (Tampilan)
P = Pulse (Denyut Nadi)
G= Grimace (Raut Wajah)
A= Activity (Gerakan)
R= Respiration (Pernapasan)
Penilaian :
Nilai 7 = Baik
Nilai 4-6 = Perlu dibantu atau dirangsang
Nilai <4 = Lakukan resusitasi (Resusitasi bayi adalah upaya
menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ- organ vital).
- Berapa berat badan lahirnya?
- Apakah ada kejadian saat lahir?
- Apakah ketika lahir anak mengalami hiperbilirubin?
D. Riwayat tumbuh kembang
E. Riwayat Imunisasi.
F. Riwayat Penyakit Dahulu: Apakah bayi pernah dirawat inap?
G. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Apakah dikeluarga ada yang mengalami hal yang sama?
- Apakah dikeluarga ada yang mengalami gangguan pendengaran?.1
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin.
Walaupun derajat ketulian yang dialami seorangbayi/anak hanya bersifat ringan, namun
dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa.
Dalam keadaan normal seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif
pada usia 18bulan, berarti saat tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya
gangguan pendengaran. Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pda
bayi dan anak jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Beberapa
pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak adalah:
Perkembangan auditorik
Tuli kongenital
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat
terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.
1. Masa pranatal (genetik herediter, non genetik seperti gangguan/kelainan pada masa
kehamilan, kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi misalnya defisiensi
Iodium).
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga
setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan
ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti TORCH dapat
berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat
ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu proses organogenesis dan merusak
sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin, dihidrostreptomisin,
gentamisin, barbiturat, thalidomide, dll. Selain itu malformasi struktur anatomi telinga
seperti atresi liang telinga dan aplasi koklea juga akan menyebabkan ketulian.
2. Masa perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor resiko
terjadinya gangguan pendengaran/ketulian seperti prematur, BBLR (<2500gram),
hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis). Umumnya ketulian yang terjadi
akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat
ketulian berat atau sangat berat.
3. Masa postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubella, campak, parotis, infeksi otak
(meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga dapat
menyebabkan tuli saraf/kobduktif.2
Patogenesis
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi
rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat. Dalam secret
tekak faring dan air kemih bayi dengan CRS terdapat virus rubella dalam jumlah banyak yang
dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat
bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1tahun setelah kelahiran. Kerusakan janin
disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat
pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah
nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini
mengalami deskuamasi kedalam lumen pembuluh darah, menunjukkan bahwa virus rubella
dialihkan kedalam peredaran janin sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini
selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda
mekanisme pertahanan janin belum matang dan gambaran khas embriopati pada awal
kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan.6
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin dan bayi
yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubella
juga dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi
setelah trimester pertama derajat kerusakan janin menurun secara drastis. Perbedaan ini
terjadi karena janin terlindung oleh perkembangan progresif respon imun janin, baik yang
bersifat humoral maupun seluler dan adanya antibodi maternal yang ditransfer secara pasif.6
Infeksi virus rubella berbahaya apabila infeksi terjadi pada awal kehamilan. Virus
dapat berdampak disemua organ dan menyebabkan berbagai kelainan bawaan. Janin yang
terinfeksi rubella berresiko besar meninggal dalam kandungan, lahir prematur, abortus
spontan dan mengalami malformasi sistem organ. Berat ringannya infeksi virus rubella di
janin bergantung pada lama umur kehamilan saat infeksi terjadi. Resiko infeksi akan
menurun 10-20% apabila infeksi terjadi pada trimester II kehamilan. Lima puluh persen lebih
kasus infeksi rubella selama kehamilan bersifat subklinis bahkan tidak dikenali. Oleh karena
itu pemeriksaan laboratorik sebaiknya dilakukan untuk semua kasus dengan kecurigaan
infeksi rubella.6
Ketulian yang terjadi pada bayi tidak diperkirakan sebelumnya. Metode untuk
mengetahui adanya kehilangan pendengaran janin seperti pemancaran (emisi) otoakustik dan
auditory brain stem responses saat ini dikerjakan untuk menyaring bayi yang berisiko dan
akan mencegah kelainan pendengaran lebih awal, juga saat neonates. Peralatan ini mahal dan
tidak dapat digunakan diluar laboratorium.6
Manifestasi klinis
Infeksi rubella intrauterine boleh mengakibatkan aborsi spontan, atau bayi lahir hidup dengan
malformasi single atau multiple. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada bayi dengan
rubella kongenital adalah seperti berikut:
Manifestasi menetap:
Tuli
Kelainan jantung bawaan
Kelainan mata (katarak, glaukoma, retinopati)
Mikrosefali
Retardasi mental dn sistem motorik (autism)
Manifestasi transien:
Hepatosplenomegali
Trombositopenia dengan purpura atau petekhiae
Anemia hemolitik
Kelainan tulang radiolusen
Perkembangan terhambat (berat badan lahir rendah)
Meningoensefalitis.6
Penilaian pendengaran
Sampai kira-kira umur 7bulan, bayi masih memperlihatkan respons yang tidak
konsisten terhadap bunyi-bunyian dan pemeriksaan yang dapat dipercaya hanya dapat
dilakukan dengan peralatan yang canggih, seperti brainstem evoked response audiometry.
Sejak umur 7bulan, bayi akan dapat mengarahkan kepala dan matanya ke sumber suara yang
pelan (distraction response). Bayi harus diberi kenyamanan dengan ruangan pemeriksaan
yang tenang. Pemeriksa berdiri pada jarak satu sampai tiga kaki disamping bayi dan diluar
jangkauan penglihatannya. Rangsangan suara diberikan sejajar dengan telinga. Suara
ditimbulkan dengan suara gemerincing bernada tinggi, sendok didalam mangkok, kertas
tissue, lonceng tangan dan suara bicara tertentu seperti “oo” dan “ss”.7
Jenis tuli
Kehilangan pendengaran kurang dari 20dB, biasanya tidak akan menimbulkan efek
terhadap perkembangan anak, tetapi kehilangan lebih dari 40dB menimbulkan gangguan
dalam bicara. Pemeriksaan terhadap rentang frekuensi mungkin menunjukkan tuli yang luas
atau tuli murni pada zona frekuensi tinggi. Tuli dapat diklasifikasikan menjadi tuli
sensorineural dan tuli konduktif. Pada tuli sensorineural terdapat kerusakan koklea atau saraf
pendengaran sedangkan pada tuli konduktif terdapat disfungsi telinga tengah. Kebanyakan
tuli berat pada anak adalah tipe sensorineural yang biasanya sudah ada sejak lahir.7
Pada anak yang lebih besar, kedua tipe tuli ini dapat dibedakan dengan pure tone
headphone audiometry. Pada tipe sensorineural terdapat gangguan hantaran tulang dan
hantaran udara setara. Pada tipe konduktif terdapat senjang tulang-udara (air-bone gap)
dengan pendengaran hantaran tulang lebih baik daripada hantaran udara. Pada 40 per
1000anak sekolah terdapat tuli ringan dan biasanya merupakan tuli konduktif telinga tengah
akibat glue ear. Pada 2 per 1000anak terdapat tuli sedang, menyebabkan anak tersebut
membutuhkan penggunaan alat bantu dengar, dan 1 per 1000anak menderita tuli berat yang
memerlukan pendidikan khusus.7
Penanganan yang lebih hati-hati dan pemantauan anak yang rentan terhadap otitis
media dapat menurunkan insiden glue ear. Tidak ada terapi khusus pada tuli sensorineural
selain tindakan bedah implantasi koklear yang hanya dapat dilakukan pada sebagian kecil
anak. Jika terdapat sisa pendengaran, dapat dilakukan alat bantu dengar. Pemakaian alat ini
bertujuan untuk memperkeras suara sehingga terdapat dalam rentang frekuensi suara bicara.
Pada pemakaian alat ini diperlukan instruksi yang jelas serta perhatian terhadap bentuk
telinga. Harus ditekankan bahwa pemakaian alat bantu hanya merupakan bagian dari proses
rehabilitasi umum dan pendidikan. Banyak anak dengan tuli sedang dapat mengikuti sekolah
dengan normal, tetapi tuli yang lebih berat memerlukan pendidikan khusus baik pada sekolah
tuna rungu maupun pada unit gangguan pendengaran yang ada disekolah normal. Karena
penyebab genetik didapatkan pada 50%anak dengan tuli sensorineural, seringkali diperlukan
konsultasi genetik untuk mencegah terjadinya kembali kasus tersebut pada anggota keluarga.7
Kemampuan bicara dan bahasa pada anak-anak dengan gangguan pendengaran yang
berat menjadi terlambat atau tidak berkembang. Semakin dini pendengaran dapat
dikembalikan atau mendapatkan bantuan spesialis maka semakin baik hasil akhirnya.
Skrining pada bayi dengan faktor resiko hanya dapat mengidentifikasi 40-60% tuli bilateral
yang signifikan. Oleh sebab itu skrining universal pada usia 3bulan direkomendasikan.8
Pada bayi dengan tuli sensorineural, upaya habilitasi harus dimulakan sebelum usia 6
bulan. Pemasangan alat bantu dengar (ABD) merupakan upaya pertama yang akan
dikombinasikan dengan terapi wicara atau terapi audio verbal. Model ABD didasarkan pada
bagaimana alat tersebut diletakkan serta penguatan yang dibutuhkan. Umumnya ABD
diletakkan dibelakang telinga dan dalam lubang telinga. Berikut merupakan model ABD yang
dipakai sekarang:
Behind-the-ear (BTE): terdiri dari plastik atau casing tempat menyimpan komponen
alat bantu dengar yang dirancang mengikuti struktur telinga belakang kemudian
disambungkan dengan earmold atau cetakan telinga yang dipasangkan pada telinga
bagian luar. Suara yang ditangkap dari ABD diteruskan ketelinga melalui earmold
atau cetakan telinga. BTE umumnya digunakan semua umur mulai dari penurunan
pendengaran ringan sampai dengan penurunan pendengaran berat.
In-the-ear (ITE): ABD yang dipasangkan dalam telinga bagian luar dan digunakan
untuk penurunan pendengaran ringan sampai dengan berat. Beberapa ITE dilengkapi
dengan fitur seperti telecoil. Telecoil adalah magnet lilitan magnet yang berfungsi
untuk menangkap suara melalui melalui lilitan magnet tersebut bukan melalui
mikrophon. Fitur ini memberikan kemudahan pemakai alat bantu mendengar untuk
berbicara melalui telephon. Telecoil juga berfungsi untuk menangkap suara yang
dikeluarkan oleh induction loop system. ITE umumnya tidak digunakan oleh anak-
anak dan orangtua.
ABD canal terdiri dari dua model. In-the-canal (ITC) dipakai dalam lubang telinga.
Completely-in-canal (CIC) hampir tidak terlihat dalam lubang telinga. Kedua model
ini umumnya digunakan untuk penurunan pendengaran ringan sampai dengan
penurunan pendengaran moderat. Karena kedua model ini kecil, mungkin akan agak
sulit bagi sebagian orang untuk memakai dan melepaskannya. Model ini tidak
mempunyai banyak tempat untuk batere dan fitur lainnya, seperti telecoil. Model ini
tidak direkomendasikan untuk dipakai oleh anak-anak atau gangguan dengan sangat
berat karena terbatasnya kemampuan penguatan yang dikeluarkan oleh kedua model
ini.9
Implan koklea terdiri dari dua komponen utama. Komponen eksternal, yang disebut
dengan sound processor, dapat dikenakan di belakang telinga atau di badan. Komponen ini
berfungsi mengumpulkan bunyi melalui mikrofon dan memprosesnya ke dalam bentuk
informasi digital, yang kemudian menyampaikan ke implan yang ada di bawah
kulit.Komponen internal merupakan suatu implan dengan rangkaian elektroda. Yang
mengubah informasi digital dari sound processor menjadi sinyal elektrik dan
mengirimkannya ke rangkaian elektroda. Rangkaian elektroda ini menstimulasi saraf
pendengaran yang mengirimkan sinyal ke otak untuk diterjemahkan maknanya.9
Kesimpulan
Bayi ini mengalami tuli kongenital jenis sensorineural karena terinfeksi rubella secara
transplasenta dari ibunya yang pada minggu ke-8 terinfeksi virus rubella. Tatalaksana yang
dilakukan untuk bayi ini adalah dengan pemasangan Alat Bantu Dengar (ABD). Hipotesis
bahwa bayi laki-laki 3bulan ini mengalami tuli sensorineural kongenital akibat infeksi rubella
adalah benar.
Daftar Pustaka
1. Thomas J., Monaghan T. Buku saku Oxford: Pemeriksaan fsik dan keterampilan
praktis. Jakarta: EGC, 2012.p.460-61.
2. Suwento, Ronny dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan
leheredisi ketujuh [dalam: gangguan pendengaran pada bayi dan anak]. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2012.p.30-5.
3. Boeis L.R, dkk. BOEIS buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC, 1997.p.122-25
4. Bashiruddin J, et al. Gangguan pendengaran genetik. Dalam : Jurnal Otolaringology
Vol.36 No.3, Juli-September 2006.
5. Scott Olivia. Congenital Deafness. Http://www.patient.co.uk
6. Darmadi S, Kadek. Gejala rubella bawaan (kongenital) berdasarkan pemeriksaan
serologis dan rna virus. Dalam : Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory, Vol.13, No.2, Maret 2007.
7. Hull, D., Johnston, D.I. Dasar-dasar pediatri edisi 3. Jakarta:EGC, 2008.p.295-97.
8. Lissauer, T., Fanaroff, A. At a glance neonatology. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2009.p.144.
9. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Badan penerbit FKUI;
2011.h.10-42