Anda di halaman 1dari 16

Tuli Sensorineural Kongenital Akibat Infeksi Virus Rubella

Ghereetha/102013158 (F9)
Email: ghereetha.2013fk158@civitas.ukrida.ac.id

Fakultas Kedokteran Umum Universitas Kristen Krida Wacana

Abstrak: Pendengaran diartikan sebagai proses penerimaan suara, transduksi suara menjadi
impuls saraf dan penyaluran ke daerah yang sesuai di korteks serebri. Mendengar suara
berarti adanya perhatian terhadap suara serta menginterpretasikannya. Janin sensitif terhadap
bunyi-bunyian dan sejak lahir terdapat pengaruh suara yang penting antara ibu dan bayi.
Pendengaran juga diperlakukan untuk kontak emosional, perkembangan bahasa, identifikasi
lingkungan dan membantu kewaspadaan orientasi tubuh dan sikap tubuh. Semua anak harus
dilakukan pemeriksaan untuk menjaring kemungkinan adanya ketulian dengan menggunakan
pemeriksaan yang sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing anak. Ada beberapa
jenis tuli sensorineural kongenital non genetik, salah satu diantaranya adalah karena
disebabkan virus rubella. Pada penulisan kali ini, penulis akan membahas mengenai tuli
sensorineural kongenital non genetik yang disebabkan oleh virus rubella. Selain itu juga akan
membahas mengenai tuli sensorineural kongenital yang genetik.
Kata kunci: tuli sensorineural akibat infeksi virus rubella, tuli sensorineural genetik.

Abstract: Hearing is defined as the process of sound reception , transduction of sound into
nerve impulses and distribution to the relevant areas in the cerebral cortex . Hearing the
sound means their attention to sounds and interpret them . The fetus is sensitive to sounds and
sound effects from birth are important between mother and baby . Hearing is also being
treated for emotional contact , language development , the identification of the environment
and helps alertness body orientation and posture . All children must be examined to
encompass the possibility of deafness using the probe in accordance with the level of
development of each child. There are several kinds of non-genetic congenital sensorineural
deafness , one of them is because due to the rubella virus . At the time of this writing , the
author will discuss the non-genetic congenital sensorineural deafness caused by the rubella
virus . It will also discuss the genetic congenital sensorineural deafness .

Key words: Congenital Sensorineural Hearing Loss et causa Rubella Virus infection,
Congenital Sensorineural Hearing Loss Genetic.
I Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dimuliakan dibandingkan makhluk lainnya
yang ada didalam dunia ini, sehingga penampakan/penampilannya pun diistimewakan dan
berbeda dari jenis makhluk yang lainnya. Dalam perjalanan kehidupannya, manusia tidak
bisa menghindari dirinya dari sakit, seperti terinfeksi rubella virus yang apabila dialami oleh
ibu hamil akan dapat menularkan virus tersebut kepada janinnya sehingga saat kelahiran
bayinya, bayi dapat mengalami kehilangan pendengaran/ketulian. Dalam penulisan kali ini
penulis akan membahas mengenai tuli sensorineural kongenital akibat infeksi virus Rubella
dan tuli sensorineural kongenital genetik.

I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah memudahkan pembaca dalam mengenal, mengerti dan
memahami mengenai tuli sensorineural kongenital non genetik akibat virus rubella.

I.3 Rumusan Masalah

Bayi laki-laki (3bulan) dibawa ke dokter dengan keluhan kurang respon terhadap suara.

I.4 Skenario 16

Seorang perempuan membawa bayi laki-lakinya yang berusia 3bulan ke dokter dengan
keluhan kurang respon terhadap suara.

I.5 Sasaran Pembelajaran


Sasaran pembelajaran dalam kegiatan PBL ini adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami mengenai tuli sensorineural
kongenital akibat infeksi virus rubella.
b. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi terjadinya tuli
sensorineural kongenital akibat infeksi virus rubella.
c. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami mengenai gejala klinis, diagnosis dan
penatalaksanaan pada tuli sensorineural kongenital akibat infeksi virus rubella.
II. Pembahasan

Anamnesis
Pada kasus ini, anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesis, karena pasien masih
bayi. Hal-hal yang perlu ditanyakan pada kasus ini adalah sebagai berikut:

A. Riwayat kehamilan
- Berapa usia gestasi ibu saat melahirkan bayinya?
- Bagaimana pengawasan ante natal yang ibu lakukan?
- Apakah terjadi kelainan selama kehamilan ibu? (riwayat penyakit, cedera, infeksi
selama kehamilan. Pada kasus ini, pada minggu ke-8 kehamilan ibu mengalami
campak Jerman)
- Ketika trisemester berapa ibu menderita campak jerman?
 Jika ibu hamil terinfeksi saat usia kehamilannya < 12 minggu maka risiko
janin tertular 80-90  persen.
 Jika infeksi dialami ibu saat usia kehamilan 15-30 minggu, maka risiko janin
terinfeksi turun yaitu 10-20%.
 Risiko janin tertular meningkat hingga 100 persen jika ibu terinfeksi saat usia
kehamilan > 36 minggu.
- Apakah selama kehamilan ibu mengkonsumsi obat-obat ototoksik? (aminoglikosida
seperti gentamisin,kanamisin,diuretik seperti furosemid dan salisilat seperti penisilin
dan kuinolon).
- Berapa usia ibu saat hamil bayi ini dan bayi ini kehamilan ke berapa?
B. Riwayat persalinan
- Bagaimana proses persalinan bayi?
- Apakah ada kejadian saat persalinan?
- Bagaimana pengawasan perinatalnya?
C. Riwayat kelahiran
- Dimana tempat lahirnya?
- Berapa nilai APGAR? (untuk melihat keadaan bayi pada usia 1 menit dan 5 menit,
tetapi tidak dipakai untuk menentukan apakah BBL perlu resusitasi atau tidak. Nilai
Apgar 5 menit dapat digunakan untuk menentukan  prognosis).
 Nilai APGAR 0-4 pada menit pertama. 0-6 pada menit kelima
A = Appearance (Tampilan)
P = Pulse (Denyut Nadi)
G= Grimace (Raut Wajah)
A= Activity (Gerakan)
R= Respiration (Pernapasan)
Penilaian        :
 Nilai 7 = Baik
 Nilai 4-6 = Perlu dibantu atau dirangsang
 Nilai <4 = Lakukan resusitasi (Resusitasi bayi adalah upaya
menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ- organ vital).
- Berapa berat badan lahirnya?
- Apakah ada kejadian saat lahir?
- Apakah ketika lahir anak mengalami hiperbilirubin?
D. Riwayat tumbuh kembang
E. Riwayat Imunisasi.
F. Riwayat Penyakit Dahulu: Apakah bayi pernah dirawat inap?
G. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Apakah dikeluarga ada yang mengalami hal yang sama?
- Apakah dikeluarga ada yang mengalami gangguan pendengaran?.1

Gambar.1 Skor APGAR1


Pemeriksaan fisik

- Kesadaran dan keadaan umum pasien


- Tanda-tanda Vital pasien
(Tekanan Darah, Frekuensi Napas, Frekuensi Nadi dan Suhu tubuh)
- Antropometri: Panjang badan, berat badan dan lingkar kepala
- Inspeksi: Melihat apakah terdapat deformitas pada telinga luar
- Bunyikan bel atau suara, apabila terjadi refleks terkejut maka pengengarannya baik,
kemudian apabila tidak terjadi refleks mata kemudian akan terjadi gangguan
pendengaran.
- Masa bayi : perhatikan apakah bagian atas dari daun telinga BBL menyambung
dengan kulit kepala dibawah garis yang memanjang melewati kantus dalam dan
kantus luar mata
- Lubang dan gendang telinga: perhatikan pada gendang telinga menggunakan otoskop
anda dengan menarik pinna ke arah bawah
- Pendengaran : masa bayi : bunyi yang keras , tajam dekat telinga bayi dan perhatikan
refleks terhadapnya, dapat menandakan terjadinya penurunan pendengaran.

Pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak

Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin.
Walaupun derajat ketulian yang dialami seorangbayi/anak hanya bersifat ringan, namun
dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa.
Dalam keadaan normal seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif
pada usia 18bulan, berarti saat tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya
gangguan pendengaran. Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pda
bayi dan anak jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Beberapa
pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak adalah:

a. Behavioral Observation Audiometry (BOA)


Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan
respons yang disadari. Metode ini dapat mengetahui seluruh sistem auditorik
termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. BOA penting untuk mengetahui respons
subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk penilaian
habilitas pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing aid fitting).
Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi, namun
pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia bayi. Pemeriksaan Behavioral
Observation Audiometry dibedakan menjadi behavioral refleks audiometry dan
behavioral response audiometry.
Behavioral Reflex Audiometry
Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat refleks sebagai reaksi
terhadap stimulus bunyi. Respons behavioral yang dapat diamati antara lain:
mengejapkan mata (auropalpepbral reflex), melebarkan mata (eye widening),
mengerutkan wajah (grimacing), berhenti menyusu (cessation reflex), denyut jantung
meningkat reflex Moro.
Behavioral Response Audiometry
Pada bayi normal sekitar usia 5-6bulan stimulus akustik akan menghasilkan pola
respons khas berupa menoleh atau menggerakan kepala ke arah sumber bunyi diluar
lapang pandangan. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horisontal dan dengan
bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya
bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan
melokalisir sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13-16bulan. Tehnik
Behavioral Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah (1) Tes Distraksi,
respons terhadap stimulus bunyi adalah menggerakan bola mata atau menoleh ke arah
sumber bunyi. Bila tidak ada respons terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan diulang
satu kali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1minggu
kemudian. Seandainya tetap tidak ada respons, harus dilakukan pemeriksaan
audiologik lanjutan yang lebih lengkap dan (2) Visual Reinforcement Audiometry
(VRA), mulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-7bulan dimana kontrol neuromotor
berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang.
b. Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan/tekanan negatif ditelinga tengah)
merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif. Timpanometri
merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat gangguan
pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah
normal. Refleks akustik pada bayi juga berbeda dengan orang dewasa. Dengan
menggunakana probe tone frekuensi tinggi, refleks akustik bayi usia 4bulan atau lebih
sudah mirip dengan dewasa.
c. Audiometri nada murni
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer dan hasil pencatatannya
disebut sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih dari 4tahun yang
kooperatif. Sebagai sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang
hanya terdiri dari 1frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan
menilai hantaran suara melalui udara melalui headphone pada frekuensi
125,250,5000,1000,2000,4000 dan 8000Hz. Hantaran suara melalui tulang diperiksa
dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada
frekuensi 500,1000,2000,4000Hz. Intensitas yang biasa digunakan antara 10-100dB,
secara bergantian pada kedua telinga.
d. Ottoaccoustic Emission (OAE)
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi
koklea yang obyektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/lulus dan refer/tidak
lulus), tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga
sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir (Universal
newborn Hearing Screening). Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea
menjadi stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf
pendengaran. Sebagian energi bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan
kembali menuju ke liang telinga. Proses ini mirip dengan peristiwa echo (Kemp
echo). Produk sampingan koklea ini selanjutnya disebut sebagai emisi otoakustik.
Koklea tidak hanya menerima dan memproses bunyi tetapi juga dapat memproduksi
energi bunyi dengan intensitas rendah yang berasal dari sel rambut luar koklea.
Terdapat dua jenis OAE, yaitu (1) Spontaneous OAE (SPOAE), adalah mekanisme
aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun tidak
semua orang dengan pendengaran normal mempunyai SPOAE dan (2) Evoked OAE
(EOAE), hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik yang dibedakan menjadi,
(a) Transient Evoked OAE (TEOAE), stimulus akustik berupa click dan (b) Distorsion
Product OAE (DPOAE), menggunakan stimulus berupa 2buah nada murni yang
berbeda frekuensi dan intensitasnya. Pemeriksaan dilakukan diruangan yang tenang.
Pada mesin OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan
noise yang terjadi selama pemeriksaan. Untuk memperoleh hasil yang optimal
diperlukan pemilihan probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang telinga. Sedatif
tidak diperlukan bila bayi dan anak kooperatif.
e. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) = Audiometry Brainstem
Response (ABR).
BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistem
auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa,
penderita koma.2

Perkembangan auditorik

Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan


perkembangan otak. Neuron dibagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu
3tahun pertama kehidupan, dan masa 12bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak
yang sangat cepat. Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa
setelah usia gestasi 20minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat
memberikan respons terhadap suara yang ada disekitarnya,namun reaksi janin masih bersifat
refleks seperti refleks Moro, terhentinya aktivitas (cesssation reflex) dan refleks
Auropalpepbral. Kuczwara dkk (1984) membuktikan respons terhadap suara berupa refleks
auropalpepbral yang konsisten pada janin normal usia 24-25minggu.2

Tuli kongenital

a. Tuli berasal dari genetik tanpa kelainan lainnya


- Ketulian Michel. Kelainan ini dikemukakan oleh Michel pada tahun 1863,
ditandai oleh tidak berkembangnya telinga dalam secara total. Ketulian Michel
diduga diwariskan secara autosomal dominan.
- Ketulian Mondini. Pada tahun 1791, Mondini mengemukakan suatu aplasia
parsial dari labirin tulang dan membran. Malformasi ini berakibat suatu koklea
yang pipih dengan hanya perkembangan gelang basal, sehingga gelang koklea
hanya satu setengah putaran dari yang seharusnya dua setengah putaran,
dimana gelang tengah dan apikal menyatu. Labirin vestibular tulang dapat
pula mengalami malformasi. Disgenesis organ Corti menyebabkan gangguan
pendengaran. Kelainan ini diwariskan sebagai trait autosomal dominan.
- Ketulian Scheibe
Pada tahun 1892, Scheibe mengemukakan jenis aplasia dimana labirin tulang
berkembang penuh namun pars inferior (Sakulus dan duktus koklearis)
berwujud gundukan sel-sel yang tak berdiferensiasi. Aplasia Scheibe adalah
ketulian kongenital herediter yang paling sering ditemui, dan biasanya
diwariskan sebagai trait autosomal resesif.
- Ketulian Alexander (Bing-Stebenmann)
Merupakan ketulian herediter yang dicirikan oleh aplasia duktus koklearis.
Aplasia yang berat ditemukan pada organ Corti dan sel-sel ganglion putaran
basal koklea didekatnya berakibat ketulian frekuensi tinggi.
b. Tuli genetik dengan kelainan lainnya
- Penyakit Waardenburg
Sindrom ini diwariskan sebagai suatu trait dominan. Gambaran utama
termasuk pergeseran kantus medial dan bintk lakrimal, pangkal hidung yang
datar, hiperplasia alis mata, heterokromia iris parsial atau total, albinisme
parsial dalam bentuk jambul putih serta tuli kongenital pada hampir
seperempat penderita.
- Albinisme
Ketulian yang menyertai albinisme dapat bilateral dan berat
- Hiperpigmentasi
Ketulian sensorineural yang berat telah ditemukan pada orang-orang yang
mengalami hiperpigmentasi pada daerah-daerah kulit.
c. Tuli kongenital dengan asal non-genetik dengan keluhan lainnya
- Rubela/campak Jerman
Jika seorang wanita terkena selama tiga bulan pertama kehamilannya, maka
besar kemungkinan bahwa bayinya akan mengalami ketulian sensorineural
dalam derajat tertentu. Anak dengan rubela kongenital dapat pula menderita
cacat lain, seperti cacat jantung, retardasi mental dan kebutaan. Pemeriksaan
patologi memperlihatkan aplasia organ Corti dan sakulus (pars inferior). Pars
superior umumnya normal.
- Eritroblastoma fetalis
Penyakit ini ditandai oleh suatu penimbunan bilirubin pada SSP dan pada
bayi-bayi ini akan terjadi ikterus, retardasi mental, serebral palsi serta ketulian
dapat timbul segera setelah lahir.
- Kretinisme
Gangguan pendengaran bersifat campuran, sensorineural dan konduktif.
d. Tuli kongenital dengan asal non-genetik tanpa keluhan lain
Penyebab tuli kongenital yang terjadi tanpa kelainan penyerta antara lain
kelahiran prematur, hipoksia dan persalinan lama. Mungkin pula disebabkan
pemakaian obat-obat ototoksik selama kehamilan yang dapat mengganggu
pendengaran anak.3

Diagnosis kerja: Tuli Sensorineural Kongenital Akibat Virus Rubella


Epidemiologi

Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian


khusus mengenai 6-8% dari populasi di negara berkembang dan sebagian merupakan defek
yang didapatkan sejak lahir. Berdasarkan universal newborn hearing screening (UNHS)
angka kekerapan yang didapatkan akan jauh lebih tinggi lagi.4 Kurang lebih 1,64 dari 1000
anak lahir hidup mengalami tuli kongenital. 1,0 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli
bilateral, dan 0,64 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli unilateral.5

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi/anak

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat
terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.

1. Masa pranatal (genetik herediter, non genetik seperti gangguan/kelainan pada masa
kehamilan, kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi misalnya defisiensi
Iodium).
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga
setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan
ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti TORCH dapat
berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat
ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu proses organogenesis dan merusak
sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin, dihidrostreptomisin,
gentamisin, barbiturat, thalidomide, dll. Selain itu malformasi struktur anatomi telinga
seperti atresi liang telinga dan aplasi koklea juga akan menyebabkan ketulian.
2. Masa perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor resiko
terjadinya gangguan pendengaran/ketulian seperti prematur, BBLR (<2500gram),
hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis). Umumnya ketulian yang terjadi
akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat
ketulian berat atau sangat berat.
3. Masa postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubella, campak, parotis, infeksi otak
(meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga dapat
menyebabkan tuli saraf/kobduktif.2

Patogenesis

Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di


nasofaring dan didaerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari
ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat menular ke
setiap orang yang berada diruangan yang sama dengan penderita. Masa inkubasi virus rubella
berkisar antara 14-21hari. Masa penularan 1minggu sebelum dan 4hari setelah permulaan
onset ruam (rash). Pada episode ini, virus rubella sangat menular.6

Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi
rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat. Dalam secret
tekak faring dan air kemih bayi dengan CRS terdapat virus rubella dalam jumlah banyak yang
dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat
bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1tahun setelah kelahiran. Kerusakan janin
disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat
pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah
nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini
mengalami deskuamasi kedalam lumen pembuluh darah, menunjukkan bahwa virus rubella
dialihkan kedalam peredaran janin sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini
selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda
mekanisme pertahanan janin belum matang dan gambaran khas embriopati pada awal
kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan.6

Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin dan bayi
yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubella
juga dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi
setelah trimester pertama derajat kerusakan janin menurun secara drastis. Perbedaan ini
terjadi karena janin terlindung oleh perkembangan progresif respon imun janin, baik yang
bersifat humoral maupun seluler dan adanya antibodi maternal yang ditransfer secara pasif.6

Infeksi pada trimester pertama

Kisaran kelainan berhubungan dengan umur kehamilan. Risiko terjadinya kerusakan


apabila infeksi terjadi pada trimester pertama kehamilan mencapai 80-90%. Virus rubella
terus mengalami replikasi dan dieksresi oleh janin dan hal ini mengakibatkan infeksi pada
persentuhan (kontak) yang rentan. Kelainan pertumbuhan seperti ketulian mungkin tidak
akan muncul selama beberapa bulan atau beberapa tahun, tetapi akan muncul pada waktu
yang tidak tentu.6

Infeksi virus rubella berbahaya apabila infeksi terjadi pada awal kehamilan. Virus
dapat berdampak disemua organ dan menyebabkan berbagai kelainan bawaan. Janin yang
terinfeksi rubella berresiko besar meninggal dalam kandungan, lahir prematur, abortus
spontan dan mengalami malformasi sistem organ. Berat ringannya infeksi virus rubella di
janin bergantung pada lama umur kehamilan saat infeksi terjadi. Resiko infeksi akan
menurun 10-20% apabila infeksi terjadi pada trimester II kehamilan. Lima puluh persen lebih
kasus infeksi rubella selama kehamilan bersifat subklinis bahkan tidak dikenali. Oleh karena
itu pemeriksaan laboratorik sebaiknya dilakukan untuk semua kasus dengan kecurigaan
infeksi rubella.6

Ketulian yang terjadi pada bayi tidak diperkirakan sebelumnya. Metode untuk
mengetahui adanya kehilangan pendengaran janin seperti pemancaran (emisi) otoakustik dan
auditory brain stem responses saat ini dikerjakan untuk menyaring bayi yang berisiko dan
akan mencegah kelainan pendengaran lebih awal, juga saat neonates. Peralatan ini mahal dan
tidak dapat digunakan diluar laboratorium.6

Manifestasi klinis

Infeksi rubella intrauterine boleh mengakibatkan aborsi spontan, atau bayi lahir hidup dengan
malformasi single atau multiple. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada bayi dengan
rubella kongenital adalah seperti berikut:

Manifestasi menetap:
 Tuli
 Kelainan jantung bawaan
 Kelainan mata (katarak, glaukoma, retinopati)
 Mikrosefali
 Retardasi mental dn sistem motorik (autism)

Manifestasi transien:

 Hepatosplenomegali
 Trombositopenia dengan purpura atau petekhiae
 Anemia hemolitik
 Kelainan tulang radiolusen
 Perkembangan terhambat (berat badan lahir rendah)
 Meningoensefalitis.6

Penilaian pendengaran

Sampai kira-kira umur 7bulan, bayi masih memperlihatkan respons yang tidak
konsisten terhadap bunyi-bunyian dan pemeriksaan yang dapat dipercaya hanya dapat
dilakukan dengan peralatan yang canggih, seperti brainstem evoked response audiometry.
Sejak umur 7bulan, bayi akan dapat mengarahkan kepala dan matanya ke sumber suara yang
pelan (distraction response). Bayi harus diberi kenyamanan dengan ruangan pemeriksaan
yang tenang. Pemeriksa berdiri pada jarak satu sampai tiga kaki disamping bayi dan diluar
jangkauan penglihatannya. Rangsangan suara diberikan sejajar dengan telinga. Suara
ditimbulkan dengan suara gemerincing bernada tinggi, sendok didalam mangkok, kertas
tissue, lonceng tangan dan suara bicara tertentu seperti “oo” dan “ss”.7

Jenis tuli

Kehilangan pendengaran kurang dari 20dB, biasanya tidak akan menimbulkan efek
terhadap perkembangan anak, tetapi kehilangan lebih dari 40dB menimbulkan gangguan
dalam bicara. Pemeriksaan terhadap rentang frekuensi mungkin menunjukkan tuli yang luas
atau tuli murni pada zona frekuensi tinggi. Tuli dapat diklasifikasikan menjadi tuli
sensorineural dan tuli konduktif. Pada tuli sensorineural terdapat kerusakan koklea atau saraf
pendengaran sedangkan pada tuli konduktif terdapat disfungsi telinga tengah. Kebanyakan
tuli berat pada anak adalah tipe sensorineural yang biasanya sudah ada sejak lahir.7
Pada anak yang lebih besar, kedua tipe tuli ini dapat dibedakan dengan pure tone
headphone audiometry. Pada tipe sensorineural terdapat gangguan hantaran tulang dan
hantaran udara setara. Pada tipe konduktif terdapat senjang tulang-udara (air-bone gap)
dengan pendengaran hantaran tulang lebih baik daripada hantaran udara. Pada 40 per
1000anak sekolah terdapat tuli ringan dan biasanya merupakan tuli konduktif telinga tengah
akibat glue ear. Pada 2 per 1000anak terdapat tuli sedang, menyebabkan anak tersebut
membutuhkan penggunaan alat bantu dengar, dan 1 per 1000anak menderita tuli berat yang
memerlukan pendidikan khusus.7

Penanganan yang lebih hati-hati dan pemantauan anak yang rentan terhadap otitis
media dapat menurunkan insiden glue ear. Tidak ada terapi khusus pada tuli sensorineural
selain tindakan bedah implantasi koklear yang hanya dapat dilakukan pada sebagian kecil
anak. Jika terdapat sisa pendengaran, dapat dilakukan alat bantu dengar. Pemakaian alat ini
bertujuan untuk memperkeras suara sehingga terdapat dalam rentang frekuensi suara bicara.
Pada pemakaian alat ini diperlukan instruksi yang jelas serta perhatian terhadap bentuk
telinga. Harus ditekankan bahwa pemakaian alat bantu hanya merupakan bagian dari proses
rehabilitasi umum dan pendidikan. Banyak anak dengan tuli sedang dapat mengikuti sekolah
dengan normal, tetapi tuli yang lebih berat memerlukan pendidikan khusus baik pada sekolah
tuna rungu maupun pada unit gangguan pendengaran yang ada disekolah normal. Karena
penyebab genetik didapatkan pada 50%anak dengan tuli sensorineural, seringkali diperlukan
konsultasi genetik untuk mencegah terjadinya kembali kasus tersebut pada anggota keluarga.7

Kemampuan bicara dan bahasa pada anak-anak dengan gangguan pendengaran yang
berat menjadi terlambat atau tidak berkembang. Semakin dini pendengaran dapat
dikembalikan atau mendapatkan bantuan spesialis maka semakin baik hasil akhirnya.
Skrining pada bayi dengan faktor resiko hanya dapat mengidentifikasi 40-60% tuli bilateral
yang signifikan. Oleh sebab itu skrining universal pada usia 3bulan direkomendasikan.8

Penatalaksanaan tuli sensorineural

Pada bayi dengan tuli sensorineural, upaya habilitasi harus dimulakan sebelum usia 6
bulan. Pemasangan alat bantu dengar (ABD) merupakan upaya pertama yang akan
dikombinasikan dengan terapi wicara atau terapi audio verbal. Model ABD didasarkan pada
bagaimana alat tersebut diletakkan serta penguatan yang dibutuhkan. Umumnya ABD
diletakkan dibelakang telinga dan dalam lubang telinga. Berikut merupakan model ABD yang
dipakai sekarang:
 Behind-the-ear (BTE): terdiri dari plastik atau casing tempat menyimpan komponen
alat bantu dengar yang dirancang mengikuti struktur telinga belakang kemudian
disambungkan dengan earmold atau cetakan telinga yang dipasangkan pada telinga
bagian luar. Suara yang ditangkap dari ABD diteruskan ketelinga melalui earmold
atau cetakan telinga. BTE umumnya digunakan semua umur mulai dari penurunan
pendengaran ringan sampai dengan penurunan pendengaran berat.
 In-the-ear (ITE): ABD yang dipasangkan dalam telinga bagian luar dan digunakan
untuk penurunan pendengaran ringan sampai dengan berat. Beberapa ITE dilengkapi
dengan fitur seperti telecoil. Telecoil adalah magnet lilitan magnet yang berfungsi
untuk menangkap suara melalui melalui lilitan magnet tersebut bukan melalui
mikrophon. Fitur ini memberikan kemudahan pemakai alat bantu mendengar untuk
berbicara melalui telephon. Telecoil juga berfungsi untuk menangkap suara yang
dikeluarkan oleh induction loop system. ITE umumnya tidak digunakan oleh anak-
anak dan orangtua.
 ABD canal terdiri dari dua model. In-the-canal (ITC) dipakai dalam lubang telinga.
Completely-in-canal (CIC) hampir tidak terlihat dalam lubang telinga. Kedua model
ini umumnya digunakan untuk penurunan pendengaran ringan sampai dengan
penurunan pendengaran moderat. Karena kedua model ini kecil, mungkin akan agak
sulit bagi sebagian orang untuk memakai dan melepaskannya. Model ini tidak
mempunyai banyak tempat untuk batere dan fitur lainnya, seperti telecoil. Model ini
tidak direkomendasikan untuk dipakai oleh anak-anak atau gangguan dengan sangat
berat karena terbatasnya kemampuan penguatan yang dikeluarkan oleh kedua model
ini.9

Perangkat elektronik yang mampu menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan


kemampuan mendengar adalah implan koklea. Indikasi pemasangan implan ini adalah pada
tuli saraf berat bilateral, usia 12 bulan hingga 17 tahun.

Implan koklea terdiri dari dua komponen utama. Komponen eksternal, yang disebut
dengan sound processor, dapat dikenakan di belakang telinga atau di badan. Komponen ini
berfungsi mengumpulkan bunyi melalui mikrofon dan memprosesnya ke dalam bentuk
informasi digital, yang kemudian menyampaikan ke implan yang ada di bawah
kulit.Komponen internal merupakan suatu implan dengan rangkaian elektroda. Yang
mengubah informasi digital dari sound processor menjadi sinyal elektrik dan
mengirimkannya ke rangkaian elektroda. Rangkaian elektroda ini menstimulasi saraf
pendengaran yang mengirimkan sinyal ke otak untuk diterjemahkan maknanya.9

Kesimpulan

Bayi ini mengalami tuli kongenital jenis sensorineural karena terinfeksi rubella secara
transplasenta dari ibunya yang pada minggu ke-8 terinfeksi virus rubella. Tatalaksana yang
dilakukan untuk bayi ini adalah dengan pemasangan Alat Bantu Dengar (ABD). Hipotesis
bahwa bayi laki-laki 3bulan ini mengalami tuli sensorineural kongenital akibat infeksi rubella
adalah benar.

Daftar Pustaka

1. Thomas J., Monaghan T. Buku saku Oxford: Pemeriksaan fsik dan keterampilan
praktis. Jakarta: EGC, 2012.p.460-61.
2. Suwento, Ronny dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan
leheredisi ketujuh [dalam: gangguan pendengaran pada bayi dan anak]. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2012.p.30-5.
3. Boeis L.R, dkk. BOEIS buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC, 1997.p.122-25
4. Bashiruddin J, et al. Gangguan pendengaran genetik. Dalam : Jurnal Otolaringology
Vol.36 No.3, Juli-September 2006.
5. Scott Olivia. Congenital Deafness. Http://www.patient.co.uk
6. Darmadi S, Kadek. Gejala rubella bawaan (kongenital) berdasarkan pemeriksaan
serologis dan rna virus. Dalam : Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory, Vol.13, No.2, Maret 2007.
7. Hull, D., Johnston, D.I. Dasar-dasar pediatri edisi 3. Jakarta:EGC, 2008.p.295-97.
8. Lissauer, T., Fanaroff, A. At a glance neonatology. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2009.p.144.
9. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Badan penerbit FKUI;
2011.h.10-42

Anda mungkin juga menyukai