Anda di halaman 1dari 40

PRAKTIK KUNJUNGAN LAPANGAN

PERUSAHAAN PT. JAKARTA CAKRATUNGGAL STEEL MILLS

KELOMPOK 1
HYGIENE INDUSTRI

Disusun oleh :
1. Andhika Rezky B. 030.12.016
2. Adinda Ratna Putri 030.12.025
3. Amabel Karamina 030.12.011
4. Amelia Ananda Syam P. 030.12.012
5. Amelia Fadhila H. 030.12.013
6. Angeline 030.12.021
7. Anindhita Athaya P. 030.12.025
8. Army Setia Kusuma 030.12.034
9. Arnita Ilanur 030.12.035
10. Ayang Rashelda 030.12.042
11. Bernio Yustindra P. 030.12.048
12. Wanda Junita Safitri 030.12.278

PELATIHAN HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA


KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA
PERIODE 5 MARET 2018 – 12 MARET 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan kunjungan perusahaan Walk
Through Survey sebagaimana mestinya. Laporan ini disusun untuk melengkapi
rangkaian kegiatan Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja yang dilaksanakan
pada periode 5 Maret 2018 – 12 Maret 2018.
Laporan ini memaparkan mengenai Higiene Industri pada perusahaan PT.
Jakarta Cakratunggal Steel Mills. Dalam usaha penyelesaian laporan ini, kami
banyak memperoleh bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan laporan ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak kekurangan
oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami menerima semua saran dan
kritikan yang membangun guna perbaikan kedepannya.

Jakarta, 12 Maret 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan ........................................................................... 2
1.3 Dasar Hukum ..................................................................................... 3
1.4 Gambaran Umum Perusahaan ............................................................ 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9


2.1 Higiene Perusahaan ............................................................................ 9
2.2 Lingkungan Kerja............................................................................... 9
2.3 Faktor-Faktor Lingkungan Kerja ..................................................... 10
2.3.1 Faktor fisik .............................................................................. 10
2.3.2 Faktor biologi .......................................................................... 13
2.3.3 Faktor kimia ............................................................................ 14
2.5 Konsep Dasar Higiene Perusahaan ................................................. 19
2.6 Pengendalian Lingkungan Kerja dan Monitoring
Lingkugan Kerja............................................................................... 20
2.7 Pengelolaan Limbah ......................................................................... 21

BAB 3 HASIL PENGAMATAN ....................................................................... 24


3.1 Faktor Fisik ...................................................................................... 24
3.1.1 Kebisingan .............................................................................. 24
3.1.2 Pencahayaan ............................................................................ 25
3.1.3 Iklim dan suhu ......................................................................... 25
3.1.4 Radioaktif ................................................................................ 26
3.2 Faktor Kimia .................................................................................... 26
3.3 Faktor Biologi .................................................................................. 27
3.4 Sanitasi Lingkungan Industri .......................................................... 27
3.5 Proses Pengolahan Limbah ............................................................. 28

BAB 4 PEMECAHAN MASALAH................................................................... 30


4.1 Bagian Pencahayaan ....................................................................... 30
4.5 Bagian Kebisingan .......................................................................... 30
4.6 Bagian Suhu dan Iklim ..................................................................... 30
4.1 Bagian Pembuangan Limbah ......................................................... 31
4.5 Bagian Toilet ................................................................................... 31
4.6 Bagian Kebersihan Lingkungan ....................................................... 31

ii
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 32
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 32
5.2 Saran ................................................................................................. 33

BAB 6 PENUTUP ............................................................................................... 34


REFERENSI ......................................................................................................... 35

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini Indonesia merupakan negara berkembang dengan banyaknya
industri dan teknologi proses produksi yang semakin maju. Maka semakin
meningkat pada bahan, produksi, intensitas, dan waktu kerja untuk para tenaga
kerja. Hal ini dapat menimbulkan kelelahan, kurangnya perhatian, dan lain-lain
sampai dapat menyebabkan kecelakaan. Oleh sebab itu keselamatan kerja
diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Kesehatan kerja merupakan hak
semua pekerja. Kesehatan lingkungan kerja sering kali dikenal juga dengan istilah
Higiene Industri atau Higiene Perusahaan. Selain itu Kegiatannya bertujuan agar
tenaga kerja terlindung dari berbagai macam risiko akibat lingkungan kerja
diantaranya melalui pengenalan, evaluasi, pengendalian dan melakukan tindakan
perbaikan yang mungkin dapat dilakukan. Melihat risiko bagi tenaga kerja yang
mungkin dihadapi di lingkungan kerjanya, maka perlu adanya personil di
lingkungan industri yang mengerti tentang hygiene industri dan menerapkannya di
lingkungan kerjanya Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan
dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan
tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perusahaan di Indonesia
secara umum diperkirakan termasuk rendah. Pelaksanaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat
kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan
kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja
dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Setiap tempat kerja mengandung potensi bahaya bagi tempat kerja sehingga
terjadi kemungkinan keadaan darurat. Potensi bahaya tersebut meliputi potensi
bahaya fisika, kimia, biologis, ergonomis dan psikologis.

1
Kesehatan lingkungan kerja sering kali dikenal juga dengan istilah Higiene
Industri atau Higiene Perusahaan. Tujuan utama dari Higien Perusahan dan
Kesehatan Kerja adalah menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif.
Hygiene perusahaan adalah suatu upaya pemeliharaan lingkungan kerja (fisik,
kimia, radiasi dan sebagainya) dan lingkungan perusahaan. Upaya ini terutama
dilakukan dalam hal pengamatan, pengumpulan data, merencanakan, dan
melaksanakan pengawasan terhadap segla kemungkinan gangguan kesehatan
tenaga kerja dan masyarakat di sekitar perusahaan. Berdasarkan hal tersebut maka
perlu dilakukan pengkajian terhadap faktor-faktor potensi bahaya yang
mempengaruhi di PT. Jakarta Cakratunggal Steel Mills mengenai permasalahan
yang ditimbulkan serta usaha-usaha yang diperlukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut.

1.2 Maksud dan Tujuan


1.2.1 Tujuan Umum
Adapun kunjungan perusahaan ini bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman dan kompetensi dokter berkenaan dengan implementasi konsep
hygiene industry dan kesehatan kerja pada perusahaan.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi faktor bahaya fisika yang meliputi getaran,
kebisingan, pencahayaan, iklim kerja panas, dan radiasi.
2. Mengidentifikasi faktor bahaya kimia yang meliputi jenis bahan kimia,
sifat, penyimpanan, dan sebagainya.
3. Mengindentifikasi faktor bahaya biologi yang meliputi bakteri, virus,
jamur, dan parasit.
4. Mengetahui sistem sanitasi lingkungan di PT. Jakarta Cakratunggal
Steel Mills.
5. Mengetahui peran petugas hygiene industry di PT. Jakarta
Cakratunggal Steel Mills.
6. Mengetahui proses pengolahan limbah di PT Jakarta Cakratunggal
Steel Mills.

2
1.3 Dasar Hukum
Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan higiene
industri antara lain sebagai berikut.
1. UU No. 3 Tahun 1969 Tentang Persetujuan Konferensi ILO No. 120
Mengetahui Higiene Dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor.
2. UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja.
3. UU No. 10 Tahun 1977 Tentang Ketenaganukliran.
4. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
5. Peraturan menteri Perburuhan No. 7 Tahun 1964 Tentang Syarat
Kesehatan, Kebersihan Serta Penerangan Dalam Tempat Kerja.
6. PP 63 Tahun 2000 Tentang Keselamatan Kerja Terhadap Kemanfaatan
Radiasi Pengion.
7. Keputusan Presiden RI No. 22 Tahun 1993 Tentang Penyakit Yang
Timbul Akibat Hubungan Kerja.
8. Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. 2/M/Bw/Bk/1984 Tentang
Pengesahan Alat Pelindung Diri.
9. Permenakertrans No. 01/Men/1981 Tentang Penyakit Akibat Kerja.
10. Peratutan Menteri Tenaga Kerja RI No. 13/Men/X/2011 Tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja.
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep 187/Men/1999 Tentang
Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya.

1.4 Gambaran Umum Perusahaan


a. Sejarah
PT. Jakarta Cakratunggal Steel Mills (JCSM) adalah salah satu
perusahaan pengolahan baja nasional yang memproduksi baja tulangan
beton atau yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah Besi Beton.
Perusahaan ini didirikan pada tahun 1989 di atas lahan seluas 14,8 ha,
berlokasi di Jl. Raya Bekasi Km. 21-22 Pulogadung Jakarta, dan mulai
beroperasi pada Juni 1992. Sejak memulai kegiatan operasi sampai
sekarang, PT. JCSM telah berhasil menembus pasar domestik dan
internasional. PT. JCSM memiliki komitmen untuk menciptakan produk

3
besi beton berkualitas tinggi berinisial “CS” sesuai dengan spesifikasi yang
ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Indonesia dan juga standar
internasional seperti American Standard Testing and Material (ASTM),
Japanese Industrial Standard (JIS) dan British Standards (BS).
Dalam mendukung komitmen tersebut, PT. JCSM telah menerapkan
Sistim Manajemen Mutu ISO 9001 yang disertifikasi sejak 1995, dan dalam
kontribusinya terhadap penyusunan Standar SNI untuk produk Besi Beton
dan keikut sertaan secara konsisten melakukan edukasi bagi masyarakat
konsumen untuk ikut peduli terhadap pemilihan bahan-bahan berkualitas
dan memenuhi standar, PT. JCSM mendapatkan penghargaan “SNI Award”
pada tahun 2008. Menyusul pada saat ini PT. JCSM sedang menggarap
untuk pencapaian “Green Steel Manufacturer” dengan menerapkan Sistim
Quality, Health, Safety and Environment secara ter integrasi. Melalui
pengembangan-pengembangan terakhir yang dilakukan oleh PT. JCSM,
inovasi-inovasi terkait perkembangan tehnologi terus diaplikasikan guna
mendukung kebutuhan serta kepuasan pelanggan. Hingga saat ini PT. JCSM
memiliki tenaga kerja berkisar 800-1.000 orang. Selain itu untuk menjaga
kelangsungan kesehatan dan keselamatan kerja bagi tenaga kerjanya, PT.
JCSM juga memiliki P2K3.

b. Visi dan Misi


Visi:
 Menjadikan PT Jakarta Cakratunggal Steel Mills sebagai salah satu
produsen baja yang terkemuka di Indonesia.
Misi:
 Menjadikan CS sebagai Quality Leader untuk produk Besi Beton.
 Menjadikan CS sebagai Price Leader untuk produk Besi Beton di
Indonesia.
 Menjadikan CS sebagai Supplier Besi Beton yang terlengkap dalam
memenuhi kebutuhan pasar.

4
c. Alur Produksi
1. Electric Arc Furnace
Merupakan tempat peleburan untuk menghasilkan baja cair dari
bahan baku berupa besi spons (sponge iron), iron scrap dan kapur
(lime) untuk mengontrol kandungan fosfor dan sulfur.
Adapun urutan dalam EAF yaitu :
1. Preparasi (pengecekan/persiapan bahan-bahan sebelum di lebur)
2. Charging (Charging adalah proses pemasukan bahan baku yang
telah disiapkan dalam bucket kedalam dapur listrik.
3. Melting (proses peleburan,Setelah bahan baku masuk kedalam
dapur, proses peleburan siap dilaksanakan. Proses peleburan adalah
proses mencairkan logam dari bahan baku menjadi cair dengan
menggunakan elektroda yang dimasukan kedalam dapur.
2. Proses Ladle Furnace
Adalah proses pemurnian baja cair yang dilakukan di Ladle
Furnace (LF) untuk melayani dapur listrik proses dan menyediakan
bahan baku baja cair ke mesin pengecoran kontinyu (CCM). Di dalam
LF baja cair di tambah dengan bahan tambah lain nya seperti
Almunium, FeMn, FeSi dll.
Aktivitas utama di dalam ladle furnace adalah:
• Mengatur temperatur baja cair yang akurat sebagai bahan baku untuk
pengecoran.
• Peningkatan kebersihan baja melalui deoksidasi dan desulfurisasi
• Homogenisasi temperatur dan komposisi kimia dengan
menggunakan gas Argon; dan
• Menambahkan alloy untuk mendapatkan spesifikasi yang diinginkan.
• Mengendalikan slag dan steel
Proses yang terlibat adalah
a. Slag treatment
b. Proses pemurnian dan reaksi kimia dalam pembuatan baja
c. RH vacuum degasing

5
3. Proses Continous Casting Machine
Continuous Casting Machine (CCM) adalah proses pengecoran
logam ke dalam mould dari ladle sehingga terbentuk slab baja secara
kontinyu. Baja slab diperoleh dari proses pencetakan kontinyu
(continuous casting) dimana perlindungan menggunakan gas argon
diperlukan antara ladle dan tundish. Ukuran slab yang dihasilkan
mempunyai ketebalan 200 mm, lebar 880-2080 mm dan panjang
maksimum 12000 mm.
4. Uji Tarik dan Uji Tekuk
Uji tarik mungkin adalah cara pengujian bahan yang paling
mendasar. Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah
mengalami standarisasi di seluruh dunia, misalnya di Amerika dengan
ASTM E8 dan Jepang dengan JIS 2241. Dengan menarik suatu bahan
kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi
terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu
bertambah panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki
cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff).
Bila kita terus menarik suatu bahan (dalam hal ini suatu logam)
sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap yang
berupa kurva seperti digambarkan pada Gambar 1. Kurva ini
menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang.
Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut.

Gambar.1 Gambaran singkat uji tarik dan datanya

6
Biasanya yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan
maksimum bahan tersebut dalam menahan beban. Kemampuan ini
umumnya disebut “Ultimate Tensile Strength” disingkat dengan UTS,
dalam bahasa Indonesia disebut tegangan tarik maksimum.
Uji lengkung (bending test) merupakan salah satu bentuk pengujian
untuk menentukan mutu suatu material secara visual. Selain itu uji bending
digunakan untuk mengukur kekuatan material akibat pembebanan dan
kekenyalan hasil sambungan las baik di weld metal maupun HAZ. Dalam
pemberian beban dan penentuan dimensi mandrel ada beberapa factor
yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Kekuatan tarik (Tensile Strength)
2. Komposisi kimia dan struktur mikro terutama kandungan Mn dan C.
3. Tegangan luluh (yield).
Berdasarkan posisi pengambilan spesimen, uji bending dibedakan menjadi
2, yaitu transversal bending dan longitudinal bending.

5. Uji Spektro
Pengujian Optical Emision Spectroscopy (OES) dilakukan untuk
mengetahui persentase komposisi unsur kimia dalam spesimen uji.
Standar pengujian yang digunakan adalah ASTM A571 yang berisi
tentang metode analisis komposisi kimia untuk baja, baja tahan karat, dan
baja paduan lain. Preparasi spesimen dilakukan dengan mengamplas
permukaan agar permukaan menjadi rata dan bersih.

Gambar 2. Skema Ilustrasi OES

7
Pada emission spectroscopy, energi yang diperoleh dari atom yang
mengemisikan radiasi elektromagnetik dikumpulkan dan dianalisis oleh
spektometer. Gambar 2 menunjukkan skema ilustrasi OES. Emisi yang
terbentuk pada frekuensi tertentu dapat digunakan untuk mengidentifikasi
jenis unsur pada spesimen uji. Berdasarkan teori kuantum, elektron
menempati level energi yang terendah saat kondisi normal (ground state).
Namun, ketika atom diberi energi potensial dari luar maka elektron dapat
tereksitasi keluar kulit menempati tingkat energi yang lebih tinggi. Kondisi
tersebut dinamakan kondisi tereksitasi. Elektron yang keluar ditangkap
oleh detektor dan sistem komputer akan mengenalinya melalui konfigurasi
energi dari elektronnya. Jadi unsur yang terdapat pada spesimen dapat
ketahui baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

d. Jam Kerja
Jam kerja untuk para pekerja sekitar 8 jam setiap hari sehingga
terdapat 3 shift. Dimulai dari pukul 07.00-15.00, 15.00-23.00, 23.00-
07.00. Proses pembuatan baja dilakukan pada malam hari.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Higiene Perusahaan


Definisi higiene perusahaan adalah upaya pemeliharaan lingkungan
kerja (fisik, kimia, radiasi dan sebagainya) dan lingkungan perusahaan.
Terutama bertujuan pengamatan dengan pengumpulan data, merencanakan
dan melaksanakan pengawasan terhadap segala kemungkinan gangguan
kesehatan tenaga kerja dan masyarakat di sekitar perusahaan. Dengan
demikian sasaran kegiatan perusahaan adalah lingkungan kerja serta
lingkungan perusahaan. Penyehatan lingkungan kerja dan perusahaan
merupakan upaya pencegahan timbulnya penyakit akibat kerja dan
pencemaran lingkungan proses produksi perusahaan. Pada dasarnya, higiene
perusahaan merupakan upaya preventif dalam usaha mengurangi resiko
terjadinya masalah K3 di sektor industri, dengan fokus pendekatan
Antisipasi, Rekognisi, Evaluasi, dan pengendalian (AREP) bahaya potensi
yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang timbul di/dari tempat kerja.

2.2 Lingkungan Kerja


Lingkungan kerja dikenal sebagai lingkungan yang mengandung
berbagai sumber bahaya dan mengancam keselamatan dan kesehatan
pekerjanya. Lingkungan kerja merupakan kehidupan sosial, psikologi, dan
fisik dalam perusahaan yang berpengaruh terhadap pekerja dalam
melaksanakan tugasnya (Komarudin 1983). Salah satu isi dari Undang-
undang (UU) no.1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja adalah agar
dilakukannya pencegahan dan pengendalian suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara,
dan getaran. Secara luas, UU ini mengamanahkan agar dilakukannya
pencegahan dan pengendalian Penyakit Akibat Kerja (PAK).

9
2.3 Faktor-faktor Lingkungan Kerja
Berdasarkan dengan Permenakertrans No. PER. 01/MEN/1976,
seorang dokter perusahaan dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang
ilmu higiene industri. Faktor-faktor sumber bahaya yang dapat diidentifikasi
dalam lingkup higiene industri adalah faktor fisik, faktor kimia, dan faktor
biologi, faktor fisiologi/ergonomi, dan faktor psikologi. Dalam tulisan ini,
akan dibahas terutama pada faktor fisik, faktor biologi, dan faktor kimia.

2.3.1 Faktor Fisik


1. Bising
Kebisingan didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki,
misalnya yang merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya
atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup.
Adapun beberapa jenis kebisingan, meliputi :
- Kebisingan terus-menerus : kebisingan yang sifatnya relatif stabil dan
tidak terputus-putus biasanya dihasilkan oleh mesin-mesin yang
berputar
- Kebisingan terputus-putus : kebisingan yang terdengar terputus-putus
seperti suara pesawat terbang di udara
- Kebisingan menghentak : kebisingan yang menghentak dengan keras
seperti suara dentuman meriam, bom meledak
Kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan
sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam
seminggu, yaitu 85 dB (A) (Permenakertrans No. 13/MEN/X/2011). Alat
yang dapat digunakan untuk mengukur kebisingan yaitu Sound Level
Meter (SLM), dan Personal Noise Dosimeter. Agar kebisingan tidak
mengganggu kesehatan atau membahayakan, perlu diambil tindakan
seperti penggunaan peredam pada sumber bising, penyekatan,
pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon, pembuatan bukit buatan
ataupun pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung diri
sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan.

10
2) Getaran
Getaran adalah gerakan bolak balik linear (atas-bawah, maju-
mundur, kiri-kanan) yang berlangsung dengan cepat dari suatu objek
terhadap suatu titik. Getaran terjadi saat mesin atau alat dijalankan
dengan motor sehingga pengaruhnya bersifat mekanis.
Jenis getaran yang terjadi sebagai faktor fisika :
- Getaran seluruh tubuh : dapat terjadi bila seluruh tubuh dirambati
oleh getaran. Mempunyai frekuensi 1-80 Hz
- Vibrasi segmental : bagian tubuh yang terpapar adalah lengan dan
tangan. Getaran ini mempunyai frekuensi 5 – 1500 Hz.
3) Iklim dan Suhu
Seorang tenaga kerja akan mampu bekerja secara efisien dan
produktif bila lingkungan tempat kerjanya nyaman. Suhu nyaman bagi
orang Indonesia adalah 24°C-26°C. Bila iklim kerja panas dapat
menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja dan gangguan kesehatan.
4) Pencahayaan:
Jenis sumber pencahayaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu
pencahayaan alami (berasal dari cahaya matahari), dan pencahayaan
buatan (berupa lampu).
Sifat-sifat pencahayaan yang baik meliputi:
- Pembagian iluminasi pada lapangan penglihatan
- Pencegahan kesilauan
- Arah sinar
- Warna
- Panas penerangan terhadap keadaan lingkungan
Berdasarkan PMP No. 7 tahun 1964 mengenai pencahayaan
terdapat pada pasal sebagai berikut :
Pasal 10
1. Jarak antara gedung-gedung atau bangunan-bangunan lainnya harus
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu masuknya cahaya siang
ke tempat kerja.

11
2. Setiap tempat kerja harus mendapat penerangan yang cukup untuk
melakukan pekerjaan.
Pasal 11
1. Jendela-jendela, lobang-lobang atau dinding gelas yang dimaksudkan
untuk memasukkan cahaaya harus selalu bersih dan luas seluruhnya
harus 1/6 dari pada luas lantai ternpat kerja.
2. Dalam hal yang memaksa luas yang dimaksud dalam ayat (1) dapat
dikurangkan sampai paling sedikit 1/10 x luas lantai.
3. Jendela-jendela, lobang-lobang atau dinding gelas harus dibuat
sedemikian rupa, sehingga memberikan penyebaran cahaya yang
merata.
4. Bila ada penyinaran matahari langsung menimpa para pekerja, maka
harus diadakan tindakan- tindakan untuk menghalang-halanginya
5. Apabila jendela hanya satu-satunya jalan cahaya matahari, maka jarak
antara jendela dan lantai tidak boleh melebihi 1,2 meter.
6. Jendela-jendela itu harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
memungkinkan cahaya siang mencapai dinding tempat kerja yang
terletak di seberang.
Pasal 12
1. Di dalam hal cahaya matahari tidak mencukupi atau tidak dapat
dipergunakan harus diadakan penerangan dengan jalan lain sebagai
tambahan atau pengganti cahaya matahari.
2. Untuk pekerjaan.yang dilakukan pada malam hari harus diadakan
penerangan buatan yang aman dan cukup intensitetnya.
3. Penerangan dengan jalan lain itu tidak boleh menyebabkan panas yang
berlebih-lebihan atau merusak susunan udara.
4. Apabila penerangan buatan menyebabkan kenaikan suhu dalam tempat
keria maka suhu itu tidak boleh naik melebihi 32 Celcius. Dalam hal
itu harus dilakukan tindakantindakan lain untuk mengurangi pengaruh
kenaikan suhu tersebut (peredaran angin, dll).

12
5. Sumber penerangan yang menimbulkan asap atau gas sisa sedapat
mungkin dihindarkan dari semua tempat kerja. Sumber penerangan
semacam ini hanya dipergunakan dalam keadaan darurat.
6. Sumber cahaya yang dipergunakan harus menghasilkan kadar
penerangan yang tetap dan menyebar serata mungkin dan tidak boleh
berkedip-kedip.
7. Sumber cahaya yang dipergunakan tidak boleh menyebabkan sinar
yang menyilaukan atau bayangan atau contrast yang mengganggu
pekerjaan.
8. Apabila bahan dan alat dipergunakan menyebabkan sinar yang
menyilaukan atau berkedip-kedip, maka harus diadakan tindakan-
tindakan untuk melenyapkan sinar yang mengganggu tersebut atau
mengurangkan pengaruhnya terhadap mata.

Beberapa hal yang dapat menurunkan intensitas penerangan meliputi:


- Adanya debu atau kotoran pada bola lampu;
- Bola lampu yang sudah lama;
- Kotornya kaca jendela, untuk penerangan alami;
- Perubahan letak barang-barang.

2.3.2 Faktor Biologi


Dasar hukum faktor biologis yang mempengaruhi lingkungan kerja
adalah Kepres No. 22/1993 tentang penyakit yang timbul karena hubungan
kerja (point) penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau
parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki resiko
kontaminan khusus. Biological hazard adalah semua bentuk kehidupan
atau mahkluk hidup dan produknya yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia dan hewan. Faktor biologis dapat dikategorikan menjadi:
1) Mikroorganisme dan toksinnya (virus, bakteri, fungi, dan produknya);
2) Arthopoda (crustacea, arachmid, insect);
3) Alergen dan toksin tumbuhan tingkat tinggi;

13
4) Protein alergen dari tumbuhan tingkat rendah (lichen, liverwort, fern)
dan hewan invertebrata (protozoa, Ascaris);
Faktor biologis dapat masuk ke dalam tubuh dengan cara:
1) Inhalasi/ pernafasan (udara terhirup)
2) Ingesti/ saluran pencernaan
3) Kontak dengan kulit
4) Kontak dengan mata, hidung, mulut
Menurut CDC faktor biologi diklasifikasikan 4 level yaitu:
1) Bio Safety Level I, kurang bahaya (minimal hazard):
a. Tidak bahaya
b. Bacillus subtilis, canine hepatitis, E.coli, varicella
c. Cuci tangan dengan sabun, gunakan sarung tangan
d. Letakkan buangan material yang mengandung faktor biologi ke
dalam wadah khusus
2. Bio Safety Level II, lebih bahaya (ordinary risk):
a. Lebih berbahaya dari BSL – 1
b. Hepatitis, influenza A, HIV AIDS, Salmonella
c. Diperlukan safety precaution
3. Bio Safety Level III, beresiko tinggi dan infeksius (higher risk and
infectious):
a. Dapat menyebabkan kematian
b. Anthrax, SARS virus, TBC, typhus yellow fever, malaria
c. Laboratorium harus ditutup rapat
4. Bio Safety Level IV, sangat bahaya (extremely hazardous):
a. Sangat berbahaya, dapat membunuh banyak orang, sulit diterapi
b. Ebola virus, marburg virus, lassa virus
c. Harus sangat hati – hati dalam penanganannya dan wajib
menggunakan APD khusus.

2.3.3 Faktor Kimia


Faktor kimia merupakan salah satu sumber bahaya potensial bagi
pekerja. Bahan kimia yang didefinisikan sebagai unsur kimia, senyawa,

14
dan campurannya yang bersifat alami maupun buatan (sintetis) selalu
terdapat di setiap proses industri. Paparan terhadap zat-zat kimia tertentu
di tempat kerja dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, baik dalam
jangka waktu pendek maupun panjang. Untuk memahami faktor kimia di
tempat kerja, seorang ahli K3 harus memiliki pengetahuan tentang efek
toksik dan sifat dari suatu zat kimia. Identifikasi zat kimia berbahaya dapat
dilakukan dengan melihat pelabelan bahan kimia dan Material Safety Data
Sheet (MSDS). Dari pelabelan bahan kimia dan MSDS, Ahli K3 harus
memberikan promosi kesehatan dan preventif pencegahan PAK (penyakit
akibat kerja).
1) Klasifikasi (berdasarkan bentuknya):
a. Partikulat, yaitu setiap sistem titik-titik cairan atau debu yang
mendispersi di udara yang mempunyai ukuran demikian lembutnya
sehingga kecepatan jatuhnya mempunyai stabilitas cukup sebagai
suspensi di udara. Bentuk ini memiliki ukuran 0,02-500 µm. Variasi
bentuk partikulat di antaranya sebagai berikut.
 Debu: merupakan suspensi partikel benda padat di udara.
Butiran debu ini dihasilkan oleh pekerjaan mekanisasi, seperti
pekerjaan yang berkaitan dengan gerinda, pemboran,
pemecahan, dan penghancuran material batu, biji besi, batubara,
biji-bijian. Ukuran debu dapat bervariasi mulai dari yang dapat
terlihat dengan mata telanjang (50µm) sampai dengan yang
tidak terlihat. Partikel debu yang berukuran kurang dari 10µm
dapat membahayakan kesehatan karena dapat terhirup dan
masuk ke dalam paru-paru, dan yang berukuran 0,5 – 4 µm
dapat terdeposit pada alveolus paru, seperti debu kapas, silika,
dan asbes.
 Fume: adalah partikel-partikel benda padat hasil kondensasi
bahan-bahan dari bentuk uap, biasanya terjadi setelah
penguapan dari logam cair. Uap dari logam cair terkondensasi
menjadi partikel-partikel padat di dalam ruangan logam cair
tersebut, misalnya pada pekerjaan penyolderan, pengelasan, atau

15
peleburan logam. Contoh: metal fume pada peleburan logam
seperti ZnO dan PbO.
 Kabut (fog): adalah sebaran partikel-partikel cair di udara
sebagai hasil proses kondensasi / pengembunan dari bentuk uap
atau gas melalui proses electroplanting dan penyemprotan di
mana cairan tersebar, terpercik atau menjadi busa partikel buih
yang sangat kecil. Contoh: kabut minyak yang dihasilkan selama
operasi memotong dan gerinda.
 Asap (smoke): adalah partikel-partikel karbon yang mempunyai
ukuran kurang dari 0,5 µm dan bercampur dengan senyawa
hidrokarbon sebagai hasil pembakaran tidak sempurna dari
bahan bakar, seperti hasil pembakaran batubara.
 Smog: adalah bentuk suspense antara smoke dan fog bersama di
udara. Smog terdapat pada pekerjaan pembuihan.
b. Non Partikulat
Variasi bentuk partikulat di antaranya sebagai berikut.
 Gas adalah molekul dalam udara yang menempati ruang yang
tertutup dan dapat diubah menjadi cairan atau keadaan padat
dengan pengaruh dari gabungan kenaikan tekanan dan
pengurangan suhu. Gas dapat berdifusi dengan cara menjalar
atau menyebar. Contoh: bahan seperti oksigen, nitrogen, atau
karbon dioksida dalam bentuk gas pada suhu dan tekanan
normal, dapat diubah bentuknya hanya dengan kombinasi
penurunan suhu dan penambahan tekanan.
 Uap adalah bentuk gas dari suatu bahan yang dalam keadaan
normal berbentuk padat atau cairan pada suhu dan tekanan
ruang. Uap dapat dirubah kembali menjadi padat atau cair
dengan menambah tekanan atau menurunkan suhu. Bahan-bahan
yang memiliki titik didih yang rendah lebih mudah menguap
dari pada yang memiliki titik didih yang tinggi. Contoh bentuk
uap adalah uap air, uap minyak, uap merkuri, uap toluen.

16
2) Pengaruh Fisiologis dan Patologis Bahan Kimia
a. Bahan kimia iritatif adalah bahan kimia yang dapat menyebabkan
iritasi atau menimbulkan bahaya apabila tubuh kontak dengan
bahan kimia. Bagian tubuh yang terkena biasanya kulit, mata, dan
saluran pernapasan.
- Iritasi melalui kulit : apabila terjadi kontak antara bahan kimia
tertentu dengan kulit, bahan itu akan merusak lapisan yang
berfungsi sebagai pelindung. Keadaan ini disebut dermatitis
(peradangan kulit).
- Iritasi melalui mata : kontak yang terjadi antara bahan-bahan
kimia dengan mata bisa menyebabkan rusaknya mulai yang
ringan sampai kerusakan permanen.
- Iritasi saluran pernapasan : oleh karena bahan-bahan kimia
berupa bercak-bercak cair, gas atau uap akan menimbulkan rasa
terbakar apabila terkena pada daerah saluran pernapasan bagian
atas (hidung dan kerongkongan).
b. Bahan kimia bersifat asfiksian merupakan bahan kimia yang dapat
menyebabkan asfiksia, yaitu keadaan sesak napas dihubungkan
dengan gangguan proses oksigensi dalam jaringan tubuh, sehingga
menimbulkan sensasi tercekik dan dapat menyebabkan kematian.
Terdapat dua jenis asfiksia, yakni:
- Simple asphyxiation (sesak napas yang sederhana) karena ini
berhubungan dengan kadar oksigen di udara yang digantikan
dan didominasi oleh gas seperti nitrogen, karbon dioksida,
ethana, hidrogen atau helium yang kadar tertentu
mempengaruhi kelangsungan hidup.
- Chemical asphyxiation (sesak napas karena bahan-bahan
kimia). Pada situasi ini, bahan-bahan kimia langsung dapat
mempengaruhi dan mengganggu kemampuan tubuh untuk
mengangkut dan menggunakan zat asam, sebagai contoh adalah
karbon monoksida, nitrogen, propan, argon, dan metana.

17
c. Bahan kimia bersifat zat pembius dapat menghilangkan kesadaran
dan mati rasa. Paparan terhadap konsentrasi yang relatif tinggi dari
bahan kimia tertentu seperti ethyl dan prophyl alcohol (aliphatic
alcohol), dan methylethyl keton (aliphatic keton), acetylene
hydrocarbon ethyl dan isoprophyl ether, dapat menekan susunan
saraf pusat.
d. Bahan kimia beracun/toksin merupakan bahan kimia yang dalam
konsentrasi relatif sedikit dapat mempengaruhi kesehatan manusia
atau bahkan menyebabkan kematian. Manusia memiliki sistem
yang kompleks. Keracunan sistemik dihubungkan dengan reaksi
dari salah satu sistem atau lebih dari tubuh terhadap bahan-bahan
kimia yang mana reaksi ini merugikan dan dapat menyebar ke
seluruh tubuh. Contoh bahan kimia toksin antara lain pestisida,
benzene, dan sianida.
e. Bahan kimia karsinogenik. Paparan bakan-bahan kimia tertentu
bisa menyebabkan pertumbuhan sel-sel yang tidak terkendali,
menimbulkan tumor (benjolan-benjolan) yang bersifat karsinogen.
Tumor tersebut mungkin baru muncul setelah beberapa tahun
bervariasi antara 4 tahun sampai 40 tahun. Bahan kimia seperti
arsenik, asbestos, kromium, nikel dapat menyebabkan kanker paru.
f. Bahan kimia fibrotik merupakan bahan kimia yang bila masuk ke
dalam tubuh dapat menyebabkan terbentuknya jaringan fibrotik,
seperti pneumokoniosis. Pneumokoniosis adalah suatu keadaan
yang disebabkan oleh mengendapnya partikel-partikel debu halus
daerah pertukaran gas dalam paru-paru dan adanya reaksi dari
jaringan paru dan membentuk jaringan fibrotik. Contoh bahan-
bahan yang menyebabkan pneumokoniosis adalah crystalline
silica, asbestos, talc, batubara dan beryllium.
3) Pengukuran: Untuk mengetahui kondisi real tentang kadar kontaminan
kimiawi di tempat kerja, maka perlu dilakukan pengukuran/pengujian
terhadap faktor kimia yang memapari tempat tersebut dengan cara
pengambilan sample yang selanjutnya akan dianalisis. Dalam

18
melakukan pengukuran pada lingkungan kerja diperlukan
pengambilan sampel yang dapat dilakukan secara terus menerus dalam
kurun waktu tertentu yang pada prinsipnya harus representatif dalam 8
jam kerja. Metode yang digunakan antara lain Standar Nasional
Indonesia (SNI), NIOSH, AIHA, dan lain-lain. Beberapa instrumen
analisis yang digunakan dalam pengujian faktor kimia adalah AAS
untuk analisis kadar logam, GC untuk kadar hidrokarbon,
spectrophotometer UV/Vis untuk analisis gas organik, dan X-Ray
defractometer.

2.4 Konsep Dasar Higiene Perusahaan


Kondisi lingkungan kerja dapat menjadi beban tambahan terhadap
pekerja. Beban-beban tambahan tersebut dapat menimbulkan gangguan
atau penyakit akibat kerja. Status kesehatan masyarakat pekerja
dipengaruhi tidak hanya oleh bahaya kesehatan di temppat kerja dan
lingkungan kerja tetapi juga oleh faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja,
perilaku kerja serta faktor lainnya.
Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan pekerjaan
dapat disebabkan oleh pemejanan di lingkungan kerja. Dewasa ini terdapat
kesenjangan antara pengetahuan ilmiah tentang bagaimana bahaya-bahaya
kesehatan berperan dan usaha-usaha untuk mencegahnya. Hal ini dapat
dicontohkan dengan adanya penyakit yang sudah jelas penularannya
melalui darah, namun masih ada pemakaian jarum suntik yang berulang-
ulang, atau perlindungan yang belum baik pada pekerja rumah sakit dari
kemungkinan terpajan melalui kontak langsung.
Syarat-syarat lingkungan kerja yang sehat juga diatur dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/Menkes/Sk/Xi/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran Dan Industri. Pihak-pihak yang bertanggung jawab
dalam hal ini antara lain ialah pimpinan perusahaan dan tim petugas yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang tersebut.

19
Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di
lingkungan kerja ditempuh tiga langkah utama, yakni:
1) Pengenalan lingkungan kerja dengan cara melihat dan mengenal (walk
through inspection)
2) Evaluasi lingkungan kerja untuk menilai karakteristik dan besarnya
potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul, sehingga bisa untuk
menentukan pripritas dalam mengatasi permasalahan
3) Pengendalian lingkungan kerja untuk mengurangi atau menghilangkan
pajanan terhadap zat/bahan yang berbahaya di lingkungan kerja.

Dari ketiga langkah di atas, langkah pertama dan kedua saja tidak
dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat. Lingkungan kerja
yang sehat hanya dapat dicapai dengan teknologi pegendalian yang kuat
untuk mencegah efek kesehatan yang meugikan di kalangan para pekerja.
Pengendalian terhadap lingkungan kerja dapat dilakukan berupa
pengendalian terhadap lingkungan kerja maupun pengendalian perorangan.
1) Pengendalian lingkungan (Environmental Control Measures)
- Desain dan tata letak yang adekuat
- Penghilangan atau pengurangan bahan berbahaya pada sumbernya
2) Pengendalian perorangan (Personal Control Measures)
- Penggunaan alat pelindung perorangan
- Pembatasan waktu pajanan faktor bahaya untuk pekerja
- Kebersihan perorangan

2.5 Pengendalian Lingkungan Kerja dan Monitoring Lingkungan Kerja


Monitoring lingkungan kerja dilakukan secara berkesinambungan
dengan standar yang berlaku dengan maksud mengurangi atau
menghilangkan paparan berbahaya bagi tenaga kerja. Tindakan
pengendalian bahaya:
1) Eliminasi bahaya: menghilangkan bahaya dan sumbernya
2) Substitusi: modifikasi proses untuk mengurangi bahaya, misalnya
dengan mengubah proses kerja, atau peralatan kerja.
3) Reduksi (pengurangan tingkat bahaya)

20
4) Pemisahan/isolasi:menghilangkan sumber bahaya dengan cara
menempatkannya jauh dari pekerja lainnya
5) Engineering control: mengendalikan bahaya dengan memodifikasi
lingkungan kerja (Penyediaan alat keselamatan, penyediaan alat
peringatan)
6) Administration control: mengendalikan bahaya dengan melakukan
modifikasiinteraksi pekerja dengan lingkungan kerjanya.
7) Penyediaan alat pelindung diri (APD)

2.6 Pengelolaan Limbah


Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/Menkes/Sk/Xi/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran Dan Industri, tertulis bahwa terdapat dua jenis limbah
yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat adalah semua buangan
yang berbentuk padat termasuk buangan yang berasal dari kegiatan
perkantoran, sedangkan limbah cair adalah semua buangan yang berbentuk
cair termasuk tinja.
Untuk syarat yang harus dipenuhi untuk pengelolaan limbah antara lain:
1) Limbah padat
a. Setiap perkantoran harus dilengkapi dengan tempat sampah
daribahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan
mempunyai permukaan yang halus pada bagian dalamnya serta
dilengkapi dengan penutup.
b. Sampah kering dan sampah basah ditampung dalam tempat sampah
yang terpisah.
c. Tersedia tempat pengumpulan sampah sementara yang memenuhi
syarat
2) Limbah cair
Kualitas efluen harus memenuhi syarat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

21
Tata cara pelaksanaan:
1) Limbah padat
a. Membersihkan ruang dan lingkungan perkantoran minimal 2 kali
sehari
b. Mengumpulkan sampah kering dan basah pada tempat yang
berlainan dengan menggunakan kantong plastik warna hitam.
c. Mengamankan limbah padat sisa kegiatan perkantoran.
2) Limbah cair
a. Saluran limbah cair harus kedap air, tertutup, limbah cair dapat
mengalir dengan lancar dan tidak menimbulkan bau.
b. Semua limbah cair harus dilakukan pengolahan lebih
dahulusebelum dibuang ke lingkungan minimal dengan tangki
septik.

Selain itu juga terdapat limbah B3 yang harus dipisahkan dengan


limbah padat non-B3. Limbah B3 merupakan salah satu limbah industri yang
mengandung bahan pencemar yang bersifat racun dan bebahaya. Limbah B3
nerupakan bahan yang dalam jumlah sedikit tetapi memiliki potensi
mencemari dan merusak lingkungan hidup dan sumber daya. Limbah B3
dikelola ke tempat pengolahan limbah B3 sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sama halnya dengan limbah radioaktif yang juga
harus dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengolahan limbah dapat dilakukan melalui 3 proses, yaitu:
1) Proses pengolahan secara fisika:
 Sedimentasi,yaitu suatu proses pemisahan bahan padat dari cairan
secara gravitasi.
 Flotasi, yaitu memisahkan partikel dengan densitasnya, menggunakan
aliran udara yang dimasukkan kedalam sistem.
 Separasi minyak-air, yaitu dengan memisahkan bagian terbesar
minyak dari aliran limbah dengan menggunakan prinsip dasar
perbedaan spesifitas gravities anatara air dan minyak yang dibuang.

22
2) Proses pengolahan secara kimiawi:
 Koagulasi-presipitasi, yaitu pencampuran bahan kimia secara merata
menjadi gumpalan-gumpalan yang cukup besar.
 Netralisasi, yaitu proses untuk menurunkan sifat asam atau basa
dalam air.
3) Proses pengolahan secara biologi:
 Aerobic suspended growth process, yaitu memasukkan air limbah ke
dalam reaktor concrete steel earthen tank dengan aliran konsentrasi
yang sangat tinggi.
 Aerobic attached growth process, yaitu proses mikroorganisme
dimasukkan kedalam beberapa media.
 Aerobic lagoons (kolam stabilisasi), yaitu kolam tanah yang luas dan
dangkal untuk mengolah air limbah dengan menggunakan proses
alami dengan melibatkan ganggang dan bakteri.
 Anaerobic lagoons, yaitu air limbah mentah bercampur dengan massa
mikrobial aktif dalam lapisan sludge.

23
BAB 3
HASIL PENGAMATAN

Kunjungan PT Cakra Steel dilakukan pada hari Kamis,18 Maret 2018


pukul 13.00- 16.00 WIB. Selama proses walk through survey berlangsung, penulis
melakukan observasi terhadap faktor fisik, faktor biologi, faktor kimia,
kebersihan, petugas higiene industri dan pengolahan limbah yang dilakukan oleh
pekerja.
3.1 Faktor Fisik
Pada kunjungan ditemukan beberapa faktor fisik yang berbahaya, seperti :
1. Kebisingan
Pada pengamatan, terdapat bising yang ditimbulkan oleh mesin steel
melting yaitu EAF (Electric Arc Furnace). Terdapat juga bising yang
dihasilkan oleh mesin quality control yaitu yang menguji dimensi, uji
tarik dan uji tekuk. Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan
pihak perusahaan didapatkan kebisingan di lingkungan laboratorium > 90
dB. Secara umum keadaan bising di lokasi pabrik PT. Cakra Steel kami
anggap tidak dievaluasi dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan
ketidaknyamanan pekerja dan dapat mengakibatkan gangguan
pendengaran. Sebagian besar pekerja tidak memakai pelindung telinga
berupa ear muff atau ear plug. Hanya beberapa yang bekerja di bagian
rolling mills yang memakai APD untuk perlindungan telinga.

2. Pencahayaan

24
Menurut hasil pengamatan di PT. Cakra Steel menggunakan
sumber sinar matahari dan sumber buatan (lampu) sebagai sumber
penerangan. Sumber sinar matahari melalui jendela-jendela dan ventilasi
udara di sekitar gedung. Penerangan buatan menggunakan lampu neon
berwarna putih dan kuning. Pada ruangan produksi tampak digunakan
warna putih terang pada dinding dan langit-langit. Pada ruangan kantor
terlihat bagian lorong kantor yang menggunakan lampu dengan bohlam
berwarna kuning dan kurang menerangi seisi lorong. pada bagian dalam
ruangan kantor disesuaikan dengan luas tiap ruangan kerja dan aktivitas
yang dilakukan pada ruangan tersebut. Secara umum penerangan pada
bagian kantor belum dievaluasi dengan baik dan belum dilakukan
pengukuran dengan luxmeter secara berkala.

3. Iklim dan suhu


Menurut hasil pengamatan di PT. Cakra Steel, mesin yang
digunakan untuk steel melting dapat menghasilkan suhu yang panas yang
menyebabkan paparan panas yang berlebih (head exposure/dehydration),
cipratan cairan dari TCM (liquid splashes from TCM) dan kepulan asap
billet (billet smoke). Mesin untuk Rolling mills juga menghasilkan
paparan panas yang berlebih. Menurut paparan dari pihak HSE, suhu di
dalam bucket melting dapat mencapai 1200°C, dan mesin rolling mills
600-800°C. Saat dilakukan kunjungan, proses melting sedang tidak
beroperasi. Hanya rolling mills yang sedang berproduksi. Seluruh pekerja
telah memakai pakaian kerja, namun tidak ada yang memakai APD
spesifik untuk perlindungan panas.

4. Radioaktif

25
PT. Jakarta Cakratunggal Steel Mills menggunakan mesin yang
menghasilkan radioaktif yaitu pada steel meting. Namun bahan
radioaktif yang dimaksud tidak diketahui. Pada pekerja tidak dibekali
alat pengukur radiasi.

3.2 Faktor Kimia


Bahaya dari bahan kimia pencemar yang mungkin dihasilkan dari proses-
proses dalam industri besi-baja/logam terhadap lingkungan dan kesehatan
yaitu :
1. Debu, biasanya industri besi dan baja menhasilkan debu-debu yang
mengandung logam Fe yang dapat mencemari udara. Pencemaran Fe
sangat berpeotensi menimbulkan fibrosis paru, iritasi mukosa dan sesak
nafas
2. Karbon monoksida (CO), dapat menyebabkan gangguan serius, yang
diawali dengan napas pendek dan sakit kepala, berat, pusing-pusing
pikiran kacau dan melemahkan penglihatan dan pendengaran. Bila
keracunan berat, dapat mengakibatkan pingsan yang bisa diikuti dengan
kematian.
3. Karbon dioksida (CO2) dapat mengakibatkan sesak nafas, kemudian sakit
kepala, pusing-pusing, nafas pendek, otot lemah, mengantuk dan
telinganya berdenging
4. Belerang dioksida (SO2), Dalam industri besi dan baja, banyak
memberikan dampak bagi lingkungan. Besi dan baja (tanur logam)
banyak dihasilkan SOx karena mineral-mineral logam banyak terikat
dalam bentuk sulfida. Pada proses peleburan sulfida logam diubah
menjadi oksida logam. Proses ini juga sekaligus menghilangkan belerang
dari kandungan logam karena belerang merupakan pengotor logam. Pada
suhu tinggi sulfida logam mudah dioksida menjadi oksida logam melalui
reaksi berikut:
2ZnS + 3O2  2ZnO + 2SO2
2PbS + 3O2  2PbO + 2SO2

26
Selain tergantung dari pemecahan batu bara yang dipakai sebagai bahan
bakar, penyebaran gas SOx, ke lingkungan juga tergantung dari keadaan
meteorology dan geografi setempat. Kelembaban udara mempengaruhi
kecepatan perubahan SOx menjadi asam sulfat maupun asam sulfit yang
akan berkumpul bersama awan yang akhirnya akan jatuh sebagai hujan
asam. SO2 pada konsentrasi 6-12 ppm dapat menyebabkan iritasi pada
hidung dan tenggorokan, peradangan lensa mata (pada konsentrasi 20
ppm), pembengkakan paru-paru/celah suara.
5. Asap, dapat mengganggu pernafasan, menghalangi pandangan, dan bila
tercampur dengan gas CO2, SO2, maka akan memberikan pengaruh yang
membahayakan seperti yang telah diuraikan diatas.
6. Fosfor, digunakan dalam pembuatan besi baja pada tahap pemadatan
baja. Hasil buangan akhir dari proses tersebut adalah terbentuknya
beberapa senyawa fosfat. Terlalu banyak fosfat dapat menyebabkan
masalah, seperti kerusakan ginjal dan osteoporosis.

3.3 Faktor Biologi


Berdasarkan pengamatan penulis di PT. Cakratunggal Steel, ditemukan
beberapa faktor biologis yaitu :
1. Terdapat genangan air yang terbuka yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan vektor.
2. Terdapat tumpukan sampah di area pengolahan limbah dan di area
parkir kendaraan khusus pegawai yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan vector dan organisme pathogen lainnya.
3. Terdapat beberapa besi tua berkarat yang dibiarkan berserakan
dibeberapa tempat dekat area pejalan kaki dan berpotensi mencederai
serta menjadi tempat masuk organisme patogen kedalam tubuh.
Perlu dilakukannya pencegahan guna menghindari hal-hal yang dapat
terjadi akibat faktor biologi yaitu melakukan pengendalian vektor yang
dapat menyebabkan penyakit akibat kerja maupun kecelakaan kerja seperti
menghilangkan dengan menutup genangan air, memberikan label atau tanda
bahaya di tempat yang berisiko timbul kecelakaan maupun penyakit akibat
kerja.

27
3.4 Sanitasi Lingkungan Industri
Berdasarkan pengamatan selama di PT. Jakarta Cakratunggal Steel Mills
ditemukan kebersihan umum perusahaan terjaga dengan baik ditinjau dari interior
maupun eksterior bangunan perusahaan. Pemeliharaan fasilitas industri rutin
dilakukan untuk menjaga kebersihan umum dari perusahaan tersebut.
Namun dari bagian belakang perusahaan ditemukan beberapa tumpukan
sampah yang tidak terjaga dengan baik. Pada bagian dinding terlihat kotor dan
berdebu. Kebersihan di dalam perusahaan seperti dinding, lantai, dan atap tampak
berdebu dan kotor. Daerah kerja tampak berdebu dan lantai kotor karena hasil dari
mesin. Petugas kebersihan berjumlah 28 orang, terbagi dalam 2 shift. Sampah
dibuang ke tempat pembuangan sampah dan di ambil oleh pihak kedua untuk
dibuang ke tempat pembuangan akhir setiap 90 hari.
Tampak terdapat beberapa tempat sampah namun tidak di setiap ruangan.
Di dalam ruangan terdapat toilet umum yang lantai, dinding, kloset duduk terjaga
dengan baik dan bersih. Pada toilet ditemukan adanya sabun maupun tisu.
Ventilasi di lingkungan kerja kurang baik terdapat beberapa jendela di beberapa
bagian ruangan. Jumlah toilet pada pabrik ini tidak sebanding dengan jumlah
pekerja yang berjumlah >200 orang. Jumlah pekerja saat ini berkisar 800-1.000
orang.
Berdasarkan informasi dari narasumber, penyediaan kebutuhan air untuk
proses produksi, menggunakan air PAM dan air dari sumur bor. Sedangkan untuk
minum air didapat dari air galon.
Pada perusahaan tersebut setiap karyawan diberikan makanan seperti
makanan catering pada saat siang hari, dan disediakannya ruangan tempat makan
didalam perusahaan tersebut.
Berdasarkan pengamatan, ditemukan kebersihan umum perusahaan kurang
terjaga ditinjau dari interior maupun exterior bangunan pabrik. Pemeliharaan
fasilitas industri dilakukan secara berkala setiap satu bulan sekali.
Kebersihan di dalam perusahaan seperti dinding, lantai, dan atap tampak
terawat dengan baik. Daerah kerja tampak bersih dari sampah. PT. Jakarta
Cakratunggal Steel Mills juga memiliki cleaning service yang selalu
membersihkan daerah pabrik sebelum dan setelah waktu bekerja.

28
3.5 Proses Pengolahan Limbah
Proses pengolahan limbah PT. Cakratunggal Steel sudah cukup baik.
Sebagian besar limbah pada produksi baja adalah limbah padat dan dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

1. Limbah padat proses produksi : scrap dan slag


2. Limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri : scale, slurry, dan
sludge
3. Limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric
arc furnace (EAF)
Proses regulasi limbah berdasarkan pengamatan pada PT. Jakarta
Cakratunggal Steel Mills dibagi menjadi 2, yang pertama untuk limbah padat
yang masih dapat digunakan seperti slag, scale dan scrap akan dikumpulkan
dan ditampung sementara, kemudian digunakan kembali dalam proses
pembuatan baja berikutnya. Yang kedua, untuk limbah yang tak dapat di daur
ulang kembali menjadi baja, maka akan dipindahkan ke dumping area yang
kemudian oleh pihak ke-dua limbah tersebut akan dikirim kepada perusahaan
asing yang nantinya akan digunakan dalam proses produksi material lain.
Walaupun industri baja/logam tidak menggunakan larutan kimia, tetapi
industri ini tetap mencemari air karena buangannya dapat mengandung
minyak pelumas, Fe terlarut dan asam (H2SO4 atau HCL) yang berasal dari
proses pickling untuk membersihkan bahan plat yang bercampur dengan air
selama proses pendinginan maupun proses-proses yang lain dalam pembuatan
baja. Oleh sebab itu zat cair buangan dalam proses pembuatan baja akan
dialirkan kedalam suatu container khusus dan mengalami pengolahan serta
pengurangan kontaminan-kintaminan seperti oli yang nantinya akan
dimanfaatkan kembali, lumpur yang telah di Filter Press langsung dibuang
dengan bucket truck ke dumping area. Kemudian, air pembuangan tersebut
langsung dibuang ke sebuah kanal setelah dilakukan pH monitoring dan
pengurangan kontaminan berbahaya. Setelah proses tersebut, air yang sudah
bersifat netral dan tidak berbahaya tersebut akan dikirimkan ke pihak external
untuk diperiksa keamanan nya setelah itu dialirkan secara perlahan ke saluran

29
pembuangan air yang kemudian akan mengalir ke parit yang terletak di
sekitar gedung perusahaan atau digunakan kembali.

30
BAB IV
PEMECAHAN MASALAH

4.1 Bagian Pencahayaan


No Permasalahan Undang-Undang Saran
1. Pencahayaan Peraturan Menteri  Dilakukan pemeriksaan secara berkala
yang belum di Perburuhan no.7 dengan menggunakan luxmeter, sehingga
evaluasi dengan tahun 1964 sumber cahaya buatan yang mulai
baik. menurun kualitasnya atau redup, dapat
segera diganti, diharapkan ruangan-
ruangan kerja tetap mendapatkan
pencahayaan yang sesuai.

4.2 Bagian Kebisingan


No Permasalahan Undang-Undang Saran
1. Bunyi bising pada Permenakertrans  Pembagian shift kerja pada pekerja
mesin steel melting No. 13 tahun yang terpapar bunyi bising.
dan mesin quality 2011  Dilakukan pemeriksaan sound level
control dan noise dosimeter secara berkala.
 Pemeriksaan audiometri secara
berkala bagi pekerja yang terpapar.
 Penggunaan ear plug atau ear muff.

4.3 Bagian Suhu dan Iklim

No Permasalahan Undang-Undang Saran


1. Suhu ruangan yang Permenakertrans No.  Melakukan pemeriksaan ISBB
panas pada ruang 13/MEN/X/2011 tentang pada setiap ruangan kerja.
mesin untuk steel Nilai Ambang Batas  Menggunakan alat pelindung
melting dan ruang Faktor Fisika dan Faktor diri sesuai dengan tempat
mesin rolling mills Kimia di Tempat Kerja kerjanya, misalnya sarung
tangan dan sepatu khusus yang
sesuai dengan tempat kerjanya.
 Penyediaan air mineral di
lokasi kerja.

31
4.4 Bagian Pembuangan Limbah

No Permasalahan Undang-undang Saran


1. Peleburan  Keputusan Menteri  Penanganan limbah diolah dan
kembali produk Tenaga Kerja RI No. ditangani dengan benar yakni
sisa berisiko Kep.187/MEN/1999 dikumpulkan dan ditaruh
mengeluarkan  Permenakertrans diwadah yang tertutup (untuk
fume, asap, dan No.13/MEN/2011 tentang siap dijual)
debu Nilai Ambang Batas  Pengalasan lantai
Faktor Fisika dan Faktor  Alat Pelindung Diri (APD) :
Kimia di Tempat Kerja Masker, Sarung tangan

2. Pembuangan  Bekerja sama dengan pihak


limbah cair kedua untuk mengukur
kontaminasi dalam air sebelum
dibuang ke lingkungan.

4.5 Bagian Toilet


No Permasalahan Undang-undang Saran
1. Jumlah toilet pada pabrik Peraturan Menteri Penambahan jumlah
tidak sebanding dengan Perburuhan No. 7 Tahun toilet sebanyak minimal
jumlah pekerja yang 1964 18 toilet (16-20
berjumlah >200 orang.
(jumlah karyawan 800-1.000
orang)

4.6 Bagian Kebersihan Lingkungan


No Permasalahan Undang-Undang Saran
1. Terdapat  UU No.1 tahun 1970  Dilakukan pengendalian
genangan air  UU No.13 tahun 2003 vektor yang dapat
dan lumut di  Permenakertrans menyebabkan penyakit salah
area No.Per.01/MEN/1981 satunya dengan
pengolahan  Kepres RI No.22 Tahun 1993 menghilangkan adanya
sampah  Peraturan Menteri Perburuhan genangan air, dan lumut.
No.07 tahun 1964
2. Terdapatnya  UU No.1 tahun 1970  Dilakukan pengendalian
tumpukan  UU No.13 tahun 2003 vektor yang dapat
barang barang  Permenakertrans menyebabkan penyakit salah
dan sampah No.Per.01/MEN/1981 satunya dengan merapikan
 Kepres RI No.22 Tahun 1993 tumpukan barang dan kontrol
 Peraturan Menteri Perburuhan kebersihan minimal 2 kali
No.07 tahun 1964 sehari.

32
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di PT. Jakarta
Cakratunggal Steel Mills, terdapat beberapa faktor lingkungan yang perlu
diperhatikan:
1. Faktor fisik
a. Kebisingan: terdapat bising yang ditimbulkan oleh mesin
steel melting yaitu EAF (Electric Arc Furnace) dan mesin
quality control yaitu yang menguji dimensi, uji tarik dan uji
tekuk. Keadaan bising di lokasi pabrik ini dianggap tidak
dievaluasi dengan baik sehinga menyebabkan
ketidaknyamanan pekerja dan dapat mengakibatkan
gangguan pendengaran.
b. Pencahayaan: menggunakan sumber sinar matahari dan
sumber buatan (lampu) sebagai sumber penerangan. Secara
umum penerangan pada bagian kantor belum dievaluasi
dengan baik dan belum dilakukan pengukuran dengan
luxmeter secara berkala.
c. Iklim dan suhu: Mesin-mesin yang digunakan untuk proses
produksi menghasilkan suhu yang sangat panas sehingga
menyebabkan paparan panas berlebihan, cipratan cairan dari
TCM, dan kepulan asap billet.

2. Faktor kimia
a. Limbah: Peleburan kembali produk sisa berisiko
mengeluarkan fume, asap, dan debu yang dapat berpengaruh
pada kesehatan tenaga kerja.

33
3. Faktor biologi
a. Genangan air dan lumut di area pengolahan sampah yang
belum dikelola dengan baik sehingga berpotensi menjadi
tempat berkembangnya vector-vektor penyakit.
b. Tumpukan barang-barang dan sampah belum dikelola dengan
baik juga berpotensi menjadi tempat berkembangnya vektor
penyakit.

1.2. Saran
1. Dilakukan pemeriksaan secara berkala dengan menggunakan
luxmeter, sehingga sumber cahaya buatan yang mulai menurun
kualitasnya atau redup, dapat segera diganti, diharapkan ruangan-
ruangan kerja tetap mendapatkan pencahayaan yang sesuai.
2. Pembagian shift kerja pada pekerja yang terpapar bunyi bising.
3. Dilakukan pemeriksaan sound level dan noise dosimeter secara
berkala.
4. Pemeriksaan audiometri secara berkala bagi pekerja yang terpapar.
5. Penggunaan ear plug atau ear muff .
6. Melakukan pemeriksaan ISBB pada setiap ruangan kerja.
7. Menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan tempat kerjanya,
misalnya sarung tangan dan sepatu khusus yang sesuai dengan tempat
kerjanya.
8. Penanganan limbah diolah dan ditangani dengan benar yakni
dikumpulkan dan ditaruh diwadah yang tertutup (untuk siap dijual)
9. Pengalasan lantai
10. Alat Pelindung Diri (APD) : Masker, sarung tangan
11. Dilakukan pengendalian vektor yang dapat menyebabkan penyakit
salah satunya dengan menghilangkan adanya genangan air, lumut, dan
tumpukan barang serta sampah.

34
BAB 6
PENUTUP

Demikian laporan kunjungan perusahaan yang dilakukan ke PT. Jakarta


Cakratunggal Steel Mills terkait hygiene industri yang dapat kami sampaikan.
Tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya waktu dan
pengetahuan penulis. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi
perbaikan dan melengkapi ketidaksempurnaan pada laporan ini. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca dalam memperluas wawasan dan
pengetahuan dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja, khususnya mengenai
hygiene industri.

35
REFERENSI

1. Direktorat Bina Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Kementrian


Ketenagakerjaan RI 2015. Materi Ajar Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan
Kerja Bagi Dokter Perusahaan. Ed ke-3. Jakarta: 2017.
2. Suma’mur. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES), ed. Ke-2.
Jakarta: Sagung Seto, 2014. Hal 1-285.
3. Harrianto R. Buku Ajar Kesehatan Kerja, ed. Ke-1. Jakarta: EGC, 2012. Hal
48-266.
4. JCSM. Proses produksi besi beton. [Online]. Diakses 9 Maret 2018. Available
at : http://www.cakrasteel.co.id/user/user/bisnis
5. Subaris H. Hygiene Lingkungan Kerja. Yogyakarta: Mitra Cendika Press.
2008.
6. Djatmiko RD. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta: Deepublish.
2016;hal. 75-8.
7. Kepmenkes RI. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan
Industri. No. 1405/Menkes/SK/XI/2002.

36

Anda mungkin juga menyukai