Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung (heart failure) adalah kumpulan sindroma klinis yang kompleks

yang diakibatkan oleh gangguan struktur ataupun fungsi dan menyebabkan

gangguan pengisian ventrikel atau pemompaan jantung (Djausal, A, 2016).

Angka kejadian gagal jantung semakin meningkat dari tahun ke tahun, data

WHO tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita gagal

jantung dan 700.000 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit per tahun.

Faktor resiko terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah usia lanjut, 75%

pasien yang dirawat dengan gagal jantung berusia 65-75 tahun. Terdapat 2 juta

kunjungan pasien rawat jalan per tahun yang menderita gagal jantung (Oktafany,

Djausal,A, 2016).

Gagal jantung menimbulkan berbagai gejala klinis yang dirasakan pasien

beberapa diantaranya dispnea, ortopnea, dan gejala yang paling sering dijumpai

adalah paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) atau sesak napas pada malam hari,

yang mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan penderita terbangun.

Munculnya berbagai gejala klinis pada pasien gagal jantung tersebut akan

menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu kebutuhan dasar manusia

salah satu diantaranya adalah kebutuhan istirahat seperti adanya nyeri dada pada

aktivitas, dyspnea pada istirahat atau aktivitas, letargi dan gangguan tidur

(Doengoes, 1999, dalam Melanie 2014). Dr. Susan dari Case Western Reserve,

yang merupakan salah seorang peneliti senior, mengatakan bahwa dokter ahli

jantung perlu memberikan perhatian khusus terhadap pasien yang mengalami

1
gangguan tidur, karena gangguan tidur dianggap sebagai salah satu faktor risiko

hipertensi, baik pada pasien dewasa maupun pada pasien anak dan remaja.

Identifikasi dan penanganan gangguan istirahat tidur pasien adalah tujuan

penting bagi perawat. Perawat harus memahami sifat alamiah dari tidur, faktor

yang mempengaruhi tidur dan kebiasaan tidur pasien untuk membantu pasien

mendapatkan kebutuhan tidur dan istirahat (Perry &Potter, 2005, dalam Melanie

2014). Tanpa istirahat dan tidur yang cukup, kemampuan untuk berkonsentrasi,

membuat keputusan dan berpartisipasi dalam aktivitas harian atau keperawatan

akan menurun dan meningkatkan iritabilitas. Disamping itu jika seseorang

memperoleh tidur yang cukup, mereka merasa tenaganya telah pulih. Beberapa

ahli tidur yakin bahwa perasaan tenaga yang pulih dengan kualitas tidur yang baik

akan memberikan waktu untuk perbaikan dan penyembuhan sistem tubuh.

Pasien di unit perawatan intensif pada umumnya akan mengalami gangguan

tidur. Penyebab gangguan tidur itu dikarenakan oleh penyakit yang dideritanya,

lingkungan unit perawatan intensif, stress psikologis dan efek dari berbagai obat

dan perawatan yang diberikan pada pasien kritis tersebut.

Salah satu faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur pada pasien

dengan gagal jantung adalah ketidakmampuan untuk mengambil posisi tidur yang

disukai karena nocturnal dyspnea (Wilkinson ,2007, dalam Melanie 2014).

Tindakan keperawatan yang tepat dapat mengatasi gangguan tidur jangka pendek

dan panjang. Tindakan perawat Nursing Diagnosis Handbook with NIC

Interventions and NOC Outcomes menjelaskan terapi keperawatan positioning

dengan posisi tidur semi-fowler untuk mengatasi gangguan tidur pada pasien

gagal jantung karena sesak napas.

2
Tujuan dari tindakan memberikan posisi tidur adalah untuk menurunkan

konsumsi oksigen dan meningkatkan ekspansi paru yang maksimal, serta untuk

mengatasi kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan perubahan

membran kapiler alveolus (Doenges, 2000, dalam Melanie 2014). Memperoleh

kualitas tidur terbaik adalah penting untuk peningkatan kesehatan yang baik dan

pemulihan pasien yang sakit. Gangguan istirahat tidur pada pasien gagal jantung

terutama terjadi pada malam hari karena sesak napas sangat mengganggu kualitas

tidur klien. Kualitas tidur merupakan aspek dari tidur yang meliputi lama tertidur,

waktu bangun dan kenyenyakan dalam tidur. Pasien yang sakit seringkali

membutuhkan lebih banyak tidur dan istirahat daripada pasien yang sehat.

Kualitas tidur yang buruk pada pasien dengan gangguan penyakit jantung dapat

disebabkan oleh dyspnea, disritmia dan batuk (Rahayu, 2009, dalam Melanie

2014). Kualitas tidur yang buruk mengakibatkan proses perbaikan kondisi pasien

akan semakin lama sehingga akan memperpanjang masa perawatan di rumah

sakit.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat judul

Literature Review tentang “Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Kualitas

Tidur Pada Pasien Gagal Jantung di RSUD Dr. M.M Dunda Limboto”.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mendeskripsikan tentang Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Kualitas

Tidur Pada Pasien Gagal jantung.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mendeskripsikan tentang Gagal Jantung

3
2. Mendeskripsikan tentang posisi Semi Fowler pada pasien gagal jantung

3. Mendekripsikan tentang kualitas tidur

4. Mendeskripsikan hasil penelitian yang berkaitan dengan Pemberian Posisi

Semi Fowler Terhadap Kualitas Tidur Pada Pasien Gagal Jantung

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Aplikatif

1. Sebagai masukan untuk RSUD Dr. M.M Dunda Limboto untuk menetapkan

Standar Operasional Prosedur tentang posisi semi fowler untuk meningkatkan

kualitas tidur pada pasien gagal jantung.

2. Membantu perawat dalam menentukan posisi sudut yang tepat untuk

meningkatkan kualitas tidur pada pasien gagal jantung.

1.3.2 Manfaat Keilmuan

1. Literature review ini memberikan landasan upaya inovatif untuk keperawatan

kardiovaskuler.

2. Literature review ini akan memperkaya keilmuan keperawatan terutama terapi

mandiri keperawatan di Rumah Sakit.

4
BAB II

METODOLOGI

2.1 Jenis Penulisan

Jenis penulisan yang digunakan adalah literature review. Literature Review

merupakan uraian analisa kritis mengenai teori, temuan, dan bahan penelitian

lainnya yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan

penelitian dalam menyusun kerangka pikir yang jelas dari perumusan masalah

yang akan diteliti.

Adapun salah satu penelitian yang diangkat menjadi acuan untuk dijadikan

landasan literature review adalah penelitian yang dilakukan oleh Ritha Melanie

(2014). Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan sampel 30

responden, 15 responden mendapatkan perlakuan posisi tidur dengan sudut 30˚

sedangkan 15 responden mendapatkan perlakuan posisi tidur dengan sudut 45˚.

Pengumpulan data untuk kualitas tidur dilakukan dengan menggunakan instrumen

PSQI (The Pittburgh Sleep Quality Index), selanjutnya dianalisis dengan uji

statistik chi square, t-test independent dan Mann-Whitney.

2.2 Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah literature

review berbasis journal, dengan beberapa tahap yakni; penentuan topik besar,

screenning journal, coding journal, dan menentukan tema dari referensi jurnal

yang didapatkan, dengan hasil tema dari literature review ini adalah “Pemberian

Posisi Semi Fowler Terhadap Kualitas Tidur Pada Pasien Gagal Jantung di RSUD

Dr. M.M Dunda Limboto”.

5
2.3 Lokasi dan Waktu

Lokasi yang digunakan untuk melakukan literature review adalah di RSUD

Dr. MM. Dunda Limboto. Waktu yang digunakan adalah selama stase

keperawatan gawat darurat mulai tangal 3 Juli 2017 s/d tanggal Agustus 2017.

Adapun lokasi penelitian yang dilakukan oleh Ritha Melanie (2014) yang

menjadi acuan untuk dijadikan landasan literature review adalah di RSUP Dr.

Hasan Sadikin Bandung tahun 2014.

2.4 Etika Literature Review

Dalam melakukan penulisan ini, struktur penulisan yang harus diperhatikan

meliputi: formulasi permasalahan, literature screenning, evaluasi data, analisis

dan interpretasi.

2.5 Metode Pencarian

Bahan dan metode strategi yang digunakan dalam mencari artikel

menggunakan bahasa Indonesia yang relevan dengan topik. Pencarian dilakukan

secara elektronik dengan menggunakan google scholar. Kata kunci yang

digunakan adalah kualitas tidur, posisi semi fowler, gagal jantung. Artikel full text

dan abstrak yang diperoleh, direview untuk memilih artikel yang sesuai dengan

tema yang diangkat. Artikel yang digunakan sebagai sampel selanjutnya

diidentifikasi. Hasil penelitian dari 1 artikel utama dan empat artikel yang sesuai

kemudian di deskripsikan dalam pembahasan.

6
Tahun
No Nama Jurnal Penulis
Penerbitan
Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur Dan Tanda Vital
1. Pada Pasien Gagal Jantung di Ruang Rawat Intensif Ritha Melanie 2014

RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung


Pemberian Sudut Posisi Tidur 45° Terhadap Kualitas
Tidur Pada Asuhan Keperawatan Ny.S dengan Juang Gayuh
2. 2014
Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Intensive care Gemilang
Unit RSUD Sukoharjo
Pengaruh Susut Posisi Tidur Terhadap Kualitas Tidur dan
3. Status Kardiovaskuler Pada Pasien Infark Miokard Akut Dwi Sulistyowati 2015

(IMA) di Ruang ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta


Fachrunnisa,
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Tidur Sofiana
4. 2014
Pada Pasien dengan Congestive Heart Failure Nurchayati,
Arneliwati
Analisis Hubungan Posisi Tidur Semi Fowler Dengan
5. Kualitas Tidur Pada Pasien Gagal Jantung di RSUD Supadi 2008

Banyumas Jawa Tengah

7
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung adalah sindrome klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai

oleh sesak nafas dan fatik (saat istrahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh

kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung dapat disebakan oleh

gangguan yang mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel

(disfungsi diastolik) dan/atau kontraktilitas miokardial (disfungsi sistolik).

(Sudoyo Aru, dkk,2009, dalam Kusuma, H, 2015)

4.1.1 Etiologi

Etiologi terjadinya gagal jantung antara lain (Ardiansyah, M, 2012) :

1. Kelainan otot jantung

Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, yang

berdampak pada menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari

penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial

dan penyakit otot degenaratif dan inflamasi.

2. Aterosklerosis koroner

Kelainan ini mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran

darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam

laktat). Infark miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.

3. Hipertensi sistemik atau hipertensi pulmonal

Gangguan ini menyebabkan meningkatnya beban kerja jantung dan pada

gilirannya juga turut mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut

8
dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi, karena akan meningkatkan

kontraktilitas jantung.

4. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif

Gangguan kesehatan ini berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini

secara langsung dapat merusak serabut jantung dan menyebabkan kontraktilitas

menurun.

5. Penyakit jantung yang lain

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya

tidak secara langsung mempengaruhi organ jantung. Mekanisme yang biasanya

terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung (misalnya stenosis katup

semiluner) serta ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (misalnya

tamponade perikardium, perikarditis).

4.1.2 Klasifikasi Gagal Jantung

Beberapa istilah gagal jantung :

1. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa

sehingga curah jantung menurun menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan

aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.

2. Gagal jantung diastolik adalah gangguan reaksi dan gangguan pengisian

ventrikel.

(Sudoyo Aru, dkk,2009, dalam Kusuma, H, 2015)

Klasifikasi menurut gejala dan intensitas gejala :

1. Gagal Jantung Akut

Timbulnya secara mendadak, biasanya selama beberapa hari atau beberapa

jam.

9
2. Gagal jantung kronik

Perkembangan gejala selama beberapa bulan sampai beberapa tahun dan

menggambarkan keterbatasan kehidupan sehari-hari.

Klasifikasi Gagal Jantung menurut letaknya :

1. Gagal jantung kiri merupakan kegagalan ventrikel kiri untuk mengisi atau

mengosongkan dengan benar dan dapat lebih lanjut diklasifikasikan menjadi

disfungsi sistolik dan diastolik.

2. Gagal jantung kanan merupakan kegagalan ventrikel kanan untuk memompa

secara adekuat. Penyebab gagal jantung kanan kanan yang paling sering

terjadi adalah gagal jantung kiri, tetapi gagal jantung kanan dapat terjadi

dengan adanya ventrikel kiri benar-benar normal dan tidak menyebabkan

gagal jantung kiri. GJ kanan dapat juga disebabkan oleh penyakit paru dan

hipertensi artery pulmonary primer.

Menurut derajat sakitnya :

1. Derajat 1 : Tanpa keluhan. Anda masih bisa melakukan aktivitas fisik sehari-

hari tanpa disertai kelelahan ataupun sesak nafas.

2. Derajat 2 : Ringan. Aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan atau sesak

nafas, tetapi jika aktifitas ini dihentikan maka keluhan pun hilang.

3. Derajat 3 : Sedang. Aktivitas fisik sedang menyebabkan kelelahan atau sesak

nafas, tetapi keluhan akan hilang jika aktivitas dihentikan.

4. Derajat 4 : Berat. Tidak dapat melakukan aktifitas fisik sehari-hari, bahkan

pada saat istirahat pun keluhan tetap ada dan semakin berat jika melakukan

aktivitas walaupun aktivitas ringan.

10
Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut New York Heart association

(NYHA) :

1. Kelas I

Tidak ada keterbatasan aktifitas fisik. Aktifitas fisik biasa tidak menyebabkan

keletihan atau dispnea.

2. Kelas II

Sedikit keterbatasan fisik. Merasa nyaman saat istirahat, tetapi aktifitas fisik

biasa menyebabkan keletihan atau dispnea.

3. Kelas III

Keterbatasan nyata aktifitas fisik tanpa gejala. Gejala terjadi bahkan saat

istirahat. Jika aktifitas fisik dilakukan, gejala meningkat.

4. Kelas IV

Tidak mampu melaksanakan aktivitas fisik tanpa gejala. Gejala terjadi bahkan

saat istirahat. Jika aktifitas fisik dilakukan, gejala meningkat.

4.1.3 Manifestasi Klinis

1. Kriteria Major

a. Paroksismal Nokturnal Dispnea (PND)

b. Distensi vena leher

c. Ronki paru

d. Kardiomegali

e. Edema paru akut

f. Gallop S3

g. Peninggian vena jugularis

h. Refluks hepatojugular

11
2. Kriteria Minor

a. Edema ekstremitas

b. Batuk malam hari

c. Dispnea d’effort

d. Hepatomegali

e. Efusi pleura

f. Takikardia (>120/menit)

3. Major dan minor

Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.

Diagnose gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria

minor.

4.1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Elektrokardiogram (EKG)

2. Uji Stress

3. Ekokardiografi

4. Kateterisasi Jantung

5. Radiografi Dada

6. Elektrolit

7. Oksimetri Nadi

8. Analisa Gas darah (AGD)

9. Blood Ureum Nitrogen (BUN) dan Kreatinin

10. Pemeriksaan Tiroid

4.1.5 Penatalaksanaan

Penalatalaksanaan gagal jantung dibagi atas :

12
1. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi yaitu antara lain perubahan gaya hidup, monitoring

dan kontrol faktor resiko.

2. Terapi Farmakologi

Terapi yang dapat diberikan antara lain golongan diuretik, Angiotensin

Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), beta bloker, Angiotensin Receptor

Blocker (ARB), glikosida jantung, vasodilator, agronis beta, serta bipiridin.

4.2 Definisi Posisi Semi Fowler

Posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian kepala tempat

tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini untuk mempertahankan kenyamanan

dan memfasilitasi fungsi pernafasan pasien (Aziz, 2008, dalam (Febraska,A,

2014).

Posisi semi fowler adalah posisi yang bertujuan untuk meningkatkan curah

jantung dan ventilasi serta mempermudah eliminasi fekal dan berkemih, dalam

posisi ini tempat tidur ditinggikan 45-60° dan lutut klien agak diangkat agar tidak

ada hambatan sirkulasi pada ekstremitas (Perry dan Grifin, 2005, dalam

Febraska,A, 2014).

4.2.1 Posisi Semi Fowler Pada Pasien Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan suatu keadaan yang serius, dimana jumlah darah

yang masuk dalam jantung setiap menitnya tidak mampu memenuhi kebutuhan

tubuh akan oksigen dan nutrisi. Pada klien dengan penyakit gagal jantung akan

menyebabkan klien mengalami masalah kebutuhan tidur sebagai akibat dari

perubahan posisi tidur dimana klien akan mengeluh kesulitan bernapas. Hal ini

disebabkan karena gangguan fungsi pompa jantung dalam mengisi dan memompa

13
darah dari paru, akibatnya terjadi penumpukan darah di paru (edema paru) dan

menyebabkan peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru. Maka fungsi paru

pun terganggu dan terjadilah sesak napas.

Menurut Angela dalam Supadi, Nurachmah, & Mamnuah (2008), saat

terjadi serangan sesak biasanya klien merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan

posisi berbaring, melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk

meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O2 dalam darah. Posisi semi

fowler membuat oksigen dalam paru-paru semakin meningkat sehingga

memperingan kesukaran nafas. Posisi ini akan mengurangi kerusakan membran

alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya grafitasi

sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang, dan akhirnya

proses perbaikan kondisi klien lebih cepat.

Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari

adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan dengan derajat

kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk

membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada

diafragma (Perry & Potter,2005).

Pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian posisi semi fowler itu

sendiri dengan menggunakan tempat tidur orthopedik (jika tersedia). Namun

apabila tempat tidur orthopedik tidak ada di ruangan, perawat dapat menggunakan

bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung, sehingga dapat memberi

kenyamanan saat tidur dan dapat mengurangi kondisi sesak nafas pada pasien

jantung saat terjadi serangan

14
4.2.2 SOP Pemberian Posisi Semi Fowler

1. Alat dan Bahan

a. Bantal

b. Gulungan handuk

c. Sarung tangan

2. Prosedur

a. Identifikasi kebutuhan klien akan perubahan posisi

b. Jelaskan tujuan dan prosedur kepada klien

c. Jaga privasi klien

d. Persiapkan alat-alat

e. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan bila diperlukan untuk menurunkan

transmisi mikroorganisme

f. Buat posisi tempat tidur yang memudahkan untuk bekerja

g. Atur tempat tidur pada posisi datar

h. Minta klien untuk memfleksikan lutut sebelum kepala dinaikkan untuk

mencegah klienmelorot kebawah pada saat kepala dinaikkan

i. Letakkan 2 buah bantal kecil dibawah punggung klien, sampai klien

berada pada posisi semi fowler (45°)

j. Letakkan bantal kecil dibawah kepala klien. Bantal akan menyangga kurva

cervikal dari columna vertebra.

k. Letakkan bantal dibawah kaki, mulai dari lutut sampai tumit, untuk

memberikan landasan yang lembut dan fleksibel, mencegah

ketidaknyamanan akibat dari adanya hiperekstensi lutut, membantu klien

supaya tidak melorot ke bawah

15
l. Pastikan tidak ada pada area popliteal dan lulut yang berada dalam

keadaan fleksi, untuk mencegah terjadinya kerusakan pada persyarafan

dan dinding vena. Fleksi lutut membantu supaya klien tidak melorot

kebawah

m. Letakkan bantal atau gulungan handuk dibawah paha klien. Bila

ekstremitas bawah pasien mengalami paralisa atau tidak mampu

mengontrol ekstremitas bawah, gunakangulungan trokhanter selain

tambahan bantal dibawah panggulnya, untuk mencegahhiperekstensi dari

lutut dan oklusi arteri popliteal yang disebabkan oleh tekanan dari berat

badan, gulungan trokhanter mencegah eksternal rotasi dari pinggul

n. Topang telapak kaki dengan menggunakan footboard untuk mencegah

plantar fleksi

o. Letakkan bantal untuk menopang kedua lengan dan tangan, bila klien

memiliki kelemahan pada kedua lengan tersebut. Hal ini dilakukan untuk

mencegah dislokasi bahu kebawah karena tarikan gravitasi dari lengan

yang tidak disangga, meningkatkan sirkulasi dengan mencegah

pengumpulan darah dalam vena, menurunkan edema pada lengan dan

tangan.

p. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan

q. Dokumentasikan tindakan

16
Gambar 3.1

4.3 Konsep Tidur

4.3.1 Definisi Tidur

Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang

masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang

lainnya (Guyton & Hall, 1997, dalam Sagala,V, 2011). Tidur adalah suatu proses

perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang selama periode tertentu (Potter &

Perry, 2005).

Menurut Chopra (2003) dalam Sagala,V (2011), tidur merupakan dua keadaan

yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan aktivitas

metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang bekerja lebih keras

selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas di siang hari.

4.3.2 Fisiologi Tidur

Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi

bola dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus

24 jam antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari,

17
layu dan segarnya tanam-tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya

manusia dan binatang pada siang hari dan tidurnya mereka pada malam hari.

Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang

tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang

bekerja (Harsono, 1996 dalam Sagala,V, 2011).

. Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular

activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak

pada batang otak. RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan

kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak

dalam mesenfalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi

rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima

stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam

keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti

norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum

serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR

(Potter & Perry, 2005).

4.3.3 Tahapan Tidur

Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau

Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non

Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri

dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga

dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM. Fase NREM dan REM

terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005).

1. Tidur stadium satu

18
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat

terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap

pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat

(Patlak, 2005 dalam Sagala,V, 2011).

2. Tidur stadium dua

Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat

dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010 dalam Sagala,V, 2011). Pada

tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005 dalam Sagala,V,

2011).

3. Tidur stadium tiga

Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998 dalam

Sagala,V, 2011). Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika

terbangun, individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering

merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010 dalam Sagala,V,

2011).

4. Tidur stadium empat

Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat

lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan

energi fisik (Smith & Segal, 2010 dalam Sagala,V, 2011).

Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan

sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat

dan energik di siang hari (Patlak, 2005 dalam Sagala,V, 2011). Fase tidur NREM

ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan

masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih

19
cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun

(Japardi, 2002 dalam Sagala,V, 2011).

Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak

mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan

dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005 dalam Sagala,V,

2011).

Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari

tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi

memori jangka panjang (Potter & Perry, 2005 dalam Sagala,V, 2011).

4.3.4 Siklus Tidur

Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan

NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup

mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk

menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan

bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang

gesit (Mardjono, 2008 dalam Sagala,V, 2011).

Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut :

20
Gambar 3.2. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2005 dalam Sagala,V,

2011)

Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan

siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga

merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan

psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005 dalam Sagala,V, 2011).

4.3.5 Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga

seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan

gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,

konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering

menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006 dalam Sagala,V, 2011). Kualitas tidur,

menurut American Psychiatric Association (2000), dalam Wavy (2008), dalam

Sagala,V, (2011) didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang

melibatkan beberapa dimensi.

Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti

lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan

21
aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Daniel et al, 1998; Buysse,

1998 dalam Sagala,V, 2011). Persepsi mengenai kualitas tidur itu sangat

bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi oleh waktu yang digunakan

untuk tidur pada malam hari atau efesiensi tidur. Beberapa penelitian melaporkan

bahwa efisiensi tidur pada usia dewasa muda adalah 80-90% (Dament et al, 1985;

Hayashi & Endo, 1982 dikutip dari Carpenito, 1998 dalam Sagala,V, 2011). Di

sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008) dalam Sagala,V (2011) menyebutkan

bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola

tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal tidur, dan

kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis. Kualitas tidur yang baik dapat

memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh

gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan

vital untuk hidup sehat semua orang.

Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemerikasaan laboraorium

yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari

permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas

listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat

eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit

lain yang diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa,

betha, tetha dan delta (Guyyton & Hall, 1997 dalam Sagala,V, 2011).

Selain itu, menurut Hidayat (2006 dalam Sagala,V, 2011), kualitas tidur

seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan

tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur

22
dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Di bawah ini akan

dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang dialami.

1. Tanda fisik

Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata,

konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan (sering

menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-

tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing.

2. Tanda psikologis

Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas

berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan

atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan

menurun.

4.4 Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Pemberian Posisi Semi Fowler

Terhadap Kualitas Tidur Pada Pasien Gagal Jantung

4.4.1 Penelitian yang dilakukan oleh Ritha Melanie (2014)

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh sudut posisi tidur

terhadap kualitas tidur dan tanda vital pasien gagal jantung. Penelitian ini

menggunakan desain quasy experiment dengan sampel 30 responden, 15

responden mendapatkan perlakuan posisi tidur dengan sudut 30˚ sedangkan 15

responden mendapatkan perlakuan posisi tidur dengan sudut 45˚. Pengumpulan

data untuk kualitas tidur dilakukan dengan menggunakan instrumen PSQI (The

Pittburgh Sleep Quality Index). Penelitian ini membuktikan adanya pengaruh

antara sudut posisi tidur terhadap kualitas tidur pasien gagal jantung (p: 0,034).

23
Dari hasil analisis pengaruh sudut posisi tidur terhadap kualitas tidur

diperoleh hasil bahwa pasien dengan sudut posisi tidur 30° memiliki rata-rata skor

kualitas tidur yang lebih rendah dibandingkan dengan skor kualitas tidur pasien

gagal jantung dengan sudut posisi tidur 45˚. Berdasarkan perhitungan statistik

diperoleh nilai p=0,034 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa pada alpha=5%

terdapat perbedaan rerata skor kualitas tidur yang bermakna antara dua intervensi

posisi tidur baik pada sudut 30° dan 45˚.

Hasil literatur menerangkan bahwa penyakit fisik seperti nyeri,

ketidanyamanan fisik misalnya kesulitan bernapas atau masalah suasana hati

Melanie, 2014). Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering

ditemukan. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20 – 50 % orang dewasa melaporkan

adanya gangguan tidur dan sekitar 17 % mengalami gangguan tidur yang serius.

Orang dewasa atau usia lanjut yang sudah di diagnosis depresi, stroke, penyakit

jantung, penyakit paru, diabetes, artritis atau hipertensi sering melaporkan bahwa

kualitas tidurnya buruk dan durasi tidurnya kurang (Amir, 2008 dalam Melanie,

2014).

Menurut penelitian Julie (2004) dalam Melanie (2014) bahwa posisi tidur

pasien mempengaruhi keadaan curah jantung pasien gagal jantung. Hasil

penelitian ini menyebutkan bahwa posisi kepala dielevasikan dengan tempat tidur

kurang lebih 45 derajat akan mempertahankan curah jantung sehingga sesak nafas

berkurang yang pada akhirnya akan mengoptimalkan kualitas tidur pasien.

Sedangkan menurut Doengoes (1999) dalam Melanie (2014) bahwa mengatur

pasien dalam posisi tidur semi-fowler akan membantu menurunkan konsumsi

oksigen dan meningkatkan ekspansi paru-paru maksimal serta mengatasi

24
kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan perubahan membran

alveolus. Dengan posisi semi-fowler, sesak napas berkurang dan sekaligus akan

meningkatkan durasi tidur klien.

Menurut peneliti kelas fungsional gagal jantung yang lebih berat (NYHA

f.c III dan NYHA f.c IV) akan mempengaruhi rata-rata kualitas tidurnya, karena

pada kelas fungsional tersebut diatas pasien biasanya sudah mengalami sesak

nafas saat berbaring di tempat tidur karena aliran balik ke jantung yang cepat.

Disamping itu pada gagal jantung kongestif, paroxysmal nocturnal dyspnea pada

umumnya terjadi setelah beberapa jam pasien tidur berbaring (fallen a sleep) dan

akan berkurang bila pasien duduk atau posisi tidur semi fowler.

Demikian juga gejala orthopnea, terjadi pada saat berbaring (lying flat)

yang menyebabkan pasien terganggu tidurnya dan pasien langsung bangun atau

duduk di kursi untuk mengatasi sesaknya. Pada umumnya jumlah bantal yang

dibutuhkan untuk mengatasi sesak napasnya sekitar 3 bantal (3 pillows orthopnea)

(Allen, 2008 dalam Melanie, 2014). Dengan kondisi ini, mengatur posisi tidur

menjadi komponen yang harus diperhatikan untuk membantu pasien mengurangi

sesak napas sehingga kebutuhan istirahat dan tidur pasien terpenuhi.

Brostom, (2001) dalam Melanie (2014) menyatakan bahwa gangguan tidur

sangat sering pada pasien gagal jantung kongestif. Polisomnografik menunjukan

bahwa total durasi tidur pasien gagal jantung kongestif sangat pendek dan adanya

gangguan struktur tidur dengan menimbulkan perubahan tahapan tidur.

Dalam penelitian ini tidak sedikit memang pasien yang mengalami

kualitas tidur yang buruk akibat dari faktor lingkungan selain akibat dari faktor

fisiologis, seperti pencahayaan yang terlalu terang, suara berisik, posisi tempat

25
tidur yang terlalu dekat dengan pintu, tindakan perawatan yang dilakukan pada

malam hari, dan terlalu banyak orang dalam ruangan. Sejumlah faktor

mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur dan seringkali faktor tunggal tidak

hanya menjadi penyebab masalah tidur. Faktor fisiologis, psikologis, dan

lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur. Lingkungan fisik tempat

seseorang tidur berpengaruh penting pada kemampuan untuk tertidur dan tetap

tertidur seperti ventilasi yang baik, ukuran, posisi tidur, suara yang tenang dan

nyaman, perubahan suara gaduh akan menghambat tidur.

4.4.2 Penelitian yang dilakukan oleh Juang Gayuh Gemilang (2014)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hasil pemberian sudut posisi

tidur 45° pada asuhan keperawatan Ny.s dengan Congestive Heart Failure (CHF)

di ruang intensive care unit RSUD Sukoharjo. Hasil analisa pada kasus Ny.s

dengan Congestive Heart Failure (CHF) data subjektif pasien mengatakan sesak

nafas dengan ditemukan data objektif respiratory rate 26 kali permenit.

Selanjutnya gangguan tidur pasien ditemukan data subjektif pasien mengatakan

susah tidur karena situasi lingkungan rumah sakit dan sesak nafas yang masih

dirasakan, data objektif mata pasien tampak cekung, pasien sering menguap.

Maka dari itu Ny. S diberikan teknik pemberian sudut posisi tidur 45°. Ny.S

mengalami sesak nafas sehingga mengakibatkan gangguan pola tidur dan setelah

diberikan terapi teknik pemberian sudut posisi tidur 45° selama 2 hari pengelolaan

dengan waktu ±10 menit di awal jam awal shift dan hasilnya sesak nafas

berkurang mejadi 24 kali permenit dan kualitas tidur pasien teratasi, dimana sesak

nafas Ny.S disebabkan karena kekurangan suplai oksigen karena adanya

gangguan kontraktilitas jantung.

26
4.4.3 Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Sulistyowati (2015)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan kualitas tidur pada pasien CHF yang dirawat di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah 32 pasien CHF dengan menggunakan

metode pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Instrumen yang digunakan

peneliti untuk mengukur kualitas tidur menggunakan instrument Pittsburgh Sleep

Quality Index(PSQI).

Penelitian ini didapatkan bahwa dari 32 responden, sebagian besar

responden memiliki kualitas tidur yang tidak baik yaitu sebanyak 20 responden

(62,5 %). Kualitas tidur responden yang tidak baik disebabkan oleh beberapa

alasan, seperti sesak napas yang dirasakan saat berbaring, nyeri dada, lingkungan

yang tidak nyaman, dan kecemasan. Kualitas tidur yang tidak baik ini ditandai

dengan lamanya waktu untuk tertidur, beberapa kali terbangun ditengah malam

bahkan ada laporan responden yang menyatakan tidak tidur selama satu malam.

Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 32 responden, sebagian besar

responden mengalami Paroxysmal Nocturnal Dyspnea(PND) yaitu sebanyak 18

responden (56,3 %). Kejadian PND dialami responden setelah beberapa jam

tertidur. PND dapat terjadi 1-2 kali dalam satu malam sehingga pasien yang baru

mulai terlelap dapat terbangun lagi yang mengakibatkan gangguan kualitas tidur

NREM.

Penelitian yang dilakukan Ekundayo (2009) dalam Sulistyowati (2015)

tentang value of orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea and medications in

27
prospective studies of incident heart failure menunjukkan bahwa ortopnea lebih

banyak dilaporkan daripada PND. PND paling sering disebabkan oleh edema paru

akibat gagal jantung kongestif. Serangan sering disertai batuk, perasaan sesak

napas, keringat dingin, dan takikardia dengan irama gallop. Upaya-upaya yang

dapat dilakukan pasien CHF untuk mengurangi sesak akibat PND salah satunya

adalah pengaturan posisi yang baik dan benar. Posisi yang dapat mengurangi PND

yaitu dengan meninggikan bagian kepala menggunakan bantal atau posisi tempat

tidur 30° atau 45° (Mosby, 2009 dalam Sulistyowati 2015).

Berdasarkan kejadian PND didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara

PND dengan kualitas tidur pasien CHF ρ value = 0,008 < α (0,05).

4.4.4 Penelitian yang dilakukan oleh Supadi (2008)

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan posisi tidur semi

fowler dengan kualitas tidur pada klien gagal jantung. Penelitian ini menggunakan

desain quasi experiment dengan menggunakan sampel 38 responden, 19

responden mendapatkan intervensi atau perlakuan dengan posisi tidur 20°,

sedangkan 19 responden mendapatkan intervensi atau perlakuan posisi tidur 30°.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur dengan PSQI (The

Pittburg Sleep Quality Indeks) dengan sedikit modifikasi instrumen dari peneliti.

Hasil uji coba instrumen menghasilkan validitas dan reliabilitas instrumen dengan

alpha Cronbach’s 0,72 untuk semua komponen.

Hasil uji hubungan proporsi didapatkan p value 0,032 pada alpha 0,05

artinya ada hubungan yang signifikan antara posisi tidur semi fowler dengan

kualitas tidur klien gagal jantung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa posisi

28
semi fowler yang tepat akan mempengaruhi kualitas tidur klien. Hasil penelitian

ini mendukung konsep teori sebelumnya.

Brostom (2001) dalam Supadi (2008) dalam penelitiannya yang berjudul

patients with congestive heart failure and their conception of their sleep situation

menyatakan bahwa gangguan tidur sangat sering pada pasien CHF.

Polysomnographic menunjukkan bahwa total durasi tidur pasien CHF sangat

pendek dan adanya gangguan struktur tidur menimbulkan perubahan stase tidur.

Pemberian posisi semi fowler akan mengakibatkan peningkatan venous

return ke jantung tidak terjadi secara cepat (Tjokronegoro, 1998; Smeltzer, 2005;

Sudoyo, et al, 2006, dalam Supadi 2008). Venous return yang lambat maka

peningkatan jumlah cairan yang masuk ke paru berkurang, sehingga udara di

alveoli mampu mengabsorpsi oksigen atmosphere. Disamping itu menurut

peneliti klien gagal jantung dengan cardiac output yang sudah menurun akan

merangsang compensatory mechanism (seperti peningkatan vasopresin, renin,

angiotensin, aldosteron) serta peningkatan aktivitas simpatik. Hal-hal tersebut di

atas akan mengakibatkan peningkatan systemic vascular resistance dan retensi Na

dan H20. Dengan retensi tersebut maka akan terjadi peningkatan preload dan

afterload yang akhirnya menambah sesak nafas yang diderita pasien.

Commented [H1]: Ini sdah bagus. Akan lebih bagus lagi jika di
akhiir pembahsan kelompok ini bisa menambhakn kesimpulan.
Bahwa berdasarkan hail literature atau kajian pustakan mana yang
lebih baik posisi 35 atau 45 atau bahkan 90 ?
Mungkin penjelasanya bisa lebih diulas
Misanya
“berdasarkan hasil kajian pustaka kami menilai bahwa pasien
dengan CHF NYHA 4 lebih efektif menggunakn posisi 30
dikarenakan bla, bla, bla
Sedangkan posisi 45 itu digunakn untuk pasien NYHA 2 Dan 3
dikarenakan bla, bla,
Jika pasien CHF Nyha 1 Maka posisi tiddur yang baik 90 misalnya ?
Di sini kami berkesimpulan bwah posisi tidur pasien CHF
disesuaikan dengan jensi CHF nya, dikarenakan bla, bla, bla
Okm ??

29
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari berbagai jurnal yang didapat maka dapat disimpulkan :

Gagal jantung menimbulkan berbagai gejala klinis yang dirasakan pasien

diantaranya dispnea atau sesak nafas. Sesak yang paling sering dijumpai adalah

paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) atau sesak napas pada malam hari, yang

mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan penderita terbangun sehingga

kebutuhan istirahat tidur pasien terganggu dan kualitas tidur pasien pun terganggu.

Saat terjadi serangan sesak klien tidak dapat tidur dengan posisi berbaring

melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk (semi fowler). Posisi

semi fowler membantu menurunkan konsumsi oksigen dan meningkatkan

ekspansi paru-paru maksimal. Posisi ini akan mengurangi kerusakan membran

alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh gaya grafitasi

sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak nafas akan berkurang yang pada

akhirnya akan mengoptimalkan kualitas tidur pasien.

4.2 Saran

1. Bagi Program Studi Profesi Ners

Diharapkan laporan jurnal ini dapat dijadikan salah satu referensi dalam

pembelajaran mengenai tindakan mandiri keperawatan terkait positioning

untuk pasien gagal jantung.

2. Bagi Perawat

Diharapkan laporan jurnal ini dapat dijadikan salah satu acuan bagi

perawat untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dengan

30
memberikan intervensi keperawatan yang mandiri khususnya terhadap pasien

gagal jantung yang mengalami gangguan tidur, sehingga diharapkan dapat

menurunkan komplikasi dan mortalitas pasien gagal jantung.

3. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan laporan jurnal ini dapat dijadikan evidence based practice

dalam penyusunan standar operasional prosedur di Rumah Sakit terutama

dalam hal pengelolaan pasien gagal jantung untuk meningkatkan kualitas tidur

dengan menggunakan terapi non farmakologi.

31

Anda mungkin juga menyukai