Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat,

sehingga ada sebuah adagium yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu ubi societas ibi ius,

dimana ada masyarakat maka ada hukum. Kehadiran hukum dalam masyarakat sangat

penting, dimana fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif

dari kehidupan masyarakat. Sebagai alat pengendali sosial, hukum dianggap berfungsi

untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang menyimpang

dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai perilaku tidak baik.

Namun, sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik menurut yang

lainnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama atau

berkelompok, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan

sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai kebaikan tersebut. Manusia

selalu ingin hidup tentram dan damai, manusia memerlukan perlindungan terhadap

kepentingan-kepentingannya. Maka kemudian terciptalah perlindungan kepentingan

berwujud kaidah sosial, termasuk didalamnya kaidah hukum.

Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah sosial

dengan aspek kehidupan pribadi dan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi.

Kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi meliputi kaidah agama dan kaidah

kesusilaan, karena kaidah ini ditunjukan kepada manusia sebagai individu, sedangkan
kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah kaidah sopan santun atau tata

karma yang meliputi antara lain sopan santun dalam pergaulan, berbusana, kaidah hukum,

dan sebagainya, karena kaidah-kaidah ini ditujukan bagi manusia dalam kehidupan

bermasyarakat dalam kaitannya manusia sebagai makhluk sosial.

Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau

kedamaian dalam berinteraksi bersama dengan orang-orang lain. Norma atau kaidah

hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dan keadilan dalam masyarakat. Dimana

dalam aliran sociological jurisprudencemenganggap bahwa hukum yang baik adalah

hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dalam

penegakan hukum hendaknya selain memperhatikan aspek hukumnya juga melihat aspek

sosial, sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat bagi orang banyak. Adanya kehendak

bahwa hukum sebagai suatu supremasi dari negara yang berasaskan hukum tampaknya

masih menimbulkan keragu-raguan manakala ada suatu relevansi yang ketat antara hukum

dengan politik kekuasaan, khususnya terhadap kasus yang memiliki padanan dengan

korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Korupsi merupakan perbuatan penyalahgunaan kekuasaan oleh orang-orang yang

berkuasa atau para pejabat negara yang memiliki kewenangan dimana ia menyalahgunakan

kewenangan tersebut. Akibat dari perbuatan korupsi ini adalah berdampak bagi seluruh

rakyat Indonesia. Inilah mengapa korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa

(extraordinary crime) karena yang melakukan kejahatan korupsi adalah segolongan orang-

orang tertentu tetapi dampaknya besar dan merugikan orang banyak. Kesenjangan sosial

dan kekuasaan yang cukup lebar dalam struktur masyarakat Indonesia, dipahami oleh para
ahli turut menyuburkan hubungan patron-klien (pengayoman) yang pada gilirannya

memberikan kontribusi besar bagi langgengnya budaya korupsi di masyarakat.

Peraturan mengenai pemberantasan korupsi sudah ada, bahkan disertai dengan

hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi korupsi di

Indonesia tidak berkurang, hukuman mati rupanya tidak membuat para koruptor takut

untuk melakukan korupsi. Karena dalam penegakannya pun belum ada koruptor di

Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Seringkali korupsi dilakukan tidak secara personal,

tetapi dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung

korupsi lambat laun menjadi sebuah budaya.

Sehubungan dengan uraian diatas, maka penulis pada kesempatan ini mencoba

untuk membahas dan menuangkan masalah tersebut dalam suatu makalah dengan judul:

“PENEGAKAN HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI DIKAJI MELALUI SOSIOLOGI HUKUM”.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan teori efektitivitas hukum?

2. Bagaimana peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi?

3. Bagaimana penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi

dikaji melalui sosiologi hukum?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Efektivitas Hukum

Seringkali kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat

ternyata tidak efektif didalamnya, dan efektifitas hukum ini mempunyai hubungan yang

sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam

masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara

filosofis, yuridis dan sosiologis. Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum

(law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum dan

penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Penegakan hukum merupakan sub-sistem

sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti

perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya.

Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif

atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor hukumnya

sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang

membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang

mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana

hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil

karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sehingga agar hukum tersebut berjalan efektif yang harus dilihat adalah hukum itu sendiri,

dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian

hukum.
Hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan, dimana peraturan

perundang-undangan itu dibuat harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat agar peraturan

tersebut tidak hanya mengatur masyarakat tetapi memberikan kemanfaatan dan

kesenangan bagi masyarakat. Jika undang-undang sudah dibuat sesuai dengan kebutuhan

masyarakat maka dari segi penegak hukum, harus menjalankan atau menerapkan hukum

secara adil, karena jika berbicara tentang kepastian hukum, kepastian hukum ini sifatnya

konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang

hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya

nilai keadilan itu tidak tercapai.

Masyarakat termasuk kepada faktor yang mengefektifkan hukum karena peraturan

dibuat untuk masyarakat sehingga diperlukan kesadaran masyarakat untuk mematuhi suatu

peraturan perundang-undangan. Sehingga derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum

merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Namun untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat diperlukan penyuluhan hukum yang teratur,

pemberian teladan yang baik dari petugas didalam kepatuhan terhadap hukum dan respek

terhadap hukum, pelembagaan yang terencana dan terarah.

Faktor kebudayaan juga menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum, menurut

Soerjono Soekanto, faktor kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia

dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya

bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang

lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang

menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Kelima
faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan

hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang

dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan

berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektifitas

hukum.

Berdasarkan konsep Lundberg dan Lansing, serta konsep Hans Kelsen tersebut

Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu teori bekerjanya hukum di

dalam masyarakat. Menurut teori bekerjanya hukum dari Robert B. Siedmant:

1. Setiap peraturan memberitahukan bagaimana seorang pemegang peran (role

occupant) diharapkan bertindak, menerapkan sanksi-sanksinya, aktivitas dari

lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-

lainnya mengenai dirinya.

2. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana bertindak sebagai respons terhadap

peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks

kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai lembaga serta umpan balik dari

pemegang peranan.

3. Bagaimanapun pembuat undang-undang bertindak mengatur tingkah laku mereka,

sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-

lain tentang mereka serta umpan balik dari pemegang peran serta birokrasi.

Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan sangat tergantung

banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan

oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut dapat:

1. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang-


undangannya).

2. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).

3. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis.

Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan perundang- undangan

memegang peranan penting dalam penegakan hukum (law enforcement). Artinya di dalam

hukum atau peraturan perundang-undangan itu sendiri harus terkandung dan bahkan

merupakan conditio sine quanon di dalamnya keadilan (justice). Sebab, bagaimana pun

juga hukum yang baik adalah hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan.

Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor aparatur penegak hukum itu sendiri yang

lazim juga disebut law enforcer (enforcement agencies).

Hal yang sangat penting yang harus juga mendapat perhatian serius dari aparatur

penegak hukum adalah tidak bersikap diskriminatif dalam penegakan hukum (law

enforcement). Hukum seringkali hanya efektif terhadap pelaku- pelaku pelanggaran

hukum masyarakat kelas menengah. Inilah yang pernah dikuatirkan Honore de Balzac

sebagaimana dikutip Pillipe Sands bahwa hukum di dunia sudah berubah menjadi seperti

sarang laba-laba, “Les lois sont des toiles d’araignees a tavers lesquelles passent les

grosses mouches et ou restent les petites” (hukum, seperti sarang laba-laba, menangkap

serangga-serangga kecil dan membiarkan yang besar-besar lolos). Sering dijumpai dalam

hukum di Indonesia ini seolah penegakan hukum hanya berlaku bagi “yang tidak mampu”,

sehingga terkesan bahwa hukum tajam bagi kalangan menengah dan bawah kemudian

tumpul untuk kalangan atas, hal ini terbukti dengan berbagai kasus rakyat miskin yang

terjerat kasus hukum karena mengambil sandal jepit dan mencuri pisang, seolah hal ini

merupakan kasus besar yang segera ditindak dan divonis, tetapi bila kalangan atas seolah-
olah tumpul dapat kita lihat pada kasus Century yang hingga saat ini belum mengalami

perkembangan yang signifikan, sehingga belum bisa memberikan rasa keadilan bagi

publik.

Memang penting otoritas hukum itu, tetapi perlu juga didukung oleh kepatuhan

terhadap hukum baik oleh pembuat hukum itu sendiri maupun masyarakat. Dalam

pelaksanaan penegakan hukum hal yang terpenting adalah semangat penyelenggara negara

atau semangat aparatur penegak hukumnya (the man behind the law), sebagaimana yang

diamanatkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945: “Yang sangat penting dalam

pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara

negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar

yang menurut kata- katanya bersifat kekeluargaan apabila semangat para penyelenggara

negara, Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya,

meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para

penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi

jalannya negara. Jadi, yang paling penting ialah semangat”.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha

menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai- nilai yang ada di

belakangnya. Dengan demikian aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar

jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait

dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law

making process). Penegakan hukum (law enforcement), keadilan dan hak asasi manusia

merupakan tiga kata kunci dalam suatu negara hukum (rechtsstaat) seperti halnya

Indonesia. Ketiga istilah tersebut mempunyai hubungan dan keterkaitan yang sangat erat.
Keadilan adalah hakikat dari hukum. Oleh karena itu, jika suatu negara menyebut dirinya

sebagai negara hukum, maka di dalam negara tersebut harus menjunjung tinggi keadilan

(justice).

B. Peranan Sosiologi Hukum Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi

Sosiologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu pengetahuan yang

secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara

hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu yang

muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat diketahui dengan

mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat yang tampak aspek hukumnya. Oleh

karena itu, adanya pengetahuan tersebut diharapkan turut mengangkat derajat ilmiah dari

pendidikan hukum. Pernyataan ini dikemukakan atas asumsi bahwa sosiologi hukum dapat

memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan modern untuk melakukan atau membuat deskripsi,

penjelasan, pengungkapan, dan prediksi. Jika keempat hal diatas merupakan tuntutan ilmu

pengetahuan hukum saat ini sebagai dampak “modernisasi”, maka harus diakui dengan

jujur bahwa pendidikan hukum dalam kajian jurisprudence model: rules

(normative), logic, practical, dan decision yang bersifat terapan, tidak mampu memberikan

pemahaman hukum yang utuh.Pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang

terdiri atassocialstructure, behavior, variable, observer, scientific, dan

explanation akan menjadikan ilmu hukum itu responsif terhadap perkembangan dan

perubahan dalam masyarakat. Karena itu, suatu pemahaman dan pengkajian hukum dalam

konteks sosial yang lebih besar merupakan suatu keharusan, sehingga hukum akan tampak

sebagai social control dalam masyarakat atau hukum ada karena adanya masyarakat dan
bukan berarti masyarakat meninggalkan hukum yang telah dibuat oleh pejabat yang

berwenang. Bila dilihat karakteristik kajian sosiologi hukum disebutkan bahwa sosiologi

hukum berusaha memberikan deskripsi dalam praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum

bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum di dalam kehidupan

sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang mempengaruhi dan lain

sebagainya. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan

atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau

tidak sesuai dengan masyarakat tertentu. Terakhir, karakteristik kajian sosiologi hukum

adalah tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati hukum,

sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf.

Dari karakteristik kajian sosiologi hukum diatas, dapat menjadi pedoman dalam

menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi di

Indonesia ini. Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah perbuatan yang buruk

seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Secara garis besar

korupsi adalah suatu tindakan untuk memperkaya diri yang merugikan keuangan negara.

Untuk menemukan penyebab korupsi, dapat menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang

because motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat

dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya factor

penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor

penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.

Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena

persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka seseorang akan

mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.


Lebih rincinya pada faktor eksternal ini jika ada kesempatan seseorang untuk korupsi,

maka pelaku akan melakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang menurutnya

tidak pernah cukup. Hal ini senada dengan faktor internal yang terdapat dari dalam diri

orang itu sendiri yaitu moralitas. Bila seseorang tidak memiliki moral yang baik maka

pelaku dengan mudah nya melakukan korupsi tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya

itu. Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas moralitas heteronom dan

moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai sikap dimana kewajiban ditaati

dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang

berasal dari luar kehendak sipelaku. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa

dependensi manusia terhadap manusia menunjukkan inkonsistensi moral yang

dimiliki oleh seseorang tersebut. Moralitas otonom, disisi lain, digambarkan sebagai

kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang dikehendakinya

sendiri karena diyakini sebagai baik.

Menurut pendapat Gunner Myrdal yang dikutip dalam buku Andi Hamzah

“Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, bahwa jalan

untuk memberantas korupsi di negara-negara berkembang ialah:

1. Menaikan gaji pegawai rendah (dan menengah).

2. Menaikan moral pegawai tinggi.

3. Legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.

Bila keseluruhan dijalankan mungkin benar Indonesia dapat bebas dari korupsi,

tetapi menaikan gaji pegawai rendah dan menengah tidak menjamin pegawai tersebut

tidak korupsi, bila tidak dibekali moral yang baik. Jadi tidak hanya pegawai tinggi saja
yang perlu pendidikan moral, tetapi keseluruhan moral bangsa Indonesia harus dibenahi,

dan ini tidak bisa hanya diselesaikan secara normatif saja, tetapi juga diperlukan

penyelesaian secara sosiologis agar hukum tersebut serasi dengan masyarakat.

Peran serta masyarakat akan mempengaruhi keberhasilan pemberantasan korupsi.

Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi” maka situasi ini

sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi. Dengan sikap demikian, diharapkan,

masyarakat mau mencegah dan melaporkan korupsi yang terjadi. Partisipasi masyarakat

juga dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap acara atau undangan dari pejabat

yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah hukuman masyarakat yang benar-benar

efektif dan dirasakan para pelaku korupsi. Peran serta masyarakat di dalam Pasal 41

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi:

1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana korupsi.

2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam

bentuk:

a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi

tindak pidana korupsi.

b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan

informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum

yang menangani perkara tindak pidana korupsi.

c. Hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.

d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :

f. Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.

g. Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan

sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawa

dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

4. Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)

dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan

norma sosial lainnya.

5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini,

diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Untuk mengurangi angka korupsi, di

samping upaya pencegahan dan pemberantasan, juga diperlukan perubahan budaya

dan dukungan masyarakat luas.

C. Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi

Dikaji Melalui Sosiologi Hukum

Efektivitas hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu

berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena

itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu
kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas atau penegak hukum, sarana atau fasilitas

yang digunakan oleh penegak hukum, kesadaran masyarakat. Agar hukum itu berfungsi

atau memiliki efektivitas maka suatu kaidah hukum harus berlaku secara yuridis,

sosiologis, dan filosofis. Bila kaidah hukum berlaku secara yuridis saja, ada kemungkinan

kaidah itu merupakan kaidah mati, dan jika hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori

kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa, dan begitu pula jika kaidah hukum

hanya berlaku secara filosofis, maka kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-

citakan. Sehingga jika dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, agar Undang-Undang tersebut berjalan efektif maka harus

memenuhi unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis.

Dikaji melalui berlakunya secara yuridis, Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi ini dibuat sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan

kaidah hukum yang lebih tinggi, undang-undang ini dipaksakan berlakunya dan sesuai

dengan kebutuhan masyarakat, dan secara filosofis undang-undang ini memiliki tujuan

untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan

memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta

perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selain itu agar Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat berjalan secara efektif dilihat pula

bagaimana penegakan hukumnya. Disinilah permasalahan intinya penegakan hukum

untuk kasus korupsi sangat lemah, seringkali hukuman bagi koruptor tidak setimpal

dengan perbuatannya yang sudah merugikan keuangan negara yang berdampak pada

seluruh masyarakat negara Indonesia, bahkan ada koruptor yang dibebaskan dengan dalih
tidak cukup bukti, sedangkan kita tahu dewasa ini banyak putusan hakim yang kental isu

suap, bahkan ada hakim yang terbukti menerima suap.

Tentu ini membuat masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum di Indonesia,

ditambah lagi dengan banyaknya kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan

banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan keadilan masyarakat

atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan

sebagai terbukti bersalah. Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi

yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak

hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda

penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi

lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan

ini harus dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari

pengaruh politik dan kepentingan politik. Masyarakat kebanyakan masih menganggap

suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di

semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang

belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk kedalam

tindak pidana. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap adalah awal

lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini.

Penegakan hukum yang tajam kepada rakyat kecil, tetapi tumpul kepada yang

berkuasa menggambarkan arogansi kekuasaan dan hukum yang kehilangan moralitas. Agar

rasa keadilan dalam masyarakat tidak mati, lembaga dan aparat penegak hukum perlu

direformasi. Masyarakat perlu meneruskan gerakan moral untuk menolak praktik

ketidakadilan. Keadilan tidak sebatas teks, tetapi juga harus menyinggung rasa
kemanusiaan. Hukum hanya jadi perantara agar manusia bisa hidup harmonis, stabil, dan

menghargai sesamanya. Harapan itu disampaikan peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan

Universitas Paramadina, Jakarta, Herdi Sahrasad, serta Direktur Newseum Taufik Rahzen

secara terpisah di Jakarta, Jumat (6/1). Keduanya menolak tindakan hukum yang tegas

kepada rakyat bawah, tetapi lemah mengungkap kasus besar, terutama korupsi. Hukum

yang semestinya melindungi dan menegakkan keadilan justru terasa tak adil. Semua itu

mencerminkan arogansi penguasa yang menggunakan kekuasaannya untuk mengatur proses

hukum. Tanpa memihak pada keadilan dan rakyat, hukum hanya prosedur yang kehilangan

moralitas. Hukum menjadi permainan bagi sebagian orang. Jika kondisi ini berlanjut, rakyat

terus menjadi korban. Tanpa kekuasaan dan modal, mereka mudah diincar jerat hukum.

Akibatnya, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan

pemerintah.

Untuk menghindari hal itu sebaiknya semua elemen bangsa harus mendorong

reformasi menyeluruh terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman agar menjalankan

hukum secara tegas, adil, dan bersih. Reformasi ini harus dikerjakan bersama oleh

legislatif, eksekutif, yudikatif, dan civil society, Masyarakat diharapkan terus menggalang

solidaritas untuk melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Hal ini perlu kerja sama

dengan semua tokoh dan memanfaatkan jaringan media sosial. Begitupun media, baik

media cetak maupun elektronik juga perlu untuk tetap mengawal hukum dan mendorong

penegakan keadilan.

Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam

masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang, yaitu:
1. Fungsi Hukum Sebagai Sosial Kontrol di Dalam Masyarakat

Mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi

sistem kaidah dan nilai yang berlaku.

2. Fungsi Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social engineering) berkaitan

dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan

masyarakat, maka interpretasi analogi Pound mengemukakan “hak” yang

bagaimanakah seharusnya diatur oleh hukum, dan “hak-hak” yang bagaimanakah

dapat dituntut oleh individu dalam hidup bermasyarakat.

3. Fungsi Hukum Sebagai Simbol Pengetahuan

Fungsi hukum sebagai simbol merupakan makna yang dipahami oleh seseorang

dari suatu perilaku warga nasyarakat tentang hukum.

4. Fungsi Hukum Sebagai Alat Politik

Hukum dan politik amat susah dipisahkan, karena produk hukum itu sendiri dibuat

oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pemerintah. Hukum sebagai alat politik

tidak dapat berlaku secara universal, sebab tidak semua hukum diproduksi oleh

DPR bersama pemerintah.

5. Fungsi Hukum Sebagai Alat Integrasi

Hukum sebagai alat integrasi, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan

sesudah terjadi konflik, konflik yang dimaksud yakni akibat dari benturan

kepentingan antar masyarakat.


Penegakan hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang

lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan

bawah. Artinya, didalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seharunya

memiliki pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup

tugas-tugasnya. Di dalam hal penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas

penegakan hukum menghadapi hal-hal tersebut:

1. Sampai sejauh mana petugas (penegak hukum) terikat dari peraturan- peraturan yang

ada.

2. Sampai batas-batas mana petugas berkenaan memberikan kebijakan.

3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.

4. Sampai manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada

para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.

Sehingga dari pernyataan diatas, disebutkan bahwa penegak hukum harus mengetahui

semua hal yang menjadi kewenangannya, hak dan kewajibannya dalam menegakan

hukum, dan penegak hukum seyogyanya memberikan suri tauladan yang baik, yang dapat

menjadi contoh bagi masyarakat dalam menegakan hukum. Jika penegak hukum memiliki

moral yang baik dan diikuti oleh masyarakat, maka hukum dan moralitas berjalan

beriringan dan terciptalah hukum yang bermanfaat. Dimana hukum yang bermanfaat

menurut teori utilitarianisme adalah hukum yang memberikan kesenangan bagi banyak

orang.

Dalam bukunya Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa gangguan terhadap

penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian aturan “tritunggal” yakni
nilai, kaidah, dan pola perilaku. Selanjutnya disebutkan faktor -faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum:

1. faktor hukum itu sendiri;

2. faktor penegak hukum;

3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa

manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan, karena kelima faktor tersebut merupakan

esensi dari penegakan hukum, selain itu juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas

penegakan hukum. Jika dilihat pada penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana

korupsi, maka Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20

Tahun 2001, sudah dirasa cukup mewakili keingininan dan kebutuhan masyarakat, hanya

saja dewasa ini menjadi perdebatan tentang hukuman mati yang ada dalam undang-

undang tersebut, karena dalam undang-undang tersebut seorang koruptor hanya dapat

dijatuhi hukuman mati dalam keadaan-keadaan tertentu, hal ini berbeda dengan sistem

hukum Cina yang langsung menghukum mati terpidana kasus korupsi, sehingga

menimbulkan rasa takut bagi masyarakat setempat untuk melakukan korupsi. Berbeda

dengan Indonesia, yang tidak pernah memberikan hukuman mati bagi koruptor, para

koruptor Indonesia kebanyakan hanya dijatuhi hukuman empat sampai delapan tahun saja

dengan hukuman denda yang tidak sesuai dengan jumlah yang mereka korupsi dari uang
negara. Tentu ini memperlihatkan penegak hukum di Indonesia masih setengah hati dalam

memberantas tindak pidana korupsi.

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di

Indonesia, antara lain:

1. Upaya Pencegahan (Preventif)

2. Upaya Penindakan (Kuratif)

3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa

4. Upaya Edukasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)


BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Efektivitas hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat,

yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis.

Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam

masyarakat, yaitu kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas atau penegak

hukum, sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum, kesadaran

masyarakat.

2. Sosiologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu pengetahuan yang

secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik

antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Sosiologi hukum merupakan

suatu ilmu yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat

diketahui dengan mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat yang tampak

aspek hukumnya. Karakteristik kajian sosiologi hokum dapat menjadi pedoman

dalam menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana

korupsi di Indonesia ini.

3. Penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi dikaji

melalui sosiologi hokum dapat dilakukan dengan beberapa upaya yaitu upaya

pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi

masyarakat/mahasiswa, dan upaya edukasi lembaga swadaya masyarakat (LSM).


B. Saran

1. Dalam memberantas tindak pidana korupsi perlu diketahui sebelumnya faktor

penyebab dari korupsi itu sendiri, faktor penyebab orang melakukan korupsi

disebabkan dua faktor yaitu faktor ekstern dan faktor intern, dimana faktor ekstern

berasal dari ketidakpuasan orang tersebut atas harta yang dimiliknya juga karena

kebutuhan ekonomi, dan faktor intern yaitu moral dari orang itu sendiri. Sehingga

yang perlu dibenahi adalah moral dari pejabat negara Indonesia khususnya dan

masyarakat Indonesia pada umumnya, karena hukum sudah mengatur sedemikian

rupa mengenai tindak pidana korupsi, hanya saja dalam penegakannya,

pemberantasan tindak pidana korupsi tidak ditegakan secara adil, melainkan

penegakan hukum disini masih tembang pilih, sehingga terkesan hukum itu tumpul

untuk kalangan atas.

2. Keadilan merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga dalam menegakan

keadilan tidak hanya membutuhkan hukum secara yuridis, melainkan juga melihat

sisi sosiologisnya. Sanksi yang lemah dan penerapan hukum yang tidak konsisten

masih mewarnai penegakan hukum dalam memberantas korupsi di Indonesia ini.

Jika Indonesia benar-benar ingin memberantas korupsi maka dimulai dari moral

yang baik bagi setiap masyarakat Indonesia, terutama moral para pejabat negara

yang menjadi panutan bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai