Sosiologi Hukum
Sosiologi Hukum
PENDAHULUAN
sehingga ada sebuah adagium yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu ubi societas ibi ius,
dimana ada masyarakat maka ada hukum. Kehadiran hukum dalam masyarakat sangat
penting, dimana fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif
dari kehidupan masyarakat. Sebagai alat pengendali sosial, hukum dianggap berfungsi
untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang menyimpang
dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai perilaku tidak baik.
Namun, sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik menurut yang
lainnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama atau
sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai kebaikan tersebut. Manusia
selalu ingin hidup tentram dan damai, manusia memerlukan perlindungan terhadap
Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah sosial
dengan aspek kehidupan pribadi dan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi.
Kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi meliputi kaidah agama dan kaidah
kesusilaan, karena kaidah ini ditunjukan kepada manusia sebagai individu, sedangkan
kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah kaidah sopan santun atau tata
karma yang meliputi antara lain sopan santun dalam pergaulan, berbusana, kaidah hukum,
dan sebagainya, karena kaidah-kaidah ini ditujukan bagi manusia dalam kehidupan
Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau
kedamaian dalam berinteraksi bersama dengan orang-orang lain. Norma atau kaidah
hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dan keadilan dalam masyarakat. Dimana
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dalam
penegakan hukum hendaknya selain memperhatikan aspek hukumnya juga melihat aspek
sosial, sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat bagi orang banyak. Adanya kehendak
bahwa hukum sebagai suatu supremasi dari negara yang berasaskan hukum tampaknya
masih menimbulkan keragu-raguan manakala ada suatu relevansi yang ketat antara hukum
dengan politik kekuasaan, khususnya terhadap kasus yang memiliki padanan dengan
berkuasa atau para pejabat negara yang memiliki kewenangan dimana ia menyalahgunakan
kewenangan tersebut. Akibat dari perbuatan korupsi ini adalah berdampak bagi seluruh
rakyat Indonesia. Inilah mengapa korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) karena yang melakukan kejahatan korupsi adalah segolongan orang-
orang tertentu tetapi dampaknya besar dan merugikan orang banyak. Kesenjangan sosial
dan kekuasaan yang cukup lebar dalam struktur masyarakat Indonesia, dipahami oleh para
ahli turut menyuburkan hubungan patron-klien (pengayoman) yang pada gilirannya
Indonesia tidak berkurang, hukuman mati rupanya tidak membuat para koruptor takut
untuk melakukan korupsi. Karena dalam penegakannya pun belum ada koruptor di
Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Seringkali korupsi dilakukan tidak secara personal,
tetapi dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung
Sehubungan dengan uraian diatas, maka penulis pada kesempatan ini mencoba
untuk membahas dan menuangkan masalah tersebut dalam suatu makalah dengan judul:
B. Identifikasi Masalah
PEMBAHASAN
Seringkali kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat
ternyata tidak efektif didalamnya, dan efektifitas hukum ini mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam
masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara
filosofis, yuridis dan sosiologis. Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum
(law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum dan
penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Penegakan hukum merupakan sub-sistem
perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya.
atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor hukumnya
membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang
hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil
karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sehingga agar hukum tersebut berjalan efektif yang harus dilihat adalah hukum itu sendiri,
dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum.
Hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan, dimana peraturan
perundang-undangan itu dibuat harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat agar peraturan
kesenangan bagi masyarakat. Jika undang-undang sudah dibuat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat maka dari segi penegak hukum, harus menjalankan atau menerapkan hukum
secara adil, karena jika berbicara tentang kepastian hukum, kepastian hukum ini sifatnya
konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang
hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya
dibuat untuk masyarakat sehingga diperlukan kesadaran masyarakat untuk mematuhi suatu
merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Namun untuk
pemberian teladan yang baik dari petugas didalam kepatuhan terhadap hukum dan respek
Faktor kebudayaan juga menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum, menurut
Soerjono Soekanto, faktor kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia
dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang
lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang
menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Kelima
faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan
hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang
dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan
berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektifitas
hukum.
Berdasarkan konsep Lundberg dan Lansing, serta konsep Hans Kelsen tersebut
Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu teori bekerjanya hukum di
kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai lembaga serta umpan balik dari
pemegang peranan.
lain tentang mereka serta umpan balik dari pemegang peran serta birokrasi.
banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan
memegang peranan penting dalam penegakan hukum (law enforcement). Artinya di dalam
hukum atau peraturan perundang-undangan itu sendiri harus terkandung dan bahkan
merupakan conditio sine quanon di dalamnya keadilan (justice). Sebab, bagaimana pun
juga hukum yang baik adalah hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan.
Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor aparatur penegak hukum itu sendiri yang
Hal yang sangat penting yang harus juga mendapat perhatian serius dari aparatur
penegak hukum adalah tidak bersikap diskriminatif dalam penegakan hukum (law
hukum masyarakat kelas menengah. Inilah yang pernah dikuatirkan Honore de Balzac
sebagaimana dikutip Pillipe Sands bahwa hukum di dunia sudah berubah menjadi seperti
sarang laba-laba, “Les lois sont des toiles d’araignees a tavers lesquelles passent les
grosses mouches et ou restent les petites” (hukum, seperti sarang laba-laba, menangkap
serangga-serangga kecil dan membiarkan yang besar-besar lolos). Sering dijumpai dalam
hukum di Indonesia ini seolah penegakan hukum hanya berlaku bagi “yang tidak mampu”,
sehingga terkesan bahwa hukum tajam bagi kalangan menengah dan bawah kemudian
tumpul untuk kalangan atas, hal ini terbukti dengan berbagai kasus rakyat miskin yang
terjerat kasus hukum karena mengambil sandal jepit dan mencuri pisang, seolah hal ini
merupakan kasus besar yang segera ditindak dan divonis, tetapi bila kalangan atas seolah-
olah tumpul dapat kita lihat pada kasus Century yang hingga saat ini belum mengalami
perkembangan yang signifikan, sehingga belum bisa memberikan rasa keadilan bagi
publik.
Memang penting otoritas hukum itu, tetapi perlu juga didukung oleh kepatuhan
terhadap hukum baik oleh pembuat hukum itu sendiri maupun masyarakat. Dalam
pelaksanaan penegakan hukum hal yang terpenting adalah semangat penyelenggara negara
atau semangat aparatur penegak hukumnya (the man behind the law), sebagaimana yang
diamanatkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945: “Yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara
yang menurut kata- katanya bersifat kekeluargaan apabila semangat para penyelenggara
negara, Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya,
meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para
penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi
menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai- nilai yang ada di
jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait
dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law
making process). Penegakan hukum (law enforcement), keadilan dan hak asasi manusia
merupakan tiga kata kunci dalam suatu negara hukum (rechtsstaat) seperti halnya
Indonesia. Ketiga istilah tersebut mempunyai hubungan dan keterkaitan yang sangat erat.
Keadilan adalah hakikat dari hukum. Oleh karena itu, jika suatu negara menyebut dirinya
sebagai negara hukum, maka di dalam negara tersebut harus menjunjung tinggi keadilan
(justice).
Sosiologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu pengetahuan yang
secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu yang
muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat diketahui dengan
mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat yang tampak aspek hukumnya. Oleh
karena itu, adanya pengetahuan tersebut diharapkan turut mengangkat derajat ilmiah dari
pendidikan hukum. Pernyataan ini dikemukakan atas asumsi bahwa sosiologi hukum dapat
memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan modern untuk melakukan atau membuat deskripsi,
penjelasan, pengungkapan, dan prediksi. Jika keempat hal diatas merupakan tuntutan ilmu
pengetahuan hukum saat ini sebagai dampak “modernisasi”, maka harus diakui dengan
(normative), logic, practical, dan decision yang bersifat terapan, tidak mampu memberikan
pemahaman hukum yang utuh.Pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang
explanation akan menjadikan ilmu hukum itu responsif terhadap perkembangan dan
perubahan dalam masyarakat. Karena itu, suatu pemahaman dan pengkajian hukum dalam
konteks sosial yang lebih besar merupakan suatu keharusan, sehingga hukum akan tampak
sebagai social control dalam masyarakat atau hukum ada karena adanya masyarakat dan
bukan berarti masyarakat meninggalkan hukum yang telah dibuat oleh pejabat yang
berwenang. Bila dilihat karakteristik kajian sosiologi hukum disebutkan bahwa sosiologi
sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang mempengaruhi dan lain
sebagainya. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan
atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau
tidak sesuai dengan masyarakat tertentu. Terakhir, karakteristik kajian sosiologi hukum
adalah tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati hukum,
Dari karakteristik kajian sosiologi hukum diatas, dapat menjadi pedoman dalam
Indonesia ini. Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Secara garis besar
korupsi adalah suatu tindakan untuk memperkaya diri yang merugikan keuangan negara.
Untuk menemukan penyebab korupsi, dapat menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang
because motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat
dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya factor
penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor
penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.
Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena
persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka seseorang akan
maka pelaku akan melakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang menurutnya
tidak pernah cukup. Hal ini senada dengan faktor internal yang terdapat dari dalam diri
orang itu sendiri yaitu moralitas. Bila seseorang tidak memiliki moral yang baik maka
pelaku dengan mudah nya melakukan korupsi tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya
itu. Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas moralitas heteronom dan
moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai sikap dimana kewajiban ditaati
dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang
berasal dari luar kehendak sipelaku. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa
dimiliki oleh seseorang tersebut. Moralitas otonom, disisi lain, digambarkan sebagai
kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang dikehendakinya
Menurut pendapat Gunner Myrdal yang dikutip dalam buku Andi Hamzah
“Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, bahwa jalan
Bila keseluruhan dijalankan mungkin benar Indonesia dapat bebas dari korupsi,
tetapi menaikan gaji pegawai rendah dan menengah tidak menjamin pegawai tersebut
tidak korupsi, bila tidak dibekali moral yang baik. Jadi tidak hanya pegawai tinggi saja
yang perlu pendidikan moral, tetapi keseluruhan moral bangsa Indonesia harus dibenahi,
dan ini tidak bisa hanya diselesaikan secara normatif saja, tetapi juga diperlukan
Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi” maka situasi ini
sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi. Dengan sikap demikian, diharapkan,
masyarakat mau mencegah dan melaporkan korupsi yang terjadi. Partisipasi masyarakat
juga dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap acara atau undangan dari pejabat
yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah hukuman masyarakat yang benar-benar
efektif dan dirasakan para pelaku korupsi. Peran serta masyarakat di dalam Pasal 41
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam
bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
c. Hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawa
4. Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan
5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini,
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Untuk mengurangi angka korupsi, di
Efektivitas hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu
berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena
itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu
kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas atau penegak hukum, sarana atau fasilitas
yang digunakan oleh penegak hukum, kesadaran masyarakat. Agar hukum itu berfungsi
atau memiliki efektivitas maka suatu kaidah hukum harus berlaku secara yuridis,
sosiologis, dan filosofis. Bila kaidah hukum berlaku secara yuridis saja, ada kemungkinan
kaidah itu merupakan kaidah mati, dan jika hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori
kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa, dan begitu pula jika kaidah hukum
hanya berlaku secara filosofis, maka kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-
Tindak Pidana Korupsi, agar Undang-Undang tersebut berjalan efektif maka harus
Pidana Korupsi ini dibuat sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
kaidah hukum yang lebih tinggi, undang-undang ini dipaksakan berlakunya dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, dan secara filosofis undang-undang ini memiliki tujuan
perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selain itu agar Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat berjalan secara efektif dilihat pula
untuk kasus korupsi sangat lemah, seringkali hukuman bagi koruptor tidak setimpal
dengan perbuatannya yang sudah merugikan keuangan negara yang berdampak pada
seluruh masyarakat negara Indonesia, bahkan ada koruptor yang dibebaskan dengan dalih
tidak cukup bukti, sedangkan kita tahu dewasa ini banyak putusan hakim yang kental isu
Tentu ini membuat masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum di Indonesia,
ditambah lagi dengan banyaknya kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan
atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan
sebagai terbukti bersalah. Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi
yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak
hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda
penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi
lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan
ini harus dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari
suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di
semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang
belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk kedalam
tindak pidana. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap adalah awal
lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini.
Penegakan hukum yang tajam kepada rakyat kecil, tetapi tumpul kepada yang
berkuasa menggambarkan arogansi kekuasaan dan hukum yang kehilangan moralitas. Agar
rasa keadilan dalam masyarakat tidak mati, lembaga dan aparat penegak hukum perlu
ketidakadilan. Keadilan tidak sebatas teks, tetapi juga harus menyinggung rasa
kemanusiaan. Hukum hanya jadi perantara agar manusia bisa hidup harmonis, stabil, dan
menghargai sesamanya. Harapan itu disampaikan peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta, Herdi Sahrasad, serta Direktur Newseum Taufik Rahzen
secara terpisah di Jakarta, Jumat (6/1). Keduanya menolak tindakan hukum yang tegas
kepada rakyat bawah, tetapi lemah mengungkap kasus besar, terutama korupsi. Hukum
yang semestinya melindungi dan menegakkan keadilan justru terasa tak adil. Semua itu
hukum. Tanpa memihak pada keadilan dan rakyat, hukum hanya prosedur yang kehilangan
moralitas. Hukum menjadi permainan bagi sebagian orang. Jika kondisi ini berlanjut, rakyat
terus menjadi korban. Tanpa kekuasaan dan modal, mereka mudah diincar jerat hukum.
pemerintah.
Untuk menghindari hal itu sebaiknya semua elemen bangsa harus mendorong
hukum secara tegas, adil, dan bersih. Reformasi ini harus dikerjakan bersama oleh
legislatif, eksekutif, yudikatif, dan civil society, Masyarakat diharapkan terus menggalang
solidaritas untuk melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Hal ini perlu kerja sama
dengan semua tokoh dan memanfaatkan jaringan media sosial. Begitupun media, baik
media cetak maupun elektronik juga perlu untuk tetap mengawal hukum dan mendorong
penegakan keadilan.
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam
masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang, yaitu:
1. Fungsi Hukum Sebagai Sosial Kontrol di Dalam Masyarakat
dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan
Fungsi hukum sebagai simbol merupakan makna yang dipahami oleh seseorang
Hukum dan politik amat susah dipisahkan, karena produk hukum itu sendiri dibuat
oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pemerintah. Hukum sebagai alat politik
tidak dapat berlaku secara universal, sebab tidak semua hukum diproduksi oleh
Hukum sebagai alat integrasi, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan
sesudah terjadi konflik, konflik yang dimaksud yakni akibat dari benturan
lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan
memiliki pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup
1. Sampai sejauh mana petugas (penegak hukum) terikat dari peraturan- peraturan yang
ada.
3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
Sehingga dari pernyataan diatas, disebutkan bahwa penegak hukum harus mengetahui
semua hal yang menjadi kewenangannya, hak dan kewajibannya dalam menegakan
hukum, dan penegak hukum seyogyanya memberikan suri tauladan yang baik, yang dapat
menjadi contoh bagi masyarakat dalam menegakan hukum. Jika penegak hukum memiliki
moral yang baik dan diikuti oleh masyarakat, maka hukum dan moralitas berjalan
beriringan dan terciptalah hukum yang bermanfaat. Dimana hukum yang bermanfaat
menurut teori utilitarianisme adalah hukum yang memberikan kesenangan bagi banyak
orang.
penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian aturan “tritunggal” yakni
nilai, kaidah, dan pola perilaku. Selanjutnya disebutkan faktor -faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum:
4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
Kelima faktor tersebut saling berkaitan, karena kelima faktor tersebut merupakan
esensi dari penegakan hukum, selain itu juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum. Jika dilihat pada penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana
Tahun 2001, sudah dirasa cukup mewakili keingininan dan kebutuhan masyarakat, hanya
saja dewasa ini menjadi perdebatan tentang hukuman mati yang ada dalam undang-
undang tersebut, karena dalam undang-undang tersebut seorang koruptor hanya dapat
dijatuhi hukuman mati dalam keadaan-keadaan tertentu, hal ini berbeda dengan sistem
hukum Cina yang langsung menghukum mati terpidana kasus korupsi, sehingga
menimbulkan rasa takut bagi masyarakat setempat untuk melakukan korupsi. Berbeda
dengan Indonesia, yang tidak pernah memberikan hukuman mati bagi koruptor, para
koruptor Indonesia kebanyakan hanya dijatuhi hukuman empat sampai delapan tahun saja
dengan hukuman denda yang tidak sesuai dengan jumlah yang mereka korupsi dari uang
negara. Tentu ini memperlihatkan penegak hukum di Indonesia masih setengah hati dalam
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
A. Kesimpulan
1. Efektivitas hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat,
yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis.
Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam
masyarakat, yaitu kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas atau penegak
hukum, sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum, kesadaran
masyarakat.
2. Sosiologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu pengetahuan yang
secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik
suatu ilmu yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat
melalui sosiologi hokum dapat dilakukan dengan beberapa upaya yaitu upaya
penyebab dari korupsi itu sendiri, faktor penyebab orang melakukan korupsi
disebabkan dua faktor yaitu faktor ekstern dan faktor intern, dimana faktor ekstern
berasal dari ketidakpuasan orang tersebut atas harta yang dimiliknya juga karena
kebutuhan ekonomi, dan faktor intern yaitu moral dari orang itu sendiri. Sehingga
yang perlu dibenahi adalah moral dari pejabat negara Indonesia khususnya dan
penegakan hukum disini masih tembang pilih, sehingga terkesan hukum itu tumpul
keadilan tidak hanya membutuhkan hukum secara yuridis, melainkan juga melihat
sisi sosiologisnya. Sanksi yang lemah dan penerapan hukum yang tidak konsisten
Jika Indonesia benar-benar ingin memberantas korupsi maka dimulai dari moral
yang baik bagi setiap masyarakat Indonesia, terutama moral para pejabat negara