Artikel ini mengulas tentang penatalaksanaan imobilisasi cedera tulang belakang pada
setting emergency. Termasuk didalamnya adalah penggunaan panduan terbaik dan hubungan
penanganan pasien dengan komplikasi.
Dikketahui 75% cedera tulang belakang berhubungan erat dengan kecelakaan lalulintas,
kecelakaan saat berolahraga, atau jatuh dari ketinggian (van den Berg et al 2010, Jia et al
2011), cedera lain seperti tikaman dan tembakan juga dapat menyebabkan cedera tulang
belakang (Parizel et al 2010). Menurut Crosby (2006). Saat memindahkan pasien dengan
dengan cedera kepala yang dicurigai mengalami cedera Cervical Spinal (C-spinal) harus
dilakukan secara hati - hati. Ketika para medis tiba di lokasi kecelakaan dan menemukan orang
dengan trauma tulang belakang, mereka selalu menggunakan spinal board, straps, rigid
cervical collars dan lateral neck supports untuk menjaga tulang belakang pasien dalam posisi
netral selama transportasi ke emergency department (ED) atau trauma centre (Ahn et al 2011).
Tetapi mempertahankan pasien di spinal board setelah tiba di rumah sakit masih kontroversial
dan banyak penulis menyatakan bahwa penggunaan papan tersebut di dalam emergency
department (ED) harus dibatasi.
Immobilisasi
Menurut Ahn et al (2011), pasien yang dicurigai mengalami cedera tulang belakang
harus dipasang collar Neck dari busa. Namun, kadaver Horodyski et al (2011) menyimpulkan
bahwa kolar neck dari busa tidak menghentikan gerakan leher sepenuhnya oleh karena itu
harus digunakan colar neck yang kaku.
Theron dan Ford (2009) menyarankan penggunaan skull-traction tongs, seperti Gardner-
Wells forceps. Namun Smyth dan Cooke (2012) menemukan penggunaan forsep ini di pra-
rumah sakit atau EDs tidak tepat karena memerlukan aseptik dan sedasi pada pasien yang
bersangkutan. Sebagai gantinya, Smyth dan Cooke (2012) menyarankan penggunaan kerah
leher kaku dan penyangga kepala untuk mencegah gerakan.
Penilaian
Evidence-based guidance dari the College of Emergency Medicine (2010)
menganjurkan penilaian berbasis risiko untuk semua orang dewasa dan anak-anak dengan
kemungkinan cedera kepala atau tulang belakang leher. Sementara itu, Scottish Intercollegiate
Guidelines Network (SIGN) (2009) mengusulkan CT segera untuk semua pasien yang diduga
cedera c-spine baik segera atau dalam waktu delapan jam tergantung pada cedera, tanda dan
gejala yang ada.
Saltzherr et al (2009) dan Michaleff et al (2012), merekomendasikan penerapan dari
kriteria National Emergency X-Radiography Utilization Study (NEXUS). Menurut kriteria ini, alat
– alat imobilisasi dapat dilepas dari pasien yang telah terbukti tidak mengalami cedera tulang
belakan dan yang tidak memiliki defisit neurologis fokal, midline tenderness, perubahan tingkat
kesadaran, atau painful distracting injuries. Pitt et al (2006) dalam studi prospektif dan Yeung et
al (2006) dalam studi observasional menunjukkan bahwa kriteria ini harus di ikuti juga oleh
perawat triase.
Stiell et al (2003) menyatakan bahwa Canadian C-spine Rules (Michaleff et al 2012)
lebih disukai daripada kriteria NEXUS karena sensitivitas dan spesifisitas peraturan yang lebih
tinggi, terutama dalam manajemen pasien trauma yang sadar dan dalam kondisi stabil.
Richards (2005) dan Saltzherr et al (2009) menyimpulkan dalam ulasan mereka bahwa sinar-X
tidak cukup sensitif untuk digunakan dengan pasien risiko tinggi, seperti pasien dengan tingkat
kesadaran yang abnormal, midline sensitivity atau focal neurological deficit, dan menyarankan
agar CT pemindaian c-spine harus menjadi pilihan pertama dalam penilaian. The American
College of Radiology (2010) setuju bahwa, jika dicurigai adanaya fraktur pada thoracic dan
lumbar spine, CT scan dada, perut dan panggul adalah bentuk penilaian yang lebih sensitif
daripada sinar-X dan CT scan juga mengurangi paparan radiasi pada pasien dan juga
mengurangi biaya perawatan.
Sebuah studi meta-analisis yang lebih baru oleh Panczykowski et al (2011), yang
melibatkan 14.327 pasien, menemukan bahwa CT saja sudah cukup untuk mendeteksi cedera
servikal yang tidak stabil pada pasien trauma. Hasilnya menunjukkan bahwa cervical collars
dapat dilepaskan dari pasien dimana cedera c-spine tidak ditunjukkan oleh CT scan dan pada
pasien yang telah diintubasi atau yang tidak sepenuhnya sadar.
Komplikasi
Salah satu komplikasi utama yang timbul dari imobilisasi tulang belakang yang
berkepanjangan adalah tekanan nekrosis, yang dapat terjadi dalam waktu antara 48 dan 72 jam
tergantung pada faktor-faktor risiko seperti indeks massa tubuh pasien yang abnormal (BMI),
adanya komorbiditas seperti diabetes (Morris et al 2004) dan apakah penilaia risiko telah
dilakukan (Naccarto dan Kelechi 2011).
Posisi telentang pada spinal board selama lebih dari dua jam sambil menggunakan
cervical collar juga berdampak terjadinya gangguan pernapasan, aspirasi, nyeri iatrogenik dan
hasil radiografi dengan kualitas buruk (Brownlee 2005), serta pneumonia, sepsis dan
tromboemboli vena (Kwan et al 2009 ).
McCarthy et al (2013) dalam studi kuantitatif pada 403 perawat emergency di 11 rumah sakit
diseluruh republic irlandia untuk menilai hubungan frekuensi dari prosedur yang dilakukan dan
kompetensi dalam memberikan pelayanan emergency disimpulkan bahwa ada hubungan positif
antara tingkat frekuensi praktek dengan kompetensi pearawat yang dimiliki.
Kesimpulan
Sebagaimana yg dijelaskan oleh penulis dalam literatur bahwa melakukan imobilisasi yang
beresiko terhadap pasien dengan trauma spinal dapat memperpanjang lama rawat di rumah
sakit. Idealnya, pasien dengan kondisi seperti itu harus di lepaskan dari spinal board
secepatnya setelah mereka tiba di rumah sakit dan alat lain seperti colar neck juga harus di
lepas sesegera mungkin setelah bukti CT bahwa pasien tidak mengalami cedera servikal
didapatkan.
Penilaian klinis harus dilakukan secara teratur dan sebaiknya menggunakan alat penilaian atau
petunjuk yang terbaru, seperti NEXUS dan Canadian C-spine Rules.
Meskipun demikian, variasi teknik imobilisasi cedera spinal teramat besar, sehingga
memerlukan lebih banyak penelitian untuk memastikan cara penanganan terbaik pada pasien
dengan trauma spinal untuk area keperawatan, farmasi, dokter dan asisten tenaga medis.
Diperlukan juga dukungan kebijakan pemerintah lokal maupun pemerintah pusat untuk
menghadirkan pelayanan terbaik bagi pasien dengan cedera spinal.