Anda di halaman 1dari 7

Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sesudah berada dalam

kekuasaan Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda dan pemerintahan negara Belanda selama
350 tahun, serta pendudukan Jepang selama Perang Dunia II.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda mengobarkan perang untuk mengembalikan


kekuasaan kolonial atas Indonesia. Perang, yang korbannya termasuk orang Indonesia yang
dibunuh tanpa peradilan, menewaskan 300.000 orang Indonesia dibandingkan dengan sekitar
6.000 korban di pihak Belanda.

Di Indonesia, identitas nasional dibangun seputar sentimen anti-kolonial. Sejarah kekejaman


Belanda diajarkan dan didiskusikan. Publik Indonesia memperhatikan perkembangan di Belanda
ketika pengadilan di sana pada 2011 menetapkan Belanda harus meminta maaf untuk
pembantaian tahun 1947 di Rawagede dan ketika gambar eksekusi mengemuka pada tahun 2012
. Di Indonesia kekerasan Indonesia terhadap Belanda kurang ditekankan, tetapi tidak diabaikan.

Bagaimana cara Belanda menanggapi sejarah ini?

Sebagai ilmuwan sosial dan direktur studi Belanda dan Flemish di University of Michigan, saya
mengajukan pertanyaan ini dalam tulisan-tulisan saya dan kuliah saya tentang masalah inklusi di
daerah-daerah berbahasa Belanda.

Jawaban atas pertanyaan itu: Belanda mengabaikan pengorbanan orang Indonesia. Ini alasannya.

Kebebasan yang dibayar


Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 berakhir dengan penandatanganan perjanjian
kemerdekaan yang dimediasi oleh komunitas internasional yang mengharuskan Indonesia
mengambil alih utang pemerintah Hindia Belanda Timur. Indonesia membayar Belanda 4,3
miliar gulden untuk kemerdekaannya. Pembayaran berlanjut hingga 2002.

Belanda, sebagai sebuah bangsa Eropa Barat dengan demikian membangun kembali negaranya
setelah Perang Dunia II dengan Pinjaman Marshall Plan dari Amerika Serikat, ditambah jumlah
yang cukup banyak dari Indonesia, yang juga sama-sama menata diri dari efek perang.

Perjuangan untuk keadilan bersejarah untuk Indonesia berlanjut hari ini. Salah satu ekspresi
perjuangan itu terlihat pada Hari Peringatan Nasional di Belanda setiap 4 Mei, hari ketika
Belanda mengingat orang-orang yang terbunuh pada Perang Dunia II dan sesudahnya. Hari itu
melibatkan upacara dengan dua menit mengheningkan cipta dan peletakan karangan bunga oleh
raja dan ratu Belanda.

Orang Indonesia yang berperang melawan Belanda dan terbunuh dalam perang ‘45 -'49 tidak
diperingati dalam upacara ini, meskipun Belanda secara resmi mengakui mereka sebagai bagian
Belanda saat itu.
Patung relief di Indonesia yang menggambarkan pembunuhan massal orang Indonesia yang
dilakukan oleh militer Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia. Foto AP / Masyudi S.
Firmansyah
Hari Peringatan eksklusif
Banyak protes terhadap Hari Peringatan Nasional karena mengabaikan korban-korban lain.
Korban dari Indonesia bukan satu-satunya yang diabaikan di hari mengheningkan cipta ini.

Butuh beberapa dekade, misalnya, untuk korban Holocaust Belanda untuk diingat .

Sebuah gerakan di Belanda bernama “Tiada 4 Mei Untuk Saya” memprotes pengabaikan korban
Indonesia dari ritual peringatan sementara pembunuh mereka dikenang. Di antara para
pembunuh orang Indonesia adalah mantan Nazi Belanda, yang dikirim ke Indonesia setelah
Perang Dunia II untuk memperjuangkan Belanda dalam Perang Kemerdekaan.

Mengakui kemerdekaan Indonesia


Jadi siapa, dan siapa yang tidak, diperingati pada Hari Peringatan Belanda?

Kunci untuk jawabannya adalah ini: Belanda tidak secara resmi mengakui kemerdekaan
Indonesia tahun 1945–Belanda mengakui tahun 1949 sebagai perjanjian kedaulatan.

Ini alasan mengapa Belanda tidak dapat mengakui kemerdekaan Indonesia 1945: Jika Belanda
mengakui tahun tersebut, itu berarti negara tersebut telah menyerang negara yang berdaulat
setelah Perang Dunia II dengan tujuan untuk menjajahnya. Dan maka, pembantaian, yang di
Belanda disebut secara eufimistis sebagai “tindakan penegakan hukum,” tidak dapat dikatakan
“tindakan penegakan hukum” tetapi lebih tepat disebut sebagai kejahatan perang, seperti yang
dijelaskan dalam buku yang akan terbit oleh Ady Setyawan dan Marjolein Van Pagee.
Pejuang kemerdekaan Indonesia pada 1945. Sebagian besar bersenjata bambu
runcing. Tropenmuseum / Museum Nasional Budaya Dunia., CC BY
Aksi militer
Menurut cerita resmi Belanda, bagaimanapun, Indonesia adalah “Belanda” selama terjadi
“tindakan penegakan hukum”, dan dengan demikian membunuh orang-orang Anda sendiri bukan
kejahatan perang, tetapi penegakan hukum yang salah.

Hanya saja para penegak hukum dalam tindakan tersebut bukanlah petugas polisi tetapi tentara
yang bertugas di militer Belanda.

Publikasi “De Doden Tellen” (“Menghitung Orang Mati”) yang dirilis komite Hari Peringatan
Nasional Belanda menunjukkan tidak konsistennya cerita resmi Belanda. Publikasi tersebut
menyebut konflik sebagai “tindakan penegakan hukum” sementara secara bersamaan
menggunakan bahasa “penaklukan” militer.

“Selama berlangsungnya apa yang disebut tindakan penegakan hukum, Belanda menaklukkan
berbagai wilayah dan menyatakan mereka sebagai wilayah Belanda sekali lagi,” tertulis di
publikasi tersebut.

Apartheid
Belanda ingin menghitung orang-orang yang mereka bunuh sebagai bagian Belanda, agar tidak
dianggap melakukan kejahatan perang, sementara pada saat yang sama tidak memperingati
kematian mereka.

Di balik pengecualian ini adalah pemisahan atas dasar ras.

Kolonialisme Belanda tidak memberikan kewarganegaraan kepada orang Indonesia asli.


Sekarang, 70 tahun kemudian, kebijakan apartheid kolonial yang memisahkan, merugikan, dan
merendahkan satu ras demi kepentingan ras lainnya diterapkan setelah kematian, pada Hari
Peringatan Belanda. Pada hari yang memperingati korban sipil dari perang, korban sipil
Indonesia tidak diperingati karena mereka tidak memiliki kewarganegaraan di bawah kekuasaan
kolonial.

Ketua Komite Peringatan Hari Nasional Belanda, Gerdi Verbeet, mengakuinya ketika dia
mengatakan bahwa “mereka yang tidak memiliki paspor Belanda tidak diingat pada saat ini. ”

Ada bukti lebih lanjut tentang kebijakan pengucilan rasial pada Hari Peringatan Belanda: korban
Indonesia pada Perang Dunia II juga tidak diperingati.

Meskipun nomor tersebut tidak diverifikasi, korban sipil dari Perang Dunia II di Indonesia
umumnya diperkirakan mencapai 4 juta orang. Dokumen resmi yang menghitung orang mati
untuk diperingati pada daftar Hari Peringatan Belanda mendata sekitar 20.000 orang, perbedaan
yang menakjubkan. Belanda mendapatkan angka yang sangat berbeda tersebut karena mereka
mengecualikan semua penduduk asli. Jutaan orang terhapus pada Hari Peringatan Belanda.

Menghitung orang mati


Hari Peringatan Belanda adalah sebuah kisah tentang nilai kehidupan manusia, tentang siapa
yang diperhitungkan, siapa yang tidak dan siapa yang dapat menentukan hitung-hitungan
tersebut.

Empat juta korban sipil berkulit coklat dalam Perang Dunia II tidak dihitung; 300.000 korban
berkulit coklat dari “tindakan penegakan hukum” mereka juga tidak dihitung.

Dan dalam putaran yang menyedihkan dalam kisah ini, tepat satu kelompok orang kulit coklat
dihitung: para prajurit Indonesia yang gugur, yang berjuang di samping Belanda selama perang
rekolonisasi. Mereka adalah pelaku yang dilihat sebagai korban oleh penjajah kolonial setelah
sejarah eksploitasi yang berabad-abad lamanya.

Pemikiran kolonial sebagai bentuk supremasi rasial tidak pernah jauh di Belanda. Di Indonesia,
ini mengambil bentuk asumsi hak untuk memperbudak orang, membunuh mereka, dan
mengambil tanah mereka untuk mendapatkan keuntungan.

Pendidik dan penulis Belanda keturunan Suriname Gloria Wekker, dalam bukunya “White
Innocence,” menganalisa pemikiran kolonial Belanda sebagai pengecualian berdasarkan ras yang
menghasilkan kebudayaan orang kulit putih Belanda yang buta terhadap begitu banyak bentuk
rasisme saat ini.

Rasisme Belanda terlihat jelas dalam kenyataan bahwa negara ini memiliki catatan terburuk
dalam kesempatan kerja bagi orang kulit berwarna di Eropa selain Swedia.

Dalam contoh lain, partai politik terbesar kedua, Partai untuk Kebebasan, menempatkan iklan
kampanye dalam bahasa Belanda dan Inggris yang mendehumanisasi para muslim di negara itu.
Iklan tersebut menyatakan bahwa agama mereka sama dengan “diskriminasi,” “ketidakadilan”
dan “pembunuhan atas nama kehormatan,” di antara atribut-atribut lain.
Seorang legislator memperingatkan tentang bahaya pencampuran darah Belanda dan non-
Belanda. Baru tahun lalu, orang Belanda keturunan Suriname-dan Antillean dilarang menghadiri
peringatan 4 Mei jika mereka berbicara secara terbuka tentang sejarah perbudakan Belanda di
koloni-koloni perbudakan Belanda tempat leluhur mereka.

Versi Belanda Santa Claus, Sinterklaas, atau St Nicholas, dan sidekicks hitamnya ‘Zwarte Piet’
atau ‘Piet Hitam. ’ AP / Peter Dejong
Pengingat kolonialisme dan perbudakan Belanda yang paling dikenal luas datang setiap tahun
dalam bentuk “Piet Hitam,” karikatur para pembantu berkulit hitam Sinterklaas pada tradisi
paling penting bangsa ini.
“PAHLAWAN YANG BERJASA”
Berbagi memori
Elizabeth Eckford, salah satu siswa Afrika-Amerika pertama di sekolah yang telah
dipisahkan, mengatakan “rekonsiliasi sejati hanya dapat terjadi ketika kita dengan jujur
mengakui masa lalu yang menyakitkan milik bersama.”

Di Belanda, pesan ini tercermin dalam suara para pengunjuk rasa “Tiada 4 Mei Untuk Saya”,
yang ingin orang mati dihitung tetapi menemukan sebuah kebudayaan yang buta terhadap
kesalahannya sendiri dan tidak mau menciptakan memori bersama.

Membangun memori bersama bisa dimulai hari ini, dengan pengakuan Belanda tentang Hari
Kemerdekaan Indonesia dan peringatan korban perang Indonesia.

Sultan Syarif Kasim II

Sultan Syarif Kasim II yang memiliki nama lengakap Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul
Jalil Saifuddin. Lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 ini merupakan sultan ke-12
Kesultanan Siak. Sultan Syarif Kasim II menjadi salah seorang pendukung perjuangan
kemerdekaan Indonesia.

Setelah proklamasi ia menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian dari wilayah Indonesia, dan ia
menyumbangkan harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah Republik
Indonesia.

Teuku Umar

Pahlawan satu ini terkenal dengan strategi griliyanya, ia melawan Belanda setelah ia
mengumpulkan senjata dan uang yang sukup banyak. Sebelumnya Teuku Umar berpura-pura
bekerjasama dengan Belanda. Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854.

Ketika perang Aceh pada 1873, ia ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Saat itu umurnya baru 19 tahun, perjuangannya pun tak sampai situ ia terus melawan serangan
Belanda dan ia wafat pada tahun 1899.

Tuanku Tambusai

Salah satu pahlawan berasal dari riau adalah tuanku tambusai yang memiliki naman lain
Harimau Paderi Dari Rokan. Ia lahir di Rokan Hulu, Riau, 5 November 1784, perjuangannya
dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya, selama 15 tahun ia cukup merepotkan para
pasukan Belanda karena sulit dikalahkan, pantang menyerah, dan tidak pernah ingin berdamai
oleh Belanda.

Hal itu dibuktikannya dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28
Desember 1838, benteng dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu rahasia, ia dpat
meloloskan diri, lalu ia mengungsi dan akhirnya wafat di Saremban, Negeri Sembilan, Malaysia.
Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda adalah Sultan yang paling besar dalam masa kesultanan Aceh, yang
berkuasa dari tahun 1607 – 1636. Aceh mencapai kejayaan pada kepemimpinan Iskandar Muda,
karena daerahnya semakin besar dan reputasi Internasional sebagai pusat perdagangan dan
pembelajaran tentang islam.

Begitu besarnya kontribusi dirinya terhadap Negara terutama daerah Aceh, membuat namanya
diabadikan pada Bandar Udara Internasional Aceh yang menggunakan namanya.

Raja H. Fisabililah

Raja Haji Fisabililah lahir di Kota Lama, Ulusungai, Riau, 1725. Ia merupakan salah satu
pahlawan nasional Indonesia yang telah diteteapkan pada tanggal 11 Agustus 1997.

Raja Haji Fisanililah terkenal dalam melawan pemerintah Belanda dan berhasil membangun
Pulau Biram Dewa di Sungai Lama. dan ia gugur pada saat melakukan penyerangan pangkalan
maritim Belanda di Teluk Ketapang (Melaka) pada tahun 1784.

Walaupun kini Villalovers sudah merasakan kebebasan, namun tak ada salahnya kita menjadi
pahlawan masa kini yang memperjuangkan kemajuan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai