Anda di halaman 1dari 20

I.

DEFINISI

Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis. Miastenia berarti

kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi, terutama yang diinervasi oleh nukleus

motorik di batang otak seperti otot mata (ocular), otot kelopak mata, otot pengunyah

(masticatory) dan otot wajah (facial), gravis sendiri berasal dari kata “grave” yang berarti

buruk.1,2,3 Romi dkk mengatakan bahwa Miastenia gravis (MG) adalah penyakit

autoimun yang ditandai dengan kelemahan patologis yang berfluktuasi dengan remisi

dan eksaserbasi yang melibatkan kelompok otot satu atau beberapa rangka, terutama

disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACHR) di lokasi pasca sinaptik

dari sambungan neuromuskuler tanpa adanya gangguan sensorik.4 Miastenia gravis

adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan

progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan

kelelahan saat beraktivitas, dan bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian

kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari

synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.5,6

II. EPIDEMIOLOGI

Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang jarang ditemukan. Kasus

lebih banyak ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan puncak onset pada usia

dekade kedua dan ketiga (pada wanita) dan dekade kelima dan keenam (pria).7 Miastenia

Gravis bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular.7 Kasus

MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang dengan total kasus di Amerika

Serikat sekitar 25.000 kasus.5


III. ETIOLOGI

Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagian-

bagian imunologis (epitop) di dalam maupun sekitar AChR nicotinik pada postsynaptic

endplate regio neuromuscular junction.7 Antibodi AChR memicu terjadinya degradasi

imun dari AChR dan membran postsinaptik.7 Hilangnya AchRs fungsional dalam

jumlah besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah serat otot yang berdepolarisasi

selama aktivasi terminal nervus motorik, mengakibatkan panurunan aksi potensial otot

dan kontraksi serat otot yang penting.7 Adanya hambatan pada tranmisi neuromuskular

dapat menyebabkan kelemahan secara klinis apabila jumlah serat yang rusak besar.7

Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif untuk

antibodi terhadap MuSK (Muscle-Specific Kinase). Biopsi otot pada pasien ini

menunjukkan tanda-tanda miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang

bertentangan dengan fitur neurogenik dan atrofi sering ditemukan pada pasien positif

MG untuk anti-ACHR. Penurunan mitokondria bisa menjelaskan keterlibatan anti

MuSK positif MG okulobulbar.8

Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk

yang berikut:8

a. Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, eritromisin, dan

ampisilin)

b. Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tingginya titer

antibodi anti-ACHR terlihat pada 90% kasus, namun, kelemahan ringan dan

pemulihan penuh dicapai seminggu sampai sebulan setelah penghentian obat

c. Beta-adrenergik reseptor blocking agen (misalnya, propranolol dan oxprenolol)

2
d. Agen blocking neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare) harus digunakan

dengan hati-hati pada pasien MG untuk menghindari blokade neuromuskuler yang

berkepanjangan

e. Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG okular dalam 1

laporan kasus; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan lengkap.

IV. ANATOMI, FISIOLOGIS DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION

a. Anatomi Neuromuscular Junction

Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang

tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu

sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.9

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut

terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang

serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik

(membran otot) dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk

neuromuscular junction.7

b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post

sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis,

yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh

cairan ekstraselular secara difusi6.

Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin

(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat

diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal

terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.

3
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong

asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi

menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian

dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan

terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan

mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan

berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada

membran post sinaptik6.

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap

berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:

1) Sintesis asetilkolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan

enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-

KoA -> Kolin à Asetilkolin + KoA

2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang

disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap

berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi

vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal

(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu

vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan

potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami

depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka

saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan

aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini

4
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan

asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.

4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps

ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian

yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin

(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.

Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini

akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor

yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+

akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial

end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran

otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang

serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh

enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina

basalis rongga sinaps

6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif

di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

V. PATOFISIOLOGI

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup

timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia

5
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,

dan lain-lain8.

Gambar 1. Perbandingan Neuromuscular junction normal dan pada Miastenia

Gravis8

Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end

plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui

neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs)

di membrane postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan

kation lain untuk masuk ke dalam serat ototdan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi

yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang

terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak

sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi. Pada miastenia gravis (MG), ada

pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor endplate atau mendatarnya lipatan

pada membran postsinaptik yang menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada

motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit

dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir. Hasilnya adalah sebuah transmisi

6
neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara

lain: auto antibodi terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis, sehingga

terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodi sendiri menyebabkan

gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya asetilkolin dan

autoantibodi menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga menyebabkan

hilangnya sejumlah AChR.8

Gambar 2. Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran

autoantibodi terhadap AchR8

VI. KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi:7

1. Ocular miastenia

Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak

ada kematian

2. Generalized myiasthenia

a) Mild generalized myiasthenia

7
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet

dan bulber.System pernafasan tidak terkena.Respon terhadap otot baik.

b) Moderate generalized myasthenia

Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak

memuaskan.

3. Severe generalized myasthenia

Acute fulmating myasthenia, Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot

pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap

obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens

tinggi thymoma

4. Late severe myasthenia

Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia

gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi.

Respon terhadap obat dan prognosis jelek

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan

tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala

itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.1

VII. DIAGNOSIS MIASTENIA GRAVIS

Diagnosis pada miastenis gravis dapat dilakukan melalui:

A. Anamnesis

Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti:

1. Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan aktivitas fisik?

2. Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan istirahat?

3. Apakah muncul ptosis?

8
4. Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala?

5. Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan kemudian

ke truncal dan anggota tubuh?

6. Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama.

B. Pemeriksaan Fisik

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan

sebagai berikut:

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan

akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.

Penderita menjadi anartris dan afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama

kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada

ptosis,maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan

kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

3. Uji kelelahan otot

Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk

berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson).

Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan fenomena

ptosis dapat ditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan meninggikan dan

menjaga kelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak mata

berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya. Tanda kedutan

kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot. Pasien diarahkan

untuk melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian kembali dengan cepat

dalam posisi semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih ke atas

ditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis,

9
mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot.

Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar setelah periode penutupan

kelopak mata secara volunter.1

C. Pemeriksaan Laboratorium

a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia

gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80% dari penderita

miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni

menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien

thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi.

b. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini

menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam

usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun,

anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab

negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-

MuSK Ab.1

d. Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi

yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung

penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan

ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan

miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu

10
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia

gravis.1

D. Imaging

a. Chest x-ray

Foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada

roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian

anterior mediastinum.7 Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya

thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk

mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada

penderita dengan usia tua.7

b. MRI

Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI

dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada

saraf otak.7

E. Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi

neuromuscular melalui 2 teknik :

a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,

sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

b. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam

serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada

interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang

11
sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang

dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi

pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

VIII. PENATALAKSANAAN

Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan tidak ada

konsensus yang jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis (MG) adalah salah

satu gangguan neurologis yang paling dapat diobati. Beberapa faktor (misalnya, tingkat

keparahan, distribusi, kecepatan perkembangan penyakit) harus dipertimbangkan

sebelum terapi dimulai atau diubah.1

Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif,

seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune globulin

intravena (IVIG).1

a. Antikolinesterase

Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar

sekretori, kerjanya memblok AChE. Agen intermediate-acting, lebih disukai dalam

penggunaan klinis daripada “short-acting” bromida neostigmine dan “long acting”

klorida ambenonium. Bekerja dalam 30-60 menit, efek berlangsung 3-6 jam. MG

tidak mempengaruhi semua otot rangka yang sama, dan semua gejala mungkin tidak

dapat dikendalikan tanpa efek samping. Pada pasien kritis atau pasca operasi, obat

diberikan secara intravena (IV). Di Amerika Serikat, pyridostigmine tersedia dalam

3 bentuk: 60-mg tab, 180-mg timespan tablet, dan 60 mg/5 ml sirup. Efek dari tablet

timespan bertahan 2,5 kali lebih lama. Bentuk timespan adalah sebagai adjuvan

pyridostigmine reguler untuk mengontrol gejala myasthenic pada malam hari.

Penyerapan dan bioavailabilitas tablet timespan bervariasi antara pasien. Dapat

12
diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-

45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi

kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok.

Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan

IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi

parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,

berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro

intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan

pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk

menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang

diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis

kolinergik.

b. Neostigmine

Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga memfasilitasi

transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia dalam

bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV, intramuskular

(IM), atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap dalam

saluran gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika pyridostigmine tidak

ada.1

Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau

intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),

didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan

atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.

Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari

kekuatan dan daya tahan semula. Karena neostigmin cenderung paling mudah

13
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien

mengerti bagaimana sesungguhnya efek samping tersebut.

c. Steroid

Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi digunakan untuk

mengobati idiopatik dan gangguan autoimun. Obat ini termasuk di antara para agen

imunomodulasi yang pertama kali digunakan untuk mengobati MG dan masih sering

digunakan dan efektif. Obat ini biasanya digunakan dalam kasus sedang atau berat

yang tidak merespon terhadap AChE inhibitor dan thymectomy. Pengobatan jangka

panjang dengan kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau

menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien. Perburukan mungkin terjadi

awalnya, perbaikan klinis ditunjukkan setelah 2-4 minggu.Agen ini biasanya

diberikan lebih dari 1 atau 2 tahun. Remisi didapatkan 30% dan perbaikan

40%.Kortikosteroid bekerja di kedua MG baik ocular MG maupun MG generalisata.

Mereka dapat dikombinasikan dengan obat imunosupresif lainnya untuk efek yang

lebih baik dengan dosis lebih rendah dan durasi yang lebih singkat.1

1. Prednisone

Prednisone adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan di Amerika

Serikat. Beberapa ahli percaya bahwa administrasi jangka panjang dari

prednison bermanfaat, tetapi yang lain menggunakan obat hanya selama

eksaserbasi akut untuk membatasi efek yang merugikan dari penggunaan steroid

lama. Prednisone efektif dalam mengurangi eksaserbasi MG dengan menekan

pembentukan autoantibodi. Namun, efek klinis sering tidak terlihat selama

beberapa minggu. Peningkatan signifikan, yang mungkin berhubungan dengan

titer antibodi menurun, biasanya terjadi pada 1-4 bulan.1

2. Methylprednisolone

14
Methylprednisolone dapat digunakan pada pasien yang diintubasi dan pada

mereka tidak dapat mentoleransi asupan oral. Ini mengurangi inflamasi dengan

menekan migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan membalikkan peningkatan

permeabilitas kapiler.1

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan

diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek

samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10

mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat

dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau

dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon

dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan

efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan

klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada

perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan

tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon

secara mendadak harus dihindari.

d. Imunosupresan

1. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang

baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama

berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat

ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap

minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah

itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian

prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. Karena efek

15
samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan steroid-

sparing medications, misalnya: azathioprine, dengan dosis yang ditingkatkan

secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO. Perbaikan maksimal dicapai

dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja azathioprine yang lebih lambat daripada

kortikosteroid. Azathioprine digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid,

bukan sebagai monoterapi.1

2. Mycophenolate mofetil

Digunakan sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau

corticosteroid-sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari. Selama

mimum obat ini, disarankan untuk menghindari paparan sinar ultraviolet.

Manfaat (perbaikan) klinis dapat dirasakan setelah 1-2 bulan, sedangkan efek

maksimal obat ini biasanya dirasakan sekitar 6 bulan. Penggunaan

mycophenolate mofetil bersama-sama dengan azathioprine tidak dianjurkan.1

3. Cyclosporine

Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari;

setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2

minggu, sampai dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide

dapat digunakan oleh dokter yang benar-benar paham efek samping dan dapat

memonitor (tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lipid, magnesium,

serum creatinine dan BUN) pasien secara ketat (setiap 2 minggu selama 3 bulan

pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah stabil).1

e. Imunoglobulin

IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan kelemahan berat yang

kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau sebagai pengganti dari pertukaran

16
plasma dengan dosis 1 g / kg.IVIG efektif dalam MG sedang atau berat yang

memburuk menjadi krisis. Dosis tinggi IVIG berhasil pada MG, meskipun

mekanisme kerja tidak diketahui. Hal ini digunakan dalam manajemen krisis

(misalnya, myasthenic krisis dan periode perioperatif) bukan atau dalam kombinasi

dengan plasmapheresis. Seperti plasmapheresis, ia memiliki onset yang cepat, tetapi

efek berlangsung hanya dalam waktu singkat.1

f. Plasmaparesis

Plasmaparesis (pertukaran plasma) dipercaya bekerja dengan menghilangkan faktor

humoral (yaitu, anti-ACHR antibodi dan kompleks imun) dari sirkulasi. Hal ini

digunakan sebagai tambahan untuk terapi imunomodulator lain dan sebagai alat

untuk manajemen krisis. Seperti IVIG, plasmaferesis umumnya digunakan untuk

myasthenic krisis dan kasus-kasus refrakter. Perbaikan terjadi dalam beberapa hari,

tetapi tidak berlangsung lebih dari 2 bulan. Plasmaferesis merupakan terapi efektif

untuk MG, terutama dalam persiapan untuk operasi atau jangka pendek pengelolaan

eksaserbasi. Plasmapheresis jangka panjang teratur setiap minggu atau bulanan bisa

digunakan bila pengobatan lain tidak dapat mengendalikan penyakit ini. Komplikasi

terutama terbatas pada komplikasi intravena (IV) akses (misalnya, penempatan garis

pusat) tetapi juga dapat mencakup gangguan hipotensi dan koagulasi (meskipun

jarang). Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50

ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.

Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat

bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas

bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu

hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik

17
karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi

tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

g. Thimektomi

Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia gravis

(MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma. Telah diusulkan sebagai terapi lini

pertama pada kebanyakan pasien dengan myasthenia gravis (MG) umum.

Thimectomi dapat menyebabkan remisi. American Association of Neurology

merekomendasikan thimectomi untuk nonthymomatous pasien myasthenia gravis

(MG) autoimun. Thimectomi direkomendasikan sebagai pilihan untuk

meningkatkan kemungkinan remisi atau perbaikan.1

IX. PROGNOSIS MIASTENIA GRAVIS

a. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%

b. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%

c. 40% hanya gejala okuler.

Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, lebih dari 50% kasus berkembang ke

myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar

15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut rata-

rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut sebagai myasthenia gravis (MG)

okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai generalized

myasthenia gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myasthenia gravis (MG)

menunjukkan bahwa kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk.1

18
XI. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara

lain:8

1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada

beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :

a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

d. Paralisis pasca difteri

e. Pseudoptosis pada trachoma

f. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu

sklerosis multipleks.

g. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome), penyakit ini

dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota

tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot

ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-

detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan

sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma

pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia

gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz)

tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).

Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan

kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan

asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang

19
akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk

menimbulkan depolarisasi.

20

Anda mungkin juga menyukai