Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

“PALATOSCHIZIS INCOMPLETE SUSPEK SINDROM PIERRE ROBIN”

NILUH AYU MUTIARA ARIYANTI


0130840180

DINAS PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
2019/2010
BAB I

LAPORAN KASUS
3.1 Identitas

 Nama : An. M. P.
 Jenis kelamin : Perempuan
 Usia : 2 tahun
 Alamat : Waena
 Suku : Toraja
 Agama : Kristen Protestan
 Pekerjaan : (-)
 Pendidikan : Belum sekolah
 Status pernikahan : Belum menikah
 No. rekam medik : 44 25 52

3.2 Anamnesis

3.2.1 Keluhan utama


Pasien datang dengan keluhan sumbing langit-langit sejak lahir.

3.2.2 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang diantar oleh keluarganya dengan keluhan terdapat celah pada langit-langit
mulut sejak lahir berukuran 5cm sejak lahir. Ibu pasien mengaku tidak ada riwayat alergi
obat. Pasien baru bisa berbicara “mama”, berlari, berjalan, pegang benda-benda, bisa
bermain dengan teman lain, dan menyahut ketika dipanggil.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Ibu pasien mengaku makan sering tersedak. Pasien pernah mengalami batuk berdahak
tanpa demam (23/11/2018) dengan diagnosis retensi secret e.c. Bronchiolitis serta speech
delay e.c. palatoschizis (10/02/2019) dan sudah dinyatakan selesai menjalani chest
fisioterapi dan infra red dengan perbaikan pada 1 Maret 2019 namun harus kontrol
kembali. Pasien lahir cukup bulan 2.295 gram dengan riwayat ibu saat hamil kehamilan
ibu sakit waktu hamil dan tidak pernah mendapatkan ASI sejak lahir. Asma (-), riwayat
DM (-).
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengaku nenek memiliki riwayat celah langit-langit mulut.

3.2.4 Riwayat Sosial


Riwayat Merokok (-), Alkohol (-), Makan Pinang (-), Memasak menggunakan kayu
bakar (-).

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tinggi badan : 90 cm
 Berat badan : 9,5 Kg
3.3.2. Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : Tidak dinilai
 Nadi : 110 x/menit
 Respirasi : 30 x/menit
 Suhu Badan : 36,8 °C
3.3.3. Kepala
 Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
strabismus (+/-). Mata isokor, bulat, 3mm
 Hidung : Sekret (-)
 Telinga : Bentuk normal, sekret (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), Peningkatan JVP (-/+),
Webbing neck (+).
3.3.4. Thorax
A. Pulmo
 I: Simetris, retraksi (-), ikut gerak napas, sudut costofrenikus lancip.
Corakan bronkovaskuler.
P : Vokal fremitus (D=S)
P : Sonor
A : SN bronkovesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

B. Jantung
 S1=S2 reguler, mur-mur (-), gallop(-)
C. Abdomen
 I : Datar
 A : Bising usus normal.
 P : Hepar dan Lien: tidak teraba membesar, Nyeri tekan (-), supel.
 P : Tympani
D. Extremitas
 Akral hangat
 Edema (-/-)

 CRT < 3”

E. Kulit
 Sianosis (-)
 Ikterik (-)
 Rash (-)
3.4. Status Lokalis

(a)(a) (b) (c)

(d)
A. Ekstra Oral
 Regio Facial: micrognathia ringan (a), mata strabismus esotropia infantile (b),
 Regio Cervical: pembesaran JVP kiri (c), webbing neck (d), pembesaran KGB (-)

(e) (f) (g)

B. Intra Oral
 Nampak celah pada langit-langit mulut 5cm 1 celah (e), karies pada gigi 51, 52, 54,
61,62, dan 82 (e,f), tongue-tie (ankyloglossia) (g).
5 6

5 4 3 2 1 1 2 3 4 5

5 4 3 2 1 1 2 3 4 5
8 7

3.3 Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 19 Februari 2019 Tanggal 6 November 2018
Pukul 08.31 WIT Pukul 09.33 WIT
Hemoglobin : 12.2 x 103g/dL (N: 11,0-14,7)
Hematokrit : 36.1 % 34.0% (N: 35,2-46,7)
WBC : 9.70 x 103/uL 9.99 x 103/uL (N: 3,37-8,38)
Sel Basofil : 0,2% (N: 0,3-1,4)
Sel Eosinofil : 4,7% 8.0% (N: 0,6-5,4)
Sel Neutrofil : 28,3% 25.7% (N: 39,8-70,5)
Sel Limfosit : 56,7% 51.8% (N: 23,1-49,9)
Sel Monosit : 10,1% 14.1% (N: 4,3-10,0)
PLT : 488 x 103/uL (N: 140-400)
PT : 10.1 detik (N: 10,2-12,1)
APTT : 24.3 detik (N: 24,8-34,4)
GDS : 104 mg/dl
SGOT : 33,4 U/L
SGPT : 24,4 U/L
BUN : 10,0 mg/dl
Creatinin : <0.2 Mg/dL
K+ darah : 4.37 mEq/L (N: 3,50-5,30)
Na+ darah : 135.00 mEq/L (N: 135-148)
CL Darah : 108.60 mEq/L 109.10 mEq/L (N: 98-106)
Keterangan: Tinggi; Rendah

B. Pemeriksaan Radiologi: Ada foto radiologi, tetapi tidak sempat difoto sebagai
dokumentasi.
3.4 Diagnosis Kerja
Palatoschizis incomplete, suspek Pierre Robin Sequence.

3.5 Penatalaksanaan
3.5.1 Medikasi Pre-Operasi
Dari dokter anestesi memerintahkan pemasangan IVFD DS ¼ NS 2 jam sebelum operasi
+ puasa 4 jam sebelum operasi, namun tidak dapat dilakukan pemasangan infus sampai
dengan 30 menit sebelum operasi berjalan. Orang tua pasien juga telah mempuasakan
pasien mulai jam 2 pagi.
3.5.2. Medikasi Intra-Operasi
1. Antibiotik profilaksis inj. Ceftriaxone 300mg.
2. Lanjutkan IVFD DS ¼ NS 250cc/24 jam.
3.5.3. Medikasi Post-Operasi
1. Cefadroxil 100 mg 1x2 PO
2. Paracetamol 100mg 1x3 PO
3. San B-Plex 0,6 cc 1x1 PO
4. IVFD DS ¼ NS 250cc/24 jam

3.6. Prognosis
 Ad Vitam : Dubia ad Bonam
 Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
 Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam

TRACK FOLLOW UP EVALUASI POST-OPERASI

1. Follow Up 4 Maret 2019


 S: Masih terjadi perdarahan post-operasi, terutama dari hidung akibat pasien menangis.
Pasien sulit makan dan minum dan terus menangis. Makan tidak banyak, sekitar 1
sendok makan ketika pukul 17.00 WIT.
 O: Status Generalis:
 Ku : Tambak sakit ringan, Kes: compos mentis
 Tanda Vital: Nadi110 x/menit, Respirasi 38 x/m, SB:36,5oC
 Status Lokalis Regio Intra-oral:

Tampak celah di langit-langit mulut telah menutup. Masih ada sedikit perdarahan
aktif di mukosa palatal. Tampak gigi gigis pada 51,52.

 A: Palatoschizis incomplete telah menutup, perdarahan (+), gigis 51, 52.


 P: Melanjutkan obat pre-operasi
 Cefadroxil 100 mg 1x2 PO
 Paracetamol 100mg 1x3 PO
 San B-Plex 0,6 cc 1x1 PO
 IVFD DS ¼ NS 250 cc/24 jam
 Diet bubur dingin, hindari makanan dan minuman hangat dan panas, boleh minum
susu dan es krim pukul 17.00 WIT (3 jam post operasi).
2. Follow Up 5 Maret 2019
 S: Masih terjadi perdarahan terutama dari hidung akibat pasien menangis ketika
dipasang infus yang macet. Pasien sudah makan bubur dan minum sekitar 10 sendok
makan. Pasien masih rewel tetapi sudah lebih berkurang dari sebelumnya.
 O: Status Generalis:
 Ku : Tambak sakit ringan, Kes: compos mentis
 Tanda Vital: Nadi110 x/menit, Respirasi 37 x/m, SB:36,7oC
 Status Lokalis Regio Intra-oral: tampak celah di langit-langit mulut telah
menutup. Tidak terlihat perdarahan aktif di mukosa palatal, tetapi terdapat
sisa bekuan darah di mukosa hidung bilateral. Tampak gigi gigis pada
51,52.
 A: Palatoschizis incomplete telah menutup, perdarahan aktif (-), gigis 51, 52.
 P: Melanjutkan obat pre-operasi
 Cefadroxil 100 mg 1x2 PO
 Paracetamol 100mg 1x3 PO
 San B-Plex 0,6 cc 1x1 PO
 IVFD DS ¼ NS 250cc/24 jam
 Diet bubur dingin, hindari makanan dan minuman hangat dan panas, boleh minum
susu dan es krim. Minum antibiotik dan susu tidak dalam waktu bersamaan.

3. Follow Up 6 Maret 2019


 S: Ibu mengatakan terdapat perdarahan sedikit dari hidung pada malam tanggal 5
Maret 2019 saat menangis ketika diinfus. Dari bekas operasi tidak ada perdarahan
aktif. Pasien makan minum baik dan tidak rewel.
 O: Status Generalis:
 Ku : Tambak sakit ringan, Kes: compos mentis
 Tanda Vital: Nadi120 x/menit, Respirasi 36 x/m, SB:37,0oC
 Status Lokalis Regio Intra-oral: tampak celah di langit-langit mulut telah
menutup. Tidak terlihat perdarahan aktif di bekas operasi. Tampak gigi
gigis pada 51,52.
 A: Palatoschizis incomplete telah menutup, perdarahan aktif (-), gigis 51, 52.
 P: Melanjutkan obat pre-operasi
 Cefadroxil 100 mg 1x2 PO
 Paracetamol 100mg 1x3 PO
 San B-Plex 0,6 cc 1x1 PO
 IVFD DS ¼ NS 250cc/24 jam
 Diet bubur dingin, hindari makanan dan minuman hangat dan panas, boleh minum
susu dan es krim. Minum antibiotik dan susu tidak dalam waktu bersamaan.

4. Follow Up 7 Maret 2019


 S: Sudah tidak ada perdarahan Pasien makan minum baik dan sudah kembali ceria.
 O: Status Generalis:
 Ku : baik, Kes: compos mentis
 Tanda Vital: Nadi110 x/menit, Respirasi 30 x/m, SB:36,8oC
 Status Lokalis Regio Intra-oral: tampak celah di langit-langit mulut telah
menutup. Tidak terlihat perdarahan aktif di bekas operasi. Tampak gigi
gigis pada 51,52.
 A: Palatoschizis incomplete telah menutup, perdarahan aktif (-), gigis 51, 52.
 P: Melanjutkan obat pre-operasi
 Cefadroxil 100 mg 1x2 PO
 Paracetamol 100mg 1x3 PO
 San B-Plex 0,6 cc 1x1 PO
 IVFD DS ¼ NS 250cc/24 jam
 Diet bubur dingin, hindari makanan dan minuman hangat dan panas, boleh minum
susu dan es krim. Minum antibiotik dan susu tidak dalam waktu bersamaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Palatoschizis
2.1.1. Definisi

Palatoskisis atau disebut sebagai celah palatum merupakan kelainan kongenital


yang paling sering dijumpai setelah labioskisis dengan penyebab multifaktorial, dan
dijumpai pada setiap bangsa di dunia, yaitu sekitar 1 dalam 700 kelahiran hidup. Istilahnya
berasal dari Greek yang meliputi uranoschisis ( ouranos ygang berarti langit - langit dan
schisis adalah celah. Celah ini menunjukkan celah pada langit - langit keras dan
stapholischisis ( staphile = uvula ) yaitu celah pada langit - langit lunak. Palatoskisis ialah
suatu saluran abnormal yang melewati langit-langit mulut dan menuju ke saluran udara di
hidung. Palatoskisis ditandai dengan terpisahnya atap rongga mulut. Pembentukan langit-
langit mulut dimulai pada akhir minggu ke-5 gestasi. Pada tahap ini, langit-langit mulut
terdiri dari dua bagian, yaitu bagian anterior (primer) dan posterior (sekunder). Prominens
hidung medial membentuk segmen intermaksilaris (premaksilaris) yang terdiri dari langit-
langit primer dan gigi seri. Langit-langit sekunder meluas ke foramen.
Adanya celah pada palatum dapat menimbulkan beberapa masalah yaitu gangguan
pada fungsi bicara, penelanan, pendengaran, keadaan malposisi gigi-geligi, fungsi
pernafasan, perkembangan wajah dan gangguan psikologis dari orang tua pasien serta
adanya gangguan fisiologis lainnya yaitu adanya gangguan pada faring yang berhubungan
dengan fosa nasal, pendengaran, dan bicara. Gangguan pernafasan pada pasien yang baru
lahir merupakan masalah yang krusial oleh karena sumbatan dari makanan dan minuman
tersebut saat pasien makan dan minum yang masuk kedalam celah palatum dapat
menyebabkan kesulitan bernafas dan bila tidak cepat diatasi dapat menimbulkan kematian.
Diperlukan latihan dan pengetahuan khusus bagi orang tua pasien untuk merawat anak
dengan celah palatum.

2.1.2. Etiologi

Etiologi palatoskisis bersifat multifaktorial, antara lain berhubungan dengan faktor


genetik dan faktor lingkungan. Diantara faktor-faktor penyebabnya, faktor genetika
disepakati menjadi faktor utama. Palatoschizis terjadi akibat kegagalan fusi dengan septum
nasi. Gangguan palatum mole dan palatum durum terjadi pada kehamilan minggu ke 7-12.

2.1.3. Anatomi

Palatum atau langit-langit dari mulut yaitu sekat yang memisahkan rongga hidung
dan rongga mulut. Berdasarkan embriologi, palatum terbagi dua, yaitu palatum primer dan
palatum sekunder. Palatum primer meliputi bibir, alveolus, dan palatum durum (hard
palate) yang terletak pada bagian anterior dari foramen insisiva. Palatum sekunder dimulai
dari foramen insisiva kemudian meluas ke belakang meliputi palatum durum dan palatum
mole (soft palate). Palatoskisis terdapat pada palatum sekunder sedangkan labioskisis pada
palatum primer. Palatum durum dan palatum mole bersama-sama membentuk atap rongga
mulut dan lantai rongga hidung.

2.1.4. Insidensi

Insidensi terjadinya palatoschizis di Amaerika Serikat diperkirakan 1 dari 700


kelahiran. Celah ini berhubungan dengan predileksi ras, dimana lebih sedikit terjadi pada
kulit hitam dan lebih banyak terjadi pada orang Asia dan penduduk asli Amerika. Laki-laki
lebih banyak menderita orofacial cleft daripada wanita dengan rasio 3:2. Celah bibir dan
palatum terjadi dua kali lebih banyak pada pria dibanding wanita. Palatoskisis unilateral
kiri lebih sering dari pada yang kanan.

2.1.5. Klasifikasi Palatoschizis


A. Klasifikasi Menurut Veau
A. Celah pada palatum mole.
B. Celah pada palatum mole dan palatum durum tetapi tidak melebihi foramen
insisivus.
C. Celah palatum unilateral pada palatum dan prepalatum. Vomer melekat pada

maksila disisi yang tidak bercelah.


D. Celah palatum bilateral lengkap pada palatum dan prepalatum.

B. Klasifikasi Menurut Kernahan dan Stark

A. Celah inkomplit unilateral kiri dari palatum primer.


B. Celah komplit kiri palatum primer hingga mencapai foramen insisivus.


C. Celah komplit bilateral dari palatum primer.

D. Celah inkomplit dari palatum sekunder.

E. Celah komplit dari palatum sekunder.

F. Celah komplit kiri dari palatum primer dan palatum sekunder.


G. Celah komplit bilateral dari palatum primer dan palatum sekunder.


H. Celah inkomplit kiri dari palatum primer dan inkomplit kiri dari palatum
sekunder.

Gambar 1. Klasifikasi Menurut Veau

Gambar 2. Klasifikasi Menurut Kernahan dan Stark


2.1.6. Tatalaksana

Penatalaksanaan hanya dapat dilakukan melalui tindakan pembedahan


(palatoplasty). Tujuan utama tindakan pembedahan tersebut ialah untuk mengembalikan
keutuhan bentuk anatomi dan fungsi palatum.

2.1.7. Komplikasi
A. Masalah Asupan Makanan
Masalah asupan makanan merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi
penderita celah bibir. Adanya celah bibir memberikan kesulitan pada bayi untuk
melakukan hisapan payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan
labioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan
yang ditemukan adalah refleks hisap dan refleks menelan pada bayi dengan celah bibir
tidak sebaik normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu.
Cara memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses
menyusui bayi dan menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala dapat membantu.
Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya
dapat menyusui, namun pada bayi dengan labiopalatochisis biasanya membutuhkan
penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga
hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio- palatoschisis dan bayi dengan masalah
pemberian makan/ asupan makanan tertentu.

B. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan celah bibir mungkin mempunyai masalah tertentu yang
berhubungan dengan kehilangan gigi, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada
area dari celah bibir yang terbentuk.

C. Infeksi Telinga
Anak dengan palatoschizis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena
terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan
penutupan tuba eustachius.
D. Gangguan Berbicara
Pada bayi dengan palatoschizis biasanya juga memiliki abnormalitas pada
perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat
menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas
nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan
reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga
nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita celah
palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung pendek
dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung. Anak
mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh,
dan ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu.

2.2. Sindrom Pierre Robin


2.2.1. Definisi
Sindrom Pierre Robin atau dikenal dengan pierre robin sequence, pierre robin
malformation, pierre robin complex. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh
Lannelounge dan Menard seorang radiologi pada tahun 1891, pada pasien dengan gejala
mikrognasia, glosoptosis dan celah langit-langit.
Sindrom Pierre Robin adalah suatu kelainan kongenital yang terdiri dari
sekelompok kelainan kraniofasial. Sindrom ini dideskripsikan dengan gejala-gejala utama
seperti: mikrognasia, glosoptosis, dan celah langit-langit. Hal ini mengakibatkan terjadinya
gangguan jalan nafas dan kesulitan pemberian makan. Kelainan pada beberapa sistem
organ tubuh yang lain dapat ditemukan pada sindrom ini, yakni kelainan pada telinga, mata
disertai terjadinya serangan apnea dan sianotik yang disebabkan adanya kelainan
kongenital pada jantung.

2.2.2. Etiologi
Sindrom Pierre Robin merupakan rangkaian dari beberapa malformasi kongenital
yang terdiri dari gabungan beberapa etiologi. Namun, dari beberapa penelitian menemukan
rangkaian penyebab terjadinya sindrom ini dikarenakan adanya tekanan mekanis pada
masa intrauterin yang menyebabkan suatu deformasi yang diikuti dengan peran
oligohidramnion.

2.2.3. Patofisiologi
Mekanisme utama yang berkaitan terhadap segala bentuk kelainan yang terdapat
pada sindrom Pierre Robin adalah kegagalan pertumbuhan mandibula pada masa
intrauterin. Sindrom Pierre Robin merupakan malformasi kongenital yang dapat dideteksi
sejak lahir mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan akibat ukuran rahang
yang abnormal pada bayi.
Oligohidramnion adalah suatu rangkaian kelainan anatomi uterin yang
menyebabkan terjadinya keterlambatan pertumbuhan dan kelainan pembentukan janin
pada masa intrauterin. Pengaruh oligohidramnion dapat mengurangi cairan amniotik yang
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan janin, khususnya pertumbuhan mandibula.
Kekurangan cairan amniotik pada masa pembentukan tulang janin menyebabkan dagu
tertekan pada pertemuan klavikula dan sternum. Pada usia 12-14 minggu, janin mengalami
pergerakan dimana dagu yang tertekan menyebabkan pertumbuhan mandibula terhambat.
Pertumbuhan rahang yang terganggu akibat adanya tekanan mekanis mengakibatkan
ukuran rahang menjadi lebih kecil dari ukuran normal (mikrognasia). Lidah yang tidak
mendapat tempat yang cukup, berada di antara palatum yang belum sempurna sehingga
menyebabkan celah palatum tidak dapat menutup secara sempurna.
Pada kasus sindrom Pierre Robin dengan ukuran rahang yang lebih kecil,
menimbulkan manifestasi yang berupa letak lidah yang lebih ke posterior (glosoptosis) dan
celah langit-langit yang menyebabkan terhambatnya jalan nafas sebagai permasalahan
utama dan kesulitan dalam pemberian makan pada bayi.
Gambar 3. Penderita sindrom Pierre Robin dengan mikrognasia disertai gangguan
pernafasan

2.2.4. Gambaran Klinis


Sifat klinis yang utama pada sindrom Pierre Robin adalah terjadinya gangguan
pertumbuhan rahang pada masa intrauterin. Ukuran mandibula yang lebih kecil dari ukuran
normal, posisi lidah yang jatuh ke belakang, dan celah langit-langit menyebabkan
terjadinya obstruksi saluran pernafasan atas dan kesulitan dalam pemberian makan pada
penderita sindrom Pierre Robin, khususnya pada bayi.
A. Mikrognasia
Mikrognasia adalah suatu kelainan malformasi wajah yang ditandai dengan gejala
hipoplasia mandibula dimana ukurannya lebih kecil dari ukuran normal. Mikrognasia
merupakan faktor utama yang menyebabkan meningkatnya resiko terjadi obstruksi, karena
penderita mikrognasia memiliki posisi lidah yang jauh lebih ke posterior, sehingga
mengurangi daerah lintasan udara pada saluran pernafasan bagian atas. Menangis pada
anak dapat menyebabkan jalan nafas tetap terbuka, dan pada saat anak tertidur terjadi
sumbatan jalan nafas, sehingga menyebabkan pengeluaran energi yang meningkat. Karena
masalah respirasi tersebut, pemberian makan mungkin menjadi sangat sulit sehingga
menyebabkan kurangnya pemasukkan makanan. Jika keadaan ini tidak diterapi dapat
menyebabkan kelelahan, kegagalan jantung, dan bahkan kematian.

Gambar 4. Anak dengan ukuran rahang yang lebih kecil dari normal (mikrognasia).

B. Glosoptosis
Glosoptosis mendeskripsikan keberadaan lidah jatuh ke belakang yang dapat
menyebabkan obstruksi faringeal. Ukuran rahang yang abnormal tidak dapat memberi
dukungan yang cukup pada lidah untuk maju ke depan. Keberadaan lidah yang cenderung
ke posterior menyebabkan tersumbatnya jalan nafas, sehingga kemungkinan besar
terjadinya obstruksi saluran pernafasan atas dan berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
Selain itu terdapat juga kelainan lidah Tongue-Tie (Ankyloglossia), yaitu perlekatan lidah
dengan struktur sekitarnya namun relatif jarang ditemukan, yaitu hanya sekitar 10-15%
dari kasus yang dilaporkan.

Gambar 5. Posisi Lidah Cenderung Ke Posterior

C. Celah langit-langit (Palatoschizis)


Celah langit-langit adalah terdapatnya celah pada langit-langit (palatum) yang
terjadi karena palatum tidak menutup secara sempurna. Celah langit-langit merupakan
suatu bentuk kelainan sejak lahir atau cacat bawaan pada wajah yang sangat banyak
dijumpai. Pada kasus sindrom Pierre Robin, kelainan yang sering kali terjadi biasanya
terdapat celah palatum berbentuk U dan jarang dengan celah berbentuk V yang biasanya
tidak disertai celah bibir. Celah bisa melibatkan sisi lain dari palatum, yaitu meluas dari
bagian palatum keras di anterior mulut sampai palatum lunak kearah tenggorokan.
Penderita biasanya mengalami kesulitan dalam menelan dan menyusui serta mudah terjadi
infeksi pada saluran pernafasan karena tidak adanya pembatas antara rongga mulut dan
rongga hidung.

D. Obstruksi Saluran Pernafasan Atas


Gangguan saluran pernafasan yang terjadi pada penderita sindrom Pierre Robin
merupakan suatu keadaan berhentinya nafas secara berulang selama interval waktu yang
singkat. Obstruksi terjadi akibat penyempitan saluran pernafasan terutama pada ujung
posterior palatum lunak dan dasar lidah, dalam hal ini keadaan mikrognasia dianggap
sebagai penyebab utama. Penanganan segera sangat dibutuhkan dengan pemasangan
selang oksigen melalui hidung.

E. Serangan Sianotik
Kebanyakan penyebab terjadinya serangan sianotik adalah kelainan jantung
bawaan yang tidak diketahui sebelumnya. Gejala serangan sianotik baru timbul di
kemudian hari ketika bayi menyusui, menangis, bangun tidur serta sesudah makan.
Sianotik yang tiba-tiba terjadi dapat menyebabkan kulit anak berwarna ungu kebiruan dan
sesak nafas.
F. Serangan Apnea
Serangan apnea disebabkan ketidakmampuan fungsional pusat pernafasan yang ada
hubungannya dengan hipoglikemia atau perdarahan intrakranial. Irama pernafasan bayi
tidak teratur dan diselingi serangan apnea. Dengan menggunakan alat pemantau apnea dan
memberikan segera oksigen pada bayi ketika timbul apnea, sebagian besar bayi akan
bertahan dari serangan apnea, meskipun apnea ini mungkin berlanjut selama beberapa hari
atau minggu.
G. Kelainan Mata
Kelainan mata pada penderita sindrom Pierre Robin yang paling banyak ditemukan
adalah katarak dan glaukoma kongenital, namun juga berhubungan dengan kejadian
strabismus. Katarak kongenital adalah kekeruhan pada lensa mata yang ditemukan pada
bayi baru lahir, dimana bayi gagal menunjukkan kesadaran visual terhadap lingkungan di
sekitarnya dan kadang terdapat nistagmus (gerakan mata yang cepat dan tidak
biasa).Glaukoma kongenital adalah peningkatan tekanan cairan di dalam bola mata bayi
yang baru lahir (biasanya pada kedua mata). Glaukoma kongenital terjadi akibat adanya
gangguan pada perkembangan saluran pembuangan cairan dari mata. Penyakit ini
seringkali sebagai penyakit keturunan.
H. Kelainan Telinga
Gangguan pada telinga yang sering terjadi pada sindrom ini adalah otitis media
yang diikuti dengan kelainan bentuk daun telinga. Penderita sindrom Pierre Robin yang
mengalami kelainan celah langit-langit, ada kemungkinan timbulnya masalah
pendengaran. Penderita celah langit-langit cenderung menghasilkan banyak cairan yang
menumpuk di belakang gendang telinga sehingga dapat menimbulkan infeksi dan
penurunan tekanan udara di telinga tengah yang menyebabkan terganggunya pendengaran.

Gambar 6. Kelainan bentuk daun telinga penderita sindrom Pierre Robin


BAB III
PEMBAHASAN

Seorang pasien anak perempuan usia 2 tahun datang dengan keluhan terdapat celah
langit-langit mulut sejak lahir berukuran 5cm sejak lahir. Ibu pasien mengaku makan
sering tersedak dan tidak ada riwayat alergi obat. Pasien pernah didiagnosis retensi secret
e.c. Bronchiolitis serta mengalami speech delay e.c. palatoschizis. Pasien sudah selesai
chest fisioterapi dan infra red. Pasien lahir cukup bulan 2.295 gram dengan riwayat ibu
saat hamil kehamilan ibu sakit waktu hamil dan tidak pernah mendapatkan ASI sejak lahir.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan palatoschzis incomplete mulai dari foramen
insisiva kemudian meluas ke posterior meliputi ½ palatum durum dan palatum mole (soft
palate) berukuran 5 cm.

3.1. Penyebab Palatoschisiz pada pasien.


Palatoschisiz yang dialami pasien merupakan palatoschizis incomplete yang diduga terjadi
akibat kelainan genetic. Hal ini didukung melalui anamnesa riwayat nenek yang
mengalami celah-celah langit mulut.

3.2. Tatalaksana Pasien


3.2.1 Tatalaksana Pre-Operasi
Pasien masuk ke Ruangan Bedah Wanita tanggal 3 Maret 2019 jam 5 sore dan
direncanakan operasi tanggal 4 Maret 2019 pukul 08.00 WIT. Dari dokter anestesi
memerintahkan pemasangan IVFD DS ¼ NS 2 jam sebelum operasi + puasa 4 jam
sebelum operasi, namun tidak dapat dilakukan pemasangan infus sampai dengan 30 menit
sebelum operasi berjalan. Orang tua pasien juga telah mempuasakan pasien mulai jam 2
pagi.
Pemberian IVFD DS ¼ NS menggunakan infus mikro pada anak bertujuan untuk
mengganti cairan yang hilang selama pembedahan dan bisa juga untuk preventif
perdarahan. Perdarahan pada pembedahan tidak selalu memerlukan transfusi. Untuk bayi
dan anak dengan perdarahan di atas 10% volume darah baru diperlukan perdarahan. Namun
dokter bedah mulut tidak meminta darah karena tidak terdapat indikasi perdarahan banyak.
Jika dilihat dari hasil lab tanggal 19 februari 2019, maka didapatkan jumlah hemoglobin
dan hematokrit normal, namun trombosit tinggi yaitu 488 x 103/uL dan PT (10.1 detik)
serta APTT (24.3 detik) yang rendah. Penyebab trombosit tinggi karena pasca kerusakan
jaringan, kehilangan darah, infeksi, peradangan, menderita kanker, kelainan sum-sum
tulang, konsumsi obat tertentu. Diduga peningkatan trombosit akibat infeksi yang timbul
dari retensi secret akibat bronkiolitis (20 Maret 2019).
Puasa pada anak sebelum tindakan operasi bertujuan untuk mencegah terjadinya
aspirasi makanan ke saluran napas dan menurunkan risiko terjadinya pneumonia aspirasi. Bukti
terkini menunjukkan bahwa secara fisiologis cairan bening dikosongkan dari lambung
dalam kurun waktu 2 jam sejak dikonsumsi, dan tidak terdapat perbedaan bermakna
volume cairan lambung antara individu yang terakhir minum 2 jam sebelum operasi dengan
yang puasa sejak 12-16 jam sebelum operasi elektif. Walaupun puasa hingga 8-10 jam
preoperatif tidak menunjukkan efek fisiologis yang membahayakan status volume plasma
pasien, hal tersebut bukan menjadi landasan bukti ilmiah utama dan aman untuk
menyarankan pasien puasa sejak tengah malam sebelum operasi. Bukti terkini bahkan
menunjukkan bahwa konsumsi cairan bening (air, jus bening, kopi dan teh tanpa susu)
hingga 2 jam sebelum operasi dianggap aman untuk dilakukan pada pasien yang akan
menjalani operasi elektif. Hal ini didasarkan pada temuan meta analisis dari banyak uji
klinis bahwa puasa 2-4 jam sebelum operasi, dibandingkan puasa lebih dari 4 jam
sebelumnya, berkaitan dengan penurunan keluhan haus dan lapar secara subjektif dari
pasien serta penurunan volume cairan lambung < 25 ml dan pH lambung > 2,5 yang
merupakan indikator tak langsung risiko aspirasi jalan napas yang minimal. Pada pasien
diperintahkan untuk dipuasakan 4 jam sebelum dioperasi meskipun akhirnya pasien
dipuasakan hinggal > 8 jam sebelum operasi.

3.2.2. Tatalaksana intra-Operasi


Setelah dilakukan pemasangan infus dilakukan, pasien diskin test terhadap
antibiotic ceftriaxone 300mg. Setelah 15 menit tidak menunjukkan reaksi, pasien diberikan
antibiotik profilaksis sebanyak 300mg IV. Dilakukan pemberian antiseptic pada region
facial dan intraoral dengan onescrub encer. Setelah itu dipasang duk steril. Setelah itu
dilakukan pencampuran lidocaine dan aquades dengan perbandingan 1:1 sebanyak 2 cc di
palatal dekstra dan sinistra. Kemudian dilakukan insisi palatum di midline mulai anterior
sampai dengan uvula dan lateral 0,5 mulai dari cervical gigi sampai dengan retromolar.
Kemudian flap diangkat, bundle palatal dekstra dan sinistra dibebaskan. Mematahkan
hariukes dekstra dan sinistra. Lalu dilakukan penyatuan mukosa nasal mulai dari anterior
ke posterior region retropalatina. Kemudian dilakukan flap pomer untuk mengatasi celah
yang besar terbuka. Lalu diseksi muscle bundle palatum dari posterior os palatum dijahit
dengan prolene 3.0 figure of eight. Lalu perdarahan dirawat dengan klem. Flap oral
dikembalikan ke midline dan dijahit dengan vicryl 4.0 dan fiksasi situasi di lateral. Pasang
surgical di luka lateral posterior dan operasi selesai. Pasien sempat mengalami perdarahan
aktif melalui hidung dan diberikan traneksamat 150mg.

3.2.3 Tatalaksana Post-Operasi.


Tatalaksana medikasi:

1. Infus DS ¼ NS 250cc/24 jam


2. Inj ceftriaxone 150mg/12 jam
3. Inj. Antram 150mg/12 jam
4. Ranitidin 10mg/12 jam

Jika pasien sadar baik, minum sedikit-seidikit, bila tidak muntah boleh makan
bubur. Tidak boleh hangan/panas. Suhu panas dari makanan/minuman dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sehingga bisa menyebabkan perdarahan.
Lakukan monitor vital sign dan adanya tanda perdarahan. Tanda perdarahan
ditemukan membaik pada tanggal 7 Maret 2019 (3 hari setelah operasi). Sebelumnya
perdarahan diprovokasi oleh tangisan bayi jika diinfus dan mukosa mulut dan hidung
belum menutup dengan terlalu baik.
Pada tanggal 5 maret pasien diberikan obat Cefadroxil 100 mg 1x2 PO, Paracetamol
sebagai analgesik 100mg 1x3 PO, multivitamin San B-Plex 0,6 cc 1x1 PO dan tetap
melanjutkan IVFD DS ¼ NS 250cc/24 jam sampai pulang di tanggal 7 Maret 2017 sekitar
pukul 17.30 WIT.

3.3. Penyebab Speech Delay (Keterlambatan Bicara)


Speech delay merupakan kegagalan berbicara sesuai tahap pencapaiannya menurut
usia. Biasanya terkait dengan keterlambatan sektor lain. Berkaitan dengan gangguan
pendengaran, retardasi mental, gangguan emosional atau trauma otak, masalah keturunan,
autisme, pola pengasuhan dan komunikasi, kadang merupakan hasil dari pengaruh
lingkungan, bilingual, atau akibat kelainan organ bicara. Pada pasien ditemukan hambatan
bicara terjadi akibat kelainan organ bicara berupa lidah pendek dan kelainan bibir
sumbing (palatoschizis/cleft palate). Pada lidah pendek terjadi kesulitan menjulurkan lidah
sehingga kesulitan mengucapkan huruf ”t”, ”n” dan ”l”. Kelainan bibir sumbing bisa
mengakibatkan penyimpangan resonansi berupa rinolaliaaperta, yaitu terjadi suara hidung
pada huruf bertekanan tinggi seperti ”s”, ”k”, dan ”g”.
Salah satu tanda speech delay yang ditemukan pada pasien adalah selalu
menggunakan bahasa tubuh seperti melambaikan tangan untuk menyampaikan ‘dadah’ atau
menunjuk objek tertentu yang diinginkan. Selain itu di usia 2 tahun pasien baru bisa
mengucpapkan 1 kata, yaitu mama dan tidak dapat mengucapkan kata lainnya. Pasien juga
tidak menjawab bila disapa dengan “hallo”, “hai”, tidak memiliki satu atau 3 kata pada usia 12
bulan dan 15 kata pada usia 18 bulan, dan tidak mampu mengidentifikasi bagian tubuh. Pasien
kesulitan mengulang suara dan gerakan dan lebih memilih menunjukkan gerakan daripada
berbicara verbal.

3.4 Sindrom Pierre Robbin


Terdapat trias sindrom Pierre Robin, yaitu cleft palate, microghnatia, dan
glossoptosis (paling sering) atau anomaly lidah lainnya seperti tongue tie. Insidensinya
yaitu 1: 8.500 kelahiran. Sindorm Pierre Robin dikaitkan dengan sejumlah komplikasi
okular termasuk miopia, strabismus, sindrom Moebius, obstruksi duktus nasolakrimalis,
glaukoma, katarak, mikrofthalmia, koloboma koroid, dan ablasi retina. Riwayat khas yang
dapat ditemukan, yaitu kesulitan menelan, episode sianosis berulang pada saat bayi baru
lahir, retraksi sternum, sekresi mucous yang banyak. Sindromini juga disebut
"sequence/urutan" karena saat bayi tumbuh di dalam rahim, rahang bawah tidak tumbuh
dengan cukup, sehingga menyebabkan lidah terdorong kembali ke belakang dan tulang
langit-langit tetap terpisah di tengah. Penyumbatan jalan napas parsial terkait dengan sleep
apnea obstruktif. Ketika lidah anak dalam posisi terdorong ke belakang karena rahang yang
kecil, menyebabkan penyumbatan total/parsial (sleep apnea obstruktif). Terjadi pada
sekitar 2% anak-anak.
Pada penderita, ditemukan trias Sindrom Pierre Robin, yaitu cleft palate,
microghnatia, glossoptosis, dan lidah terbelah/tongue tie. Pada cleft palate yang dialami
pasien adalah palatoschizis incomplete berbentuk U-shape. Pada sindrom Pierre Robin,
palatoschizis bentuk U shape merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Microghnatia
juga ditemukan pada pasien namun jika dilihat sekilas, tidak terlalu nampak namun bentuk
rahang anak berbeda dari kedua orang tuanya. Diduga mikrognathia bersifat ringan. Pada
inspeksi lidah, ditemukan bentuk tongue-tie (ankyloglossia) yang berhubungan dengan
glossoptosis meskipun bentuk anomaly lidah ini hanya ditemukan pada sekitar 10-15%
kasus sindrom Pierre Robin. Pada bagian mata juga ditemukan mata juling sebelah kanan
yang merupakan jenis strabismus konvergen esotropia infantile. Mata juling menyebabkan
risiko tinggi mengalami ambliopia (mata malas) yang disebabkan oleh paresis N. VI yang
mempersarafi M. Obligus Superior. Strabismus merupakan anomali ocular paling sering
pada sindrom pierre robins selian katarak.

3.5. Diagnosa Banding


A. Turner Syndrome
Sindrom Turner adalah kumpulan gejala dengan karakteristik fisik dan
hilangnya satu kromosom X baik secara komplit maupun parsial, dan sering pula

berupa sel mosaik.
 Sindrom Turner umumnya ditandai dengan perawakan pendek

dan indung telur yang tidak berfungsi.


Gambaran fisik Sindrom Turner mencakup adanya lipatan tambahan pada


leher (seperti leher bersayap), bentuk kuku tidak normal, tangan dan kaki bengkak,
koarktasio aorta (penyempitan arteri utama dari jantung yang dapat ditangani
melalui pembedahan) atau kelainan lain pada jantung, termasuk pada katup-
katupnya. Masalah makan dapat terjadi pada periode awal masa kanak-kanak, dan
seperti pada anak lainnya, dapat pula terjadi kesulitan belajar atau perilaku yang
mungkin membutuhkan bantuan ahli.
Sindrom Turner biasanya dicurigai dari ditemukannya tanda-tanda fisik yang
khas. Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan analisis
kromosom yang disebut kariotipe. Diagnosis dapat dilakukan saat kelahiran, atau
bahkan sebelum bayi tersebut dilahirkan. Terkadang, terdapat beberapa
karakteristik Sindrom Turner, seperti lipatan leher berlebihan yang dapat dideteksi
dengan pemeriksaan ultrasonogra pada masa kehamilan. Diagnosis ini kemudian
dipastikan dengan pengambilan dan pemeriksaan cairan ketuban melalui proses
Amniosentesis, atau pengambilan bagian dari plasenta awal melalui proses CVS
(Chorionic Villous Sampling). Pengambilan sampel ini dilakukan untuk
pemeriksaan kromosom janin dalam kandungan.
Seringkali anak perempuan dengan Sindrom Turner tidak terdiagnosis
sebelumnya. Baru kemudian terlihat di masa kanak-kanak awal, yaitu saat
pertumbuhannya melambat secara progressif. Diagnosis dapat pula ditegakkan
kemudian di usia remaja, yaitu saat tanda-tanda pubertas tidak muncul atau
melambat, atau bahkan berhenti. Setiap anak perempuan dengan perawakan jauh
lebih pendek dibandingkan teman sebayanya, dianjurkan melakukan pemeriksaan
kromosom mengingat kondisi ini umum terjadi.

B. Collin Syndome
Sindrom Treacher Collins adalah penyakit gangguan perkembangan tulang
dan jaringan tubuh pada bagian wajah. Penyakit genetik yang sangat jarang terjadi
ini disebabkan oleh perubahan (mutasi) pada gen yang mengatur pembentukan
wajah semasa janin. Bayi dan anak-anak yang menderita sindrom Treacher Collins
akan menderita kelainan bentuk telinga, kelopak mata, tulang pipi, dan dagu.
Sindrom Treacher Collins merupakan penyakit genetik yang diturunkan, tetapi
sekitar 60% dari kondisi ini tidak diwariskan dari orang tua ke janinnya, melainkan
mutasi yang baru terjadi saat di dalam kandungan.
Gejala yang ditemukan, yaitu posisi mata condong ke bawah, bulu mata
jarang, terdapat celah pada kelopak mata bagian bawah, daun telinga berbentuk
tidak wajar, kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali, hidung tetap normal tetapi
terlihat lebih besar, dikarenakan kelainan jaringan sekitar hidung, dan gangguan
pendengaran akibat kelainan pada tulang-tulang pendengaran atau saluran telinga
yang tidak sempurna.

Anda mungkin juga menyukai