Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia cukup pesat. Hal itu ditandai
dengan meningkatnya jumlah bank syari’ah dan lembaga keuangan non bank.
Dalam kehidupan perekonomian, kita tidak hanya mengenal perbankan
syari’ah yang memang menjadi perhatian banyak orang. Ekonomi Islam
bukan hanya sekedar membahas tentang perbankan Islam, tetapi semua hal
yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi manusia. Dengan perkembangan
perbankan Islam, juga berkembang praktek ekonomi Islam yang lain, seperti
leasing, asuransi, pasar modal, dana pensiun, pegadaian, lembaga zakat,
koperasi dan lain sebagainya. Kemajuan ini menjadi sinyal positif untuk
menunjang segala kebutuhan masyarakat yang diselenggarakan secara Islami,
mengingat sebelumnya belum tersedia pelayanan dan proses pemenuhan
kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam.
Perekonomian yang Islami, perlu adanya instrumen yang menunjang, baik
yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Perkembangan praktek
ekonomi Islam di masyarakat cukup pesat sehingga perlu mendapatkan
sebuah payung hukum dan aturan yang berfungsi untuk melindungi proses
ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Termasuk dalam hal ini lembaga
pembiayaan non bank perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Pada makalah ini, penyusun akan membahas mengenai perusahaan
pembiayaan syari’ah meliputi pengertian, pembinaan dan pengawasan,
pengelolaan dan pengembangan, kegiatan usaha, perbedaan perusahaan
pembiayaan konvensional dengan perusahaan pembiayaan syari’ah, profil
salah satu perusahaan pembiayaan, dan tantangan perusahaan pembiayaan
syari’ah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian perusahaan pembiayaan syari’ah?
2. Bagaimana pembinaan dan pengawasan perusahaan pembiayaan syari’ah?
3. Bagaimana pengelolaan dan pengembangan perusahaan pembiayaan?
4. Apa saja kegiatan usaha perusahaan pembiayaan syari’ah?

1
5. Apa saja perbedaan antara perusahaan pembiayaan konvensional dengan
perusahaan pembiayaan syari’ah?
6. Bagaimana profil perusahaan pembiayaan syari’ah?
7. Apa saja tantangan yang dihadapi perusahaan pembiayaan syari’ah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian perusahaan pembiayaan syari’ah.
2. Untuk mengetahui pembinaan dan pengawasan perusahaan pembiayaan
syari’ah.
3. Untuk mengetahui pengelolaan dan pengembangan perusahaan
pembiayaan.
4. Untuk mengetahui kegiatan usaha perusahaan pembiayaan syari’ah.
5. Untuk mengetahui perbedaan antara perusahaan pembiayaan konvensional
dengan perusahaan pembiayaan syari’ah.
6. Untuk mengetahui profil perusahaan pembiayaan syari’ah.
7. Untuk mengetahui tantangan yang dihadapi perusahaan pembiayaan
syari’ah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perusahaan Pembiayaan Syari’ah


Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan,
1
baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Keberadaan lembaga keuangan
yang menawarkan berbagai bentuk fasilitas pembiayaan untuk lebih
memperluas penyediaan pembiayaan alternatif bagi dunia usaha dalam sistem
perekonomian modern sangatlah dibutuhkan. Lembaga pembiayaan
diperlukan guna mendukung dan memperkuat sistem keuangan nasional yang
terdiversifikasi sehingga dapat memberikan alternatif yang lebih banyak bagi
pengembangan sektor usaha.
Kebijakan pengembangan dan perluasan berbagai jenis lembaga keuangan
melalui diversifikasi kegiatan pembiayaan landasan operasionalnya diatur
lewat Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 sebagai bagian dari deregulasi
20 Desember 1988 (Paket Desember). Melalui PakDes ini diperkenalkan
lembaga pembiayaan yang bidang usaha usahanya adalah :
1. Sewa guna usaha (leasing)
2. Modal ventura (venture capital)
3. Anjak Piutang (factoring)
4. Kartu kredit (credit card)
5. Pembiayaan konsumen (consumer finance)
6. Perdagangan surat berharga (securities company)
Dalam ketentuan lebih lanjut ada dua kegiatan yang dikeluarkan dari
kegiatan perusahaan pembiayaan, yaitu kegiatan perdagangan surat berharga
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 1256/ KMK.00/ 1989 tanggal
18 November 1989, karena kegiatan perdagangan surat berharga terkait
dengan kegiatan di pasar modal sehingga dialihkan kepada Bapepam sebagai
otoritas pasar modal. Selanjutnya modal ventura berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan No. 468/ KMK.017/ 1995 tanggal 3 Oktober 1995 juga
1
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2016),
hlm. 41.

3
dikeluarkan dari bidang usaha lembaga pembiayaan dan dilakukan secara
terpisah dengan badan hukum tersendiri dengan pertimbangan agar bisnis
modal ventura dapat lebih berkembang dan berkonsentrasi pada penyaluran
pembiayaan untuk membantu usaha kecil menengah.
Dalam perkembangan selanjutnya, landasan hukum perusahaan
pembiayaan makin kuat dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/
KMK-017/ 2000 yang diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 172/
KMK/ 2002. Belakangan diterbitkan pula Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/ PMK.012/ 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. 2 Kemudian
pada tahun 2014 Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peraturan No.
29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.3
Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha diluar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga Pembiayaan. Kegiatan usaha lembaga
pembiayaan adalah:
1. Sewa guna usaha (leasing);
2. Anjak Piutang (factoring);
3. Usaha kartu kredit (credit card);
4. Pembiayaan konsumen (consumer finance).4
Perusahaan pembiayaan selain beroperasi menggunakan sistem
konvensional juga dapat melakukan pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah.
Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah pembiayaan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan pembiayaan
tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.5
B. Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Pembiayaan Syari’ah
Pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan secara
kelembagaan dilakukan oleh Menteri Keuangan yang meliputi penarikan

2
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 333-334.
3
Abdul Rasyid, “Lembaga Pembiayaan Syari’ah di Indonesia”, Business Law, diakses dari
http://business-law.binus.ac.id/2016/01/27/lembaga-pembiayaan-syari’ah-di-indonesia,pada
tanggal 23 November 2018 pukul 08.19.
4
M. Nur Arianto Al-Arif, Lembaga Keuangan Syari’ah : Suatu Kajian Teoretis Praktis (Bandung:
Pustaka Setia, 2012), hlm. 129.
5
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 335.

4
pinjaman luar negeri, penyaluran pinjaman yang bersumber dari perbankan,
penerbitan surat sanggup bayar (promissory notes), kualitas aktiva produktif
dan kebenaran serta kelengkapan laporan. Sedangkan pembinaan dan
pengawasan dari sisi pemenuhan prinsip syari’ah dilakukan oleh Dewan
Syari’ah Nasional MUI yang menempatkan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)
di masing-masing pembiayaan syari’ah.
Pada perusahaan pembiayaan syari’ah pengawasan dan pembinaan yang
dilakukan meliputi:
1. Sumber Pendanaan
Sumber pendanaan bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syari’ah wajib diperoleh berdasarkan prinsip
syari’ah. Sumber pendanaan perusahaan pembiayaan syari’ah wajib
diperhitungkan sebagai komponen dalam menghitung gearing ratio
perusahaan pembiayaan. Sumber pendanaan tersebut dapat diperoleh melalui
bank dan atau badan usaha lainnya baik dari dalam maupun luar negeri
dengan menggunakan akad yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
Adapun akad yang diterapkan pada sumber pendanaan ini meliputi:
a. Pendanaan Mudharabah Mutlaqah yaitu pendanaan yang diperoleh
perusahaan pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang
bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), dimana shahibul mal
tersebut membiayai 100% modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang
tidak ditentukan oleh Perusahaan Pembiayaan, dan keuntungan usaha
dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
b. Pendanaan Mudharabah Musyarakah yang diperoleh perusahaan
pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak
sebagai penyandang dana (shahibul mal), dimana shahibul mal tersebut
membiayai 100% modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang telah
ditentukan oleh Perusahaan Pembiayaan, dan keuntungan usaha dibagi
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
c. Pendanaan Mudharabah Musyarakah yang diperoleh perusahaan
pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak
sebagai penyandang dana (shahibul mal), dimana shahibul mal dan

5
perusahaan pembiayaan selaku pengelola (mudharib) turut menyertakan
modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
d. Pendanaan Musyarakah yang diperoleh perusahaan pembiayaan melalui
akad kerja sama dengan pihak lain untuk usaha tertentu, dimana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
e. Pendanaan lainnya yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
2. Kegiatan Pendanaan
Setiap perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syari’ah wajib menyalurkan dana untuk kegiatan
pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah. Kegiatan usaha perusahaan
pembiayaan syari’ah terdiri dari:
a. Sewa Guna Usaha (leasing) Syari’ah;
b. Anjak Piutang Syari’ah (factoring);
c. Pembiayaan Konsumen (consumer finance);
d. Usaha Kartu Kredit.6
3. Dewan Pengawas Syari’ah
Perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syari’ah wajib memiliki Dewan Pengawas Syari’ah yang terdiri dari
paling kurang 2 (dua) orang anggota dan satu orang ketua. Anggota Dewan
Pengawas Syari’ah diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas
rekomendasi MUI. Dewan Pengawas Syari’ah bertugas memberikan nasihat
dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syari’ah kegiatan operasional
perusahaan pembiayaan dan sebagai mediator antara Perusahaan Pembiayaan
dengan DSN-MUI.
4. Pelaporan
Perusahaan pembiayaan syari’ah wajib menyampaikan laporan kegiatan
setiap tanggal 10 setiap bulan dan mendapatkan pernyataan kesesuaian
syari’ah oleh Dewan Pengawas Syari’ah yang dengan tembusan kepada DSN-

6
Ibid. 340-342.

6
MUI. Pelaporan perusahaan pembiayaan umumnya meliputi laporan
keuangan bulanan, laporan kegiatan semesteran, dan laporan keuangan
tahunan yang telah di audit oleh akuntan publik. 7
5. Prinsip Transaksi Perusahaan Pembiayaan Syari’ah
Setiap transaksi kegiatan operasional perusahaan pembiayaan syari’ah
harus memenuhi prinsip syari’ah. Aturan mengenai transaksi perusahaan
pembinaan syari’ah, antara lain :
a. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan syari’ah wajib tidak bertentangan
dengan prinsip syari’ah.
b. Akad-akad syari’ah yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak
tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kecuali memenuhi kondisi :
1) Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya;
2) Akad bertentangan dengan prinsip syari’ah, atau
3) Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat
menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
c. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah,
setiap pihak yang bertransaksi wajib memiliki kecakapan dan kewenagan
untuk melakukan perbuatan hukum baik menurut syari’ah maupun
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip
syari’ah,wajib dilaksaakan tanpa unsur paksaan di antara para pihak yang
berakad.
e. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah,
yang diikuti dengan kewajiban melaksanakan asuransi atas objek
pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah, maka objek diasuransikan wajib
diasuransikan pada perusahaan asuransi dengan prinsip syari’ah juga.8
f. Pencatatan akutansi untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan
prinsip syari’ah sebagaimana diatur dalam peraturan ini wajib disusun
berdasarkan pernyataan standar akutansi keuangan yang berlaku.9

7
Ibid. 343.
8
Al-Arif, Lembaga Keuangan Syari’ah : Suatu Kajian Teoretis Praktis, hlm. 132.
9
Ibid.133.

7
6. Pembatasan Perusahaan Pembiayaan
Agar lembaga pembiayaan tidak menyerupai perbankan dalam melakukan
aktivitas di sisi pasivanya, maka lembaga pembiayaan menurut ketentuan
dilarang:
a. Menghimpun dana dari masyarakat secara langsung dalam bentuk giro,
deposito dan tabungan.
b. Menerbitkan surat sanggup bayar (promissory notes) kecuali sebagai
jaminan atas utang kepada bank yang menjadi pemberi dananya. Surat
sanggup tersebut tidak dapat dialihkan dan dikuasakan kepada pihak
mana pun.
c. Memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.
7. Kualitas Aktiva Produktif
Adanya penilaian mengenai kolektibilitas aktiva produkif, mengharuskan
perusahaan pembiayaan harus benar-benar melakukan analisis yang baik dan
hati-hati atas setiap jenis kegiatan pembiayaan yang dilakukannya, termasuk
aktiva produktif lainnya yang dimiliki misalnya surat berharga dan
penyertaan. Hasil penilaian aktiva produktif akan memengaruhi kinerja
perusahaan pembiayaan. Metode penilaian kualitas aktiva produktif
perusahaan pembiayaan dinilai berdasarkan kolektibilitas aktiva produktif
sesuai dengan jenis usaha pembiayaan.Kemudian berdasarkan penilaian yang
dilakukan tersebut, maka kolektibilitas aktiva produkif digolongkan sebagai
lancar, diragukan dan macet.10
C. Pengelolaan dan Pengembangan Perusahaan Pembiayaan
Pengelolaan dan pengembangan perusahaan pembiayaan dapat dilakukan
melalui beberapa bidang, yaitu:
1. Pemasaran antara lain dengan membangun kerjasama dengan dealer,
sinergis bisnis dengan grup/induk perusahaan, untuk membangun captive
market; pemilihan konsumen sangat menetukan terhadap keberhasilan
pembayaran kembali produk yang dijual.
2. Produk antara lain menciptakan produk yang sederhana di mata
konsumen, dan dari sisi mitigasi risiko masih tetap aman; produk yang

10
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 344-345.

8
akan dijual adalah produk yang kualitasnya bagus, serta mudah dijual bila
terjadi penarikan kembali dari konsumen.
3. Perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pendanaan dari berbagai
sumber; risiko terhadap kenaikan NPL (Non-Performing Loan) dapat
dijaga apabila produknya hanya dijual kepada konsumen yang telah
memenuhi kriteria kelayakan dan risiko yang dapat diterima; apabila
terjadi keterlambatan pembayaran oleh konsumen, harus segera dilakukan
analisis dan dilakukan restrukturisasi; diperlukan diversifikasi
pembiayaan kepada konsumen agar tidak terjadi penumpkan risiko hanya
pada beberapa konsumen tertentu.
4. Permodalan antara lain secara bertahap perusahaan perlu melakukan
penambahan modal disetor dari para pemegang saham. Peraturan Menteri
Keuangan No. 84/ PMK.012/ 2006 tanggal 29 September 2006 tidak
mewajibkan menyesuaikan persyaratan modal disetor bagi perusahaan
pembiayaan yang telah berdiri sebelum peraturan Menkeu tersebut
dikeluarkan. Namun mengingat risiko usaha pembiayaan yang tinngi,
dikhawatirkan pemerintah akan terus melakukan serangkaian kebijakan
untuk mengatur perusahaan pembiayaan.
5. Sumber daya insani antara lain diperlukan sumber daya manusia yang
berkualitas agar dapat melakukan marketing, menganalisis risiko, dan
melakukan perbaikan jika terjadi risiko gagal bayar dari konsumen; perlu
dilakukan training untuk memperkuat jajaran marketing dan analisis
risiko, sehingga dapat diperoleh nasabah yang potensial; perlu
diperhatikan kemampuan untuk membangun untuk membangun dan
menjaga corporate image agar menarik minat konsumen.11
D. Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syari’ah
1. Sewa Guna Usaha (Leasing) Syari’ah
a. Definisi
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan, yang dimaksud dengan Sewa Guna
Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan

11
Al-Arif, Lembaga Keuangan Syari’ah : Suatu Kajian Teoretis Praktis, hlm. 129-130.

9
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance
lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk
digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran (Pasal 1 huruf c). 12
Sedangkan yang dimaksud dengan sewa guna usaha (Leasing)
syari’ah adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi maupun sewa guna
usaha tanpa hak opsi untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai
dengan prinsip syari’ah.13
b. Mekanisme Sewa Guna Usaha (Leasing) Syari’ah
Ditinjau dari teknis pelaksanaannya, transaksi sewa guna usaha
(leasing) dapat dibedakan menjadi: (a) sewa guna usaha langsung (direct
lease). Dalam leasing jenis ini, penyewa belum pernah memiliki barang
modal yang akan disewakan, sehingga perlu menghubungi supplier untuk
pengadaan. (b) penjualan dan penyewaan kembali (sale and leaseback).
Dalam transaksi ini, pihak penyewa biasanya terlebih dahulu menjual
kepada perusahaan leasing barang modal yang pernah dimilikinya, baru
kemudian disewanya kembali.
Untuk mengetahui mekanisme lembaga sewa guna usaha (leasing),
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Lesse bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan,
mngadakan penawaran harga, dan menunjuk supplier peralatan
dimaksud.
2) Setelah mengisi formulir permohonan, lesse mengirimkan kepada
lessor disertai dokumen pelengkap.
3) Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan member
fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lesse (lama
kontrak pembayaran sewa), maka kontrak lease dapat ditandatangani.

12
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
hlm. 185.
13
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 349.

10
4) Pada saat yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi
untuk peralatan yang dilease dengan perusahaan asuransi yang
disetujui lessor, seperti tercantum pada kontrak lease. Antara lessor
dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
5) Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan
supplier peralatan tersebut.
6) Supplier dapat mengirim peralatan yang dilease ke lokasi lesse. Untuk
mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier
akan menandatangani perjanjian pelayanan purna jual.
7) Lease menandatangani tanda terima peralatan dan penyerahan kepada
supplier.
8) Supplier menyerahkan tanda terima (dari lesse), bukti pemilikan dan
pemindahan pemilikan kepada lessor.
9) Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
10) Lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal
pembayaran yang telah ditentukan lease.14

Skema :

e a

h SUPPLIER f

i g

LESSOR c LESSOR
j

d d
PERUSAHAAN
ASURANSI

14
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 188-189.

11
c. Pihak-pihak dalam Sewa Guna Usaha (Leasing) Syari’ah
Dalam setiap transaksi leasing terdapat paling tidak 5 pihak yang
berkepentingan, yaitu:
1) Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang dan dapat terdiri dari
beberapa perusahaan. Lessor dalam financial lease bertujuan untuk
mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai
penyediaan barang modal dengan mendapatkan keuntungan.
Sedangkan dalam operating lease, lessor bertujuan mendapatkan
keuntungan dari penyediaan barang serta pemberian jasa-jasa yang
berkenaan dengan pemeliharaan serta pengoperasian barang modal
tersebut.
2) Lessee adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan
dalam bentuk barang modal dari lessor. Lessee dalam financial lease
bertujuan mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan
dengan cara pembayaran angsuran atau berkala. Dalam operating
lease, lessee dapat memenuhi kebutuhan peralatannya disamping
tenaga operator dan perawatan alat tersebut tanpa risiko bagi lessee
terhadap kerusakan.
3) Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau
menyediakan barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran
secara tunai oleh lessor. Dalam mekanisme financial lease, supplier
langsung menyerahkan barang kepada lessee tanpa melalui pihak
lessor sebagai pihak yang memberikan pembiayaan. Sebaliknya,
dalam operating lease, supplier menjual barangnya langsung kepada
lessor dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak, yaitu secara tunai ataupun secara berkala.
4) Bank terlibat secara tidak langsung dalam kontrak tersebut, namun
pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada
lessor terutama dalam mekanisme leverage lease dimana sumber dana
pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank. Pihak supplier juga
kemungkinan menerima kredit dari bank untuk memperoleh barang
yang nantinya dijual sebagai objek leasing kepada lessee atau lessor.

12
Untuk leasing syari’ah bank yang menyediakan dana, wajib melalui
bank dengan prinsip syari’ah juga. 15
5) Asuransi merupakan perusahaan yang akan menanggung risiko
terhadap perjanjian antara lessor dengan lessee. Dimana dalam hal
lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka
perusahaan akan menanggung risiko dari barang yang di leasingkan
sebesar sesuai dengan perjanjian. Untuk usaha leasing syari’ah, objek
yang diasuransikan wajib diasuransikan pada perusahaan asuransi
dengan prinsip syari’ah juga.16
d. Ketentuan Syari’ah terhadap Sewa Guna Usaha (Leasing)
Akad yang digunakan dalam perjanjian sewa guna usaha berdasarkan
prinsip syari’ah ialah Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bitamlik (pasal 6 huruf
a). Berdasarkan Fatwa Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000, ketentuan
pembiayaan sewa menyewa (ijarah) ialah sebagai berikut: 17
Pertama : Rukun dan syarat Ijarah
1) Sighot Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah
pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2) Pihak-pihak yang berakad yaitu terdiri atas pemberi sewa dan
penyewa.
3) Objek akad Ijarah, yaitu manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa
dan upah.
Kedua : Ketentuan objek Ijarah
1) Objek ijarah, adalah manfaat dari penggunaan barang dan /jasa.
2) Manfaat barang atau jasa harus bisa diniliai dan dapat dilaksanakan
dalam kontrak.
3) Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat yang dibolehkan.
4) Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan
syari’ah.

15
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 349-350.
16
Ibid. 351.
17
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 190.

13
5) Manfaat harus dikenali secara spesifik sedimikian rupa untuk
menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan
sengketa
6) Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka
waktunya.
7) Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah
kepada lembaga keuangan syari’ah sebagai pembayaran manfaat
8) Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa.
9) Kelenturan dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan
dalam ukuran waktu, tempat, jarak.18
Ketiga : Hak dan Kewajiban Pembiayaan Ijarah
1) Kewajiban Lembaga Keuangan Syari’ah sebagai pemberi manfaat
barang atau jasa : (a) Menyediakan barang yang disewakan atau jasa
yang diberikan; (b) Menanggung biaya pemeliharaan barang; (c)
Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2) Kewajiban nassbah sebagai penerima manfaat barang atau jasa : (a)
Membayar sewa atau upah (ujrah) dan bertanggungjawab untuk
menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad
(kontrak); (b) Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya
ringan (tidak materiil); (c) Jika barang yang disewa rusak, bukan
karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan
karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak
bertanggung jawab atas kerusakan itu.
Keempat : Penyelesaian Sengketa
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbritasi Syari’ah (atau Peradilan Agama) setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Dalam perjanjian leasing, akad ijarah muntahiyah bitamlik / IMBT
hanya dapat diterapkan apabila hak opsi untuk sewa beli (hire purcahse)
digunakan oleh pihak penyewa (lesse), maka akad yang diterapkan cukup

18
Ibid. 191.

14
perjanjian sewa menyewa (ijarah) saja tanpa diikuti sewa beli untuk
pemindahan kepemilikan (muntahiyah bitamlik). Menurut fatwa No:
27/DSN-MUI/III/2002, ketentuan IMBT adalah sebagai berikut:19
Pertama : Ketentuan Umum
1) Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula
dalam akad ijarah muntahiyah bitamlik.
2) Perjanjian untuk melakukan akad ijarah muntahiyah bitamlik harus
disepakati ketika akad ijarah ditandatangani.
3) Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Kedua : Ketentuan tentang al-ijarah muntahiyah bitamlik
1) Pihak yang melakukan ijarah muntahiyah bitamlik harus
melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan
kepemilikan,baik dengan jual beli atau pemberian hanya dapat
dilakukan setelah akad ijarah selesai.
2) Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati diawal akad ijarah
adalah wa’ad yang hukumnya tidak mengikat.
Ketiga : Penyelesaian Sengketa
1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbritasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan ketentuan jika dikemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
2. Anjak Piutang (Factoring) Syari’ah
a. Definisi
Menurut keputusan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Departemen Keuangan (Bapepam-LK) nomor: PER
03/BI/2007, pengertian anjak piutang (factoring) adalah kegiatan
pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut sesuai dengan prinsip syari’ah (pasal 1

19
Ibid. 192.

15
angka 1). Anjak piutang merupakan pengalihan utang yang dilakukan
berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah, yaitu pelimpahan kuasa oleh satu
pihak (al-Muwakkil) kepada pihak lain (al-Wakil) dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (Ujrah) (pasal 8 ayat 3).
b. Para Pihak dalam Factoring
Dari definisi diatas dapat diuraikan, bahwa para pihak yang terlibat
dalam perjanjian anjak piutang (factoring) adalah sebagai berikut :
1) Perusahaan factoring (factoring company) merupakan badan usaha
yang melakukam kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan
atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek
dari suatu perusahaan.
2) Pihak penjual piutang (klien) adalah berupa perusahaan yang menjual
atau mengalihkan atau tagihannya kepada perusahaan factoring.
3) Nasabah (customer), merupakan pihak yang berhutang kepada klien,
sehingga piutang tersebut oleh klien akan dijual atau dialihkan kepada
factoring.20
c. Mekanisme Factoring
Maksud mekanisme factoring adalah meliputi proses bagaimana cara
penawaran piutang, beralihnya piutang, hingga pelunasannya. Adapun
mekanisme factoring secara lebih lanjut adalah sebagai berikut :

Skema Mekanisme Factoring :

PENJUAL BARANG, a PEMBELI BARANG,


selanjutnya dalam selanjutnya dalam
b
factoring disebut factoring disebut
KLIEN c CUSTOMER

d
PERUSAHAAN
e FACTORING, g
selanjutnya disebut
f
FACTOR

20
Ibid. 193-194.

16
Keterangan :
1) Penjual (klien) menjual barang kepada pembeli (customer) secara
kredit dengan jangka waktu pendek.
2) Untuk kepentingan dana segar (cash flow), penjual (klien) meminta
persetujuan kepada pembeli (customer) untuk menjual piutang
tersebut kepada perusahaan pembiayaan (factoring).
3) Pembeli barang (customer) menyetujui pemindahan hak menagih dari
penjual (klien) kepada pembeli.
4) Data mengenai piutang yang berasal dari penjualan klien
diteruskan/dipindahkan ke factor.
5) Atas dasar itu, maka dibuatlah perjanjian factoring antara penjual
(klien) dengan pembeli (factor).
6) Factor membayar kepada klien dengan harga diskonto tertentu.
7) Pembeli (customer) setelah jangka waktu jatuh temponya perjanjian
jual beli kredit membayar utang kepada factor. 21
d. Ketentuan Syari’ah terhadap Anjak Piutang (Factoring)
Menurut fatwa No. 67/DSN-MUI/III/2008, ketentuan akad anjak
piutang dengan prinsip syari’ah dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Akad yang dapat digunakan dalam anjak piutang secara syari’ah
adalah Wakalah bil Ujrah.
2) Pihak yang berpiutang mewakilkan kepada pihak lain untuk
melakukan pengurusan dokumen-dokumen penjualan kemudian
menagih piutang kepada pihak yang berhutang atau pihak lain yang
ditunjuk oleh pihak yang berhutang.
3) Pihak yang ditunjuk menjadi wakil dari yang berpiutang untuk
melakukan penagihan (collection) kepada pihak yang berutang atau
pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang untuk membayar.
4) Pihak yang ditunjuk menjadi wakil dapat memberikan dana talangan
(qardh) kepada pihak yang berpiutang sebesar nilai piutang.
5) Atas jasanya untuk melakukan penagihan piutang tersebut, pihak yang
ditunjuk menjadi wakil dapat memperoleh Ujrah/fee.

21
Ibid. 195.

17
6) Besar ujrah harus disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam
bentuk nominal, bukan dalam bentuk persentase yang dihitung dari
pokok piutang.
7) Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan atau sesuai
kesepakatan dalam akad.
8) Antara akad wakalah bil ujrah dan akad qardh, tidak dibolehkan
adanya keterkaitan (ta'alluq).22
3. Pembiayaan Konsumen Syari’ah
a. Definisi
Menurut peraturan Bapepam-LK No. PER-03/BL/2007 tentang
kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah, pengertian
pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan
untuk mengadakan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran sesuai dengan prinsip syari’ah (pasal 1
angka 6).
Perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syari’ah wajib memiliki dewan pengawas syari’ah
(DPS) yang terdiri dari paling kurang dua orang anggota dan satu orang
ketua. Anggota DPS diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas
rekomendasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI). DPS bertugas memberikan
nasehat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syari’ah kegiatan
operasional perusahaan pembiayaan dan sebagai mediator antara
perusahaan pembiayaan dengan DSN-MUI.23
b. Prinsip Operasional
Pada prinsipnya pembiayaan konsumen dilakukan berdasarkan akad
murabahah, salam dan istisna’.
1) Fitur dan Mekanisme Pembiayaan Konsumen dengan Akad
Murabahah
a. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang
dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli

22
Ibid. 198-199.
23
Ibid. 207.

18
dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih
sebagai laba;
b. Murabahah dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan;
c. Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan, perusahaan
pembiayaan sebagai penjual melakukan pembelian barang setelah ada
pemesanan dari konsumen sebagai pembeli;
d. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat atau tidak
mengikat pihak yang berutang untuk membeli barang yang di
pesannya;
e. Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan bersifat
mengikat, konsumen sebagai pembeli tidak dapat membatalkan
pesanannya;
f. Hak perusahaan pembiayaan antara lain:
1. Memperoleh pembayaran dari konsumen sebesar harganya secara
angsuran sesuai yang diperjanjikan;
2. Mengambil kembali objek Murabahah apabila konsumen sebagai
pembeli (musytari) tidak mampu membayar angsuran sebagaimana
diperjanjikan; dan
3. Menentukan penyedia barang dalam pembelian objek Murabahah.
g. Kewajiban perusahaan sebagai penjual, antara lain:
1. Menyediakan objek Murabahah sesuai yang disepakati bersama
dengan konsumen sebagai pembeli; dan
2. Menjamin objek Murabahah tidak terdapat cacat dan dapat
berfungsi dengan baik.
h. Hak dan kewajiban konsumen, antara lain:
1. Menerima objek Murabahah dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan;
2. Membayar angsuran dan biaya-biaya lainnya sesuai yang
diperjanjikan; dan
3. Mengembalikan atau menitipjualkan objek yang dibiayai.
i. Objek Murabahah harus memenuhi ketentuan paling kurang: (1)
Dapat dinilai dengan uang; (2) Dapat diterima oleh konsumen; (3)

19
Tidak dilarang oleh syari’ah Islam; dan (4) Spesifikasinya harus
dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, dan
jangka waktu pemanfaatannya.
j. Persyaratan penetapan harga barang dalam Murabahah wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan harga jual ditetapkan diawal perjanjian dan tidak boleh
berubah selama waktu perjanjian;
2. Pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau
angsuran;
3. Diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara
pembayaran yang berbeda; dan
4. Harga yang disepakati adalah harga jual sedangkan harga beli harus
diberitahukan kepada konsumen.
k. Persyaratan penetapan uang muka dalam Murabahah wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1. Perusahaan pembiayaan diperbolehkan meminta konsumen untuk
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan;
2. Dalam hal konsumen menolak untuk membeli barang tersebut,
maka biaya riil perusahaan pembiayaan harus dibayar dari uang
muka tersebut; dan
3. Dalam hal nilai uang muka lebih kecil dari kerugian yang harus
ditanggung oleh perusahaan pembiayaan, maka perusahaan
pembiayaan dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada
konsumen. 24
l. Persyaratan mengenai pengakhiran transaksi Murabahah sebelum
jatuh tempo wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Dalam hal konsumen dalam Murabahah melakukan pelunasan
pembayaran lebih cepat dari waktu yang telah disepakati,
perusahan pembiayaan diperbolehkan memberikan potongan dari

24
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 367-369.

20
kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan
dalam akad Murabahah; dan
2. Besarnya potongan diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan
perusahaan pembiayaan.
m. Apabila konsumen telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan
utang dalam Murabahah, maka perusahaan pembiayaan wajib
menunda tagihan utang sampai dengan konsumen ia menjadi sanggup
kembali membayar tagihan utang atau adanya penyelesaian
berdasarkan kesepakatan bersama.
n. Persyaratan penetapan sanksi dalam Murabahah harus sesuai
ketentuan ketentuan sebagai berikut:
1. Konsumen yang mampu, namun menunda-nunda pembayaran dan/
atau tidak mempunyai kemauan dan iktikad baik untuk membayar
angsuran dapat dikenakan sanksi;
2. Sanksi dapat berupa denda sosial (ta’zir) ataupun ganti rugi
(ta’widh) berdasarkan atas sebab tertundanya pembayaran dan
akibat yang ditimbulkan dari penundaan tersebut;
3. Konsumen yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan
keadaan memaksa tidak dapat dikenakan sanksi.
o. Dalam kontrak akad Murabahah paling kurang memuat hal-hal
sebagai berikut:
1. Identitas perusahaan pembiayaan dan konsumen;
2. Spesifikasi objek Murabahah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran,
dan tipe;
3. Harga jual, harga beli, dan cara pembayaran angsuran;
4. Jangka waktu;
5. Ketentuan jaminan dan asuransi;
6. Ketentuan mengenai uang muka;
7. Ketentuan mengenai diskon / potongan;
8. Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh
tempo;

21
9. Ketentuan mengenai wanprestasi dan sanksi bagi konsumen yang
menunda pembayaran angsuran; dan
10. Hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
p. Dokumentasi dalam Murabahah oleh perusahaan pembiayaan paling
kurang meliputi:
1. Surat persetujuan prinsip;
2. Surat permohonan realisasi Murabahah;
3. Akad Wakalah (bila diperlukan);
4. Tanda terima uang konsumen, dalam hal perusahaan pembiayaan
mewakilkan kepada konsumen melalui Wakalah;
5. Akad Murabahah;
6. Perjanjian pengikatan jaminan; dan
7. Tanda terima barang.
2) Fitur dan Mekanisme Pembiayaan Konsumen dengan Akad
Salam
a. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan
cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-
syarat tertentu yang disepakati para pihak;
b. Dalam pelaksanaan transaksi Salam, wajib ditetapkan spesifikasi,
waktu dan tempat barang akan diterima;
c. Transaksi Salam wajib di dahului dengan akad pembiayaan pengadaan
barang pesanan antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen atas
suatu produk yang di kehendaki (pesanan);25
d. Akad pembiayaan pengadaan barang pesanan bersifat independen dan
terpisah dengan akad Salam yang dilakukan antara perusahaan
pembiayaan dan produsen;
e. Hak perusahaan pembiayaan dalam transaksi Salam, antara lain
adalah:
1. Menerima barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaan baik dan
tidak cacat sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan;

25
Ibid. 370-371.

22
2. Menerima barang pesanan pada waktu dan tempat sesuai yang
diperjanjikan;
3. Menerima penggantian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan
sehubungan transaksi Salam, apabila produsen sebagai penjual
ingkar janji; dan
4. Membayar barang pesanan sesuai dengan harga yang disepakati.
f. Hak dan kewajiban produsen dalam transaksi Salam, antara lain:
1. Memperoleh pembayaran di muka atas harga barang pesanan dari
perusahaan pembiayaan;
2. Menyerahkan barang pesanan dalam keadaan baik dan tidak cacat
sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan;
3. Menyerahkan barang pesanan pada waktu dan tempat sesuai yang
diperjanjikan; dan
4. Menanggung seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan
perusahaan pembiayaan, dalam hal produsen ingkar janji.
g. Barang pesanan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Barang yang halal;
2. Dapat diakui sebagai utang;
3. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
4. Penyerahannya dilakukan kemudian;
5. Waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan; dan
6. Tidak boleh ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
h. Penyerahan barang pesanan harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1. Produsen harus menyerahkan barang pesanan tepat pada waktunya
sesuai dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati;
2. Dalam hal produsen menyerahkan barang pesanan dengan kualitas
yang lebih tinggi, produsen tidak boleh meminta tambahan harga;
3. Dalam hal produsen menyerahkan barang pesanan dengan kualitas
yang lebih rendah dan perusahaan pembiayaan rela menerimanya,

23
maka perusahaan pembiayaan tidak diperbolehkan menuntut
pengurangan harga (diskon);
4. Produsen dapat menyerahkan barang pesanan lebih cepat dari
waktu yang disepakati dengan kualitas dan jumlah barang pesanan
sesuai dengan kesepakatan dan tidak diperbolehkan menuntut
tambahan harga; dan
5. Dalam hal semua atau sebagian barang pesanan tidak tersedia pada
waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan perusahaan
pembiayaan tidak rela menerimanya, maka perusahaan pembiayaan
memiliki dua pilihan, yaitu membatalkan kontrak dan meminta
kembali pembayaran yang telah dilakukan; atau menunggu sampai
barang pesanan tersedia.
i. Penetapan harga barang pesanan wajib ditetapkan sesuai kesepakatan
dan tidak diperbolehkan berubah selama masa akad. 26
j. Pembayaran harga barang pesanan dilakukan secara penuh dan tunai
oleh perusahaan pembiayaan kepada produsen pada saat perjanjian
disepakati.
k. Dalam kontrak akad Salam paling kurang memuat hal-hal sebagai
berikut:
1. Identitas perusahaan pembiayaan dan produsen;
2. Spesifikasi barang pesanan meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran,
tipe dan mutu barang;
3. Waktu dan lokasi penyerahan barang pesanan;
4. Harga barang pesanan dan cara pembayarannya;
5. Ketentuan jaminan dan asuransi atas barang pesanan;
6. Jangka waktu Salam;
7. Ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-
masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak
berfungsinya barang pesanan; dan
8. Hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.

26
Ibid. 372-373.

24
3) Fitur dan Mekanisme Pembiayaan Konsumen dengan Akad
Istishna’
a. Istishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan dan penjual dengan harga yang disepakati
bersama oleh para pihak;
b. Dalam pelaksanaan transaksi Istishna’, perusahaan pembiayaan dapat
bertindak sebagai pembeli untuk memesan kepada produsen sebagai
pembuat untuk menyediakan objek Istishna’ dengan akad Istishna’;
c. Hak dan kewajiban perusahaan pembiayaan antara lain adalah:
1. Memperoleh pembayaran dari konsumen atau pemesan sebesar
harga jual barang secara angsuran sesuai yang diperjanjikan;
2. Mengambil kembai objek Istishna’ apabila konsumen sebagai
pembeli atau pemesan tidak mampu membayar angsuran
sebagaimana diperjanjikan;
3. Menentukan produsen sebagai pembuat dalam pemesanan objek
Istishna’;
4. Menyediakan objek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi yang
disepakati bersama dengan konsumen sebagai pembeli atau
pemesan; dan
5. Menjamin objek Istishna’ tidak cacat dan berfungsi.
d. Hak dan kewajiban produsen sebagai pembuat adalah:
1. Memperoleh pembayaran dari perusahaan pembiayaan sesuai yang
diperjanjikan;
2. Menyediakan objek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi yang
disepakati bersama dengan perusahaan pembiayaan;
3. Menjamin objek Istishna’ tidak cacat;
4. Menyediakan objek Istishna’ sesuai dengan waktu yang
diperjanjikan.
e. Hak dan kewajiban konsumen antara lain:
1. Menerima objek Istishna’ dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan sesuai spesifikasi yang diperjanjikan;

25
2. Menerima objek Istishna’ sesuai dengan waktu yang diperjanjikan;
dan
3. Membayar angsuran dan biaya-biaya lainnya sesuai yang
diperjanjikan.
f. Objek Istishna’ harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Barang yang halal;
2. Dapat diakui sebagai utang;
3. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
4. Penyerahannya dilakukan kemudian;
5. Waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan; dan
6. Tidak boleh ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau tidak sesuai kesepakatan maka
pemesan memiliki hak memilih untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.
g. Penetapan harga jual atas objek Istishna’ wajib ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dan konsumen sebagai
pembeli atau pemesan di awal perjanjian dan tidak boleh berubah
selama masa Istishna’.
h. Konsumen dapat melakukan pembayaran cicilan pembiayaan objek
Istishna’ atas pemesanan barang sejak akad ditandatangani atau
dengan cara pembayaran lain yang disepakati bersama.
i. Dalam Istishna’ paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Identitas perusahaan pembiayaan dan konsumen;
2. Spesifikasi objek Istishna’ meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran,
tipe dan kualitas objek Istishna’;
3. Harga jual dan cara pembayarannya;
4. Ketentuan jaminan dan asuransi;
5. Jangka waktu; 27
6. Lokasi dan waktu penyerahan;

27
ibid. 374-376.

26
7. Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh
tempo;
8. Ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-
masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan, atau tidak
berfungsinya objek Istishna’; dan
9. Hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
j. Dokumentasi dalam Istishna’ oleh perusahaan pembiayaan paling
kurang meliputi:
1. Surat kesanggupan menyelesaikan barang pesanan dari produsen
sebagai pembuat;
2. Surat persetujuan prinsip dari perusahaan pembiayaan;
3. Akad Istishna’;
4. Perjanjian pengikatan jaminan;
5. Barang / objek pesanan;
6. Surat permohonan realisasi Istishna’;
7. Tanda terima uang dari produsen sebagai pembuat; dan
8. Tanda terima barang oleh konsumen sebagai pembeli atau
pemesan.
c. Prosedur Pembiayaan Konsumen Syari’ah
Secara umum prosedur pembiayaan konsumen syar’ah dilakukan sebagai
berikut:
1) Pihak konsumen menghubungi perusahaan pembiayaan untuk
mengajukan permohonan pembiayaan yang bersifat konsumtif.
2) Perusahaan pembiayaan dan konsumen menyepakati kontrak sesuai
dengan akad yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dalam
dokumen tertulis yang tersedia yang secara jelas menerangkan syarat
dan ketentuan yang disepakati.
3) Penyerahan barang kepada konsumen sesuai dengan permohonan
konsumen.
4) Konsumen membayar kepada perusahaan pembiayaan sesuai dengan
kesepakatan kontrak.28

28
Ibid. 377-378.

27
4. Usaha Kartu Kredit
a. Definisi
Kartu kredit (credit card) adalah kartu yang dikeluarkan oleh bank
atau lembaga keuangan tertentu kepada pengguna sehingga dapat
membeli barang dan atau jasa dari perusahaan yang menerima kartu
tersebut tanpa pembayaran uang secara tunai (utang).
Sedangkan menurut keputusan Bapepam-LK No. PER-03/BI/2007
tentang kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah,
yang dimaksud dengan usaha kartu kredit adalah fasilitas jaminan
pembayaran untuk pembelian barang dan atau jasa dengan menggunakan
kartu kredit sesuai dengan prinsip syari’ah (pasal 1 angka 10). Prinsip
syari’ah adalah ketentuan hukum islam yang menjadi pedoman dalam
kegiatan operasional perusahaan dan transaksi antara lembaga keuangan
atau lembaga bisnis syari’ah dengan pihak lain yang telah dan akan diatur
oleh DSN-MUI (pasal 1 angka 8).29
b. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kartu Kredit
Pihak-pihak yang terkait dengan penerbitan dan penggunaan kartu kredit,
yaitu:
1) Bank atau perusahaan pembiayaan baik sebagai penerbit dan
pengelola kartu (mushdir al-bithaqah/issuer). Perusahaan yang khusus
akan menerbitkan kartu harus terlebih dahulu memperoleh izin dari
Departemen Keuangan, dan pada bank, maka harus mengikuti
ketentuan Bank Indonesia.
2) Penjual (tajir atau qabil al-bithaqah/mercahant), yaitu pihak penjual
barang dan jasa yang dibeli oleh pemilik kartu dengan menggunakan
kartu tersebut. Sebagai tempat belanja, seperti hotel, super market,
restoran, dan tempat-tempat lainnya di mana bank mengikat
perjanjian.
3) Pemegang kartu (hamil al-bithaqah/card holder), yaitu nasabah yang
namanya tertera dalam kartu tersebut dan yang berhak
menggunakannya untuk berbagai keperluan transaksi.

29
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 199-200.

28
4) Pengelola (acquirer), yaitu pihak yang mewakili kepentingan penerbit
kartu untuk menyalurkan kartu kredit, melakukan penagihan pada
pemilik kartu, melakukan pembayaran kepada pihak merchant.30
c. Mekanisme Transaksi Kartu Kredit
Untuk dapat menjalankan transaksi kartu kredit dengan sebuah
terminal point of sale (POS) elektronik memiliki merchant, ada beberapa
proses yang perlu dilalui, yaitu:
1) Proses Otorisasi
 Merchant mengkalkulasi jumlah harga pembelian dan meminta
cardholder untuk menyerahkan kartu kreditnya yang akan
digesekkan pada terminal poin of sale.
 Informasi mengenai pembelian serta pita magnetik tersebut
dikirim acquirer untuk diotoritasi.
 Acquirer selanjutnya akan melakukan otoritas ke issuer melalui
jaringan kartu kredit.
 Setelah memeriksa validitas informasi kartu kredit itu, kemudian
issuer akan mengirimkan “kode otoritasi” kembali ke acquirer.
 Acquirer selanjutnya mengirimkan “kode otoritasi” itu kepada
merchant yang akan mengesahkan transaksi tersebut.
 Merchant juga meminta cardholder untuk menanda tangani slip
(sale draft) yang tercetak.
2) Proses Capture and Interchange Issuere-Acquirer
 Merchant mengirimkan seluruh transaksi kartu kredit yang sudah
diotoritasi kepada acquirer agar accountnya dikredit.
 Kemudian acquirer melakukan apa yang disebut interchange
dengan issuer. Proses ini mirip dengan proses kliring antar bank.
Issuer akan mentransfer dana sebesar sale draft kepada acquirer
akan dikenakan biaya yang disebut discount fee.
 Acquirer mendepositokan uang sebesar nilai sale draft pada
account milik merchant, setelah dikurangi biaya (tanggungan
merchant) yang disebut discount fee.

30
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 380.

29
3) Proses Penagihan
Dalam jangka waktu tertentu, biasanya setiap bulannya, issuer
akan melakukan penagihan terhadap transaksi yang telah dilakukan
oleh cardholder.31
d. Karakteristik Kartu Kredit Syari’ah
Diterbitkannya Kartu Kredit Syari’ah mendapat tempat di kalangan
masyarakat dengan keluarnya surat izin oleh Bank Indonesia Nomor
9/183/DPbS/2007 dan Fatwa DSN-MUI No. 42/DSN-MUI/V/2004
tentang kartu kredit syari’ah serta Fatwa DSN-MUI Nomor 54/DSN-
MUI/X/2006 tentang Syari’ah Card.
Usaha kartu syari’ah yang dilakukan sesuai dengan prinsip syari’ah
adalah fasilitas jaminan pembayaran untuk pembelian barang dan jasa
dengan menggunakan kartu sesuai dengan prinsip syari’ah.Adapun akad
yang digunakan dalam penggunaan kartu tersebut adalah akad kafalah,
qardh, dan ijarah.
1) Kafalah dalam hal ini penerbit kartu adalah penjamin bgi pemegang
kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar yang timbul dari
transaksi antara pemegang kartu dengan merchant, dan penarikan
tunai dari selain bank atau ATM bank penerbit kartu. Atas pemberian
kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee.
2) Qardh dalam hal ini penerbit kartu adalah pemberi pinjaman kepada
pemegang kartu melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank
penerbit kartu.
3) Ijarah dalam hal ini penerbit kartu adalah penyedia jasa sistem
pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Atas ijarah ini,
pemegang kartu dikenakan membershipfee.
Disamping itu, kartu kredit syari’ah memiliki batasan-batasan, yaitu:
1) Tidak menimbulkan riba;
2) Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syari’ah;
3) Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan, dengan cara antara
lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan;

31
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 205-207.

30
4) Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk
melunasi pada waktunya;
5) Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syari’ah.32
E. Perbedaan Perusahaan Pembiayaan Konvensional dengan Perusahaan
Pembiayaan Syari’ah
Secara ringkas, perbedaan secara garis besar antara perusahaan
pembiayaan konvensional dengan perusahaan pembiayaan syari’ah dapat
sajikan pada tabel berikut: 33
Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan
Konvensional Syar’ah
Sifatnya kredit Sifatnya jual beli
Menggunakan bunga sebagai Menggunakan akad Murabahah
instrumen dalam memperoleh dalam memperoleh keuntungan, yaitu
keuntungan harga pokok + keuntungan yang
disepakati
Tidak terdapat Dewan Pengawas Adanya Dewan Pengawas Syari’ah
Syari’ah dalam struktur organisasi. dalam struktur organisasi perusahaan
sebagai pengawas dan monitoring
terhadap operasional perusahaan
Eksistensi bunga diragukan. Tidak ada yang meragukan
keabsahan bagi hasil
F. Profil Perusahaan
PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk atau Adira Finance didirikan pada
tahun 1990 dan mulai beroperasi pada tahun 1991. Adira Finance hadir untuk
melayani beragam pembiayaan seperti kendaraan bermotor baik baru ataupun
bekas. Melihat adanya potensi ini, Adira Finance mulai melakukan
penawaran umum melalui sahamnya pada tahun 2004 dan Bank Danamon
menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 75%. Melalui beberapa tindakan
korporasi, saat ini Bank Danamon memiliki kepemilikan saham sebesar

32
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 380-381.
33
Rachmat, “Studi Perbandingan Lembaga Pembiayaan antara Pembiayaan Multifinance
Syari’ah dan Pembiayaan Konvensional pada PT. Federal International Finance (FIF)”, (Skripsi,
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), hlm., 58.

31
92,07% atas Adira Finance. Adira Finance pun menjadi bagian Temasek
Holdings yang merupakan perusahaan investasi plat merah asal Singapura.
Pada 2012, Adira Finance menambah ruang lingkup kegiatannya dengan
pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah. Demi memberikan pengalaman
layanan pembiayaan yang maksimal, Perusahaan pun mulai menyediakan
produk pembiayaan durables bagi konsumennya. Hingga tahun 2015, Adira
Finance mengoperasikan 558 jaringan usaha di seluruh Indonesia dengan
didukung oleh lebih dari 21 ribu karyawan, untuk melayani 3 juta konsumen
dengan jumlah piutang yang dikelola lebih dari Rp40 triliun. 34
PT Adira Finance cabang Pamekasan berlokasi di jalan Pintu Gerbang No.
90. Pembiayaan konsumen berbasis syar’ah telah ada sejak tahun 2013 di
Pamekasan untuk pembiayaan kendaraan bermotor. Dana untuk pembiayaan
syari’ah masih menyatu dengan yang konvensional. Dana didapat dari
pemilik perusahaan dan akuisisi Bank Danamon. Berikut tabel perbedaan
pembiayaan syari’ah dengan pembiayaan konvensional PT Adira Finance
cabang Pamekasan.
Pembiayaan Syari’ah Pembiayaan Konvensional
Pinjaman kredit menggunakan akad Pinjaman kredit menggunakan
murabahah prinsip bunga
Pembayaran angsuran menggunakan Besar angsuran menggunakan flat
flat rate. Apabila menunggak lebih 1 rate. Apabila menunggak lebih 1 hari
hari dari tanggal jatuh tempo, maka dari tanggal jatuh tempo, maka
dikenakan biaya sanksi keterlambatan dikenakan denda 2,5 % dari besarnya
2,5 % dari besarnya angsuran per angsuran per hari.
hari.
G. Tantangan Perusahaan Pembiayaan Syari’ah
Segmen pembiayaan syari’ah masih menghadapi tantangan di tahun ini.
Hal tersebut tercermin dari angka outstanding pembiayaan syari’ah yang
masih turun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sampai Juli 2018,
outstanding pembiayaan syari’ah mencapai Rp 23 triliun. Sementara pada
periode yang sama di tahun lalu, outstanding pembiayaan syari’ah masih

34
https://adira.co.id/sekilas-adira-finance, diakses pada 23 November 2018.

32
sebesar Rp 33,3 triliun. Artinya secara tahunan, nilai outstanding pembiayaan
syari’ah melorot sampai 30,9%.
Bisnis pembiayaan syari’ah sebenarnya masih memiliki potensi yang besar
untuk dieksplorasi. Namun masih ada sejumlah tantangan yang dihadapi
untuk bisa mengoptimalkan potensi ini. Salah satunya adalah tantangan dari
sisi sumber pendanaan yang masih relatif terbatas. Selain karena hambatan
pendanaan, masalah literasi juga masih jadi tantangan untuk bisa
meningkatkan bisnis pembiayaan syari’ah. 35

35
https://keuangan.kontan.co.id/news/terganjal-sejumlah-tantangan-bisnis-pembiayaan-syari’ah-
masih-tertekan, diakses pada 23 November 2018.

33
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha diluar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga Pembiayaan. Kegiatan usaha lembaga
pembiayaan adalah:
1. Sewa guna usaha (leasing);
2. Anjak Piutang (factoring);
3. Usaha kartu kredit (credit card);
4. Pembiayaan konsumen (consumer finance)
Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah pembiayaan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan pembiayaan
tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Pembinaan dan pengawasan perusahaan pembiayaan syari’ah meliputi :
sumber pendanaan, kegiatan pendanaan, Dewan Pengawas Syar’ah,
pelaporan, prinsip transaksi, pembatasan, dan kualitas aktiva produktif .
Pengelolaan dan pengembangan perusahaan pembiayaan dapat dilakukan
melalui beberapa bidang, yaitu: pemasaran, produk, keuangan, permodalan,
sumber daya insani.
Perbedaan antara perusahaan pembiayaan konvensional dengan
perusahaan pembiayaan syari’ah dapat dilihat dari segi akad yang digunakan,
prinsip, dan keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah.Tantangan yang masih
dihadapi perusahaan pembiayaan syari’ah adalah masalah pendanaan dan
masalah literasi untuk bisa meningkatkan bisnis pembiayaan syari’ah.
B. Saran
Sebagai mahasiswa hendaknya kita mempelajari lebih lanjut mengenai
perusahaan pembiayaan syari’ah dalam lembaga keuangan syari’ah agar
dapat memahami materi dengan baik dan benar. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan menjadi pembelajaran kedepannya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad. Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah. Yogyakarta: UPP STIM


YKPN, 2016.

Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah. Jakarta: Kencana, 2010.

Rasyid, Abdul.“Lembaga Pembiayaan Syari’ah di Indonesia”. Business Law,


diakses dari http://business-law.binus.ac.id/2016/01/27/lembaga-pembiayaan-
syari’ah-di-indonesia.

Al-Arif, M. Nur Arianto. Lembaga Keuangan Syari’ah : Suatu Kajian Teoretis


Praktis. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

S, Burhanuddin. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah. Yogyakarta: Graha


Ilmu, 2010.

Rachmat. “Studi Perbandingan Lembaga Pembiayaan antara Pembiayaan


Multifinance Syari’ah dan Pembiayaan Konvensional pada PT. Federal
International Finance (FIF)”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 2010.

https://adira.co.id/sekilas-adira-finance

https://keuangan.kontan.co.id/news/terganjal-sejumlah-tantangan-bisnis
pembiayaan-syari’ah-masih-tertekan

35

Anda mungkin juga menyukai