Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KLASIFIKASI IKTERUS PADA BAYI USIA 0-2 BULAN

DISUSUN OLEH

NAMA : JUWITA PUSPITA YAMIN

NPM : PK 115017068

KELAS :VB

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA

PALU
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat
penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus
dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya
kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak
dikendalikan.
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat
sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi
“Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya
angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun
2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu
penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin
(lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan
komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka
mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral
palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup.

B. Tujuan

1) Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang kelainan neonatus resiko tinggi yaitu
mengenai ikterus.
2) Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian icterus
b. Untuk mengrtahui klasifikasi icterus
c. Untuk mengetahui penyebab dari ikterus neonatus
d. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari ikterus noenatus
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan ikterus neonates
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis

1. Bayi Baru Lahir

a. Pengertian

Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari usia kehamilan

37 minggu sampai 42 minggu dengan berat badan lahirnya 2500 gram

sampai dengan 4000 gram, lahir langsung menangis, dan tidak ada

kelainan kongenital (cacat bawaan) yang berat (Kosim, 2012).

Bayi baru lahir (neonatus) adalah bayi yang baru mengalami

proses kelahiran berusia 0-28 hari (Marmi dan Rahardjo, 2012).

Bayi baru lahir adalah suatu organisme yang sedang tumbuh,

baru mengalami proses kelahiran, dan harus menyesuaikan diri dari

kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin (Abdoerrachman,

2007).

b. Ciri-Ciri Bayi Baru Lahir Normal

Ciri-ciri bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan

kehamilan aterm antara 37-42 minggu, bayi yang mempunyai berat

badan 2500-4000 gram, panjang badan 48-52 cm, lingkar dada 30-38

cm, lingkar kepala 33-35 cm, frekuensi jantung 120-160 kali/menit,

pernapasan ± 40-60 kali/menit, kulit kemerahan dan licin karena


jaringan sub kutan cukup, rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala

biasanya telah sempurna, kuku agak panjang dan lemas, mempunyai

nilai APGAR >7, bergerak aktif, bayi lahir langsung menangis kuat,

genitalia : perempuan labia mayora sudah menutup labia minora dan

laki-laki testis sudah turun, skrotum sudah ada, reflek (morro, rooting,

sucking, tonicneck, dan babynsky) baik, mekonium keluar dalam 24

jam pertama, dan mekonium berwarna hitam kecoklatan (Dewi, 2010).

c. Perawatan Bayi Baru Lahir Normal

Menurut Saifuddin (2009) penanganan segera pada bayi baru

lahir yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut :

1) Membersihkan jalan napas

Bayi normal akan menangis spontan segera setelah lahir.

Apabila bayi tidak langsung menangis, maka penolong harus

segera membersihkan jalan napas, yaitu dengan meluruskan jalan

napas dan membersihkannya menggunakan jari tangan yang

dibungkus dengan kassa steril.

2) Memotong dan merawat tali pusat

Tali pusat dipotong 5 cm dari dinding perut bayi dengan

gunting steril, kemudian diikat dengan pengikat steril. Apabila

masih terjadi perdarahan dapat dibuat ikatan baru kemudian dibalut

dengan kassa steril.


3) Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Segera setelah bayi lahir dan tali pusat diikat, kemudian bayi

diletakkan tengkurap di dada ibu dengan kulit bayi bersentuhan

langsung ke kulit ibu. Kontak kulit ibu dan bayi ini berlangsung

setidaknya 1 jam atau lebih, bahkan sampai bayi dapat menyusu

sendiri. Bayi diberi topi dan selimut di atasnya agar tetap terjaga

kehangatannya.

4) Mempertahankan suhu tubuh bayi

Pada waktu baru lahir, bayi belum mampu mengatur tetap

suhu badannya dan membutuhkan pengaturan dari luar untuk

membuatnya tetap hangat. Bayi baru lahir harus dibungkus dengan

hangat. Suhu tubuh bayi merupakan tolok ukur kebutuhan akan

tempat tidur yang hangat sampai suhu tubuhnya stabil.

5) Memberi obat tetes/salep mata

Pemberian obat mata eritromisin 0,5 % atau tetrasiklin 1 %

dianjurkan untuk pencegahan penyakit mata karena klamidia

(penyakit menular seksual).

6) Memberi vitamin K

Untuk mencegah terjadinya perdarahan karena defisiensi


vitamin K1, semua bayi baru lahir normal dan cukup bulan perlu
diberi 1 mg vitamin K1 pada sepertiga paha bagian luar secara
intramuskular. Pemberian vitamin K1 yaitu 1 jam setelah IMD.
7) Pemberian imunisasi bayi baru lahir
Imunisasi Hepatitis B0 diberikan 1 jam setelah pemberian
vitamin K1, pada saat bayi berumur 2 jam. Imunisasi Hepatitis B

bermanfaat untuk mencegah infeksi Hepatitis B pada bayi,

terutama jalur penularan ibu ke bayi.

8) Identifikasi bayi

Alat pengenal yang efektif harus diberikan pada setiap bayi

baru lahir dan harus di tempatnya sampai waktu bayi dipulangkan.

Peralatan identifikasi dapat berupa gelang identifikasi yang berisi

nama lengkap ibu, tanggal lahir, jenis kelamin, dan hasil

pengukuran antropometri yang dipasang pada pergelangan tangan

dan atau pergelangan kaki bayi.

2. Ikterus Neonatorum

a. Pengertian

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang

ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi

bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan

mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl

(Kosim, 2012).

Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lainnya

akibat adanya penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini

merupakan tanda penting dari penyakit hati atau kelainan fungsi hati,

saluran empedu, dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah


melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus

ikterus masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah

melampaui 5 mg%. Ikterus terjadi karena adanya peninggian kadar

bilirubin indirek (unconjugated) dan atau kadar bilirubin direk

(conjugated) (Hasan dan Alatas, 2007).

b. Klasifikasi

1) Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis adalah suatu proses normal yang terlihat

pada sekitar 40-50 % bayi aterm/cukup bulan dan sampai dengan

80 % bayi prematur dalam minggu pertama kehidupan. Ikterus

fisiologis adalah perubahan transisional yang memicu

pembentukan bilirubin secara berlebihan di dalam darah yang

menyebabkan bayi berwarna ikterus atau kuning (Kosim, 2012).

Menurut Ridha (2014) ikterus fisiologis memiliki tanda-

tanda, antara lain sebagai berikut :

a) Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah

bayi lahir dan tampak jelas pada hari kelima sampai keenam

dan menghilang sampai hari kesepuluh.

b) Kadar bilirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dl pada neonatus

kurang bulan dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.

c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg/dl

per hari.

d) Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl.


e) Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang

berpotensi menjadi kern icterus (ensefalopati biliaris adalah

suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada

otak).

2) Ikterus Patologis

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar

patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut

hiperbilirubinemia (Saifuddin, 2009).

Menurut Kosim (2012) ikterus patologis tidak mudah

dibedakan dari ikterus fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan

petunjuk untuk tindak lanjutnya sebagai berikut :

a) Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam.

b) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan

fototerapi.

c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dl pada neonatus

kurang bulan dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.

d) Peningkatan bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.

e) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi

muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang

cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil.

f) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau

setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.


g) Ikterus yang disertai keadaan antara lain : BBLR, masa gestasi

kurang dari 36 minggu, asfiksia, infeksi, dan hipoglikemia.

Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50 % neonatus

cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan.

Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala fisiologis atau

dapat merupakan hal yang patologis, misalnya pada

inkompatibilitas Rh dan ABO, sepsis, penyumbatan saluran

empedu, dan sebagainya (Saifuddin, 2009).

c. Etiologi

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) etiologi ikterus pada bayi

baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa

faktor, antara lain sebagai berikut :

1) Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk

mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada

inkompatibilitas darah Rh, ABO, defisiensi enzim G6PD, pyruvate

kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis.

2) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini

dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk

konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis,

hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glucoronil

transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain adalah

defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam

uptake bilirubin ke sel-sel hepar.


3) Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh

albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dan albumin

ini dapat dipengaruhi oleh obat-obat, misalnya : salisilat dan

sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak

terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah

melekat ke sel otak.

4) Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat

obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar

biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar.

5) Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat

mengakibatkan hiperbilirubinemia unconjugated akibat

penambahan dari bilirubin yang berasal dari sirkulasi

enterohepatik.

6) Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI). Ikterus akibat ASI merupakan

unconjugated hiperbilirubinemia yang mencapai puncaknya

terlambat (biasanya menjelang hari ke 6-14). Hal ini untuk

membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama minggu

pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI

(beta glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang

larut dalam lemak, sehingga bilirubin indirek akan meningkat, dan

kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat ASI bila

dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula,

mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan


penurunan asupan pada beberapa hari pertama kehidupan.

Pengobatannya yaitu bukan dengan menghentikan pemberian ASI

melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberiannya.

d. Patofisiologi

Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi

yang berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi

eritrosit yang menua. Pada neonatus 75 % bilirubin berasal dari

mekanisme ini. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg

bilirubin indirek (free billirubin) dan sisanya 25 % disebut early

labeled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena

eritropoeis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang

mengandung protein heme dan heme bebas. Pembentukan bilirubin

diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin. Setelah

mengalami reduksi biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang

larut dalam lemak yang bersifat lipofilik yang sulit diekskresi dan

mudah melewati membran biologik, seperti plasenta dan sawar otak

(Kosim, 2012).

Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan

albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme

ambilan sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan

masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan

bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z, dan glutation S-


tranferase membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati (Kosim,

2012).

Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin

diglukoronide dan sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Ada

dua enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide yaitu uridin

difosfat glukoronide transferase (UDPG:T) yang mengkatalisasi

pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi

diglukoronide terjadi di membran kanalikulus (Hasan dan Alatas, 2007).

e. Tanda Klinis/Laboratoris

Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam

cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya

matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk

menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah (Hasan dan

Alatas, 2007).

Cara menegakkan diagnosa ikterus pada bayi baru lahir, antara

lain sebagai berikut :

1) Keluhan subjektif yaitu bayi berwarna kuning pada muka dan

sebagian tubuhnya dan kemampuan menghisap bayi lemah

(Marmi, 2012).

2) Pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan yang dilakukan dari ujung

rambut sampai kaki dengan hasil bayi berwarna kuning serta

pemeriksaan reflek bayi (Hasan dan Alatas, 2007).

3) Pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan golongan

darah, uji coombs direk, uji coombs indirek, kadar bilirubin total

dan direk, darah periksa lengkap dengan diferensial, protein serum


total, dan glukosa serum (Kosim, 2012).

Cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan risiko

terjadinya kern icterus, salah satunya dengan cara klinis (rumu

Kramer) yang dilakukan di bawah sinar biasa (day light) (Saifuddin,

2009).

Daerah kulit bayi yang berwarna kuning untuk penerapan rumus

Kremer, seperti dibawah ini :

Keterangan :

1. Kepala dan leher

2. Daerah 1 (+)

Badan bagian atas

3. Daerah 1, 2 (+)

Badan bagian

bawah dan tungkai

4. Daerah 1, 2, 3 (+)

Lengan dan kaki

di bawah lutut

5. Daerah 1, 2, 3, 4

(+) Telapak

tangan dan kaki

Gambar 2.2 Daerah kulit yang berwarna kuning untuk penempatan


rumus Kramer
Sumber : Saifuddin, 2009
Ikterus neonatorum patologis dibagi menjadi 5 kramer sesuai

dengan daerah ikterusnya dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pembagian Ikterus Neonatorum menurut metode Kramer


DAERAH LUAS IKTERUS KADAR BILIRUBIN
(mg%)
1 Kepala leher 5
2 Daerah 1 (+) Badan bagian atas 9
3 Daerah 1, 2 (+) Badan bagian 11
bawah dan tungkai
4 Daerah 1, 2, 3 (+) Lengan dan 12
kaki di bawah lutut
5 Daerah 1, 2, 3, 4 (+) Telapak 16
tangan dan kaki
Sumber : Saifuddin, 2009

f. Prognosis

Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila

bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini

penderita mungkin menderita kern ikterus atau ensefalopati biliaris.

Kern ikterus (ensefalopati biliaris) adalah sindrom neurologis akibat

pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Risiko

pada bayi dengan eritroblastosis foetalis secara langsung berkaitan

dengan kadar bilirubin serum : hubungan antara kadar bilirubin serum

dan kern ikterus pada bayi cukup bulan yang sehat masih belum pasti.

Bilirubin indirek yang larut dalam lemak dapat melewati sawar darah

otak dan masuk ke otak dengan cara difusi apabila kapasitas albumin

untuk mengikat bilirubin dan protein plasma lainnya terlampaui dan

kadar bilirubin bebas dalam plasma bertambah (Nelson, dkk, 2012).

Pada setiap bayi nilai persis kadar bilirubin yang bereaksi indirek

atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang jika dilebihi akan bersifat
toksik tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada

bayi cukup bulan yang sehat (Nelson, dkk, 2012).

Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati pada fase awal bayi

dengan ikterus berat akan tampak letargis, hipotonik, dan reflek

menghisap buruk, sedangkan pada fase intermediate ditandai dengan

moderate stupor, iritabilitas, hipertoni. Untuk selanjutnya bayi akan

demam, high-pitced cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan

hipotoni (Kosim, 2012).

Pada kern ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara

lain dapat disebutkan yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata

berputar, gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang,

tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus (Saifuddin,

2009).

g. Penatalaksanaan dan Pengobatan

Menurut Ridha (2014) mencegah terjadinya kern ikterus atau

ensefalopati biliaris dalam hal ini yang penting ialah pengamatan yang

ketat dan cermat perubahan peningkatan kadar ikterus/bilirubin bayi

baru lahir khususnya ikterus yang kemungkinan besar menjadi

patologis, yaitu :

1) Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.

2) Ikterus dengan kadar bilirubin >12,5 mg pada neonatus cukup

bulan atau >10 mg% pada neonatus kurang bulan.

3) Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin >5 mg%/hari.


Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012)

penatalaksanaan screening test, antara lain sebagai berikut :

1) Golongan darah : untuk menentukan dan status Rh bayi bila

transfusi sulih diperlukan.

2) Uji Coombs direk : untuk menentukan diagnosis penyakit

hemolitik pada bayi baru lahir, hasil positif mengindikasikan sel

darah merah bayi telah terpajan (diselimuti antibodi).

3) Uji Coombs indirek : mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam

darah ibu.

4) Kadar Bilirubin total dan direk : untuk menegakkan diagnosis

heperbilirubinemia.

5) Darah periksa lengkap dengan diferensial : untuk mendeteksi

hemolisis, anemia (Hb < 14 gr/dl) atau polisitemia (Ht lebih dari

65%), Ht kurang dari 40 % (darah tali pusat) mengindikasi

hemolisis berat.

6) Protein serum total : untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan

(3,0 mg/dl).

7) Glukosa serum : untuk mendeteksi hipoglikemia (< 40 mg/dl).

Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai adalah untuk

mencegah dan mengobati, sampai saat ini cara-cara itu dapat dibagi

dalam empat jenis usaha, yaitu sebagai berikut :

1) Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin dengan early

breast feeding yaitu menyusui bayi dengan ASI (Air Susu Ibu).
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan

feses dan urine. Untuk itu bayi harus mendapat cukup ASI. Seperti

diketahui ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat

memperlancar BAB dan BAK. Akan tetapi pemberian ASI juga

harus dibawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus ASI

justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice)

(Marmi dan Rahardjo, 2012).

Pemberian fenobarbital yang yang dapat memperbesar

konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberiannya akan membatasi

perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan

pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada

bayi saat lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian,

fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus

pada bayi neonatus karena pengaruhnya pada metabolisme

bilirubin biasanya tidak terlihat sebelum mencapai beberapa hari

pemberian, efektivitas obat ini lebih kecil dari pada fototerapi

dalam menurunkan kadar bilirubin, dan dapat mempunyai

pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan serta tidak menambah

respon terhadap fototerapi (Nelson, 2012).

2) Terapi sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya

dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya

bisa di jemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda.

Lakukan pada jam 07.00-09.00 WIB karena inilah waktu di mana


sinar ultraviolet belum cukup efektif mengurangi kadar bilirubin.

Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke arah

matahari karena dapat merusak matanya.

3) Terapi sinar (Fototerapi)

Terapi sinar atau fototerapi dilakukan selama 24 jam atau

setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang

batas normal. Dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat

dipecah dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah

dahulu oleh organ hati dan dapat dikeluarkan melalui urin dan

feses sehingga kadar bilirubin menurun (Dewi, 2010; Marmi dan

Rahardjo, 2012).

Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian

konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan

menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam

usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan keluar

bersama feses. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin

agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang

lebih fatal.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan

fototerapi, yaitu :

a) Alat-alat yang diperlukan menurut Dewi (2010), antara lain :

Unit terapi sinar , yaitu :


1) Lampu fluoresensi 10 buah masing-masing 20 watt dengan

gelombang sinar 425-475 nm, seperti pada sinar cool white,

daylight, vita kite blue, dan special blue.

2) Jarak sumber cahaya ke bayi ± 45 cm, di antaranya diberi

kaca pleksi setebal 0,5 inci untuk menahan sinar ultraviolet.

3) Lampu diganti setiap 200-400 jam.

b) Pelaksanaan pemberian terapi sinar menurut Marmi dan

Rahardjo (2012), yaitu :

1) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.

2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas

mungkin terkena sinar.

3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat

memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan retina.

Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan kunjungan

orang tua untuk memberikan rangsang visual pada

neonatus.

4) Daerah kemaluan ditutup dengan penutup yang dapat

memantulkan cahaya untuk melindungi daerah kemaluan

dari cahaya fototerapi.

5) Posisi lampu diatur dengan jarak 45-50 cm di atas tubuh

bayi, untuk mendapatkan energi yang optimal.

6) Posisi tubuh bayi diubah tiap 8 jam agar tubuh mendapat

penyinaran seluas mungkin.


7) Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 ºC dan observasi

suhu setiap 4-6 jam sekali. Jika terjadi kenaikan suhu

matikan sementara lampunya dan bayi diberikan banyak

minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap

tinggi hubungi dokter.

8) Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan

peningkatan suhu tubuh bayi.

9) Pada waktu memberi minum bayi dikeluarkan, dipangku,

dan penutup mata dibuka. Perhatikan apakah terjadi iritasi

atau tidak.

10) Periksa kadar bilirubin setiap 8 jam setelah pemberian

terapi 24 jam.

11) Apabila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 % atau

kurang terapi dihentikan walaupun belum 100 jam.

12) Jika setelah pemberian terapi 100 jam bilirubin tetap tinggi

atau kadar bilirubin dalam serum terus naik, coba lihat

kembali apakah lampu belum melebihi 500 jam digunakan.

Selanjutnya hubungi dokter, mungkin perlu transfusi tukar.

13) Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah

batas untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai

untuk dilakukan transfusi tukar.


c) Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) hal-hal yang perlu

diperhatikan pada pemberian fototerapi, yaitu :

1) Apabila kadar bilirubin cenderung naik pada bayi-bayi yang

mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi

proses hemolisis.

2) Kebutuhan cairan bayi meningkat selama pemberian terapi

sinar, yaitu :

(a) Anjurkan ibu menyusui sesuai keinginan bayi, paling

tidak setiap 3 jam, tidak perlu menambah atau

mengganti ASI dengan air, dekstrosa, atau formula.

(b) Apabila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras

dengan menggunakan salah satu cara alternatif

pemberian minum. Selama dilakukan terapi sinar,

naikkan kebutuhan hariannya dengan menambah 25

ml/kg BB.

(c) Apabila bayi mendapat cairan IV, naikkan kebutuhan

hariannya 10-20 %.

(d) Apabila bayi mendapat cairan IV atau diberi minum

melalui pipa lambung, bayi tidak perlu dipindahkan dari

lampu terapi sinar.

(e) Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi menjadi cair

dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan

tindakan khusus.
(f) Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar bila akan

dilakukan tindakan yang tidak memungkinkan

dikerjakan di bawah lampu terapi sinar.

(g) Apabila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu

saat memeriksa bayi untuk mengetahui sianosis sentral.

(h) Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk

untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi

dilakukan fototerapi dan selama 24 jam setelah

dihentikan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput


akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah
ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah
terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin
yang tidak dikendalikan.
Penanganan ikterus neonatorum sangat tergantung pada saat
terjadinya ikterus, intensitas ikterus (kadar bilirubin serum) jenis
bilirubin,dan sebab terjadinya ikterus. Untuk mendaptkan peganagn
yang baik,pengobatan dan pemeriksaan-pemeriksaan yang perlu
dilakukan didasarkan pada timbulnya ikterus naiknya kadar bilirubin
serum

B. Saran
waspadai tanda dan gejala sedini mungkin anak mengalami
ikterus,orang tua perlu perhatikan pada anak jika terjadi
Dehidrasi/Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum,
muntah-muntah),Pucat Sering berkaitan dengan anemia hemolitik
(mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi
G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular,Trauma lahir:Bruising,
sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup
lainnya.Pletorik (penumpukan darah) : Polisitemia, yang dapat
disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
Letargik dan gejala sepsis lainnya serta Petekiae (bintik merah di
kulit).jika bayi dalam keadaan seperti ini maka orang tua perlu
mencurigai akan tanda-tanda bahwa bayi mengalami ikterus dan
segera konsultasikan ke dokter atau dokter spesialis anak.

Anda mungkin juga menyukai