Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah
satunya yaitu kecacingan. Prevalensi kecacingan di Indonesia pada umumnya masih
sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu, dengan sanitasi yang buruk. Cacingan pada anak cenderung sulit didiagnosis karena tidak selalu menimbulkan gejala. Dampak dari kecacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga banyak menyebabkan kerugian. Hasil pemeriksaan tinja pada anak sekolah dasar/MI yang tersebari di 33 provinsi di Indonesia periode 2002-2009 menunjukkan rata-rata prevalensi cacingan sebesar 31,8% (Kemenkes RI, 2012). Penyakit kecacingan disebabkan oleh nematoda usus yang penularannya dapat melalui dua cara yaitu infeksi langsung atau tidak langsung dengan cara larva menembus kulit. Penularan langsung bisa terjadi bila telur cacing langsung tertelan tanpa berkembang ditanah biasa terjadi pada cacing kremi atau Enterobius vermicularis dan Tricuris triciura. Cacing dengan penularan memerlukan bantuan tahan atau biasa disebut Soil Transmitted helminths yaitu Ascaris lumbricoides. Ada juga penularan melalui kulit dimana telur terlebih dahulu menetas ditanah baru kemudian larva yang sudah berkembang menginfeksi melalui kulit yaitu cacing tambang diantaranya Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Setiati et al., 2014). Golongan anak sekolah dasar merupakan kelompok usia yang rentan terhadap infeksi cacing disebabkan oleh kebiasaan main tanpa mempedulikan lingkungan dan kesehatannya. Kecacingan dapat berdampak negatif pada perkembangan dan pertumbuhan anak sehingga berpengaruh terhadap status gizi. Cacing yang tinggal diusus memberikan kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit misalnya kurang gizi. Hal ini dikarenakan cacing mengambil sumber karbohidrat dan protein sebelum diserap tubuh selain itu juga menghisap darah sehingga menggangu penyerapan gizi pada anak (Fauzi et al., 2013). Kecacingan pada anak sekolah dasar akan menghambat mengikuti pelajaran dikarenakan anak akan mudah lelah, menurunnya daya konsentrasi, malas belajar dan pusing. Hal ini dikarenakan asupan makanan yang tidak terpenuhi dan darah yang terhisap menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga oksigen yang menuju ke berbagai jaringan tubuh bahkan otak terhambat sehingga pertumbuhan otak tidak maksimal. Dengan pertumbuhan otak yang tidak maksimal akan berpengaruh dengan hasil prestasi belajar. Dibuktikan dengan adanya penelitian status gizi cukup dengan prestasi belajar kurang 15,9% dari 44 orang siswa (Muchlis et al., 2015). Dari simpulan diatas salah satu faktor timbulnya kecacingan yaitu kebiasaan penduduk yang memiliki sanitasi buruk. Pada anak bisa dilihat dari kebiasaan bermain tanpa memikirkan tempat dan kesehatan diri. Dari hasil observasi peneliti siswa SD Negeri Ngemplak 1 terlihat terbiasa berlarian tanpa mengenakan alas kaki pada saat olah raga ataupun diluar jam sekolah. Sedangkan lingkungan sekolah masih cenderung lapangan bertanah dan area persawahan sekitar sekolah ataupun rumah penduduk. Berdasarkan uraian diatas peneliti timbul ketertarikan melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Kecacingan Dengan Status Gizi dan Pestasi Belajar Siswa SD Negeri Ngemplak 1 Kartasura”.