Anda di halaman 1dari 2

I.

Pembahasaan
Pada praktikum kali ini, yang menjadi bahan amatan pengamat adalah
aktivitas pirantel pamoat juga piperazin sitrat sebagai obat antelmintik yang
bekerja dalam mempengaruhi sistem saraf dari cacing yang akan diamati efeknya.
Pada prosedur awal, cacing yang digunakannya haruslah berupa cacing pita
babi (Ascaris suum) jantan dan betina, namun karena keterbatasan sumber daya,
maka diganti oleh cacing tanah (Lumbricoides terrestris), hal ini dapat dilakukan
karena yang akan diamati oleh pengamat adalah aktivitas piperazin sitrat dan
pirantel pamoat terhadap aktivitas sistem saraf pusat, jadi dapat digantikan oleh
jenis cacing lain, dan yang lebih memudahkannya adalah bila menggunakan
cacing tanah tidak diperlukan dua jenis cacing dari jenis kelamin yang berbeda,
karena cacing tanah merupakan cacing berkelamin ganda (hemaprodit).
Pada awal praktikum, sebelum semua prosedur dilakukan seharusnya cacing
diaktifkan terlebih dulu pada suhu 37oC, karena cacing pita babi hidup didalam
perut babi dengan keadaan sistem bersuhu 37oC. Sedangkan setelah diganti
dengan cacing tanah, hal tersebut tidak perlu dilakukan, karena cacing tanah sudah
aktif pada suhu ruangan (± 25oC).
Setelah cacing aktif, maka yang perlu dilakukan adalah menyiapkan sediaan
uji, yaitu berupa pirantel pamoat, piperazin sitrat juga sediaan kontrol berupa
NaCl fisiologis. Pada praktikum yang lalu kelompok kami hanya mengamati efek
piperazin sitrat saja dengan dua dosis berbeda, dosis satu sebanyak 1,5 ml dan
dosis dua sebanyak 2,5 ml, selain itu disiapkan air panas bersuhu 50oC sebagai
sarana uji penentuan sifat paralisis yang akan terjadi karena aktivitas obat
antelmintik yang diberikan.
Cacing yang sudah aktif diletakan pada dua cawan petri yang berbeda, cawan
petri yang pertama untuk dosis satu sebanyak 1,5 ml, dan cawan petri yang kedua
untuk dosis dua sebanyak 2,5 ml. Setelah pemberian piperazin sitrat, cacing
diamati dengan waktu maksimal 120 menit dengan jarak pengamatan, 15 menit
sekali.
Pada 15 menit pertama, pada cacing yang diberikan dosis satu belum
memberikan aktifitas yang signifikan, maka oleh dari itu dapat dikatagorikan
sebagai normal, sedangkan pada cacing yang diberikan dosis dua, memberikan
efek cacing yang diam tidak bergerak. Untuk memastikan cacing tersebut, hidup,
paralisis atau mati, dapat dilakukan dengan menempatkan cacing tersebut ke
dalam air yang sudah dipanaskan. Dan setelah hal itu dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa cacing yang diberikan dosis dua mengalami paralisis flasid,
karena ia masih mampu bergerak dalam air yang dipanaskan, namun ketika
diangkat darinya, cacing tersebut diam kembali. Pengamat tidak menyimpulkan
bahwa cacing tersebut bukan mengalami paralisis spastik, karena bentuk cacing
yang lemas.
Pada 15 menit kedua, atau t= 30 menit, didapat hasil berupa cacing yang
diberikan dosis satu memberikan efek paralisis flasid, karena mengalami ciri-ciri
sesuai dengan cacing dosis dua pada 15 menit pertama. Sedangkan untuk cacing
dosis dua, pada t= 30 menit ini mengalami kematian, karena tidak meberikan
aktivitas apapun setelah dimasukan ke dalam air panas.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa piperazin sitrat memberikan efek paralisis
flasid karena mempunyai mekanisme kerja berupa penghambatan sinyal yang
akan menempel pada reseptor asetilkolin, maka cacing tersebut bentuknya lemas
atau flasid. Dan akan memberikan efek kematian seiring dengan dinaikkannya
dosis.

Daftar pustaka

Anonim.A.http://puputo.blogspot.com/2008/12/farkol-antelmintik.html

Anonim.B.http://gurungeblog.wordpress.com/2008/11/11/mengenal-seluk-beluk-phylum-
annelida/

Anonim.2010. http://farmakologi.files.wordpress.com/2010/02/antelmintik.pdf

Tjay, Tan Hoan, Rahardja, Kirana, 2002, Obat – Obat Penting, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta
Kasim, Fauzi, dkk.,2009, ISO Indonesia, volume 44, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai