Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Alkaloid
Senyawa alkaloid merupakan hasil metabolisme dari tumbuh–tumbuhan
dan digunakan sebagai cadangan bagi sintesis protein. Kegunaan alkaloid bagi
tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan hama, penguat tumbuhan dan
pengatur kerja hormon. Alkaloid mempunyai efek fisiologis. Sumber alkaloid
adalah tanaman berbunga, angiospermae, hewan, serangga, organisme laut dan
mikroorganisme. Famili tanaman yang mengandung alkaloid adalah Liliaceae,
solanaceae, rubiaceae, dan papaveraceae (Tobing, 1989).
Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit kayu dari
tumbuh-tumbuhan. Kadar alkaloid dari tumbuhan dapat mencapai 10-15%.
Alkaloid kebanyakan bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam
pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optik
aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan
(misalnya nikotin) pada suhu kamar (Sabirin, et al.,1994).
Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat,
berbentuk kristal tidak berwarna (berberina dan serpentina berwarna kuning).
Alkaloid sering kali optik aktif, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang
dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa kasus dikenal campuran rasemat, dan
pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan
lain mengandung enantiomernya (Padmawinata, 1995).
Berdasarkan senyawa asalnya, terdapat tiga golongan utama alkaloid yakni:
alkaloid sejati protoalkaloid dan pseudoalkaloid (Aniszewski, 2007). Berdasarkan
strukturnya, alkaloid dapat dikelompokkan sebagai alkaloid Aaptamin, akridin,
imidazol, indol, indolizidin, isoquinolin, oksadiazol, piperazin, piperidin, piridin,
piridon, pirimidin, pirol, pirolidin, quinolin, quinolon, thiazole, karbolin, karbazol,
benzopenantridin, penantridin, protoberberin (Cushnie, dkk., 2014):
Gambar 2.1.1 Golongan Alkaloid
2.1.2 Piperin
Piperin memiliki rumus molekul C17H19NO3 atau (E,E)-1-[5-(1,3-
benzodioksol-5-il)-1-okso-2,4-pentadienil] piperidin, diperoleh dalam bentuk
prisma monosiklik dari alkohol dengan titik lebur 130°C, 1 g piperin larut dalam 15
mL etanol, 36 mL eter dan hampir tidak larut dalam air. Piperin berbentuk kristal
berwarna putih kekuningan dan merupakan alkaloid dari golongan piperidin yang
memiliki sifat hampir tidak larut dalam air (40 mg/L pada suhu 18°C), namun
mudah larut dalam alkohol (1 g/15 mL) dan eter (1 g/1,7 mL) (Vasavirama dan
Upender, 2014).

Gambar 2.1.2 Senyawa Piperin


Kandungan utama dari buah lada hitam adalah piperin dimana piperin
bertanggung jawab terhadap tingkat rasa pedas, bersama dengan kavisin. Piperin
memiliki warna kuning yang berbentuk jarum, yang sukar larut dalam air dan
mudah larut dalam etanol, eter, dan kloroform. Kelarutan piperin dalam etanol
dikenal sebagai “pepper-like taste” (Patil, K. 2011). Apabila piperin terhidrolisis
akan terurai menjadi piperidin dan asam piperat. Berat molekul piperin sebesar
285,3377. Piperin bersifat tahan panas karena memiliki titik didih yang cukup tinggi
dimana Titik didih yang dimiliki piperin sebesar 127°C (Shamkuwar, B., et al.
2013). Menurut Anwar C (1994), Apabila terkena cahaya akan terjadi
fotoisomerisasi membentuk isomer isochavisin (trans-cis), isopiperin (cis-trans),
dan piperin (transtrans).
Dalam dunia pengobatan, buah lada hitam biasa digunakan untuk mengatasi
gangguan pencernaan seperti racun pada usus besar yang menyebabkan diare. Buah
lada hitam juga biasa digunakan untuk mengatasi gangguan pernafasan termasuk
flu, demam, dan asma. Di Afrika Barat, buah lada hitam digunakan untuk
mengobati bronchitis, gastritis, rematik, dan sebagai agen antivirus (Ahmad, N. et
al. 2012).
Menurut Sabina et al., (2013), Piperin memiliki khasiat sebagai
antiinflamasi, antimalaria, menurunkan berat badan, menurunkan demam,
menetralkan racun bisa ular, antiepilepsi, membantu meningkatkan penyerapan
vitamin tertentu. Piperin memiliki aktivitas sebagai analgesik dan antipiretik pada
tikus, dan menunjukkan hasil yang sebanding dengan indometasin sebagai obat
standar.
2.1.3 Identifikasi senyawa piperin
Piperin merupakan senyawa alkaloid utama dalam buah lada. Senyawa
turunan alkaloid golongan ini dapat diidentifikasi dengan beberapa cara
diantaranya : (Mutiara & Puguh,2016; Febriyanti, 2016)
1. Ekstraksi soklet
Metode ekstraksi yang dipilih adalah soxhlet karena senyawa piperin
memiliki sifat yang stabil terhadap panas. Piperin memiliki sifat yang tahan
panas sehingga tidak rusak ketika dilakukan proses ekstraksi dengan
soxhlet.
2. Identifikasi Kristal piperin menggunakan KLT
Sampel dilakukan dengan etiil asetat : heksana (4:1) dan disemprot dengan
pereaksi dragendrof kemudian diamati dengan sinar UV. Hasil KLT
menunjukkan endapan coklat uda sampai kuning (jingga).
3. Identifikasi kristal piperin menggunakan FTIR
Mencampur sampel dengan KBR kemudian masukkan ke dalam wadah uji
dan rekam spektro serapannya pada bilangan panjang gelombag 500-4000
cm-1
4. Identifikasi piperin dengan spektrofotometri UV
Sampel sebanyak 10 mg dilarutkan dalam 10 ml methanol kemudian
diencerkan hingga konsentrasi 10 µg/ml. selanjutnya masukkan ke dalam
kuvet dan analisis menggunakan spektrofotometri UV.
2.1.4 Identifikasi senyawa dengan ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses penyarian senyawa aktif tumbuhan, hewan,
maupun mineral menggunakan penyari yang sesuai. Ekstrak adalah sediaan pekat
yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani maupun
simplisia nabati menggunakan penyari yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua penyari diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Depkes RI, 1989).
Metode ekstraksi terbagi atas dua yaitu cara panas dan cara dingin. Menurut
Tobo (2001), Ekstraksi secara panas dilakukan untuk mengekstraksi komponen
kimia yang tahan terhadap pemanasan seperti glikosida, saponin dan minyak-
minyak menguap yang mempunyai titik didih yang tinggi, selain itu pemanasan
juga diperuntukkan untuk membuka pori-pori sel simplisia sehingga pelarut organik
mudah masuk ke dalam sel untuk melarutkan komponen kimia. Metode ekstraksi
yang termasuk cara panas yaitu soxhletasi dan metode refluks.
Selanjutnya metode ekstraksi secara dingin adalah metode ekstraksi yang
didalam proses kerjanya tidak memerlukan pemanasan. Metode ini dipergunakan
untuk bahan-bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan dan bahan-bahan yang
mempunyai tekstur yang lunak atau tipis. Metode ini terbagi menjadi: metode
maserasi dan perkolasi (Depkes RI, 1995).
2.1.5 Identifikasi senyawa dengan pemanasan
Pemanasan dilakukan dengan menggunakan metode refluks dan sokletasi.
Dimana Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan,
cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi
menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia
dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon. Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna
yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang melalui pipa sifon atau jika
diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis tidak memberikan noda lagi. (Ditjen
POM, 1986).
Metode refluks adalah termasuk metode berkesinambungan dimana cairan
penyari secara kontinyu menyari komponen kimia dalam simplisia cairan penyari
dipanaskan sehingga menguap dan uap tersebut dikondensasikan oleh pendingin
balik, sehingga mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh
kembali ke labu alas bulat sambil menyari simplisia. Proses ini berlangsung secara
berkesinambungan dan biasanya dilakukan 3 kali dalam waktu 4 jam. (Ditjen POM,
1986)
2.1.6 Identifikasi senyawa dengan rekristalisasi
Rekristalisasi adalah suatu metode untuk pemurniaan senyawa padatan yang
dihasilkan dari reaksi-reaksi organic. Metode rekristalisasi melibatkan lima tahapan,
yaitu: pertama, pemilihan pelarut dimana pelarut yang digunakan adalah pelarut
yang melarutkan secara mudah pengotor-pengotor dan harus mudah menguap,
sehingga dapat dipisahkan secara mudah dari zat yang dimurnikan. Pelarut tidak
boleh bereaksi dengan zat yang dimurnikan. Kedua, padatan yang akan dimurnikan
dilarutkan dalam sejumlah minimum pelarut. Ketiga, larutan kemudian disaring.
Keempat, filtrate kemudian dibiarkan dingin, maka zat padat murni akan
mengkristal. Kristalisasi sempurna jika Kristal yang terbentuk banyak. Jika
kristalisasi tidak terbentuk selama pendinginan filtrate dalam waktu cukup lama
maka larutan harus dibuat lewat jenuh. Kelima, Kristal dipisahkan dari larutan
induk dengan penyaringan. Bila larutan induk sudah keluar, Kristal dicuci dengan
pelarut untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Kristal kemudian
dikeringkan dengan menekan kertas atau di dalam oven (Fauziah, 2012).
2.1.7 Identifikasi senyawa menggunakan KLT
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga
berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah
berupa larutan yang di totolkan baik berupa bercak ataupun pita. Setelah plat atau
lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang
yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan
(stahl, 1985).
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Untuk
senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan
dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi
jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang
panjang (366 nm). Jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus
dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu
pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al,
1991; Stahl, 1985).
a. Fase Diam (Lapisan Penjerap)
Pada kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas
bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya
terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Penjerap yang
umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur,
dan selulosa (Gritter, et al, 1991).
b. Fase Gerak (Pelarut Pengembang)
Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut.
Jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran
sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).
Dalam pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan
menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang
baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masingmasing pelarut,
sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut
pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksana,
karbontetraklorida, benzena, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol,
metanol dan air (Gritter, et al, 1991)
c. Harga Rf
Dalam mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi sangat lazim
menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai:
Jarak titik pusat bercak dari titik awal
Rf =
Jarak garis depan pelarut dari titik awal
Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga
Rf (Sastrohamidjojo, 1985):
a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
b. Sifat Penjerap
c. Tebal dan kerataan dari lapisan Penjerap
d. Pelarut dan derajat kemurniannya
e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana
f. Teknik percobaan
g. Jumlah cuplikan yang digunakan
h. Suhu
i. Kesetimbangan

Anda mungkin juga menyukai