IV.2 Pembahasan Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan yaitu pemilihan metode fraksinasi dengan sampel biota. Menurut Akhsanita (2012), fraksinasi merupakan prosedur pemisahan komponen-komponen berdasarkan perbedaan kepolaran tergantung dari jenis senyawa yang terkandung didalamnya. Adapun sampel biota laurt yang digunakan dalam percobaan ini adalah cumi-cumi (Sepia sp). Cumi-cumi (Loligo sp.) merupakan binatang lunak dengan tubuh berbentuk silindris. Sirip-siripnya berbentuk trianguler atau radar yang menjadi satu pada ujungnya. Pada kepalanya di sekitar lubang mulut terdapat 10 tentakel yang dilengkapi dengan alat penghisap. Tubuhnya terdiri dari isi rongga tubuh (visceral mass) dan mantel. Lapisan isi rongga tubuh berbentuk silinder dengan dinding sebelah dalam tipis dan halus. Mantel yang dimilikinya berukuran tebal, berotot, dan menutupi isi rongga tubuh pada seluruh isi serta mempunyai tepi yang disebut leher. Menurut Zainal (2013) dalam cumi-cumi mengandung senyawa metabolit sekudender diantaranya yaitu alkaloid, glikosida, steroid/triterpenoid, dan juga saponin. Berdasarkan jurnal Nitya dkk (2011) dalam judulnya “Effect of pharaoh’s cuttlefish ink against bacterial pathogens” metode fraksinasi yang tepat untuk sampel cumi-cumi adalah metode kromatografi kolom gravitasi. Kromatografi kolom adalah salah satu metode yang digunakan untuk pemurniaan campuran dengan memakai kolom. Dimana pada metode ini perlu dipastikan pemilihan pelarut yang cocok. Adapun pemisahan menggunakan metode ini yaitu campuran yang akan dipisahkan diletakkan dibagian atas kolom yang terlebih dahulu dibuat. Pelarut fase gerak dibiarkan mengalir melewati kolom, karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat (gravitasi) atau didorong dengan tekanan. Senyawa larut bergerak melalui kolom dengan laju berbeda, memisahkan dan dikumpulkan berupa fraksi-fraksi ketika keluar dari kolom (Sudjadi, 1988). Prinsip kromatografi menurut Asep et al, (2017), didasarkan pada perbedaan afinitas absorbsi komponen-komponen campuran terhadap permukaan fasa diam. Sampel yang memiliki afinitas besar terhadap absorben akan secara selektif tertahan dan yang afinitasnya paling kecil akan mengikuti aliran pelarut. Dikarenakan silika yang digunakan bersifat polar sehingga senyawa yang memiliki kepolaran yang tinggi akan tertahan di silika dan senyawa yang memiliki kepolaran yang lebih rendah, dan senyawa nonpolar akan terelusi terlebih dahulu. Laju alir dari metode ini diperoleh dari gaya gravitasi. Fase gerak dimasukkan ke dalam kolom dengan cara dituangkan sedikit demi sedikit atau dialirkan dari bejana yang diletakkan diatas kolom sehingga fase gerak mengalir dengan sendirinya. Langkah awal dalam percobaan ini yaitu ditimbang silica gel 60 yang akan dimasukkan ke dalam kolom sebagai fase diam sebanyak 5 gram. Selanjutnya silica gel tersebut dicampurkan terlebih dahulu ke dalam pelarut yaitu n-heksan kemudian impregnasi ke dalam kolom sedikit demi sedikit dan perlahan dengan tujuan agar tidak terdapat gelembung udara yang ada didalam kolom nantinya. Setelah itu dilakukan penambahan pelarut n-heksan terus menerus. Menurut Akhsanita (2012), fungsi dari penambahan pelarut terus-menerus untuk mencegah terjadinya kerusakan atau pecahnya klom yang diakibatkan adanya rongga udara. Selanjutnya ditimbang sampel ekstrak cumi-cumi sebanyak 0,5 gr lalu ekstrak dikeringkan dengan silica gel 2 gr hingga membentuk butir-butir menyerupai pasir. Sampel yang telah dicampurkan silica gel kemudian dimasukkan ke dalam kolom dan dipadatkan. Setelah itu dibuat masing-masing eluen untuk proses fraksinasi dalam jumlah 50 ml. masing-masing perbandingan eluen yang digunakan yaitu n-heksan : etil asetat 8 : 2, 4 : 6, 2 : 8, etil asetat (100%) dan etanol 96% (100%). Menurut Astuti (2010), penggunaan eluen pada proses fraksinasi ini dilakukan secara berturut-turut menurut tingkatan eluen tersebut. Eluen yang selanjutnya akan digunakan dimasukkan saat eleun dalam alat kolom yaitu n- heksan sudah mencapai batas kalibrasi yang sudah ditandai. Hal ini dilakukan agar, sampel yang berada di dalam kolom tidak mengering apabila terlalu lama tidak ditambahkan eluen sehingganya ditakutkan sampel tidak dapat terfraksinasi secara sempurna. Menurut Maslebu (2013), selama perjalanan turun, zat terlarut akan mengalami proses adsorpsi dan partisi berulang-ulang. Laju penurunan berbeda untuk masing-masing zat terlarut dan bergantung pada koefisien partisi masing- masing zat terlarut. Kemudian, zat terlarut akan terpisahkan membentuk beberapa lapisan zona berwarna yang disebut kromatogram. Jika eluen 1 telah selesai, dilanjutkan dengan eluen 2 dan seterusnya dengan cara yang sama. Setiap pergantian eluen diusahakan masih ada eluen yang tersisa pada kolom agar silika tidak kering. Saat proses fraksinasi berlansung hingga eluen ke 4, fraksi sampel yang diperoleh hanyalah berwarna bening, menurut Pujiawati, Kairin (2014), hal ini mungkin dikarenakan pelarut yang digunakan untuk memfraksinasi senyawa yang ada pada sampel tidak sesuai. Namun, pada sampel di fraksinasi dengan eluen terakhir yaitu etanol 96% fraksi yang diperoleh berwarna kuning pekat hingga menjadi kuning pucat. Hal ini diduga, senyawa-senyawa metabolit sekunder yang ada pada sampel mulai terfraksinasi dengan adanya penambahan eluen tersebut. Setelah seluruh eluen digunakan pada proses pemisahan ini, fraksi dikumpulkan ke dalam botol vial dengan penandaan masing-masing eluen dengan warna fraksi yang berbeda, yang selanjutnya hasil fraksinasi ini akan di uapkan hingga diperoleh ekstrak kental untuk dilakukan proses pemilihan metode kromatografi pada praktikum selanjutnya.