Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


IV. 1 Hasil
Eluen Gambar Warna

n-heksan : etil asetat


Bening
8:2

n-heksan : etil asetat


Bening
4:6

n-heksan : etil asetat


Bening
2:8

Etil asetat (100%) Bening

Etanol 96% (100%) Kuning pekat


IV.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan yaitu pemilihan metode
fraksinasi dengan sampel biota. Menurut Akhsanita (2012), fraksinasi merupakan
prosedur pemisahan komponen-komponen berdasarkan perbedaan kepolaran
tergantung dari jenis senyawa yang terkandung didalamnya. Adapun sampel biota
laurt yang digunakan dalam percobaan ini adalah cumi-cumi (Sepia sp).
Cumi-cumi (Loligo sp.) merupakan binatang lunak dengan tubuh berbentuk
silindris. Sirip-siripnya berbentuk trianguler atau radar yang menjadi satu pada
ujungnya. Pada kepalanya di sekitar lubang mulut terdapat 10 tentakel yang
dilengkapi dengan alat penghisap. Tubuhnya terdiri dari isi rongga tubuh (visceral
mass) dan mantel. Lapisan isi rongga tubuh berbentuk silinder dengan dinding
sebelah dalam tipis dan halus. Mantel yang dimilikinya berukuran tebal, berotot,
dan menutupi isi rongga tubuh pada seluruh isi serta mempunyai tepi yang disebut
leher. Menurut Zainal (2013) dalam cumi-cumi mengandung senyawa metabolit
sekudender diantaranya yaitu alkaloid, glikosida, steroid/triterpenoid, dan juga
saponin.
Berdasarkan jurnal Nitya dkk (2011) dalam judulnya “Effect of pharaoh’s
cuttlefish ink against bacterial pathogens” metode fraksinasi yang tepat untuk
sampel cumi-cumi adalah metode kromatografi kolom gravitasi. Kromatografi
kolom adalah salah satu metode yang digunakan untuk pemurniaan campuran
dengan memakai kolom. Dimana pada metode ini perlu dipastikan pemilihan
pelarut yang cocok. Adapun pemisahan menggunakan metode ini yaitu campuran
yang akan dipisahkan diletakkan dibagian atas kolom yang terlebih dahulu dibuat.
Pelarut fase gerak dibiarkan mengalir melewati kolom, karena aliran yang
disebabkan oleh gaya berat (gravitasi) atau didorong dengan tekanan. Senyawa larut
bergerak melalui kolom dengan laju berbeda, memisahkan dan dikumpulkan berupa
fraksi-fraksi ketika keluar dari kolom (Sudjadi, 1988).
Prinsip kromatografi menurut Asep et al, (2017), didasarkan pada perbedaan
afinitas absorbsi komponen-komponen campuran terhadap permukaan fasa diam.
Sampel yang memiliki afinitas besar terhadap absorben akan secara selektif
tertahan dan yang afinitasnya paling kecil akan mengikuti aliran pelarut.
Dikarenakan silika yang digunakan bersifat polar sehingga senyawa yang memiliki
kepolaran yang tinggi akan tertahan di silika dan senyawa yang memiliki kepolaran
yang lebih rendah, dan senyawa nonpolar akan terelusi terlebih dahulu. Laju alir
dari metode ini diperoleh dari gaya gravitasi. Fase gerak dimasukkan ke dalam
kolom dengan cara dituangkan sedikit demi sedikit atau dialirkan dari bejana yang
diletakkan diatas kolom sehingga fase gerak mengalir dengan sendirinya.
Langkah awal dalam percobaan ini yaitu ditimbang silica gel 60 yang akan
dimasukkan ke dalam kolom sebagai fase diam sebanyak 5 gram. Selanjutnya silica
gel tersebut dicampurkan terlebih dahulu ke dalam pelarut yaitu n-heksan kemudian
impregnasi ke dalam kolom sedikit demi sedikit dan perlahan dengan tujuan agar
tidak terdapat gelembung udara yang ada didalam kolom nantinya. Setelah itu
dilakukan penambahan pelarut n-heksan terus menerus. Menurut Akhsanita (2012),
fungsi dari penambahan pelarut terus-menerus untuk mencegah terjadinya
kerusakan atau pecahnya klom yang diakibatkan adanya rongga udara.
Selanjutnya ditimbang sampel ekstrak cumi-cumi sebanyak 0,5 gr lalu
ekstrak dikeringkan dengan silica gel 2 gr hingga membentuk butir-butir
menyerupai pasir. Sampel yang telah dicampurkan silica gel kemudian dimasukkan
ke dalam kolom dan dipadatkan. Setelah itu dibuat masing-masing eluen untuk
proses fraksinasi dalam jumlah 50 ml. masing-masing perbandingan eluen yang
digunakan yaitu n-heksan : etil asetat 8 : 2, 4 : 6, 2 : 8, etil asetat (100%) dan etanol
96% (100%). Menurut Astuti (2010), penggunaan eluen pada proses fraksinasi ini
dilakukan secara berturut-turut menurut tingkatan eluen tersebut. Eluen yang
selanjutnya akan digunakan dimasukkan saat eleun dalam alat kolom yaitu n-
heksan sudah mencapai batas kalibrasi yang sudah ditandai. Hal ini dilakukan agar,
sampel yang berada di dalam kolom tidak mengering apabila terlalu lama tidak
ditambahkan eluen sehingganya ditakutkan sampel tidak dapat terfraksinasi secara
sempurna.
Menurut Maslebu (2013), selama perjalanan turun, zat terlarut akan
mengalami proses adsorpsi dan partisi berulang-ulang. Laju penurunan berbeda
untuk masing-masing zat terlarut dan bergantung pada koefisien partisi masing-
masing zat terlarut. Kemudian, zat terlarut akan terpisahkan membentuk beberapa
lapisan zona berwarna yang disebut kromatogram. Jika eluen 1 telah selesai,
dilanjutkan dengan eluen 2 dan seterusnya dengan cara yang sama. Setiap
pergantian eluen diusahakan masih ada eluen yang tersisa pada kolom agar silika
tidak kering.
Saat proses fraksinasi berlansung hingga eluen ke 4, fraksi sampel yang
diperoleh hanyalah berwarna bening, menurut Pujiawati, Kairin (2014), hal ini
mungkin dikarenakan pelarut yang digunakan untuk memfraksinasi senyawa yang
ada pada sampel tidak sesuai. Namun, pada sampel di fraksinasi dengan eluen
terakhir yaitu etanol 96% fraksi yang diperoleh berwarna kuning pekat hingga
menjadi kuning pucat. Hal ini diduga, senyawa-senyawa metabolit sekunder yang
ada pada sampel mulai terfraksinasi dengan adanya penambahan eluen tersebut.
Setelah seluruh eluen digunakan pada proses pemisahan ini, fraksi
dikumpulkan ke dalam botol vial dengan penandaan masing-masing eluen dengan
warna fraksi yang berbeda, yang selanjutnya hasil fraksinasi ini akan di uapkan
hingga diperoleh ekstrak kental untuk dilakukan proses pemilihan metode
kromatografi pada praktikum selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai