Anda di halaman 1dari 7

REFERAT

BLOK HI
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Disusun Oleh :

Nama : Ilham Nugroho

NPM : 1718011072

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Epidemiologi

Di Indonesia, belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh


wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1999. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4%
kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat
291 pasien (10,5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik
Reumatologi. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling
banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita
dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 1 (Isbagio, 2015).

1.2 Patogenesis

Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-


diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks
imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host
yang tidak spesifik terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor
pencetus yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau
bahan kimia. Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam
tubuh, yaitu sel T dan sel B menjadi autoreaktif dan pembentukan sitokin
yang berlebihan. Selain itu terjadi kehilangan kemampuan membersihkan
antigen di kompleks imun maupun sitokin di dalam tubuh (Bertsias, 2014).

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam


tubuh yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada
jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan (Tjokoprawiro, 2015).

1.3 Manifestasi Klinis

1. Manifestasi Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling


sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten.

2. Manifestasi Muskuloskeletal

Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Arthritis pada
tangan menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat.

3. Manifestasi Kulit

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,


butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
psoriaform dan lain sebagainya.

(D'Cruz, 2016)

1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin

Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia


hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, level
IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin
meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES
menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan
ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin
(Perhimpunan Rheumatologi Indonesia, 2011).

2. Pemeriksaan Imunologik

Kondisi adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis LES sementara


bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-
Sm didapatkan pada 15% - 30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada
penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan
dapat digunakan untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih
spesifik untuk LES (Perhimpunan Rheumatologi Indonesia, 2011).

1.5 Kriteria Diagnosis

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki


sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan
LES. Jika hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka
belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan (Tan, 1982).

BAB II

TATALAKSANA

2.1 Tatalaksana Farmakoterapi

1. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam


pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi
sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit.
Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi,
dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi
adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam
waktu yang lama.

2. NSAID (Non Steroid Anti-Inflammatory Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan


yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot dan
sendi. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan
seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.

(Perhimpunan Rheumatologi Indonesia, 2011).

2.2 Tatalaksana Non-Farmakoterapi

1. Edukasi dan Konseling


Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan
oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri.
Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perjalanan
penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi
kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika
terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat
badan dan osteoporosis (Perhimpunan Rheumatologi Indonesia, 2011).

BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

3.1 Komplikasi

1. Serangan pada Ginjal

a. Kelainan Ginjal Ringan (Infeksi Ginjal)


b. Kelainan Ginjal Berat (Gagal Ginjal)
c. Kebocoran Ginjal

2. Serangan pada Jantung dan Paru

a. Pleuritis
b. Pericarditis
c. Efusi Pleura
d. Gagal Jantung

3. Serangan pada Darah

a. Anemia dan Gangguan Pembekuan


b. Trombositopenia dan Limfositopenia

(D'Cruz, 2016)

3.2 Prognosis

Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Mortalitas pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir.
Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada
LES kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada
10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan
hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan
lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang
berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi
secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan
dalam perawatan medis umum (Isbagio, 2015).

DAFTAR PUSTAKA

Bertsias G, et al. 2014. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical


features. J Clin Pathol. 20(1):476-505.

D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. 2016. Systemic lupus erythematosus :


pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. J Clin Pathol.
18(2):121-29.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2015. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing.

Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. Jakarta : Perhimpunan Rheumatologi Indonesia.

Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothield NF, et al. 1982.
The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. 10(2):1271-77.

Tjokoprawiro A. 2015. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas


Airlangga Press.

Anda mungkin juga menyukai